Oleh Badui U. Subhan
Belum lama ini tersiar sebuah
kabar agak kurang sedap yang bersumber dari badan kesehatan dunia WHO. Lembaga
tersebut menyatakan bahwa Indonesia adalah negara ketiga terjorok di dunia
setelah India dan Cina. Secara umum, mungkin rakyat Indonesia kebanyakan akan cuek dengan pemeringkatan tersebut,
sebab yang paling bertanggung jawab sekaligus malu menerima predikat tersebut
bukan seluruh rakyat Indonesia melainkan segenap aparatur pemerintah.
Meskipun kita tidak tahu persis
bagaimana mekanisme survey dan penjurian tersebut dilakukan, rasanya tidak
berlebihan jika kita bersepakat bahwa pasti salah satu tempat penting yang
menjadi lokasi survey adalah wilayah ibukota negara, dalam konteks Indonesia
tentunya Jakarta. Sebab ibukota negara merupakan cerminan dari keseluruhan
denyut kehidupan sebuah negara, baik dalam hal kebersihan, keamanan, ekonomi,
politik maupun dinamika budayanya.
Jakarta adalah halaman depan
Indonesia. Meskipun tidak semua, rakyat pribumi atau jutaan mata di dunia tentu
akan memulai penilaian terhadap Indonesia dari sini. Dalam konteks yang lebih
luas dari sekadar wilayah geografi, Jakarta bukan hanya secupak tanah pasif yang
dihuni oleh jutaan manusia melainkan sebuah wilayah metropolis, dinamis, dan
sangat politis. Keberadaan, posisi, dan perannya memang memiliki makna yang
amat penting bagi bangsa Indonesia dan bangsa lain dalam segala bidang. Sebab
itu, segala sesuatu yang terjadi di Jakarta akan selalu memberi dampak dan
pertimbangan bagi bangsa sendiri maupun bangsa-bangsa lain.
Sehubungan dengan hal tersebut,
Jakarta selalu diharapkan menjadi wilayah yang terlihat sempurna dalam segala
pengelolaan dan perannnya. Tentu, bukan hanya sebatas citra, melainkan mesti benar-benar
sesuai dengan angan-angan rakyat Indonesia: bersih, aman, beradab, dan
seterusnya.
Celakanya, hingga kini
angan-angan rakyat Indonesia terhadap Jakarta yang diidealkan belum juga
mewujud. Kian kemari, semenjak bangsa ini merdeka dari cengkraman bangsa
kolonial, Jakarta malah menjadi wilayah yang berangsur-angsur amburadul dan mengerikan.
Beberapa persoalan Jakarta macam pengelolaan urbanisasi, pendidikan,
pengangguran/kemiskinan, banjir, sampah, transportasi, premanisme, polusi, dan
lain-lain masih menjadi pe-er yang berlarut-larut di setiap gubernur yang
memimpinnya.
Persoalan-persoalan
Jakarta
Kita tahu, berbagai pembangunan
yang dilakukan di kota yang dahulu bernama Batavia ini memang pesat, namun
ternyata tidak selalu seimbang dengan penyediaan sarana dan prasarana pelayanan
umum untuk penduduknya. Penduduk Jakarta bukan hanya sekelompok orang yang
kerap disebut sebagai masyarakat Betawi, melainkan masyarakat pendatang dari
berbagai belahan nusantara. Sebab itu, persoalan urbanisasi selalu menjadi
masalah yang tidak ada habisnya bagi Jakarta. Bagaimana tidak, karena setiap
waktu Jakarta selalu dimitoskan sebagai kota modern yang di dalamnya tersedia
mimpi-mimpi indah yang mudah diraih. Tak heran jika kemudian selalu banyak
pendatang dari berbagai daerah untuk mengundi nasib di sini.
Mungkin, persoalan urbanisasi
di Jakarta tidak bisa dicegah. Namun demikian bukan berarti tidak bisa
dibenahi. Jika Pemprov DKI Jakarta tidak (segera) berbenah dengan perhitungan
yang tepat dan melakukan antisipasi-antispasi secara jitu dengan persoalan ini,
tak ayal kehidupan Jakarta akan kian semrawut
dan terus bermasalah.
Kenyataannya, Jakarta kini
memang sesak. Tidak hanya itu, Jakarta juga terlihat lusuh, rombeng, gamang,
dan selalu rawan. Dari hari ke hari kepadatan pendudukanya semakin tidak
terkendali. Akibatnya, karena sistem penanggulangannya selalu tidak tuntas dan
kinerja pengelolaannya tidak optimal, angka pengangguran di Jakarta semakin
tahun semakin tinggi. Faktanya, dengan gamblang kita dapat menyaksikan di
setiap jengkal tanah Jakarta begitu banyak masyarakat miskin tak terkelola.
Banyaknya jumlah pengangguran
dan masyarakat miskin kota yang tidak berdaya ini tidak bisa –bahkan tidak
boleh—dianggap sepele. Terlepas dari mana asal daerah mereka sebelumnya,
Pemprov DKI Jakarta memiliki tanggung jawab penuh untuk membereskan persoalan
tersebut secara tuntas. Sebab, jika tidak, mereka (para pengangguran dan
masyarakat miskin kota) sangat berpotensi untuk mudah terjerumus pada
tindakan-tindakan kriminal yang akhirnya membuat citra Jakarta, baik sebagai
otonom atau sebagai halaman Indonesia, tercoreng.
Tidak hanya itu, jika ledakan
penduduk ini tidak bisa diatasi dengan tepat maka masalah ikutan lainnya juga
segera muncul, misalnya soal kepemilikan tanah, soal permukiman liar, soal
sampah, dan soal premanisme.
Dengan demikian, persoalan
urbanisasi ke Jakarta bukanlah persoalan kecil. Betapa keliru pula jika kita serta
merta menyalahkan para pendatang. Mereka datang ke Jakarta bukan hanya karena
adanya faktor ketimpangan ekonomi di daerahnya jika dibandingkan dengan Jakarta
melainkan karena adanya pergeseran pemanfaatan tenaga kerja yang awalnya
produktif di sektor pertanian kemudian berubah ke sektor industri.
Oleh sebab itu, terkait
urbanisasi ini, Pemprov DKI Jakarta diharapkan lebih ketat lagi dalam upaya pengendaliannya,
baik yang bersifat eksternal maupun internal. Untuk upaya yang bersifat
eksternal, selain intensif mengadakan operasi yustisia dan tindakan-tindakan
penerangan atau pembinaan, penting pula membangun komunikasi yang intensif dan
produktif dengan pemerintah daerah di luar Jakarta.
Sedangkan untuk upaya internal,
Pemprov DKI Jakarta diharapkan lebih ketat lagi dalam mengontrol ruang-ruang publik
yang potensial disalahgunakan menjadi permukiman ilegal seperti taman-taman
kota, sepanjang bantaran sungai, kolong-kolong jembatan, atau jalur pedestrian.
Persoalan kemacetan dan ketiadaan
angkutan publik yang efektif dan nyaman juga masih menjadi pe-er Jakarta yang belum
terpecahkan. Tentu saja, bagi penduduk Jakarta kini, sarana angkutan publik yang
efektif dan nyaman adalah kebutuhan yang amat penting dan selalu mendesak.
Memang, Pemprov DKI Jakarta
telah mencoba memecahkan persoalan ini dengan membangun jalan layang dan menambah
fasilitas bis transjakarta, namun
kenyataannya di lapangan masih tetap belum memuaskan. Sebab, sejatinya, dalam
upaya mengurangi atau mengatasi kemacetan di Jakarta bukan hanya memperbanyak dua
hal tadi, melainkan perlu juga kebijakan yang tegas untuk mengandangkan
angkutan publik yang sudah tidak layak pakai.
Selebihnya, perlu juga
disegerakan terwujudnya angkutan publik yang humanis/beradab, terpadu, dan
dapat diandalkan dalam hal ketepatan waktunya, baik saat kedatangan atau keberangkatan
maupun kesampaiannya di tempat akhir trayek. Kiranya, perlu juga
dipertimbangkan opini-opini publik yang intinya menginginkan jalan-jalan raya di
Jakarta sudah tidak perlu lagi dilalui angkutan kota (angkot), melainkan cukup
dengan bis-bis patas (cepat dan terbatas) layaknya bis-bis yang beroperasi di
kota-kota besar di negara-negara yang sudah lebih maju.
Penyelesaian
Selain yang telah disebutkan di
atas, tentu masih banyak persoalan Jakarta yang harus dibenahi seperti persoalan
pendidikan, air bersih, banjir, dan segala hal yang berpaut dengan urusan tata
ruang.
Semua persoalan tersebut sangat
penting dan perlu segera ditangani. Oleh
karena itu, diperlukan beberapa hal atau upaya yang mendukung agar Jakarta
berubah ke arah yang lebih baik. Upaya-upaya tersebut antara lain adanya pemimpin
yang tegas, visioner, dan selalu memanusiakan penduduknya. Pemimpin macam ini
ialah pemimpin tidak pernah silau oleh iming-iming fulus dari para konglomerat hitam dan tamak, tidak mudah goyah
diombang-ambing politik busuk, dan cepat tanggap dengan persoalan-persoalan
yang terjadi di masyarakat.
Selain itu, perlu juga
disiapkan aturan hukum yang jelas dan tegas disertai solusinya yang betul-betul
mendidik bagi pemimpin dan masyarakat yang melanggar hukum. Dalam konteks ini,
hukum bukan hanya berlaku setelah adanya pelanggaran, melainkan perlu
dipersiapkan dan disediakan pula perangkat hukum (baik SDM maupun kebijakan-kebijakannya)
yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya pelanggaran hukum. Di sinilah
pentingnya pemimpin yang visioner, tidak narsis, dan pantang mengeluh.
Akhir kalam, di samping sangat perlunya
pemimpin Jakarta yang betul-betul hebat dan layak diteladani, yang tak kalah
penting adalah selalu tumbuh kesadaran pada setiap penduduknya untuk selalu siap
menjaga kota kehidupannya tersebut dari tindakan-tindakan yang tidak beradab.
Selamat ulang tahun, Jakarta!