Oleh Badui U. Subhan
Judul : Komedikus Erektus; Dagelan Republik Kacau Balau
Penulis : Bambang Haryanto
Penerbit : Imania, Depok
Cetakan : Pertama - November 2010
Tebal : xxxii+205 halaman
Format : 13 x 20,5 cm – Soft Cover
ISBN : 978-602-96413-7-0
Kita kerap mendengar ungkapan bahwa tertawa itu baik atau sehat. Namun realitas yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, langsung maupun tidak, seperti ramai-ramai sedang mengingkari ungkapan tersebut. Di mana-mana, banyak orang lebih suka marah, menghardik, mengeluh, dan mengumpat tinimbang memberi solusi atau sekadar merespons masalahnya dengan seulas senyum.
Keadaan tersebut mungkin memiliki logikanya sendiri. Jika tak lucu maka tak ada tawa. Ya, secara kasat mata dan pikiran awam memang banyak peristiwa yang tak sedap untuk dipandang dan dirasa, sehingga sulit menimbulkan tawa. Misal, bagaimana bisa tertawa kala institusi kepolisian dan penegak hukum lainnya masih gemar korupsi, perseteruan yang kian absurd antara “cicak” dan “buaya”, dahsyatnya ancaman flu burung dan flu babi, berlarut-larutnya kasus Bank Century, para anggota DPR yang masih kekanak-kanakan, pilpres yang tak pernah luber dan judil, petaka abadi lumpur Lapindo, dan masih banyak lagi. Kita mungkin diam-diam pula mengumpat dalam hati, sungguh sial hidup di sini!
Bagi masyarakat awam dan cenderung emosional, kebanyakan peristiwa yang telah disinggung di atas mungkin tak bisa dipahami sebagai kelucuan, terlebih dibuat lelucon. Apalagi jika narasi informasi yang diterimanya lebih bergaya ilmiah dan serius. Sebaliknya, dan ini tak banyak, bagi orang-orang yang memiliki sense of humor tinggi, peristiwa-peristiwa apapun yang mengiris hati akan selalu ditemukan celah komedinya. Lelucon ironis. Salah seorang macam ini ialah Bambang Haryanto, sang pencetus Hari Suporter Nasional, yang kembali menorehkan kecerdasan ‘analisa’ komedinya terhadap beberapa peristiwa politik dalam sebuah buku bertajuk Komedikus Erektus. Buku pertamanya Ledakan Tawa dari Afrika sampai dengan Rusia (USA, 1987), buku keduanya Ledakan Tawa dari Dunia Satwa (Andi, 1987).
Buku Komedikus Erektus menghimpun beberapa tulisan lelucon politik dengan cerdas, lugas, lucu, sekaligus membuat gemas pembaca. Kecerdasan yang dimaksud bukan karena gaya tulisannya mirip dengan cara analisa pada karya-karya ilmiah yang kerap berujung pada kesimpulan kaku. Kecerdasan ini lebih terasa karena kepandaian sang penulis dalam menemukan lelucon-lelucon ironis di balik peristiwa-peristiwa politik nyata sehari-hari, yang anehnya kerap dianggap sebagai tindakan sakral, mulia, dan heroik bagi penggagas dan pendukung fanatiknya.
Kecerdasan lelucon-lelucon itu diperkuat pula oleh gaya penulisannya yang lugas dan tak terjebak pada stereotip komedi ‘kacangan’. Pun terasa aktual di setiap ruang dan waktu. Alhasil, lelucon-lelucon yang ditampilkan tak sekadar membuat pembaca tersenyum simpul atau bahkan tergelak, melainkan mampu mengusik sudut pandang berpikir kita (sang pembaca) yang masih terbiasa sempit atau mapan (jika tak ingin dikatakan bebal). Salah satu contoh dapat dibaca pada Bab VI dengan subjudul “SBY: 9 Desember 2009 dan Singa” (hal: 47-48).
Tanggal tersebut mengacu pada gerakan moral peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia. Saat itu Andi Mallarangeng, orang dekat Presiden SBY, meluncurkan ‘mantra’ tentang ancaman penumpang gelap yang hendak memicu huru-hara di negeri ini. ‘Mantra’ itu tentu memiliki tendensi agar publik lebih percaya kepada kekuasaan dan kepemimpinan SBY yang baru terpilih lagi sebagai presiden. Ironisnya, menurut ‘analisa’ komedi Bambang, kata-kata ‘mantra’ Mallarangeng yang mestinya bernilai tinggi itu akhirnya kempis tak bertuah (tak seperti mantra-mantra Soeharto yang selalu bertuah karena sukses mencap komunis kepada setiap lawan politiknya) mengingat masyarakat terlanjur dikecewakan oleh pernyataan-pernyataan SBY sebelumnya yang nihil bukti.
Masyarakat masih ingat, pada saat bom Kuningan meledak (17/7/2009), SBY buru-buru tampil dengan seting dramatik dan menyatakan bahwa gerakan tersebut untuk menggajal dirinya dilantik jadi presiden. Nyatanya, peristiwa tersebut tak ada kaitan sama sekali. Ia juga meyakinkan bahwa akan ada gerakan massa yang hendak menduduki kantor KPU. Faktanya, tak pula berbukti! Satu-satunya bukti yang dapat dipercaya adalah semua itu hanya dagelan politik!
Isi macam demikian menghiasi semua tulisan dalam buku yang terbagi dalam 28 bab ini. Setiap bab-nya menyajikan ‘analisa’ serta lelucon yang segar dan variatif. Tak begitu jelas, memang, alasan pembagian atau dasar perbedaan tema dalam setiap bab-nya, namun pembaca tak perlu khawatir akan terusik kenikmatannya pada lelucon-lelucon politik yang terhimpun pada buku yang dipuji oleh berbagai tokoh yang masih “waras” macam Jaya Suprana, Wimar Witoelar, Effendi Ghazali, dan Budiarto Shambazy ini.
Kesegaran lainnya, tak semua bahan lelucon yang diracik Bambang ini lahir dari peristiwa politik di dalam negeri. Di samping itu, lelucon-lelucon politik dalam negerinya juga dikemas baik oleh Bambang dengan ‘metode’ komparasi yang apik terhadap peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh populer di luar negeri baik yang murni beraroma politik maupun tidak, seperti tertuang pada tulisan bertajuk “Bir Obama, Polisi Korup, dan Ketegasan SBY Kita”, “Naisbitt and It’s A Comedy, Stupid!”, “Pilpres 2009: The Good, The Bad, and The Ugly”, “Lagu Michael Jackson dan Inspirasi Pilpres 2009”, dan “General Election 2009’s Guffaw”. Masih banyak yang lainnya.
Lelucon-lelucon yang diracik oleh lelaki yang pernah gagal ikut lomba Audisi Pelawak TPI-4 ini memang memiliki kekhasan tersendiri, khususnya di ranah komedi Indonesia. Pada semua tulisan Bambang ini tak akan ditemukan sedikit pun lelucon umum yang kerap (kecanduan) mengeksploitasi ‘laku’ kekerasan atau cemoohan fisik tokoh-tokohnya seperti pada lawakan-lawakan yang ditayangkan oleh stasiun televisi swasta kita. Isi tulisan dalam buku ini pun tak lahir dari kekosongan budaya. Racikan lelucon Bambang betul-betul terinspirasi dari peristiwa politik yang faktual dan diksi bahasanya tak lantas jatuh pada narasi sarkastik seperti yang kerap ‘muncrat’ dari mulut para komentator politik pada umumnya.
Kiranya, masyarakat yang terlanjur ‘alergi’ pada wacana politik pun, ketika membaca buku ini, akan dapat menikmatinya dengan tetap sentosa. Nilai plus lainnya, pada setiap tulisan disertakan pula ilustrasi kartun yang dapat memudahkan pembaca mengikat inti pesan yang hendak disampaikan sang penulis.
Pada akhirnya, buku ini tak hanya mengungkap lelucon-lelucon yang (kerap samar) hadir di balik setiap peristiwa politik, melainkan pula menguji dan menambah sense of critic setiap pembacanya agar selalu ‘waspada’ terhadap wacana-wacana indah, manis, dan tak jarang bombastis yang kerap dilontarkan, dipajang, atau ditayangkan para ‘politikus’ (apapun level dan sebutannya) melalui beragam media yang ada.
Menjaga kesadaran atau kewarasan diri tak harus selalu didapat dengan cara mengkonsumsi bacaan-bacaan yang analitis-ilmiah. Seperti kata Gus Dur, daya humor dapat membuat hati bahagia dan menyehatkan pikiran.*