Rabu, 14 Januari 2009

Mengubah Paradigma UN

Oleh Doni Koesoema A.

Hasil ujian nasional akan diperhitungkan untuk masuk perguruan tinggi negeri (Kompas, 8/1). Di satu sisi, wacana ini bisa meningkatkan gengsi UN yang selama ini banyak menuai kritik. Di sisi lain, perubahan kebijakan ini bisa salah sasaran jika tidak terjadi perubahan paradigma dalam memahami UN. Mengelola evaluasi pendidikan integral tidak semudah membalik tangan.

Masalahnya, sifat dan tujuan ujian nasional (UN) dan tes masuk perguruan tinggi (PT) secara kualitatif berbeda. UN bersifat sumatif, bertujuan menilai prestasi individual siswa guna menentukan apakah seorang individu memiliki kompetensi yang disyaratkan setelah melewati proses pendidikan dalam waktu tertentu. Ambang kelulusan UN ditentukan melalui kriteria penguasaan materi (criterion-reference test), berakibat langsung pada nasib siswa (high stake testing). Siswa lulus atau tidak lulus.

Adapun sifat tes masuk PT adalah formatif untuk ”mendiskriminasi” siswa berdasarkan kompetensi dan potensi akademik yang tujuannya menjaring calon yang memiliki kelayakan dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan tuntutan di PT. Karena itu, tes masuk PT bersifat normatif (norm-reference testing), tidak hanya mendasarkan diri pada penguasaan materi, tetapi memeringkat siswa dan membatasinya sesuai jumlah kursi.

Penguasaan (proficiency) materi menjadi sekunder. Lebih dari itu, item soal sering dibuat dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi sehingga menjadi selektif. Ini untuk menghindari efek langit-langit (ceiling effect) yang bisa terjadi akibat siswa telah terbiasa dengan soal UN sehingga siswa pintar dan cukupan tidak dapat dibedakan karena mereka sama- sama meraih nilai maksimal.

Jernih memahami hakikat dua macam tes ini penting agar kebijakan pendidikan yang diambil benar-benar memiliki dasar rasional pedagogis dan psikometrik yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan sekadar berdasarkan politik kepentingan untuk menunjukkan bahwa UN yang selama ini menuai kritik berguna dan penting.

Wacana integrasi

Wacana integrasi UN dengan PT memang diperlukan agar apa yang dipelajari siswa di SMA menjadi dasar bagi pengembangan ilmu di PT. Namun, integrasi ini tidak akan efektif jika hanya dilakukan pada pelibatan PT dalam pengawasan pelaksanaan UN.

Mengajak PT menjadi rekanan pemerintah dalam menyelenggarakan UN untuk menjamin bahwa dalam pelaksanaannya UN tidak memiliki cacat prosedur pelaksanaan adalah salah satu bagian teknis dari prosedur standar pelaksanaan tes. Kredibilitas pelaksanaan tes merupakan salah satu alat untuk mengukur validitas hasil UN. Namun, lebih dari itu, peningkatan kualitas soal, penarikan kesimpulan hasil UN, reliabilitas item UN untuk benar-benar mengukur kompetensi yang dibutuhkan dalam proses seleksi masuk PT itulah yang pertama-tama perlu dibenahi.

Integrasi hasil UN sebagai penentu penerimaan mahasiswa baru di PTN mengandaikan, hasil UN memiliki validitas (benar-benar mengukur apa yang ingin diukur), konsistensi hasil saat diujikan pada banyak populasi (reliable), dan fair (memenuhi rasa keadilan, tidak adanya bias, perlakuan sama terhadap peserta tes, kesempatan belajar atas materi yang diujikan, dan lainnya).

Tiga tuntutan

Untuk membenahi ini, ada tiga tuntutan yang harus dipenuhi. Pertama, independensi desain soal untuk UN harus dijaga. Selama Badan Nasional Standardisasi Pendidikan (BNSP) dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bertanggung jawab dalam mengelola desain UN, konflik kepentingan akan terjadi. Tanpa independensi atau manipulasi nilai demi kepentingan tertentu akan terjadi dalam lembaga penyelenggara UN sebab mereka sendiri yang membuat soal dan mereka sendiri yang membuat laporan pertanggungjawaban bagi diri sendiri.

Kedua, independensi lembaga penyelenggara UN memungkinkan proses desain soal UN, pelaksanaan tes dan evaluasi atau penarikan kesimpulan atas skor UN lebih sahih dan dapat diandalkan karena lembaga itu mendesain tes sesuai tujuan, yaitu untuk menyeleksi siswa di tingkat PT. Kompetensi penyelenggara UN seperti ini harus diserahkan kepada konsorsium PT atau lembaga independen penyelenggara tes yang mampu menyelenggarakan secara obyektif dan akuntabel kepada publik dan pemangku kepentingan.

Ketiga, perubahan penggunaan hasil UN pada gilirannya akan mengubah tujuan penggunaan hasil UN seperti selama ini terjadi, yaitu untuk menentukan kelulusan siswa. Harus ada perubahan paradigma atas tujuan penggunaan hasil UN. Jika hasil UN sebagai alat tes seleksi PT, memakai hasil UN untuk meluluskan siswa merupakan kebijakan evaluasi pendidikan yang salah sasaran sebab terjadi salah kaprah dalam penarikan kesimpulan berdasarkan data dari sebuah alat tes.

Independensi

Kini yang dibutuhkan adalah akuntabilitas lembaga pendidikan di hadapan publik melalui independensi penyelenggara UN. Pendidikan di tingkat menengah hanya bisa akuntabel jika pelaksanaan UN mampu memberi data valid, reliable, dan fair untuk menilai kompetensi seorang siswa. Meski BNSP merupakan lembaga independen, saat bekerja sama dengan Depdiknas menjadi penyelenggara, penilai, dan pelapor UN terhadap pemerintah, konflik kepentingan membuat BNSP kehilangan kredibilitas. Apalagi saat tidak ada laporan yang bisa diakses publik tentang pelaksanaan UN, terutama tingkat validitas, reliabilitas, dan fairness soal-soal UN.

Independensi penyelenggara UN harus diutamakan agar tidak terjadi konflik kepentingan jika hasil UN ingin dipakai sebagai seleksi mahasiswa baru di PT. Selain itu, penyelenggara UN harus akuntabel dan bertanggung jawab bukan sekadar kepada pemerintah, tetapi kepada pemangku kepentingan yang lebih besar, yaitu PT dan masyarakat. Sistem seleksi mahasiswa baru harus fair dan memerhatikan kepentingan jangka panjang PT sendiri dengan menyeleksi siswa yang benar-benar kompeten dan memiliki potensi sukses secara akademis.

Memaksakan hasil UN sebagai syarat penerimaan mahasiswa PT bisa salah sasaran jika UN masih bersifat sumatif, yang kriterianya adalah standar isi minimal ala kurikulum SMA untuk menentukan kelulusan siswa. Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma terhadap UN.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston


Kompas, Rabu, 14 Januari 2009 | 00:26 WIB