Jumat, 03 Agustus 2012

Jakarta Menuju Kota yang Beradab

Oleh Badui U. Subhan


Belum lama ini tersiar sebuah kabar agak kurang sedap yang bersumber dari badan kesehatan dunia WHO. Lembaga tersebut menyatakan bahwa Indonesia adalah negara ketiga terjorok di dunia setelah India dan Cina. Secara umum, mungkin rakyat Indonesia kebanyakan akan cuek dengan pemeringkatan tersebut, sebab yang paling bertanggung jawab sekaligus malu menerima predikat tersebut bukan seluruh rakyat Indonesia melainkan segenap aparatur pemerintah. 

Meskipun kita tidak tahu persis bagaimana mekanisme survey dan penjurian tersebut dilakukan, rasanya tidak berlebihan jika kita bersepakat bahwa pasti salah satu tempat penting yang menjadi lokasi survey adalah wilayah ibukota negara, dalam konteks Indonesia tentunya Jakarta. Sebab ibukota negara merupakan cerminan dari keseluruhan denyut kehidupan sebuah negara, baik dalam hal kebersihan, keamanan, ekonomi, politik maupun dinamika budayanya.

Jakarta adalah halaman depan Indonesia. Meskipun tidak semua, rakyat pribumi atau jutaan mata di dunia tentu akan memulai penilaian terhadap Indonesia dari sini. Dalam konteks yang lebih luas dari sekadar wilayah geografi, Jakarta bukan hanya secupak tanah pasif yang dihuni oleh jutaan manusia melainkan sebuah wilayah metropolis, dinamis, dan sangat politis. Keberadaan, posisi, dan perannya memang memiliki makna yang amat penting bagi bangsa Indonesia dan bangsa lain dalam segala bidang. Sebab itu, segala sesuatu yang terjadi di Jakarta akan selalu memberi dampak dan pertimbangan bagi bangsa sendiri maupun bangsa-bangsa lain.

Sehubungan dengan hal tersebut, Jakarta selalu diharapkan menjadi wilayah yang terlihat sempurna dalam segala pengelolaan dan perannnya. Tentu, bukan hanya sebatas citra, melainkan mesti benar-benar sesuai dengan angan-angan rakyat Indonesia: bersih, aman, beradab, dan seterusnya.

Celakanya, hingga kini angan-angan rakyat Indonesia terhadap Jakarta yang diidealkan belum juga mewujud. Kian kemari, semenjak bangsa ini merdeka dari cengkraman bangsa kolonial, Jakarta malah menjadi wilayah yang berangsur-angsur amburadul dan mengerikan. Beberapa persoalan Jakarta macam pengelolaan urbanisasi, pendidikan, pengangguran/kemiskinan, banjir, sampah, transportasi, premanisme, polusi, dan lain-lain masih menjadi pe-er yang berlarut-larut di setiap gubernur yang memimpinnya.

Persoalan-persoalan Jakarta
Kita tahu, berbagai pembangunan yang dilakukan di kota yang dahulu bernama Batavia ini memang pesat, namun ternyata tidak selalu seimbang dengan penyediaan sarana dan prasarana pelayanan umum untuk penduduknya. Penduduk Jakarta bukan hanya sekelompok orang yang kerap disebut sebagai masyarakat Betawi, melainkan masyarakat pendatang dari berbagai belahan nusantara. Sebab itu, persoalan urbanisasi selalu menjadi masalah yang tidak ada habisnya bagi Jakarta. Bagaimana tidak, karena setiap waktu Jakarta selalu dimitoskan sebagai kota modern yang di dalamnya tersedia mimpi-mimpi indah yang mudah diraih. Tak heran jika kemudian selalu banyak pendatang dari berbagai daerah untuk mengundi nasib di sini.

Mungkin, persoalan urbanisasi di Jakarta tidak bisa dicegah. Namun demikian bukan berarti tidak bisa dibenahi. Jika Pemprov DKI Jakarta tidak (segera) berbenah dengan perhitungan yang tepat dan melakukan antisipasi-antispasi secara jitu dengan persoalan ini, tak ayal kehidupan Jakarta akan kian semrawut dan terus bermasalah.

Kenyataannya, Jakarta kini memang sesak. Tidak hanya itu, Jakarta juga terlihat lusuh, rombeng, gamang, dan selalu rawan. Dari hari ke hari kepadatan pendudukanya semakin tidak terkendali. Akibatnya, karena sistem penanggulangannya selalu tidak tuntas dan kinerja pengelolaannya tidak optimal, angka pengangguran di Jakarta semakin tahun semakin tinggi. Faktanya, dengan gamblang kita dapat menyaksikan di setiap jengkal tanah Jakarta begitu banyak masyarakat miskin tak terkelola.

Banyaknya jumlah pengangguran dan masyarakat miskin kota yang tidak berdaya ini tidak bisa –bahkan tidak boleh—dianggap sepele. Terlepas dari mana asal daerah mereka sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta memiliki tanggung jawab penuh untuk membereskan persoalan tersebut secara tuntas. Sebab, jika tidak, mereka (para pengangguran dan masyarakat miskin kota) sangat berpotensi untuk mudah terjerumus pada tindakan-tindakan kriminal yang akhirnya membuat citra Jakarta, baik sebagai otonom atau sebagai halaman Indonesia, tercoreng.

Tidak hanya itu, jika ledakan penduduk ini tidak bisa diatasi dengan tepat maka masalah ikutan lainnya juga segera muncul, misalnya soal kepemilikan tanah, soal permukiman liar, soal sampah, dan soal premanisme.

Dengan demikian, persoalan urbanisasi ke Jakarta bukanlah persoalan kecil. Betapa keliru pula jika kita serta merta menyalahkan para pendatang. Mereka datang ke Jakarta bukan hanya karena adanya faktor ketimpangan ekonomi di daerahnya jika dibandingkan dengan Jakarta melainkan karena adanya pergeseran pemanfaatan tenaga kerja yang awalnya produktif di sektor pertanian kemudian berubah ke sektor industri.

Oleh sebab itu, terkait urbanisasi ini, Pemprov DKI Jakarta diharapkan lebih ketat lagi dalam upaya pengendaliannya, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Untuk upaya yang bersifat eksternal, selain intensif mengadakan operasi yustisia dan tindakan-tindakan penerangan atau pembinaan, penting pula membangun komunikasi yang intensif dan produktif dengan pemerintah daerah di luar Jakarta.

Sedangkan untuk upaya internal, Pemprov DKI Jakarta diharapkan lebih ketat lagi dalam mengontrol ruang-ruang publik yang potensial disalahgunakan menjadi permukiman ilegal seperti taman-taman kota, sepanjang bantaran sungai, kolong-kolong jembatan, atau jalur pedestrian.

Persoalan kemacetan dan ketiadaan angkutan publik yang efektif dan nyaman juga masih menjadi pe-er Jakarta yang belum terpecahkan. Tentu saja, bagi penduduk Jakarta kini, sarana angkutan publik yang efektif dan nyaman adalah kebutuhan yang amat penting dan selalu mendesak.

Memang, Pemprov DKI Jakarta telah mencoba memecahkan persoalan ini dengan membangun jalan layang dan menambah fasilitas bis transjakarta, namun kenyataannya di lapangan masih tetap belum memuaskan. Sebab, sejatinya, dalam upaya mengurangi atau mengatasi kemacetan di Jakarta bukan hanya memperbanyak dua hal tadi, melainkan perlu juga kebijakan yang tegas untuk mengandangkan angkutan publik yang sudah tidak layak pakai.

Selebihnya, perlu juga disegerakan terwujudnya angkutan publik yang humanis/beradab, terpadu, dan dapat diandalkan dalam hal ketepatan waktunya, baik saat kedatangan atau keberangkatan maupun kesampaiannya di tempat akhir trayek. Kiranya, perlu juga dipertimbangkan opini-opini publik yang intinya menginginkan jalan-jalan raya di Jakarta sudah tidak perlu lagi dilalui angkutan kota (angkot), melainkan cukup dengan bis-bis patas (cepat dan terbatas) layaknya bis-bis yang beroperasi di kota-kota besar di negara-negara yang sudah lebih maju.

Penyelesaian
Selain yang telah disebutkan di atas, tentu masih banyak persoalan Jakarta yang harus dibenahi seperti persoalan pendidikan, air bersih, banjir, dan segala hal yang berpaut dengan urusan tata ruang.

Semua persoalan tersebut sangat penting dan perlu segera  ditangani. Oleh karena itu, diperlukan beberapa hal atau upaya yang mendukung agar Jakarta berubah ke arah yang lebih baik. Upaya-upaya tersebut antara lain adanya pemimpin yang tegas, visioner, dan selalu memanusiakan penduduknya. Pemimpin macam ini ialah pemimpin tidak pernah silau oleh iming-iming fulus dari para konglomerat hitam dan tamak, tidak mudah goyah diombang-ambing politik busuk, dan cepat tanggap dengan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat.

Selain itu, perlu juga disiapkan aturan hukum yang jelas dan tegas disertai solusinya yang betul-betul mendidik bagi pemimpin dan masyarakat yang melanggar hukum. Dalam konteks ini, hukum bukan hanya berlaku setelah adanya pelanggaran, melainkan perlu dipersiapkan dan disediakan pula perangkat hukum (baik SDM maupun kebijakan-kebijakannya) yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya pelanggaran hukum. Di sinilah pentingnya pemimpin yang visioner, tidak narsis, dan pantang mengeluh.

Akhir kalam, di samping sangat perlunya pemimpin Jakarta yang betul-betul hebat dan layak diteladani, yang tak kalah penting adalah selalu tumbuh kesadaran pada setiap penduduknya untuk selalu siap menjaga kota kehidupannya tersebut dari tindakan-tindakan yang tidak beradab. Selamat ulang tahun, Jakarta!




Rabu, 30 Mei 2012

RANGKUMAN MATERI LENGKAP BAHASA INDONESIA KELAS 8 - UAS SEMESTER 2 - 2011/2012




MATERI SASTRA – SPESIFIKASI DRAMA:
1.      KONFLIK DALAM DRAMA/NOVEL: Pertentangan atau ketegangan atau perang atas suatu masalah.
2.      MACAM KONFLIK, SETIDAKNYA ADA 2 :
a.       KONFLIK BATIN: konflik yang terjadi pada seorang tokoh yang konfliknya bersumber dari dirinya sendiri. Konflik yang terbangun karena pada beda pendapat antara hati dengan pikirannya terhadap suatu masalah.
b.       KONFLIK LAHIR: konflik ini kebalikan dari konflik batin, yakni konflik yang terbangun karena si tokoh bertentangan prinsip/pendapat dengan tokoh lain, bukan dengan dirinya sendiri.
3.      UNSUR PEMBANGUN DALAM KARYA SASTRA:
a.       UNSUR INTRINSIK/UNSUR DALAM: (1) tema, (2) alur/plot, (3) tokoh/penokohan, (4) latar (tempat, waktu, suasana), dan (5) amanat/maksud cerita.
b.       UNSUR EKTRINSIK/UNSUR LUAR: (1) sang penulis/pengarang, (2) latar belakang penulis (ekonomi, politik, pendidikan, dll), (3) situasi zaman.
4.       TEMA: Tema bukanlah judul. Tema adalah inti, pokok, gagasan yang melandasi seluruh cerita. Atau semangat yang hendak disampaikan sebuah cerita kepada pembacanya. Misal, novel “Negeri 5 Menara” adalah novel yang mengusung tema tentang pentingnya pendidikan dan motivasi meraih cita-cita.
5.      TOKOH/PENOKOHAN: Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam cerita. Tokoh-tokoh ini biasanya memiliki berbagai karakter atau watak dengan perilaku yang membuat suatu cerita berkembang.
6.      TOKOH, BERDASAR PERANNYA TERBAGI 2:
a.        TOKOH UTAMA: Tokoh yang menjadi pusat cerita. Biasanya mendapat porsi penceritaan yang lebih banyak dibanding tokoh-tokoh lainnya.
b.       TOKOH PENDUKUNG: Tokoh-tokoh yang diceritakan utuk membantu berkembangnya cerita si tokoh utama. Bisanya, porsi penceritaannya sedikit.
7.      TOKOH, BERDASAR WATAKNYA TERBAGI 2:
a.       TOKOH PROTAGONIS:  Wataknya baik.
b.       TOKOH ANTAGONIS: Wataknya buruk atau jahat.
8.      ALUR/PLOT: Rangkaian atau urutan peristiwa dalam cerita.
9.      ALUR TERBAGI 3:
a.       ALUR MAJU: Peristiwa cerita dimulai dari awal hingga akhir berjalan sesuai urutannya. Misal, seorang tokoh diceritakan dari mulai dia lahir, berkembang, hingga kematiannya.
b.       ALUR MUNDUR/FLASH BACK: Peristiwa cerita dimulai dari masa kini, namun cerita berjalan ke masa lalunya.
c.       ALUR MAJU-MUNDUR/ZIGZAG: Peristiwa cerita berjalan dimulai dari masa lalu, berjalan ke masa kini, lalu ke masa lalu lagi. Atau bisa juga sebaliknya. Yang jelas, peristiwa cerita terjalin secara bolak-balik. Novel “Negeri 5 Menara” termasuk menggunakan alur ini.
10.  LATAR/SETING: Tempat, waktu, atau suasana yang ada dalam cerita.
11.  LATAR/SETING TERBAGI 3:
a.       LATAR TEMPAT: Tempat-tempat yang dijadikan dasar cerita: rumah, sekolah, kamar, pasar, bioskop, kelas, jalan raya, mal, dan masih banyak lagi.
b.       LATAR WAKTU: Waktu-waktu yang dijadikan dasar cerita: nama hari, tanggal, jam, pagi, siang, sore, malam, dan seterusnya.
c.       LATAR SUASANA: Suasana tempat atau keadaan tokoh yang saat tersebut dijadikan dasar cerita: mendung, cerah, hujan, sedang marah, gelisah, takut, berani, dan lain sebagainya.
12.  AMANAT: Setiap cerita pasti memiliki amanat. Artinya, setiap cerita pasti memiliki sebuah harapan untuk pembacanya. Harapan-harapan ini adalah hal-hal yang ingin disampaikan oleh si pencerita/pengarang melalui inti cerita yang dibuatnya.  Misal, novel “Negeri 5 Manara” mengamanatkan kepada pembaca agar terus berjuang meraih cita-cita meskipun dalam kondisi yang serba kekurangan, sebab cita-cita yang terus menerus diusahakan pasti akan menuai hasilnya dengan baik sesuai keinginan. Bahasa lainya: man jadda wajadda, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.


MATERI KALIMAT
1.      KALIMAT SANGGAHAN: Kalimat yang isinya digunakan untuk menyangkal pendapat orang lain. Tentu saja, penyangkalan harus tetap menggunakan bahasa yang sopan dan baik agar dialog/diskusi berjalan dengan saling menghargai.
2.      CONTOH KALIMAT SANGGAHAN:
a.       Pada dasarnya saya setuju dengan pendapat saudara/anda, namun akan lebih bijaksana jika kenaikan harga BBM ditunda terlebih dahulu hingga menemukan waktu yang pas untuk dinaikkan. (INI CONTOH KALIMAT PENYANGKALAN YANG BAIK)
b.       Saya sama sekali tidak setuju dengan pendapat saudara/anda. Pendapat anda itu sangat aneh dan menjijikkan! (INI CONTOH KALIMAT PENYANGKALAN YANG KURANG BAIK)
3.      PERGESERAN MAKNA KATA/KALIMAT: Beberapa makna kata/kalimat yang sering kita pakai, sadar atau tidak, sebenarnya banyak yang mengalami perubahan makna. Ada makna yang meluas, ada pula yang menyempit. Berikut penjelasannya:
a.       MAKNA MELUAS: Makna kata/kalimat yang awalnya atau dahulu kata tersebut bermakna sempit namun seiring perkembangan zaman akhirnya kata tersebut berubah makna dan perubahannya menjadi lebih luas. Misal, kata “Ibu”, “Bapak”, “Kakak”, “Abang”, dll. Perhatikan, dahulu, kata “Ibu” digunakan sebagai sapaan hanya ditujukan kepada orang yang telah melahirkan kita saja yaitu ibu kandung kita. Namun kemudian artinya meluas. Coba saja perhatikan ketika siswa menyapa guru perempuannya pasti menggunakan kata “Ibu”, padahal guru perempuan itu bukan ibu kandungnya. Artinya, sekarang kata “Ibu” juga dipakai untuk menyapa orang lain yang bukan ibu kandung kita sendiri. Begitu juga dengan makna kata “Bapak”, “Abang”, “Adik”, dll. Terbayang atau mudah dipahami, kan?
b.       MAKNA MENYEMPIT: Makna kata/kalimat yang awalnya atau dahulu bermakna lebih luas, namun seiring zaman kemudian makna kata tersebut menjadi terbatas pada hal-hal atau orang-orang tertentu saja. Misal, kata “Sarjana” dahulu dipakai atau disematkan untuk siapa pun yang dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang pandai atau cerdas ilmunya meskipun dia tidak sekolah atau tidak mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Namun sekarang, kata “Sarjana” malah bermakna sempit. Sebab kini “Sarjana” menjadi titel atau label bagi siapa saja yang hanya telah lulus kuliah S1 di perguruan tinggi. Terbayang atau mudah dipahami, kan?

MATERI PUISI
1.      JENIS SASTRA TERBAGI 2: (a) PUISI, dan (b) PROSA.
2.      JENIS PUISI ANTARA LAIN: puisi, sajak, syair, pantun, gurindam, mantra.
3.      JENIS PROSA ANTARA LAIN: novel, novelet, cerpen, cerita mini, drama.
4.      UNSUR POKOK DALAM PUISI: tema, diksi, rima, dan gaya bahasa.
5.      TEMA dalam puisi: gagasan pokok yang hendak diungkapkan oleh sang penyair.
6.      DIKSI: pilihan kata yang digunakan penyair. Kata-kata yang digunakan dlm puisi sering bersifat konotatif atau memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu dan puitis atau mempunyai efek keindahan.
7.      RIMA: sering juga disebut sebagai sajak atau persamaan bunyi, baik pada awal, tengah, atau di akhir bait puisi. Paling sering sih biasanya di setiap akhir bait. Penggunaan rima ini biasanya untuk mendukung perasaan atau suasana hati.
8.      GAYA BAHASA: unsur pilihan kata atau cara bertutur yang menjadikan puisi lebih terasa hidup dan menjelaskan gambaran angan.
9.      CITRAAN dalam puisi: unsur yang menonjol dari fungsi panca indera kita saat kita membaca citraan dalam puisi tersebut.
10.  CITRAAN dalam pusi terbagi 4:
a.       CITRAAN PENGLIHATAN: gambaran puisi yang saat dibaca seolah-olah gambaran tersebut dapat kita lihat secara jelas. Dalam kalimat-kalaimat tersebut yang paling menonjol gambarannya adalah gambaran penglihatan. Misal: bunga itu merekah saat pagi datang dengan semburat cahaya keemasan.
b.       CITRAAN PENDENGARAN: gambaran yang terdapat dalam kalimat puisi tersebut seolah-olah kita mendengar dengan jelas suara-suara yang digambarkan oleh sang penyair. Misal: deru tank yang melintas di jalanan berbaur dengan letusan bedil dan teriakan para demonstran masih terngiang dalam ingatanku. Atau: Ping di atas pong, pong di atas ping.
c.       CITRAAN PENCIUMAN: gambaran yang terdapat dalam kalimat puisi tersebut seolah-olah kita mencium dengan jelas bau-bauan yang digambarkan oleh sang penyair. Misal: Aku muntah. Betapa bau. Mayat-mayat terbakar. Semua terkapar.
d.       CITRAAN PERASAAN: gambaran yang terdapat dalam kalimat puisi tersebut seolah-olah kita dapat merasakan suasana dengan jelas gambaran yang digambarkan oleh sang penyair. Misal: Angin turun. Perlahan. Merayap di tangan, leher, dan dadaku. Dingin tiada terkira.
11.  BAHASA PUISI biasanya penuh dengan MAJAS/PERUMPAMAAN.
12.  JENIS MAJAS/PERUMPAMAAN ada banyak, antara lain: personifikasi, metafora, hiperbola, ironi, perulangan.
13.   MAJAS PERSONIFIKASI: perumpamaan yang mengumpamakan benda bukan manusia dijadikan seolah-olah dapat berlaku layaknya watak atau kebiasaan manusia. Misal: Ombak mencium bibir pantai. Penjelasannya: Ombak benda bukan manusia, tapi dibuat kalimatnya menjadi seolah-olah dapat berlaku seperti manusia, karena ditambahkan dengan kata “mencium”. Contoh lain: Daun kelapa itu melambai-lambai kepadaku.
14.  MAJAS METAFORA: mengumpamakan sesuatu (orang atau bukan orang) dengan sifat atau julukannya. Misal: Raja hutan meraung-raung mencari mangsanya. Penjelasan: “Raja hutan” adalah perumpamaan dari sifat atau julukan kepada “singa” karena “singa” sering dianggap sebagai penguasa hutan.  Contoh lain: Setan Merah akhirnya memenangkan pertandingan 2-0 saat melawan Si Nyonya Besar. (Setan Merah = julukan klub sepak bola Manchaster United dan Si Nyonya Besar = julukan klub sepakbola Juventus).
15.  MAJAS IRONI: pernyataan yang isinya bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Misal: Bagus sekali nilai rapotmu, kawan, sampai-sampai banyak merahnya.
16.  MAJAS HIPERBOLA: penyataan yang sengaja dilebih-lebihkan. Misal: Tabunganku sudah segunung. Atau: Tangannya bengkak sebesar gajah bunting. Dll.
17.  MAJAS PERULANGAN: mengulang huruf depan atau belakang pada kata-kata kata yang terdapat pada satu bait. Misal: kau keraskan kalbunya. Atau: Mati api di dalam hati.
18.  UNGKAPAN: gabungan dua kata dalam sebuah kalimat yang mempunyai makna baru. Misal: Jantung hati datanglah kemari. Penjelasan: di sana terdapat kata “jantung” dan “hati”. Sewaktu belum digabung, masing-masing punya makna sendiri-sendiri, tapi ketika digabung, dua kata tersebut jadi memiliki makna yang baru. Jantung+hati = kekasih atau seseorang yang disayangi.


MATERI BERITA
1.      BERITA TERBAGI 2 BENTUK: HARD NEWS dan FEATURE.
2.      HARD NEWS: berita yang disusun hanya sesuai pokok beritanya saja. Artinya, berita dibuat ketat hanya seputar 5W1H saja. Tidak dibuat seperti cerita dan tidak mementingkan unsur perasaan atau suasana.
3.      FEATURE: kebalikan dari HARD NEWS: berita yang disusun dengan memasukkan unsur cerita secara detil dan memasukkan juga unsur perasaan dan suasana di tempat peristiwa. Berita seperti ini dibuat mirip sekali dengan sebuah cerita. Misalnya, berita tentang perjalanan pariwisata. 
4.      Ada juga berita yang disajikan dalam bentuk PETUNJUK. Misalnya, berita tentang disain atau tata letak sebuah rumah, cara mengolah/membuat suatu makanan, atau cara menyajikan sesuatu secara detil dan bertahap.
5.      Pelajari lebih dalam lagi tentang 5W1H (what/apa, where/di mana, when/kapan, why/mengapa, who/siapa, dan how/bagaimana).
6.      Pelajari lebih dalam lagi tentang perbandingan dua berita.


MATERI LAIN-LAIN
1.      Pelajari lebih dalam lagi tentang PENULISAN HURUF KAPITAL yang benar (nama sapaan, nama orang, nama jalan, tingkat jabatan, nama tempat, nama hari/bulan, letak geografis, dll). Contoh yang betul dalam kalimat: “Saya lupa, Bu. Maafkan saya.”
2.      Pelajari lebih dalam lagi tentang RESENSI dan RANGKUMAN/RINGKASAN
3.      Pelajari lebih dalam lagi tentang MEMBACA EKSTENSIF dan INTENSIF
4.      Pelajari lebih dalam lagi tentang BENTUK TULISAN: NARATIF (menjelaskan), DESKRIPTIF (menggambarkan), ARGUMENTATIF (menjelaskan dengan alasan/opini), PERSUASIF (merayu seperti kalimat iklan).
5.      Pelajari lebih dalam lagi tentang PERBEDAAN NOVEL dengan DRAMA
6.      Pelajari lebih dalam lagi tentang DISKUSI


PELAJARI SEMUA PELAJARAN DI ATAS. CARANYA, BUKA DAN BACALAH KEMBALI CATATAN DARI BUKU PAKET, CATATAN DARI GURU, DAN CARI PENDALAMAN MATERI DARI INTERNET!
INGATLAH PADA SEMANGAT MAN JADDA WAJADA : SIAPA YANG BERSUNGGUH-SUNGGUH BELAJAR PASTI AKAN MENDAPAT HASIL NILAI YANG BAGUS DAN MAKSIMAL. INSYA ALLAH.

Senin, 07 Mei 2012

Materi Novel - Kelas 8


Seputar Materi Novel – Kelas 8 

1.      Unsur pembangun dalam karya sastra:
a.      Unsur Intrinsik / unsur dalam : tokoh/penokohan, tema, latar, alur/jalan cerita.
b.      Unsur Ekstrinsik/ unsur luar : penulis, biografi penulis, latar belakang penulis, latar belakang sosial, masyarakat
2.      Macam-macam tokoh:
a.      Tokoh utama : peceritaannya digambarkan sangat lama atau sangat dominan
b.      Tokoh sampingan : penceritaannya digambarkan hanya sebentar.
c.       Tokoh protagonis : watak tokoh tersebut baik.
d.      Tokoh antagonis : watak tokoh tersebut tidak baik, lawan protagonis.
3.      Macam-macam latar:
a.      Latar tempat : tempat-tempat yang dijadikan tempat para tokoh berada. (pasar, kamar, kelas, dll.)
b.      Latar waktu : waktu yang dijadikan saat tokoh-tokoh berada. (hari, jam, sore, siang, dll.)
c.       Latar suasana : suasana atau keadaan saat tokoh diceritakan. (mendung, bahagia, berduka, sedih, dll.)
4.      Macam-macam alur/jalan cerita:
a.      Alur maju : cerita terus maju ke depan sampai akhir cerita.
b.      Alur mundur / Flashback : cerita dimulai dari akhir cerita (akibat) dan mundur hingga awal cerita (penyebab). Misal: mulai dari kematian seseorang, cerita terus berjalan hingga ke kelahiran seseorang tersebut.
c.       Alur maju-mundur / Zig-zag : cerita dari maju, kemudian balik ke masa lalunya, lalu balik lagi ke alur maju. Atau dari akhir, kemudian ke awal, kemudian ke akhir cerita lagi.
5.       Penokohan ada dua macam:
a.      Secara langsung / Analitis : diceritakan oleh pengarang secara terang-terangan.
b.      Secara tidak langsung / Dramatik: diceritakan dengan tersembunyi, misalnya lewat dialog tokoh.
6.      Macam-macam watak, antara lain:
Acuh, terbuka, pemalu, optimis, bersemangat, pemalas, dll.

7.      Baca semua hal materi yang berhubungan dengan materi novel. Bisa dari buku paket, internet, atau tulisan lain. Usahakan tidak bergantung penuh pada catatan ini. Sebab, belajar yang baik adalah berusaha mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya.

Kamis, 02 Juni 2011

Segumpal Sajak Religi Lahiran 2006


muallaf satu


siapa subhan?
tiba-tiba mesti dilahirkan
siapa pula tuhan?
tiba-tiba mesti dibutuhkan
aku terus bertanya, kawan
sebab tak puas satu jawaban

/bandung, 2006



muallaf dua

tuhan ada di mulutku
fasih tanpa ragu
tuhan ada di hatiku
risi namun juga kaku
kelak, di manakah rumahku
setelah dunia jadi debu?

/bandung, 2006



di kloset

tuhan, aku menemukanmu di kloset
di lantai paling bawah sebuah supermarket
betapa bersih dan wangi
meski dikotori setiap hari

/bandung, 2006



situs keyakinan
--maulana hasanuddin

menara masjid itu
masih menjulang
mengerdilkan keraguanku
untuk meraih bintang

/bandung, 2006



dari alif sampai ya

dari alif, sekat-sekat ruangku
terbuka ke laut zikir
hingga bertemu ya, semua waktuku
terjaga pantai yang tahir

/bandung, 2006



jauh dari ka’bah

ke mana kaki melangkah
ke sana berpaling wajah
dan di atas sajadah
kiranya rindu terkirim sudah

/bandung, 2006



tuhan siapa

katakan, tuhan siapa yang gemar mengangkat senjata
manakala perselisihan anjing dan kucing terus meruncing
katakan, aku telah lama bersedia menjadi sasarannya
meski setiap negosiasi berakhir gagal di lapang runding
katakan, saudaraku, biar kutukar dengan nyawaku!

/bandung, 2006



bismillāh

aku menghirup hawa semesta
lengkap serta aroma duka
tiada keluh mengembus kesah
hingga usia dipisah jatah

/bandung, 2006



rumi kecil
- a. gymnastiar

di kotamu, jauh dari turki
rumi-rumi kecil terus menari
di tengah jalan yang tak pernah sepi
dan menantang garang matahari
mencari tuhan yang tersembunyi

/bandung, 2006



menghitung zikir tanpa pikir

33 zikir segala suci
33 zikir segala puji
33 zikir segala raya
1 cinta sujud hamba

/bandung, 2006



Sajak-sajak lama. Lahiran 2006. Kiranya masih berkenan dibaca zaman.

'Che Guevara' WN Argentina Perang di Libya

Piaggesi adalah seorang guru. Tapi kini ia bergabung dengan pasukan oposisi Libya.

Sejatinya Jose Emmanuel Piaggesi adalah seorang guru, ia berasal dari Argentina. Namun, kini dia berada di tengah pertempuran di Libya, hidup dikelilingi bunyi rentetan senjata.

Dari seorang pengajar, pria 23 tahun itu kini menjual buku-buku, demi mendapatkan peluru. Untuk apa ia jauh-jauh datang ke Libya? Dengan tegas, Piaggesi menjawab, ia siap mengorbankan nyawanya dalam pertempuran untuk menyingkirkan diktator Libya yang telah berkuasa selama 42 tahun, Moammar Khadafi. Meski, perang Libya tak populer bagi golongan kiri di Amerika Latin.

Alasan lainnya, ia mengaku terinspirasi Che Guevara.

"Saya mengundang mereka untuk melihat lebih dekat situasi di sini, siapa yang bertempur dan mengapa mereka berperang," kata Piaggesi seperti dimuat CNN, 1 Juni 2011. "Ia (Che Guevara) akan mengatakan, ini demi kemerdekan, bukan untuk NATO atau siapapun, hanya demi kebebasan."

Jose Emmanuel Piaggesi mengatakan dia bangga menjadi bagian dari sebuah perjuangan udemi sebuah revolusi baru. Tetapi ia mencatat, banyak telah jatuh, tewas.

"Saya pikir ini soal keberuntungan menghindari peluru. Dan jika memang itu saatnya giliran Anda, Anda tak akan bisa menghindar."

Meski masih mengaku sebagai guru, ia tak berencana kembali mengajar dalam waktu dekat. Setelah berbicara dengan CNN, ia kembali ke posnya di medan perang Libya, memenuhi janjinya untuk terus tinggal -- sampai Khadafi terguling dari kekuasaan.

Kisah Piaggesi berperangan bersama oposisi Libya telah menarik perhatian publik Argentina.

Ayahnya, Pablo Piaggesi kepada media setempat, Perfil, bahwa ia tak terkejut putranya itu memilih jalan tak lazim itu. "Ia adalah pria yang suka membantu dan tak tertarik dengan uang. Anakku seseorang yang luar biasa, sangat berbakat. Ia bisa bicara empat bahasa. Ia bahkan bisa Bahasa Arab dengan cara belajar dari internet selama dua bulan," kata dia.

Ditambahkan dia, anaknya itu sejak lama mengagumi Che Guevara dan baru-baru ini mengunjungi museum yang didirikan untuk menghormati tokoh revolusi Argentina itu. (sj)


Sumber: VIVAnews.com, Kamis, 2Juni 2011

Terjebak di Sekolah?

Oleh Badui U Subhan


Sekolah manakah yang lebih baik: negeri atau swasta?

Pertanyaan di atas, sejatinya, tidak akan pernah cukup dijawab dengan hanya memilih salah satu dari dua pilihan yang disediakan. Sebab memilih sekolah tidak sama dengan memilih jawaban A, B, C, atau D layaknya seorang peserta didik saat menjawab soal-soal Ujian Nasional. Kiranya, ketepatan jawaban dari pertanyaan di atas hanya akan dapat ditemukan setelah kita benar-benar paham (bukan sekadar tahu) filosofi pendidikan dan pendidikan yang berkualitas.

Pentingnya pendidikan
Di kalangan umum sekolah kerap disamakan maknanya dengan pendidikan. Pemaknaan stereotip macam demikian, memang, tidak sepenuhnya salah. Barangkali, karena muara dari hasil proses keduanya adalah membayangkan tercapainya sebuah idealisme atau nilai-nilai positif pada sang peserta didik. Nilai-nilai tersebut dapat berupa kemampuan akademik maupun kemampuan diri. Namun demikian, ada sedikit perbedaan yang cukup signifikan untuk diurai lebih jelas.

Hingga era sekarang sekolah, mau tidak mau, lebih mengacu pada sebuah pemaknaan yang terbatas. Ruang, waktu, dan daya kerjanya limitatif. Keterbatasan itu memang tidak mengada-ada. Keterbatasan tersebut merupakan konsekuensi logis dari perlunya pembagian tugas kependidikan yang amat luas jangkauannya. Sekolah hanya sebuah institusi kecil yang mencoba membantu tugas kependidikan di ranah utama yakni, keluarga dan masyarakat luas. Dengan demikian sekolah bukanlah pemegang penuh tanggung jawab atas baik atau buruknya kualitas nilai peserta didik.

Berlainan dengan sekolah, makna pendidikan tidak pernah mengenal batasan ruang dan waktu. Ia adalah proses penemuan nilai-nilai (akademis maupun kemampuan diri) yang dicari sendiri atau diajarkan oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Pendidikan bukanlah kata benda. Ia bukan institusi. Sebab itu, makna pendidikan tidak pernah memerintahkan atau menunjukkan isyarat bahwa setiap manusia wajib belajar di ruang-ruang kelas semata yang mengandaikan adanya guru untuk mencekoki peserta didiknya dengan berlembar-lembar teori. Itu pikiran usang dan naif.

Pendidikan adalah napas di setiap aktifitas kehidupan. Semua aspek dalam kehidupan mestilah dijadikan arena pergulatan pendidikan mulai dari lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat luas secara utuh dan bulat. Jika salah satu komponen itu abai atau rumpang maka cita-cita pendidikan tidak akan berhasil dengan baik.

Berdasarkan penjelasan di atas, ternyata pendidikan merupakan kata kunci yang mesti dibedah lebih lanjut. Salah satu implikasi pentingnya, kita mesti menemukan dan memahami cara mendidik yang baik dan berkualitas. Sebab pada dasarnya manusia bukan perlu pendidikan yang setinggi-tingginya melainkan perlu pendidikan berkualitas, yang berorientasi membentuk peserta didiknya menjadi subjek yang berperan bagi dirinya dan orang lain.

Pendidikan macam ini dituntut untuk mengembangkan keutuhan peserta didik agar mampu mengoptimalkan dan memanfaatkan semua kemampuannya baik aspek intelektual maupun emosional sesuai kebutuhan utama dan tuntutan zamannya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya semua komponen (keluarga, sekolah, dan masyarakat luas) menyadari, bahu-membahu, dan bertanggung jawab untuk terus mewujudkan serta merawat idealisme tersebut.

Negeri atau swasta?
Daniel Goleman dalam bukunya yang bertajuk Emotional Intellegences menyatakan, IQ hanya menyumbangkan 20% dari kesuksesan seseorang. Sedangkan sisanya ditentukan oleh faktor intelektual dan emosional. Artinya, pendidikan yang berkualitas tidak pernah berangkat dari persepsi bahwa setiap peserta didik mesti kuat atau banyak menghapal.

Sejujurnya, hapalan itu penting namun ia bukanlah segala-galanya. Peserta didik perlu pula menguasai keahlian-keahlian lain yang berhubungan dengan kemampuan mendengar, bicara, menulis, dan melakukan. Peserta didik yang hanya mampu menghapal dan miskin kreatifitas tidak ubahnya dengan kerbau yang dicokok hidungnya. Kiranya kita sepakat bahwa kelak setiap peserta didik tidak ingin terjerumus pada mental plagiat!

Apalah guna belajar di sekolah negeri yang lengkap fasilitasnya namun ujung-ujungnya (sadar atau tidak) menjerumuskan peserta didik untuk berpikir kerdil, misalnya. Atau apalah guna belajar di sekolah swasta yang megah dan mahal namun akhirnya membuat peserta didik bertambah ria dan congkak. Betapa terang, kualitas super sebuah sekolah sejatinya bukan semata karena kemegahan bangunan dan kelengkapan fasilitas belajarnya, melainkan dari berbagai unsur dan aspek intrinsik dan ekstrinsik kependidikan yang dirancang jelas dan detil demi mendorong para peserta didik agar mampu mengeksplorasi seluruh kemampuannya.

Ringkasnya, dari seluruh penjelasan ini, jika ditarik benang merahnya ke pertanyaan inti di atas, kiranya dapat menyelamatkan kita dari jebakan dua pilihan yang kurang cerdas tersebut. Wacana oposisi biner antara kepentingan memilih sekolah negeri atau swasta di era kini sudah tidak layak diperdebatkan lagi. Jadi, yang paling penting untuk dipertimbangkan dalam memilih sekolah adalah sekolah manakah yang memiliki (terlebih, telah menjalankan) konsep pendidikan yang benar-benar visioner dan memanusiakan penyelenggara pendidikan tersebut serta peserta didiknya.

Depok, 2011