Kamis, 13 November 2008

Natsir, Negarawan Santun Bertutur Kata

Oleh Agus Basri

Tokoh-tokoh seratusan, demikian sejarawan Taufik Abdullah—mungkin bercanda—mengistilahkan, menjadi amat bermakna tahun ini.

Ada seratus tahun Sutan Takdir Alisjahbana, Sutan Syahrir, Mohamad Roem, Hamka, dan seratus tahun Kebangkitan Nasional. Namun, yang penuh makna adalah seabad Mohd Natsir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Keputusan Presiden Nomor 041/TK/Tahun 2008, menetapkan Bung Tomo, KH A Halim, dan M Natsir sebagai pahlawan nasional.

Sosok M Natsir (1908-1993), Perdana Menteri Pertama NKRI tahun 1950 dan tokoh PRRI, sebenarnya sudah diajukan sebagai pahlawan nasional sejak 40 tahun lalu, semasa Mintardjo menjabat Menteri Sosial pada awal 1970-an. Dan, Keppres Presiden yang menetapkan Natsir sebagai pahlawan nasional saat genap 100 tahun merupakan kado istimewa. Ini sekaligus menepis pendapat yang menuduh pergolakan PRRI dan RPI sebagai pemberontakan.

Muara semuanya, tak lepas dari kerja keras Panitia Refleksi Seabad M Natsir (1908-2008), yang dipimpin Prof Dr Laode M Kamaluddin dan Lukman Hakim, Wakil Ketua Fraksi PPP DPR, dengan menempatkan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai Ketua Dewan Penasihat Panitia. Beratus ilmuwan menyumbangkan pikiran M Natsir dalam seminar di berbagai kota selama setahun dan mengudari bukti-bukti karakter dan kepribadiannya yang luar biasa toleran dan kesederhanaannya yang memukau, bahkan oleh lawan politiknya.

Santun
George McKahin dari Cornell University, misalnya, terkagum-kagum melihat Natsir, satu-satunya Menteri (Penerangan) yang mengenakan baju tambalan; selalu berbicara dengan tutur kata yang santun dan tertata; Ketua Partai Masyumi yang amat akrab—bahkan sampai ke hal-hal pribadi—dengan Ketua Partai Katolik IJ Kasimo. Natsir, seorang Perdana Menteri yang (dengan halus) menolak hadiah mobil Chevy Impala dari cukong; dan satu-satunya pejabat di pemerintahan yang pulang ke rumah dari istana membonceng sepeda onthel sopirnya selepas menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno.

Para sejarawan mencatat, tonggak- tonggak telah dipancangkan, pahatan dipatrikan, tanpa sesiapa pun bisa melupakan. Adalah kabinet M Natsir yang memperjuangkan Indonesia menjadi anggota PBB. Dia pula yang memahatkan politik luar negeri ”’bebas aktif’ ’sejak awal. Ini berbeda dari mengayuh di antara dua karangnya M Hatta yang lebih dekat pada politik luar negeri yang netral. Natsir pula yang menuktahkan kata kalimatun sawa, titik temu yang harus diraih oleh dan di tengah kemajemukan (umat, etnik, aliran, ras) atau kebinekaan Indonesia.

Kabinet Datuk Sinaro Panjang ini pula yang mematok kebijakan ekonomi dengan ”Program Benteng” yang menghasilkan konglomerat pribumi Hasjim Ning, Dasaat, Rahman Tamin, Ayub Rais, dan Achmad Bakri—yang terakhir adalah ayah Menko Kesra Aburizal Bakrie. Juga konsepsinya tentang negara berkesejahteraan dalam rangka pembangunan berkeadilan sosial. Kebijakan ekonomi yang diperuntukkan kepada mereka ”yang tidak diuntungkan” (rakyat kecil).

Namun, ”pergelaran” kekuatan Natsir—dan partai terbesarnya di parlemen, Masyumi—kukut alias ”turun layar (tancep)” setelah tak lagi harmonis dengan Presiden Soekarno terkait masalah Irian Barat (kini Papua), hanya lantaran sang Perdana Menteri mengajak para menteri ke istana berdebat dan membuat Bung Karno merah, Natsir mengistilahkan. Sejak itu, mudah diterka, kabinet Datuk Sinaro Panjang tak (lagi) berumur panjang.

Pada sebuah petang, dalam wawancara dengan saya, M Natsir—yang tampak seperti masih teriris-iris pada masa tuanya—mengingat-ingat saat dipermainkan dalam sidang-sidang parlemen yang tidak kuorum. ”Permainan di Parlemen yang menyebabkan (kabinet) saya jatuh…. Tidak fair itu. Maka, kabinet saya mengundurkan diri. Saya tak mau dipermainkan begitu,’’ katanya (Buku 100 tahun M. Natsir, Berdamai dengan Sejarah).

Tak berniat memberontak
Namun, Natsir terus melaju. Dengan kendaraan Masyumi, melalui parlemen, pejuang demokrat ini mengajukan konsep dasar negara Islam, seusai Pemilu 1955. Dan, kekuatan di belakangnya bergerak terayun seperti bandul, yang lantas seperti sengaja ”dibikin untuk dipatahkan” dengan kata vonis: deadlock. Serentet perjuangannya menjadi tersedak saat Presiden Soekarno membubarkan kabinet dan lengket dengan kekuatan komunis.

Inilah yang mengantarnya memberi perlawanan bahkan sampai pada bentuk pergolakan—ada yang menyebut pemberontakan—PRRI dan RPI. Sebuah perlawanan, yang menurut RZ Leirissa, dalam buku PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, ”… merupakan usaha untuk menggalang kesatuan di antara berbagai kelompok dalam bangsa Indonesia yang menolak konsepsi Presiden Soekarno dan pengaruh komunisme.”

Leirissa menyatakan, ”Dan PRRI sejak semula tidak ada niat untuk memberontak.” Namun, perlawanan itu kandas setelah Presiden Soekarno mengeluarkan amnesti. Sebuah langkah, yang tidak saja membuat Natsir turun gunung, tetapi juga menjelomprongkan dan menjebloskannya ke penjara tanpa ada pengadilan hingga dilepas oleh rezim Soeharto dengan syarat tak lagi boleh berpolitik praktis.

Senjata kala pada akhir hayatnya pada 7 Februari 1993 telah mengantar M Natsir menjadi lebih dikenal sebagai ulama, yang teduh, sebagai Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan Wakil Presiden Mu’tamar Alam Islami. Ini mengingatkan pada seorang Natsir yang menancapkan kata: ”Bagi saya, politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan. Seperti dua sisi dari keping mata uang yang sama. Kalau kita berdakwah dengan membaca Qur’an dan Hadits, itu berpolitik. Jadi, dulu berdakwah lewat politik, sekarang berpolitik melalui jalur dakwah…. Politik tanpa dakwah, hancur,” kata-kata yang dikutip banyak pejabat dan akademisi, tertatahkan pada buku hijau: Politik Melalui Jalur Dakwah, yang diterbitkan Panitia Seabad M Natsir, setengah tahun sebelum Presiden SBY menandatangani Keppres pahlawan nasional.

Dan, inilah sebuah gelar, yang tidak saja menuktahkan kenegarawanan seorang ulama intelektual, yang selalu memegang teguh amanah dengan tingkat toleransi tinggi, memahatkan kalimatun sawa’, sekaligus—dengan gelar itu—membuktikan dan membantah sementara orang yang menyebut PRRI sebagai pemberontakan.

Lebih dari itu. Pelajaran di sekolah, yang selama ini menyebut PRRI sebagai ”pemberontakan” seharusnya segera dihapus dan digantikan dengan kata ”perjuangan”, plus tambahan kata ”pahlawan nasional” pada nama Mohd Natsir. Ini barangkali makna paling dalam dari seratusan.

Agus Basri, Panitia Refleksi Seabad M Natsir; Penulis Buku M. Natsir; Pemimpin Redaksi The Fatwa Magazine

Tidak ada komentar: