Kamis, 07 Agustus 2008

Pendidikan Berkualitas: Antara Kurikulum dan Nasib Guru

Oleh Badui U Subhan

Kita mafhum. Usia pendidikan telah berjalan beriringan dengan usia peradaban manusia. Ia ada dan terus berkembang karena tak bisa dipisahkan dari keberadaan manusia. Pada dasarnya tak ada manusia yang tak membutuhkan pendidikan.

Hal itu dikarenakan adanya hasrat alamiah manusiawi. Hidup mesti lebih baik dan lebih berkualitas dari sebelumnya. Sebab itu, perubahan merupakan konsekuensi yang logis dan penting. Yang dimaksud dengan perubahan ini adalah bergantinya tatanan dan nilai-nilai kehidupan yang tradisional menjadi modern dalam arti kualitas.

Jika bersandar pada pernyataan di atas selain musabab keberadaan dan berkembangnya pendidikan hingga sekarang pendidikan ternyata memainkan peran yang utama dalam kehidupan dan peradaban. Tak hanya untuk individu per se melainkan pula untuk kualitas sebuah bangsa. Karenanya, paradigma lama yang terlanjur mengasumsikan pendidikan sebagai sekolah formal semata-mata mesti segera dilipat dan digunting.

Pendidikan bukanlah sebidang ruang yang mengandaikan adanya guru untuk mencekoki peserta didiknya dengan berlembar-lembar teori. Itu pikiran usang dan naif. Pendidikan adalah napas di setiap aktifitas kehidupan. Semua aspek dalam kehidupan mestilah dijadikan arena pergulatan pendidikan.

Ini berarti pula bahwa pendidikan bukanlah milik segelintir atau sekelompok orang yang berlimpah dana melainkan hak dan kewajiban semua anak bangsa. Karenanya, label pelajar jangan lagi hanya dilekatkan kepada peserta didik yang mengenyam bangku sekolah formal atau kampus-kampus universitas. Jika logika dan semangat keadilan macam ini diterima maka apa yang disebut dengan learning society bukan lagi sekadar jargon.

Tak cukup hanya pada soal pemerataan, sebab pendidikan, sedari mula adanya, bercita-cita membangun dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Masalahnya, bagaimanakah pendidikan yang berkualitas itu. Setidaknya, menurut hemat saya, pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang berorientasi untuk membentuk peserta didiknya menjadi subyek yang berperan bagi dirinya dan orang lain.

Pendidikan macam ini dituntut untuk mengembangkan keutuhan setiap peserta didik agar mampu mengoptimalkan dan memanfaatkan semua kemampuannya. Baik aspek intelektual maupun emosionalnya dengan baik.

Menarik apa yang dikemukakan oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intellegence bahwa IQ hanya menyumbangkan 20% dari kesuksesan seseorang. Sedangkan sisanya ditentukan oleh faktor intelektual dan emosional. Kian jelaslah pendidikan yang berkualitas ternyata bukan menjuruskan (jika tidak ingin dikatakan menjerumuskan) pada kuat atau banyaknya hapalan sang peserta didik.

Adalah keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan emosional (bahkan kini ditambah dengan spiritual) merupakan titik tekan yang tak bisa ditawar-tawar lagi bagi institusi pendidikan modern. Dari sinilah ide dan cita-cita civil society (masyarakat modern) itu lahir. Sebaliknya, betapa naif hal itu akan bisa terwujud bila anak-anak bangsanya lost educated.

Agar pendidikan bangsa ini dapat menggapai cita-cita tersebut merupakan tanggung jawab semua komponen bangsa untuk terus mencari dan mencipta terobosan-terobosan baru yang inovatif dalam setiap muatan kurikulumnya. Sejatinya, agenda tersebut memang bukan untuk dipikul oleh pemerintah sendirian melainkan pula butuh kontrol dan masukan dari pihak sekolah dan masyarakat pada umumnya.

Hal itu berlaku mengingat pendidikan merupakan proyek besar, idealis, dan berkelanjutan. Alangkah gegabah jika pendidikan hanya diserahkan ke pundak pemerintah. Alih-alih beres, malah dijadikan proyek politik yang cenderung berorientasi sesaat.

Kita tentu berharap pendidikan berkualitas bukan hanya sekadar cuap-cuap berbusa di arena kampenye lima tahunan. Sebab kita mafhum dan amat berharap pendidikan berkualitas dapat menciptakan conscious community. Hanya lewat pendidikanlah masyarakat menjadi dewasa dan bijaksana.

Sayangnya pada bangsa-bangsa yang belum maju seperti di negeri ini pendidikan tak jarang dipandang sebagai masalah besar yang memberatkan. Baik dari aspek ekonomi maupun yang lainnya. Padahal, jika direnungkan secara jernih dan mendalam pendidikan merupakan conscientiacao (meminjam istilah Freire) atau jalan keluar bagi siapa pun yang ingin bangkit dari keterpurukan hidupnya.

Dengan pendidikan para peserta didik (terutama dari kalangan yang kurang mampu) diharapkan melek huruf, pandai menulis, cerdas berhitung, mandiri, berprestasi, dan berwawasan luas. Tak ada alasan sedikit pun yang pantas dibenarkan untuk pikiran-pikiran yang ingin mengganjal apalagi melenyapkannya.

Justru akses-akses sekecil apa pun demi tumbuh kembangnya pendidikan mesti dibuka seluas mungkin sebab manfaat yang dapat dipetik darinya adalah ibarat lingkaran mutualistik: terbitnya pencerahan, terangnya alur hidup, kemudian berbagi untuk semua.

Dalam proses ini tentunya telah terkandung daya belajar yang mempraktikkan nilai-nilai modern. Terutama ihwal life skill sekaligus mejadikan peserta didik mampu mengembangkan nilai-nilai sosial.

Di sinilah kurikulum berbasis kompetensi yang akhir-akhir ini kerap digembar-gemborkan itu mesti berpijak. Sebab, jika dijalankan secara ideal ia mengajarkan bersentuhan langsung dengan realitas, bergumul, dan diuji secara ilmiah.

Kurikulum macam ini menuntut pendekatan yang ditekankan kepada peserta didik untuk lebih aktif dan terampil. Sedangkan guru berperan menjadi fasilitator, dinamisator, dan motivator (ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani). Sebaliknya betapa sia-sia kurikulum bertambun-tambun teori namun kerempeng dengan kebutuhan yang diperlukan oleh peserta didik di tengah lingkungannya.

Kurikulum memainkan peran penting. Namun demikian kurikulum bukanlah satu satunya solusi untuk memecahkan proses pendidikan yang telah jumud karena keterampilan dan kecerdasan seorang guru mesti mendapat perhatian pula. Guru, sebagai ujung tombak pendidikan, mesti benar-benar paham dan mampu mentransformasikan maksud yang terkandung dalam idealisme kurikulum tersebut.

Hanya saja, karena segala hal tak bisa lepas sebab-akibat, guru yang demikian akan ada jika ilmu sekaligus kebutuhan hidup sang guru tersebut sudah mumpuni. Kita tentu berharap tak ada lagi ironi dalam dunia pendidikan: satu sisi peserta didik mesti mendapatkan pendidikan berkualitas dan optimal. Namun, di lain sisi nasib guru tersengsarakan.

*) Penulis lepas. Kini tinggal di Depok.