Jumat, 06 Maret 2009

Jurnal Institut Humaniora

Dukung terus budaya literasi!














Kirimkan info dan opini anda ke email: subhanters@yahoo.com
Jurnal Institut Humaniora membuka ruang bagi anda untuk menulis opini. Tulisan
tidak terlalu panjang dan isi tulisan adalah tanggung jawab penulis. Sementara ini, Jurnal Institut Humaniora belum dapat memberikan imbalan bagi penulis yang tulisannya dimuat.

Dukung terus budaya literasi!

Ada Dusta di Antara Kita

Oleh Badui U. Subhan


Selalu ada cara untuk berkilah.

Ketetapan, juga keberakhiran, tak pernah bermakna keabadian. Segalanya selalu terbuka untuk berubah, membalikkan kebiasaan bahkan keyakinan sebelumnya. Waktu itu dinamis. Bergerak perlahan atau cepat adalah ruh-nya.

Setidaknya, ada hal menarik dari narasi pembuka di atas dengan fenomena dusta atau kebohongan.

Tentu kita akrab dengan kata ‘bohong’ atau ‘dusta’, bukan? Itulah inti makna dari proyek manipulasi. Keadaan yang sebenarnya (kerap kita menyebutnya dengan fakta) disembunyikan di balik bungkusan yang terbuat dari bahan seolah-olah. Kita pernah mengatakan sakit, namun jika ditilik dari kacamata medis tak (akan) ditemukan unsur-unsur penguat alasan tersebut.

Ya, bukankah sakit memang mesti disesuaikan terlebih dulu dengan tanda-tandanya, semisal nyeri, tak bisa bergerak sempurna, dan sebagainya. Singkatnya, sakit adalah kenormalan atau kemapanan yang mengalami erosi.

Keadaan sakit bukan tak ada dalam realitas, tapi mengatakan (sekali lagi, mengatakan) sakit adalah salah satu pilihan saja dari sekian pilihan yang diproyeksikan untuk memperkuat sebuah alasan akan sesuatu, entah karena memang malas, enggan, atau tak mau melakukan sesuatu.

Apakah berdosa bila berdusta? Akan ada dua kutub yang berbeda ketika menjawab pertanyaan ini. Tentu berdosa jika dalilnya diikatkan kepada ayat-ayat ketuhanan, ayat-ayat kepatuhan yang turun dari langit itu. Dan di sini tak ada keterangan lanjutan. Di sini hanya ada ketundukan. Dusta adalah dosa! Titik. Qulil haq walau kana muran. Pengecualian tak akan ditemukan dasarnya.

Namun di lain kutub, dusta bahkan bisa jadi pahala. Pembalikan dari asumsi dan nilai-nilai dosa. Pernahkah kita mengatakan “tak apa, santai saja” setelah sang teman mengejek kita dan bertanya, “marah ya?” Tentu saja jawaban kita adalah jawaban dusta bila dalam hati sebenarnya dongkol bergolak-golak. Kita refleks memutar fakta, menggelontorkan kata yang samasekali berbeda dengan rasa yang tengah melanda dada. Sebab di wilayah ini ada adab, maka itu bukan dusta, kata orang (yang berpura-pura) bijak.

Lantas, bohongkah bila orang-orang bijak tak pernah berdusta?

Depok, 24 Februari 2009