Kamis, 19 Februari 2009

Siswa (Cerdas), Milik Siapa?

Oleh Doni Koesoema A

Akhir-akhir ini wacana tentang keberadaan siswa cerdas dalam sistem pendidikan hangat dibicarakan. Diskusi tentangnya sering mengacu pada pertanyaan pengelolaan, pendampingan, status, dan manfaat bagi masyarakat dan bangsa.

Tanpa pemahaman jernih tentang antropologi pendidikan yang integral, pembahasan tentang anak-anak istimewa ini hanya akan memuaskan kepentingan kelompok tertentu dan menjadikan mereka korban instrumentalisasi pendidikan. Lebih dari itu, visi keadilan sosial dalam pendidikan terabaikan karena kebijakan pendidikan dikelola dengan pendekatan elitis.

Visi tentang manusia
Pertanyaan teknis dan programatis tentang pendidikan anak cerdas hanya akan berkutat pada masalah pinggiran saat pendidik dan pengambil kebijakan tidak memiliki visi mendalam tentang manusia yang dididik. Gagasannya, anak cerdas sudah seharusnya ”dijadikan milik negara” (Kompas, 2/2), jelas mendasarkan diri pada pemahaman sempit antropologi pendidikan. Di sini, yang diutamakan bukan pertumbuhan anak, tetapi lebih mengarah pada instrumentalisasi anak didik yang mengobyekkan mereka demi kepentingan lain selain demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik itu sendiri.

Demikian juga program kelas akselerasi yang marak terjadi. Program ini jauh dari gagasan manusia sebagai individu unik. Manusia diredusir melulu pada kemampuan otak sehingga kapasitas ini perlu dikarbit pertumbuhannya melalui jalur khusus. Parahnya, kelas akselerasi sering menjadi kedok untuk mengeruk dana masyarakat dengan dalih ekselensi akademis. Faktanya, materi pembelajaran dipadatkan tanpa diferensiasi proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak.

Setali tiga uang. Model pendampingan pendidikan khusus dengan cara karantina demi persiapan olimpiade juga perlu dikritisi. Model pendidikan seperti ini lebih merupakan instrumentalisasi anak-anak cerdas demi prestise kepentingan kelompok tertentu, entah itu ”bangsa”, ”negara”, atau ”Departemen Pendidikan Nasional”.

Memang anak-anak cerdas itu perlu didampingi. Namun, pendampingan itu harus dilandasi dengan motivasi demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik sebagai pribadi unik dan layak mendapat layanan pendidikan sesuai dengan dinamika perkembangan kepribadiannya. Selain itu, sebagai makhluk sosial, individu tidak akan tumbuh sehat jika model pendidikan lebih berupa pemisahan daripada integrasi dan interaksi aktif dengan rekan sebaya.

Selama ini, program pendampingan anak-anak cerdas lebih didasari asumsi manusia berharga karena otaknya. Karena itu, sebelum membuat program pendidikan bagi anak cerdas, pendidik dan pengambil kebijakan harus kritis bertanya tentang antropologi pendidikan yang ada di balik setiap perencanaan pendidikan.

Milik kemanusiaan
Tidak ada yang memiliki hak untuk mengklaim atas kepemilikan anak-anak cerdas itu selain sejarah kemanusiaan itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah, kehadiran anak-anak cerdas ini telah memperkaya kemanusiaan yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan lebih bermartabat melalui olah pikir, olah hati, dan olah fisik yang mereka miliki.

Karena itu, mengklaim kehadiran anak-anak cerdas sebagai milik kelompok tertentu merupakan wacana yang sesat sebab mereka tidak milik siapa-siapa selain milik kemanusiaan itu sendiri.

Jika anak-anak cerdas itu menjadi milik kemanusiaan, maka melalui pengetahuan, bakat, dan kecerdasannya, mereka mampu menyumbangkan perbaikan bagi masyarakat. Kehadiran anak-anak cerdas juga perlu menjadi berkat bagi kemanusiaan yang lain dan tidak bisa diklaim atau dibatasi dalam membagi pengetahuan dan kekayaan kepada orang lain. Karena itu, segregasi, pemisahan, karantina jelas bertentangan dengan hakikat pendidikan dan keberadaan anak-anak cerdas itu sendiri.

Di sinilah visi keadilan sosial perlu ditumbuhkan di kalangan pendidik dan pengambil keputusan. Banyak teori pendidikan menunjukkan, pengetahuan yang dibagikan itu akan memperkaya kemanusiaan dan masyarakat daripada disimpan dan dimiliki seorang diri. Pada kenyataannya, ilmu pengetahuan itu terbentuk dan berkembang karena perjumpaan dengan orang lain. Dalam perjumpaan dengan orang lain inilah ilmu itu berkembang. Ilmu yang dibagikan tidak membuat si pemilik ilmu itu kian miskin, bahkan ia menjadi semakin kaya.

Menyesatkan
Dari sisi antropologi pendidikan, wacana ”anak cerdas” sebenarnya menyesatkan sebab paradigma ini membagi dua kelompok manusia, cerdas dan tidak cerdas. Padahal, istilah ”anak cerdas” ini pun sering hanya didasarkan pada satu kriteria, yaitu kemampuan akademis belaka.
Kini, kita kian tahu, ada banyak jenis kecerdasan. Maka, wacana ”anak cerdas” bisa mengecoh para pendidik dan pengambil keputusan untuk memprioritaskan yang satu melebihi yang lain. Faktanya, sebenarnya tidak ada yang disebut ”anak cerdas” sebab tiap anak memiliki kecerdasannya sendiri-sendiri.

Wacana tentang ”anak cerdas” muncul karena ada berbagai kepentingan yang ingin menjadikan mereka alat kepentingan sempit daripada mendasarkan diri pada keprihatinan asasi pendidikan yang menganggap tiap anak berhak mendapat layanan pendidikan prima sebab pada dasarnya tiap anak adalah anak-anak cerdas. Pemahaman sempit tentang antropologi pendidikan yang meredusir anak cerdas sekadar instrumentasi kepentingan dalam jangka panjang akan merugikan anak itu sendiri, bahkan merugikan masyarakat.

Layanan prima
Setiap anak memiliki potensi kecerdasan dan hak untuk mendapat layanan prima dalam pendidikan sehingga seluruh potensi kemanusiaan dan kepribadiannya bertumbuh secara integral dan utuh. Separasi, karantina, program akselerasi, dan pendewaan ide ”anak cerdas” sebagai lebih penting daripada keyakinan bahwa ”semua anak adalah cerdas” menunjukkan adanya cacat pemahaman terhadap antropologi pendidikan yang dianut pendidik dan pengambil kebijakan.

Instrumentalisasi anak-anak cerdas demi nafsu kelompok kepentingan tertentu harus dihentikan, diganti dengan program pendidikan yang lebih menghargai perkembangan dan pertumbuhan diri anak didik secara integral tanpa mencabut anak didik dari lingkungan sosialnya. Jika ini terjadi, kita akan memetik buah-buah kehadiran mereka bagi masyarakat sebab pada hakikatnya anak-anak itu adalah milik kemanusiaan, bukan milik segelintir orang yang memanfaatkan mereka demi prestise, harga diri, dan kepentingan sempit mereka sendiri.

*) Doni Koesoema A, Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston
Sumber: Kompas, Selasa, 17 Februari 2009 23:54 WIB

Rabu, 18 Februari 2009

"Adios" Kapitalisme

Oleh Robert Bala

Bolivia kembali menjadi perhatian dunia. Kemenangan referendum 25 Januari 2009 itu mencengangkan.

Meski ada penolakan di beberapa provinsi, seperti di Media Luna dan Santa Cruz, hal itu tidak berarti karena ditutup gaung setuju yang mencapai 65 persen.

Bukan hanya itu. Kemenangan juga identik dengan masyarakat miskin di pedesaan. Meski di ibu kota negara, La Paz, keberhasilan mencapai 74 persen, bila dihitung keseluruhan, daerah perkotaan hanya mencapai 52 persen. Di pedesaan justru mencapai 82 persen. Makna apa yang bisa dikais di baliknya?

Terperangkap
Keberhasilan referendum di negara berpenduduk 10 juta orang itu bukan sebuah kebetulan. Sebuah proses panjang telah dilewati negeri yang mayoritas rakyatnya keturunan Indian suku Aymara, Quechua, dan Guaraní. Sejak kemerdekaan tahun 1825, proses otoderminasi terus digulirkan dan coba dijalankan dan nyaris membawa hasil.

Pada tahun 1952, pemerintah melakukan reforma agraria dan nasionalisasi perusahaan pertambangan. Hasilnya mengecewakan. Para tuan tanah (latifundos) terlalu kuat untuk ditaklukkan. Nasionalisasi juga kandas. Upaya ”menyenangkan” sindikat dengan meluaskan izin penambangan berakibat pada sandaran ekonomi pada ekspor semata. Negara terlilit superinflasi, mencapai 2.400 persen saat harga tambang dunia anjlok.

Keadaan itu mendorong Presiden Victor Paz Estenssoro (1985-1992) dan Presiden Gonzalo Sánchez de Lozada Bustamente (1993-1997) untuk berjuang. Privatisasi perusahaan negara menjadi pilihan. Semboyan Ronald Reagan, ”negara bukan bagian dari solusi, tetapi bagian dari masalah”, mendorong dijualnya perusahaan minyak Yacimientos Petrolíferos Fiscales Bolivianos kepada swasta.

Kekuatan diri
Semula, privatisasi itu kelihatan manis. Lebih lagi saat Bank Dunia dan Bank Inter-Americano de Desarrollo amat ”murah hati” membantu. Inflasi ditekan hingga 10 persen. Namun, Bolivia yang kaya sumber energi, hidrokarbon, dan energi listrik justru merasakan keanehan. Kapitalisme justru melahirkan kemiskinan, bukan kesejahteraan.

Kenyataan itu disadari Evo Morales. Perlahan tetapi pasti, ia membangun Gerakan Sosialisme (Movimiento al Socialismo). Bagi Morales, rakyat adalah pemilik hidupnya. Ia perlu sadar untuk membangun otonomi, bukannya menyerahkan nasib kepada orang, apalagi negara lain. Tanah sebagai salah satu sumber hidup dialokasikan untuk semua. Kepemilikan dibatasi maksimal 5.000 hektar. Ini disambut sí (ya) oleh 78,4 persen rakyat.

Tidak hanya itu. Kapitalisme buas yang mengakui doktrin laissez-faire ditolak secara aklamatif. Rakyat disadarkan, kebebasan tanpa batas adalah bagai menggali kubur untuk diri sendiri. Apalagi hal itu dijalankan dalam iklim spekulatif. Model ekonomi yang bersifat ”di atas kertas”, virtual, dan imaterial seperti ini, oleh Tom Wolfe dalam Hoguera de las Vanidades, 1987, ditakdirkan akan hancur. Rakyat diajak membangun kekuatan diri.

”Partisisapi”
Bolivia dapat menjadi acuan. Pertama, keberanian berpihak kepada rakyat. Evo Morales adalah contohnya. Ia tidak menyandarkan nasib bangsa pada ketidakpastian ekonomi global (seperti harga minyak) untuk kemudian bersikap populis-oportunis. Ia tidak terperangkap janji manis privatisasi sebagai solusi. Ia tahu, privatisasi bermanfaat untuk mengumpulkan keuntungan, tetapi saat colapse (seperti Lehman Brothers) akan ”membagi” petaka kepada rakyat. Karena itu, pilihannya hanya ketegasan untuk menyatakan ”adios” (selamat jalan) pada taktik kapitalistik yang menjerat dan curang, jalan stik yang menjerat dan curang.

Politik kita masih setengah hati. Kita masih berada pada tataran senang atau tidak senang, benar atau salah. Perasaan tersinggung karena dikritik atau difitnah amat dominan. Upaya pembelaan diri dirasa begitu penting. Padahal, mereka yang bijak tahu, takaran dari segalanya adalah kebaikan umum. Rakyat tanpa dikampanyekan pun tahu, kesejahteraan yang telah dialami akan diapresiasi dalam pemilu.

Kedua, referendum Bolivia adalah bukti kesadaran yang membebaskan. Rakyat Indian tahu, menyerahkan nasib pada ”negosiasi” di parlemen adalah keniscayaan. Di sana logika ”partisisapi” yang tampak. Upaya meraih keuntungan (pribadi) amat jelas. Debat terjadi saat pembagian jarahan timpang. Tetapi, saat ”disepakati”, semua berjejer, bagai sapi ikut ke luar kandang setelah yang lain keluar.

Perubahan di negeri ini hanya terwujud ketika wakil rakyat lebih konsekuen kepada konstituen. Bekerja untuk rakyat tidak sekadar semboyan, tetapi juga falsafah hidup yang diyakini.
Sementara itu, rakyat yang sudah memilih tidak akan pasif. Ia mengawal dan meminta pertanggungjawaban terhadap janji kesejahteraan yang diucapkan.

Robert Bala Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca dan Universidad Complutense de Madrid, Spanyol
Sumber: Kompas, Kamis, 12 Februari 2009 00:59 WIB

Fenomena Neo-sosialisme

Oleh Ivan A Hadar

Fenomena kebangkitan neo-sosialisme Amerika Latin menarik perhatian dunia, termasuk di Indonesia.

Umum disepakati, ada dua kecenderungan gerakan neo-sosialisme di Amerika Latin. Di satu sisi, (pemerintahan) yang dinilai ”pragmatis”, ”rasional”, dan ”modern” yang ada di Cile, Brasil, dan Uruguay berhadapan dengan kiri yang ”dema-gogis”, ”nasionalistis”, dan ”populistis” di Venezuela, Bolivia, Paraguay, dan Argentina.

Namun, ada yang mengatakan, ada kecenderungan yang lebih banyak, lebih rumit, karena bergantung pada lahan tempatnya bersemai. FR Gallegos (2008), misalnya, mengatakan, neo-sosialisme Amerika Latin diwarnai warisan kelembagaan neo-liberalisme, pengaruh dan posisi gerakan sosial, serta sejarah perkembangan parpol progresif pada tiap negara tempatnya bertumbuh kembang. Dengan demikian, ada lebih dari dua kecenderungan— meski semuanya memiliki kemauan yang sama—yaitu melawan agenda neo-liberal lewat penguatan negara dan perbaikan kondisi sosial.

Ada kesepakatan, sejak kemenangan Hugo Chavez di Venezuela (1998), dengan sedikit pengecualian (antara lain Meksiko dan Kolombia), terjadi apa yang disebut ”pergeseran ke kiri” di hampir semua negara Amerika Latin. Namun, ada referensi luas terkait apakah ”pergeseran ke kiri” ini cenderung seragam, atau ada dua jalan yang berbeda (kiri demokratis dan kanan populistis), atau lebih banyak lagi seperti diyakini Gallegos itu.

Yang pasti, semua ini menunjukkan betapa berbedanya Amerika Latin dibandingkan dengan referensi ”hitam putih” Eropa tahun 1970-an yang sekadar membagi kecenderungan progresif (sosialistis) atau reaksioner (sosial demokratis).

Teori Sosial Demokrasi (Sosdem) Amerika Latin sepenuhnya berbeda dengan Eropa. Kiri Amerika Latin secara tradisional bersifat revolusioner, antikapitalistis, dan (tak jarang) antidemokratis. Ketika berkuasa dan berkesempatan merekayasa aturan main, yang kemudian dilakukan sering sepenuhnya mengubah sistem kapitalistis dan demokrasi borjuasi. Kata kunci seperti Godesberg, New Labor, atau Pacto de Moncloa saat Sosdem menjadi lebih moderat dan membuka diri bagi kelas menengah jarang terucap di Amerika Latin.

Berjalan tanpa ideologi
Hal ini lebih dari sekadar pertanyaan politik dan akademis yang menarik. Kini, berbagai pemerintahan kiri di Amerika Latin tampaknya secara praksis berjalan tanpa ideologi dan tanpa teori. Praktik dan wacana politik tampaknya tidak berjalan seiring. Jurnal Nueva Sociedad Edisi Khusus 2008, mengajukan judul ”Seberapa Kiri, Kirinya Amerika Latin?”, memuat tulisan-tulisan yang mendiskusikan wacana dan langkah politik atau latar belakang sejarah dan (gerakan) sosial yang menyebabkan ”pergeseran ke kiri” di Latin Amerika. Ada hal-hal yang diperlukan guna memahami perubahan paradigma dan mencari jawaban atas pertanyaan: bisakah kelompok kiri Latin Amerika memenuhi janjinya; dan langgengkah hal itu?

Sepanjang 1980-an, Amerika Latin mengalami ”Dekade yang Hilang” dengan pertumbuhan ekonomi terendah, kemiskinan melejit, distribusi pendapatan terburuk di dunia. Setelah terjadi pertumbuhan ekonomi yang lumayan pada paruh pertama 1990-an di bawah ”arahan dan kendali” Bank Dunia dan IMF, kembali terjadi ”5 tahun yang hilang” pada paruh kedua 1990-an. Penyebabnya, penyesuaian struktural neo-liberal (Konsensus Washington) tidak mampu menepati janji perbaikan. Sebaliknya, Argentina sebagai negara ”pajangan” reformasi neo-liberal saat itu pada 2001 terjerembab krisis serius.

Akibatnya, pemilih memberi kartu merah kepada pemerintahan dan parpol tradisional dan memilih kandidat yang menyandang posisi kiri. Hugo Chavez, Evo Morales, dan Rafael Correa, misalnya, mewakili kecenderungan itu. Sementara di negara-negara dengan tradisi demokrasi, termasuk memiliki parpol kiri yang kuat (seperti di Brasil, Cile, Argentina), terjadi perubahan paradigma sistem politiknya.

Namun, yang tak kalah penting adalah seberapa besar ”ruang gerak” sebuah pemerintahan. Inilah salah satu alasan sikap pragmatis sebagian pemerintahan neo-sosialisme Amerika Latin. Penjelasan lain, de facto kelompok kiri Amerika Latin mengalami ”Sosial Demokratisasi” untuk memenangkan suara kelas menengah. Dengan demikian, ”pergeseran ke kiri” di Amerika Latin pada saat sama juga bisa berarti ”pergeseran ke kanan”, kelompok kirinya menjadi Sosdem.

Tiga kecenderungan
Meski demikian, secara rinci, ada beragam wacana dan praktik politik pemerintahan di Amerika Latin. Setidaknya ada tiga kecenderungan. Pertama, (kian) aktifnya negara dalam pereko-nomian. Kedua, negara memprioritaskan kebijakan sosial sebagai kebijakan pendistribusian kue pembangunan. Ketiga, terjadi diversifikasi hubungan politik dan ekonomi luar negeri. Sementara itu, tak satu pun yang mempertanyakan stabilitas moneter dan keuangan, aturan pasar bebas, dan integrasi pasar dunia. Semua elemen Konsensus Washington, akibat hiperinflasi sepanjang 1990-an, diserap menjadi bagian penting kebijakan pemerintah.

Selama 10 tahun ”pergeseran ke kiri” di Amerika Latin, telah timbul perbaikan sosial-ekonomi yang signifikan. Tingkat kemiskinan menurun dari 48 persen menjadi 36 persen total penduduk. Di Brasil, 11 juta keluarga mendapat tunjangan langsung berkat program Bolsa Famillia. Sebelumnya hanya 3,6 juta keluarga yang mendapat manfaat itu pada tahun 2003. Di banyak negara Amerika Latin terjadi perbaikan distribusi penghasilan rakyat.

Namun, semua ini bisa terjadi bersamaan dengan export booms sejak 2003 selama 10 tahun. Hal itu mempertebal kas negara, meski pada saat yang sama porsi pengeluaran sosial dibandingkan dengan total pengeluaran nyaris tidak atau hanya sedikit meningkat. Begitu pula dengan pajak yang hanya 20 persen dan terbilang rendah dalam total anggaran. Sementara itu, di beberapa negara, Brasil misalnya, struktur pajaknya masih amat regresif. Begitu pula banyak yang masih menyubsidi konsumsi kelas menengah sehingga melemahkan kemampuan investasi dalam sebuah negara yang infrastruktur ekonominya terbilang lemah. Terkait hal-hal itu, untuk pertama kali Sosial Demokrasi di Amerika Latin memiliki kesempatan. Bagaimana kelompok ”kiri tengah” memanfaatkan peluang itu.

IVAN A. HADAR Analis Ekonomi-Politik; Wakil Pemred Jurnal SosDem
Sumber: Kompas, Kamis, 12 Februari 2009 00:59 WIB

Senin, 16 Februari 2009

Menulis Setiap Hari!


mulai hari ini, akan kuusahakan untuk kembali menulis.
apapun akan kutulis. setidaknya satu tulisan untuk satu hari.

beri saya semangat!