Jumat, 03 Agustus 2012

Jakarta Menuju Kota yang Beradab

Oleh Badui U. Subhan


Belum lama ini tersiar sebuah kabar agak kurang sedap yang bersumber dari badan kesehatan dunia WHO. Lembaga tersebut menyatakan bahwa Indonesia adalah negara ketiga terjorok di dunia setelah India dan Cina. Secara umum, mungkin rakyat Indonesia kebanyakan akan cuek dengan pemeringkatan tersebut, sebab yang paling bertanggung jawab sekaligus malu menerima predikat tersebut bukan seluruh rakyat Indonesia melainkan segenap aparatur pemerintah. 

Meskipun kita tidak tahu persis bagaimana mekanisme survey dan penjurian tersebut dilakukan, rasanya tidak berlebihan jika kita bersepakat bahwa pasti salah satu tempat penting yang menjadi lokasi survey adalah wilayah ibukota negara, dalam konteks Indonesia tentunya Jakarta. Sebab ibukota negara merupakan cerminan dari keseluruhan denyut kehidupan sebuah negara, baik dalam hal kebersihan, keamanan, ekonomi, politik maupun dinamika budayanya.

Jakarta adalah halaman depan Indonesia. Meskipun tidak semua, rakyat pribumi atau jutaan mata di dunia tentu akan memulai penilaian terhadap Indonesia dari sini. Dalam konteks yang lebih luas dari sekadar wilayah geografi, Jakarta bukan hanya secupak tanah pasif yang dihuni oleh jutaan manusia melainkan sebuah wilayah metropolis, dinamis, dan sangat politis. Keberadaan, posisi, dan perannya memang memiliki makna yang amat penting bagi bangsa Indonesia dan bangsa lain dalam segala bidang. Sebab itu, segala sesuatu yang terjadi di Jakarta akan selalu memberi dampak dan pertimbangan bagi bangsa sendiri maupun bangsa-bangsa lain.

Sehubungan dengan hal tersebut, Jakarta selalu diharapkan menjadi wilayah yang terlihat sempurna dalam segala pengelolaan dan perannnya. Tentu, bukan hanya sebatas citra, melainkan mesti benar-benar sesuai dengan angan-angan rakyat Indonesia: bersih, aman, beradab, dan seterusnya.

Celakanya, hingga kini angan-angan rakyat Indonesia terhadap Jakarta yang diidealkan belum juga mewujud. Kian kemari, semenjak bangsa ini merdeka dari cengkraman bangsa kolonial, Jakarta malah menjadi wilayah yang berangsur-angsur amburadul dan mengerikan. Beberapa persoalan Jakarta macam pengelolaan urbanisasi, pendidikan, pengangguran/kemiskinan, banjir, sampah, transportasi, premanisme, polusi, dan lain-lain masih menjadi pe-er yang berlarut-larut di setiap gubernur yang memimpinnya.

Persoalan-persoalan Jakarta
Kita tahu, berbagai pembangunan yang dilakukan di kota yang dahulu bernama Batavia ini memang pesat, namun ternyata tidak selalu seimbang dengan penyediaan sarana dan prasarana pelayanan umum untuk penduduknya. Penduduk Jakarta bukan hanya sekelompok orang yang kerap disebut sebagai masyarakat Betawi, melainkan masyarakat pendatang dari berbagai belahan nusantara. Sebab itu, persoalan urbanisasi selalu menjadi masalah yang tidak ada habisnya bagi Jakarta. Bagaimana tidak, karena setiap waktu Jakarta selalu dimitoskan sebagai kota modern yang di dalamnya tersedia mimpi-mimpi indah yang mudah diraih. Tak heran jika kemudian selalu banyak pendatang dari berbagai daerah untuk mengundi nasib di sini.

Mungkin, persoalan urbanisasi di Jakarta tidak bisa dicegah. Namun demikian bukan berarti tidak bisa dibenahi. Jika Pemprov DKI Jakarta tidak (segera) berbenah dengan perhitungan yang tepat dan melakukan antisipasi-antispasi secara jitu dengan persoalan ini, tak ayal kehidupan Jakarta akan kian semrawut dan terus bermasalah.

Kenyataannya, Jakarta kini memang sesak. Tidak hanya itu, Jakarta juga terlihat lusuh, rombeng, gamang, dan selalu rawan. Dari hari ke hari kepadatan pendudukanya semakin tidak terkendali. Akibatnya, karena sistem penanggulangannya selalu tidak tuntas dan kinerja pengelolaannya tidak optimal, angka pengangguran di Jakarta semakin tahun semakin tinggi. Faktanya, dengan gamblang kita dapat menyaksikan di setiap jengkal tanah Jakarta begitu banyak masyarakat miskin tak terkelola.

Banyaknya jumlah pengangguran dan masyarakat miskin kota yang tidak berdaya ini tidak bisa –bahkan tidak boleh—dianggap sepele. Terlepas dari mana asal daerah mereka sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta memiliki tanggung jawab penuh untuk membereskan persoalan tersebut secara tuntas. Sebab, jika tidak, mereka (para pengangguran dan masyarakat miskin kota) sangat berpotensi untuk mudah terjerumus pada tindakan-tindakan kriminal yang akhirnya membuat citra Jakarta, baik sebagai otonom atau sebagai halaman Indonesia, tercoreng.

Tidak hanya itu, jika ledakan penduduk ini tidak bisa diatasi dengan tepat maka masalah ikutan lainnya juga segera muncul, misalnya soal kepemilikan tanah, soal permukiman liar, soal sampah, dan soal premanisme.

Dengan demikian, persoalan urbanisasi ke Jakarta bukanlah persoalan kecil. Betapa keliru pula jika kita serta merta menyalahkan para pendatang. Mereka datang ke Jakarta bukan hanya karena adanya faktor ketimpangan ekonomi di daerahnya jika dibandingkan dengan Jakarta melainkan karena adanya pergeseran pemanfaatan tenaga kerja yang awalnya produktif di sektor pertanian kemudian berubah ke sektor industri.

Oleh sebab itu, terkait urbanisasi ini, Pemprov DKI Jakarta diharapkan lebih ketat lagi dalam upaya pengendaliannya, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Untuk upaya yang bersifat eksternal, selain intensif mengadakan operasi yustisia dan tindakan-tindakan penerangan atau pembinaan, penting pula membangun komunikasi yang intensif dan produktif dengan pemerintah daerah di luar Jakarta.

Sedangkan untuk upaya internal, Pemprov DKI Jakarta diharapkan lebih ketat lagi dalam mengontrol ruang-ruang publik yang potensial disalahgunakan menjadi permukiman ilegal seperti taman-taman kota, sepanjang bantaran sungai, kolong-kolong jembatan, atau jalur pedestrian.

Persoalan kemacetan dan ketiadaan angkutan publik yang efektif dan nyaman juga masih menjadi pe-er Jakarta yang belum terpecahkan. Tentu saja, bagi penduduk Jakarta kini, sarana angkutan publik yang efektif dan nyaman adalah kebutuhan yang amat penting dan selalu mendesak.

Memang, Pemprov DKI Jakarta telah mencoba memecahkan persoalan ini dengan membangun jalan layang dan menambah fasilitas bis transjakarta, namun kenyataannya di lapangan masih tetap belum memuaskan. Sebab, sejatinya, dalam upaya mengurangi atau mengatasi kemacetan di Jakarta bukan hanya memperbanyak dua hal tadi, melainkan perlu juga kebijakan yang tegas untuk mengandangkan angkutan publik yang sudah tidak layak pakai.

Selebihnya, perlu juga disegerakan terwujudnya angkutan publik yang humanis/beradab, terpadu, dan dapat diandalkan dalam hal ketepatan waktunya, baik saat kedatangan atau keberangkatan maupun kesampaiannya di tempat akhir trayek. Kiranya, perlu juga dipertimbangkan opini-opini publik yang intinya menginginkan jalan-jalan raya di Jakarta sudah tidak perlu lagi dilalui angkutan kota (angkot), melainkan cukup dengan bis-bis patas (cepat dan terbatas) layaknya bis-bis yang beroperasi di kota-kota besar di negara-negara yang sudah lebih maju.

Penyelesaian
Selain yang telah disebutkan di atas, tentu masih banyak persoalan Jakarta yang harus dibenahi seperti persoalan pendidikan, air bersih, banjir, dan segala hal yang berpaut dengan urusan tata ruang.

Semua persoalan tersebut sangat penting dan perlu segera  ditangani. Oleh karena itu, diperlukan beberapa hal atau upaya yang mendukung agar Jakarta berubah ke arah yang lebih baik. Upaya-upaya tersebut antara lain adanya pemimpin yang tegas, visioner, dan selalu memanusiakan penduduknya. Pemimpin macam ini ialah pemimpin tidak pernah silau oleh iming-iming fulus dari para konglomerat hitam dan tamak, tidak mudah goyah diombang-ambing politik busuk, dan cepat tanggap dengan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat.

Selain itu, perlu juga disiapkan aturan hukum yang jelas dan tegas disertai solusinya yang betul-betul mendidik bagi pemimpin dan masyarakat yang melanggar hukum. Dalam konteks ini, hukum bukan hanya berlaku setelah adanya pelanggaran, melainkan perlu dipersiapkan dan disediakan pula perangkat hukum (baik SDM maupun kebijakan-kebijakannya) yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya pelanggaran hukum. Di sinilah pentingnya pemimpin yang visioner, tidak narsis, dan pantang mengeluh.

Akhir kalam, di samping sangat perlunya pemimpin Jakarta yang betul-betul hebat dan layak diteladani, yang tak kalah penting adalah selalu tumbuh kesadaran pada setiap penduduknya untuk selalu siap menjaga kota kehidupannya tersebut dari tindakan-tindakan yang tidak beradab. Selamat ulang tahun, Jakarta!