Oleh Achmad M. Akung
Menyimak rangkuman Jajak Pendapat Kompas bertajuk "Sulitnya Mengendalikan Pengeluaran Saat Ramadhan", ada banyak hal yang semestinya menjadi catatan khusus untuk kita. Terlepas dari kemungkinan eror yang wajar ada dalam setiap desain penelitian, serta statement Kompas bahwa hasil jajak pendapat ini memang tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh populasi, hasil ini tetap menarik untuk dikaji dan dicermati.
Terlebih apabila kita menjumbuhkannya dengan syariah dan hikmah ibadah puasa bulan Ramadhan.
Pola makan umat Islam yang dalam bulan Ramadhan ini diubah dan dipersempit waktunya, hanya dari terbenam matahari hingga terbit fajar, nyatanya memang tidak berbanding lurus dengan turunnya angka belanja dan pengeluaran.
Faktanya justru 65,62 persen responden menyatakan bahwa selama Ramadhan pengeluaran justru menjadi semakin banyak. Sebanyak 27,30 persen menyatakan bahwa pengeluaran mereka tetap, sedangkan sisanya, hanya 6,56 persen yang mengungkapkan bahwa pengeluaran mereka menjadi lebih kecil.
Membaca hasil jajak pendapat ini, penulis menjadi teringat sebuah guyon parikena para ibu rumah tangga tentang kewajiban "menunaikan" ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Awalnya, memang tidak ada yang aneh pada diksi "menunaikan". Akan tetapi, apabila diksi ini kita penggal di tengah, sehingga terbaca sebagai "menu-naikkan", guyon parikena ini menjadi jumbuh dengan jajak pendapat Kompas. Bahwa selama Ramadhan para ibu rumah tangga lazimnya memang "menaikkan-menu" Ramadhan, yang berimbas pada membengkaknya angka belanja harian.
Sebagian memang karena memandang bulan Ramadhan sebagai bulan yang istimewa sehingga perlu disambut dengan istimewa, termasuk menu yang juga istimewa. Pola makan yang hanya dua kali sehari, yaitu saat sahur dan buka, juga menjadi alasan untuk sedikit memanjakan selera makan. Kalau hari-hari biasa jarang dikenal takjil, namun di saat Ramadhan rangkaian makanan pembuka bernama takjil, seperti kolak, es cendol, sup buah, setup, es blewah, es kelapa muda, hingga gorengan, seolah menjadi fardhu ain (keharusan) yang tersedia saat menjelang buka puasa.
Pengendalian diri
Secara syar'i memang tidak ada larangan untuk mengistimewakan menu bulan puasa, sepanjang masih berada dalam batas tidak berlebihan. Namun, puasa sesungguhnya merupakan sebuah pelatihan untuk melindungi diri kita melalui sebuah mekanisme, yang dalam bahasa psikologi disebut dengan kendali diri.
Pengendalian diri dalam alam pikir, alam perasaan, dan perilaku, termasuk pengendalian diri terhadap syahwat duniawi seperti makan minum yang berlebihan, semestinya diejawantahkan dalam setiap gerak kehidupan, bukan sekadar kala kita berpuasa. Seberapa besar kendali diri atas diri kita masing-masing selama berpuas itulah yang akan menentukan kualitas puasa yang kita jalani. Tanpa mekanisme kontrol diri dalam mengarahkan segenap perilaku, pikiran, dan perasaan, tampaknya kita tidak akan beroleh apa-apa dari "ibadah puasa" yang kita lakukan.
Ada sebuah kekhawatiran yang lantas mengemuka, jangan-jangan kita telah berlebihan dalam membelanjakan harta untuk menaikkan menu hingga menjurus pada konsumerisme yang berlebihan dan melupakan religiositas sosial kita. Kondisi ini jelas berbeda dengan hikmah yang hendak dicapai melalui ibadah puasa. Bahwa puasa adalah sebuah laku prihatin untuk mengantarkan kita menjadi pribadi yang bertakwa, yang saleh secara transendental maupun saleh sosial.
Secara umum, kita biasa menyebut pribadi yang bertakwa sebagai orang yang saleh atau religius. Dalam perspektif psikologi agama, ketakwaan adalah sebuah parameter atau indikator dari religiositas seseorang. Semakin religius individu, maka akan tampillah ia sebagai sosok yang semakin saleh dan dekat dengan Tuhan dalam hidup kesehariannya. Mereka yang saleh adalah mereka yang cerdas dalam membangun hubungan baik dengan Tuhannya (hablumminallah), dengan sesama manusia (hablumminannas), dan seluruh makhluk yang menghuni alam raya ini.
Puasa ibaratnya adalah sebuah training, umat Muslim diajak untuk mengalami sendiri (self experience) rasa lemah, letih, lesu, dan loyo yang disebabkan karena suplai makanan yang dengan sengaja dikurangi. Bagi sementara saudara kita yang didera kemiskinan dan diimpit beban kehidupan yang teramat sangat, barangkali kondisi yang serba tidak mengenakkan itu adalah fakta kehidupan yang mau tidak mau harus ditempuhi. Kesengajaan mereka untuk mengurangi makanan barangkali pula adalah sebuah keterpaksaan karena kemiskinan telah mengajarkan kepada mereka untuk terbiasa bertahan hidup (survive) dalam kekurangan.
Melalui pembelajaran langsung betapa beratnya menahan lapar dan dahaga sebagaimana yang dialami sementara kita yang tidak berpunya, sejatinya kita tengah diajak untuk belajar memahami serta menyelami perasaan, dan situasi yang dialami orang miskin. Dalam bahasa psikologi, sejatinya melalui puasa kita tengah diajak untuk berempati (empathy).
Empati yang berarti feeling into berbeda dengan simpati (feeling for). Simpati sekadar mengajarkan kepada kita untuk ikut merasakan kesedihan atau penderitaan orang lain. Empati dalam perspektif psikologis merupakan respons emosional dan kognitif yang jauh lebih mendalam. Empati adalah sebuah pengambilan perspektif (perspective taking) untuk mencoba memahami orang lain dari sudut pandang orang lain yang menjadi obyek empati.
Syariah puasa sesungguhnya membawa hikmah yang luar biasa, sayangnya justru umat Islam sendiri yang sering kali mendekonstruksi syariat tersebut sehingga gagal beroleh lautan hikmah darinya. Alih- alih menjaga diri dari makan, minum, dan syahwat dunia yang berlebihan, tetapi kita justru jor-joran memperturutkannya.
Di tengah pusaran konsumerisme yang kita ciptakan sendiri, mungkin tidak lagi layak bagi kita untuk tetap berharap mampu membumikan makna riyadhah dan laku prihatin puasa dalam kehidupan. Namun, sejatinya kita tetap berharap menjadi pribadi-pribadi bertakwa yang mampu beranjak dari keterpurukan akibat kerakusan akan syahwat dunia.
Achmad M. Akung Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
Menyimak rangkuman Jajak Pendapat Kompas bertajuk "Sulitnya Mengendalikan Pengeluaran Saat Ramadhan", ada banyak hal yang semestinya menjadi catatan khusus untuk kita. Terlepas dari kemungkinan eror yang wajar ada dalam setiap desain penelitian, serta statement Kompas bahwa hasil jajak pendapat ini memang tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh populasi, hasil ini tetap menarik untuk dikaji dan dicermati.
Terlebih apabila kita menjumbuhkannya dengan syariah dan hikmah ibadah puasa bulan Ramadhan.
Pola makan umat Islam yang dalam bulan Ramadhan ini diubah dan dipersempit waktunya, hanya dari terbenam matahari hingga terbit fajar, nyatanya memang tidak berbanding lurus dengan turunnya angka belanja dan pengeluaran.
Faktanya justru 65,62 persen responden menyatakan bahwa selama Ramadhan pengeluaran justru menjadi semakin banyak. Sebanyak 27,30 persen menyatakan bahwa pengeluaran mereka tetap, sedangkan sisanya, hanya 6,56 persen yang mengungkapkan bahwa pengeluaran mereka menjadi lebih kecil.
Membaca hasil jajak pendapat ini, penulis menjadi teringat sebuah guyon parikena para ibu rumah tangga tentang kewajiban "menunaikan" ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Awalnya, memang tidak ada yang aneh pada diksi "menunaikan". Akan tetapi, apabila diksi ini kita penggal di tengah, sehingga terbaca sebagai "menu-naikkan", guyon parikena ini menjadi jumbuh dengan jajak pendapat Kompas. Bahwa selama Ramadhan para ibu rumah tangga lazimnya memang "menaikkan-menu" Ramadhan, yang berimbas pada membengkaknya angka belanja harian.
Sebagian memang karena memandang bulan Ramadhan sebagai bulan yang istimewa sehingga perlu disambut dengan istimewa, termasuk menu yang juga istimewa. Pola makan yang hanya dua kali sehari, yaitu saat sahur dan buka, juga menjadi alasan untuk sedikit memanjakan selera makan. Kalau hari-hari biasa jarang dikenal takjil, namun di saat Ramadhan rangkaian makanan pembuka bernama takjil, seperti kolak, es cendol, sup buah, setup, es blewah, es kelapa muda, hingga gorengan, seolah menjadi fardhu ain (keharusan) yang tersedia saat menjelang buka puasa.
Pengendalian diri
Secara syar'i memang tidak ada larangan untuk mengistimewakan menu bulan puasa, sepanjang masih berada dalam batas tidak berlebihan. Namun, puasa sesungguhnya merupakan sebuah pelatihan untuk melindungi diri kita melalui sebuah mekanisme, yang dalam bahasa psikologi disebut dengan kendali diri.
Pengendalian diri dalam alam pikir, alam perasaan, dan perilaku, termasuk pengendalian diri terhadap syahwat duniawi seperti makan minum yang berlebihan, semestinya diejawantahkan dalam setiap gerak kehidupan, bukan sekadar kala kita berpuasa. Seberapa besar kendali diri atas diri kita masing-masing selama berpuas itulah yang akan menentukan kualitas puasa yang kita jalani. Tanpa mekanisme kontrol diri dalam mengarahkan segenap perilaku, pikiran, dan perasaan, tampaknya kita tidak akan beroleh apa-apa dari "ibadah puasa" yang kita lakukan.
Ada sebuah kekhawatiran yang lantas mengemuka, jangan-jangan kita telah berlebihan dalam membelanjakan harta untuk menaikkan menu hingga menjurus pada konsumerisme yang berlebihan dan melupakan religiositas sosial kita. Kondisi ini jelas berbeda dengan hikmah yang hendak dicapai melalui ibadah puasa. Bahwa puasa adalah sebuah laku prihatin untuk mengantarkan kita menjadi pribadi yang bertakwa, yang saleh secara transendental maupun saleh sosial.
Secara umum, kita biasa menyebut pribadi yang bertakwa sebagai orang yang saleh atau religius. Dalam perspektif psikologi agama, ketakwaan adalah sebuah parameter atau indikator dari religiositas seseorang. Semakin religius individu, maka akan tampillah ia sebagai sosok yang semakin saleh dan dekat dengan Tuhan dalam hidup kesehariannya. Mereka yang saleh adalah mereka yang cerdas dalam membangun hubungan baik dengan Tuhannya (hablumminallah), dengan sesama manusia (hablumminannas), dan seluruh makhluk yang menghuni alam raya ini.
Puasa ibaratnya adalah sebuah training, umat Muslim diajak untuk mengalami sendiri (self experience) rasa lemah, letih, lesu, dan loyo yang disebabkan karena suplai makanan yang dengan sengaja dikurangi. Bagi sementara saudara kita yang didera kemiskinan dan diimpit beban kehidupan yang teramat sangat, barangkali kondisi yang serba tidak mengenakkan itu adalah fakta kehidupan yang mau tidak mau harus ditempuhi. Kesengajaan mereka untuk mengurangi makanan barangkali pula adalah sebuah keterpaksaan karena kemiskinan telah mengajarkan kepada mereka untuk terbiasa bertahan hidup (survive) dalam kekurangan.
Melalui pembelajaran langsung betapa beratnya menahan lapar dan dahaga sebagaimana yang dialami sementara kita yang tidak berpunya, sejatinya kita tengah diajak untuk belajar memahami serta menyelami perasaan, dan situasi yang dialami orang miskin. Dalam bahasa psikologi, sejatinya melalui puasa kita tengah diajak untuk berempati (empathy).
Empati yang berarti feeling into berbeda dengan simpati (feeling for). Simpati sekadar mengajarkan kepada kita untuk ikut merasakan kesedihan atau penderitaan orang lain. Empati dalam perspektif psikologis merupakan respons emosional dan kognitif yang jauh lebih mendalam. Empati adalah sebuah pengambilan perspektif (perspective taking) untuk mencoba memahami orang lain dari sudut pandang orang lain yang menjadi obyek empati.
Syariah puasa sesungguhnya membawa hikmah yang luar biasa, sayangnya justru umat Islam sendiri yang sering kali mendekonstruksi syariat tersebut sehingga gagal beroleh lautan hikmah darinya. Alih- alih menjaga diri dari makan, minum, dan syahwat dunia yang berlebihan, tetapi kita justru jor-joran memperturutkannya.
Di tengah pusaran konsumerisme yang kita ciptakan sendiri, mungkin tidak lagi layak bagi kita untuk tetap berharap mampu membumikan makna riyadhah dan laku prihatin puasa dalam kehidupan. Namun, sejatinya kita tetap berharap menjadi pribadi-pribadi bertakwa yang mampu beranjak dari keterpurukan akibat kerakusan akan syahwat dunia.
Achmad M. Akung Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar