Kamis, 02 Juni 2011

Segumpal Sajak Religi Lahiran 2006


muallaf satu


siapa subhan?
tiba-tiba mesti dilahirkan
siapa pula tuhan?
tiba-tiba mesti dibutuhkan
aku terus bertanya, kawan
sebab tak puas satu jawaban

/bandung, 2006



muallaf dua

tuhan ada di mulutku
fasih tanpa ragu
tuhan ada di hatiku
risi namun juga kaku
kelak, di manakah rumahku
setelah dunia jadi debu?

/bandung, 2006



di kloset

tuhan, aku menemukanmu di kloset
di lantai paling bawah sebuah supermarket
betapa bersih dan wangi
meski dikotori setiap hari

/bandung, 2006



situs keyakinan
--maulana hasanuddin

menara masjid itu
masih menjulang
mengerdilkan keraguanku
untuk meraih bintang

/bandung, 2006



dari alif sampai ya

dari alif, sekat-sekat ruangku
terbuka ke laut zikir
hingga bertemu ya, semua waktuku
terjaga pantai yang tahir

/bandung, 2006



jauh dari ka’bah

ke mana kaki melangkah
ke sana berpaling wajah
dan di atas sajadah
kiranya rindu terkirim sudah

/bandung, 2006



tuhan siapa

katakan, tuhan siapa yang gemar mengangkat senjata
manakala perselisihan anjing dan kucing terus meruncing
katakan, aku telah lama bersedia menjadi sasarannya
meski setiap negosiasi berakhir gagal di lapang runding
katakan, saudaraku, biar kutukar dengan nyawaku!

/bandung, 2006



bismillāh

aku menghirup hawa semesta
lengkap serta aroma duka
tiada keluh mengembus kesah
hingga usia dipisah jatah

/bandung, 2006



rumi kecil
- a. gymnastiar

di kotamu, jauh dari turki
rumi-rumi kecil terus menari
di tengah jalan yang tak pernah sepi
dan menantang garang matahari
mencari tuhan yang tersembunyi

/bandung, 2006



menghitung zikir tanpa pikir

33 zikir segala suci
33 zikir segala puji
33 zikir segala raya
1 cinta sujud hamba

/bandung, 2006



Sajak-sajak lama. Lahiran 2006. Kiranya masih berkenan dibaca zaman.

'Che Guevara' WN Argentina Perang di Libya

Piaggesi adalah seorang guru. Tapi kini ia bergabung dengan pasukan oposisi Libya.

Sejatinya Jose Emmanuel Piaggesi adalah seorang guru, ia berasal dari Argentina. Namun, kini dia berada di tengah pertempuran di Libya, hidup dikelilingi bunyi rentetan senjata.

Dari seorang pengajar, pria 23 tahun itu kini menjual buku-buku, demi mendapatkan peluru. Untuk apa ia jauh-jauh datang ke Libya? Dengan tegas, Piaggesi menjawab, ia siap mengorbankan nyawanya dalam pertempuran untuk menyingkirkan diktator Libya yang telah berkuasa selama 42 tahun, Moammar Khadafi. Meski, perang Libya tak populer bagi golongan kiri di Amerika Latin.

Alasan lainnya, ia mengaku terinspirasi Che Guevara.

"Saya mengundang mereka untuk melihat lebih dekat situasi di sini, siapa yang bertempur dan mengapa mereka berperang," kata Piaggesi seperti dimuat CNN, 1 Juni 2011. "Ia (Che Guevara) akan mengatakan, ini demi kemerdekan, bukan untuk NATO atau siapapun, hanya demi kebebasan."

Jose Emmanuel Piaggesi mengatakan dia bangga menjadi bagian dari sebuah perjuangan udemi sebuah revolusi baru. Tetapi ia mencatat, banyak telah jatuh, tewas.

"Saya pikir ini soal keberuntungan menghindari peluru. Dan jika memang itu saatnya giliran Anda, Anda tak akan bisa menghindar."

Meski masih mengaku sebagai guru, ia tak berencana kembali mengajar dalam waktu dekat. Setelah berbicara dengan CNN, ia kembali ke posnya di medan perang Libya, memenuhi janjinya untuk terus tinggal -- sampai Khadafi terguling dari kekuasaan.

Kisah Piaggesi berperangan bersama oposisi Libya telah menarik perhatian publik Argentina.

Ayahnya, Pablo Piaggesi kepada media setempat, Perfil, bahwa ia tak terkejut putranya itu memilih jalan tak lazim itu. "Ia adalah pria yang suka membantu dan tak tertarik dengan uang. Anakku seseorang yang luar biasa, sangat berbakat. Ia bisa bicara empat bahasa. Ia bahkan bisa Bahasa Arab dengan cara belajar dari internet selama dua bulan," kata dia.

Ditambahkan dia, anaknya itu sejak lama mengagumi Che Guevara dan baru-baru ini mengunjungi museum yang didirikan untuk menghormati tokoh revolusi Argentina itu. (sj)


Sumber: VIVAnews.com, Kamis, 2Juni 2011

Terjebak di Sekolah?

Oleh Badui U Subhan


Sekolah manakah yang lebih baik: negeri atau swasta?

Pertanyaan di atas, sejatinya, tidak akan pernah cukup dijawab dengan hanya memilih salah satu dari dua pilihan yang disediakan. Sebab memilih sekolah tidak sama dengan memilih jawaban A, B, C, atau D layaknya seorang peserta didik saat menjawab soal-soal Ujian Nasional. Kiranya, ketepatan jawaban dari pertanyaan di atas hanya akan dapat ditemukan setelah kita benar-benar paham (bukan sekadar tahu) filosofi pendidikan dan pendidikan yang berkualitas.

Pentingnya pendidikan
Di kalangan umum sekolah kerap disamakan maknanya dengan pendidikan. Pemaknaan stereotip macam demikian, memang, tidak sepenuhnya salah. Barangkali, karena muara dari hasil proses keduanya adalah membayangkan tercapainya sebuah idealisme atau nilai-nilai positif pada sang peserta didik. Nilai-nilai tersebut dapat berupa kemampuan akademik maupun kemampuan diri. Namun demikian, ada sedikit perbedaan yang cukup signifikan untuk diurai lebih jelas.

Hingga era sekarang sekolah, mau tidak mau, lebih mengacu pada sebuah pemaknaan yang terbatas. Ruang, waktu, dan daya kerjanya limitatif. Keterbatasan itu memang tidak mengada-ada. Keterbatasan tersebut merupakan konsekuensi logis dari perlunya pembagian tugas kependidikan yang amat luas jangkauannya. Sekolah hanya sebuah institusi kecil yang mencoba membantu tugas kependidikan di ranah utama yakni, keluarga dan masyarakat luas. Dengan demikian sekolah bukanlah pemegang penuh tanggung jawab atas baik atau buruknya kualitas nilai peserta didik.

Berlainan dengan sekolah, makna pendidikan tidak pernah mengenal batasan ruang dan waktu. Ia adalah proses penemuan nilai-nilai (akademis maupun kemampuan diri) yang dicari sendiri atau diajarkan oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Pendidikan bukanlah kata benda. Ia bukan institusi. Sebab itu, makna pendidikan tidak pernah memerintahkan atau menunjukkan isyarat bahwa setiap manusia wajib belajar di ruang-ruang kelas semata yang mengandaikan adanya guru untuk mencekoki peserta didiknya dengan berlembar-lembar teori. Itu pikiran usang dan naif.

Pendidikan adalah napas di setiap aktifitas kehidupan. Semua aspek dalam kehidupan mestilah dijadikan arena pergulatan pendidikan mulai dari lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat luas secara utuh dan bulat. Jika salah satu komponen itu abai atau rumpang maka cita-cita pendidikan tidak akan berhasil dengan baik.

Berdasarkan penjelasan di atas, ternyata pendidikan merupakan kata kunci yang mesti dibedah lebih lanjut. Salah satu implikasi pentingnya, kita mesti menemukan dan memahami cara mendidik yang baik dan berkualitas. Sebab pada dasarnya manusia bukan perlu pendidikan yang setinggi-tingginya melainkan perlu pendidikan berkualitas, yang berorientasi membentuk peserta didiknya menjadi subjek yang berperan bagi dirinya dan orang lain.

Pendidikan macam ini dituntut untuk mengembangkan keutuhan peserta didik agar mampu mengoptimalkan dan memanfaatkan semua kemampuannya baik aspek intelektual maupun emosional sesuai kebutuhan utama dan tuntutan zamannya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya semua komponen (keluarga, sekolah, dan masyarakat luas) menyadari, bahu-membahu, dan bertanggung jawab untuk terus mewujudkan serta merawat idealisme tersebut.

Negeri atau swasta?
Daniel Goleman dalam bukunya yang bertajuk Emotional Intellegences menyatakan, IQ hanya menyumbangkan 20% dari kesuksesan seseorang. Sedangkan sisanya ditentukan oleh faktor intelektual dan emosional. Artinya, pendidikan yang berkualitas tidak pernah berangkat dari persepsi bahwa setiap peserta didik mesti kuat atau banyak menghapal.

Sejujurnya, hapalan itu penting namun ia bukanlah segala-galanya. Peserta didik perlu pula menguasai keahlian-keahlian lain yang berhubungan dengan kemampuan mendengar, bicara, menulis, dan melakukan. Peserta didik yang hanya mampu menghapal dan miskin kreatifitas tidak ubahnya dengan kerbau yang dicokok hidungnya. Kiranya kita sepakat bahwa kelak setiap peserta didik tidak ingin terjerumus pada mental plagiat!

Apalah guna belajar di sekolah negeri yang lengkap fasilitasnya namun ujung-ujungnya (sadar atau tidak) menjerumuskan peserta didik untuk berpikir kerdil, misalnya. Atau apalah guna belajar di sekolah swasta yang megah dan mahal namun akhirnya membuat peserta didik bertambah ria dan congkak. Betapa terang, kualitas super sebuah sekolah sejatinya bukan semata karena kemegahan bangunan dan kelengkapan fasilitas belajarnya, melainkan dari berbagai unsur dan aspek intrinsik dan ekstrinsik kependidikan yang dirancang jelas dan detil demi mendorong para peserta didik agar mampu mengeksplorasi seluruh kemampuannya.

Ringkasnya, dari seluruh penjelasan ini, jika ditarik benang merahnya ke pertanyaan inti di atas, kiranya dapat menyelamatkan kita dari jebakan dua pilihan yang kurang cerdas tersebut. Wacana oposisi biner antara kepentingan memilih sekolah negeri atau swasta di era kini sudah tidak layak diperdebatkan lagi. Jadi, yang paling penting untuk dipertimbangkan dalam memilih sekolah adalah sekolah manakah yang memiliki (terlebih, telah menjalankan) konsep pendidikan yang benar-benar visioner dan memanusiakan penyelenggara pendidikan tersebut serta peserta didiknya.

Depok, 2011