”...musuh puisi adalah tidak utuhnya pemahaman dalam diri penyair.”
Pablo Neruda, 1971
Tiga ihwal telah mendominasi panggung wacana dan memengaruhi perilaku bersastra kita sejak lama. Pertama: ajeg lokal, kedua: pornografi, dan ketiga: akrobat bahasa. Ajeg lokal adalah istilah yang saya lokalkan dari istilah yang sekarang sedang populer: lokalitas.
Lokalitas menjadi sebuah tren dalam mengeksplorasi puisi Indonesia, yang sudah dimulai sejak 1970-an dan menghangat lagi di era 2000-an. Para kritikus sastra biasanya menandai perayaan ajeg lokal ini dengan hadirnya sejumlah penyair yang mengeksplorasi khazanah kekayaan lokal atau kekayaan budaya tempatan Indonesia ke dalam sajak-sajak mereka.
Menariknya lagi, bagi sebagian kalangan sastra, minat yang berlebihan terhadap khazanah lokal ini kadang mewujud ke dalam perangai lokal yang mencengangkan. Kelokalan rupanya tidak hanya dieksplorasi ke dalam kerja puisi, tetapi telah berkembang ke wilayah politik dengan kecenderungan memainkan interes yang sempit.
Lokalitas menjadi sebuah tren dalam mengeksplorasi puisi Indonesia, yang sudah dimulai sejak 1970-an dan menghangat lagi di era 2000-an. Para kritikus sastra biasanya menandai perayaan ajeg lokal ini dengan hadirnya sejumlah penyair yang mengeksplorasi khazanah kekayaan lokal atau kekayaan budaya tempatan Indonesia ke dalam sajak-sajak mereka.
Menariknya lagi, bagi sebagian kalangan sastra, minat yang berlebihan terhadap khazanah lokal ini kadang mewujud ke dalam perangai lokal yang mencengangkan. Kelokalan rupanya tidak hanya dieksplorasi ke dalam kerja puisi, tetapi telah berkembang ke wilayah politik dengan kecenderungan memainkan interes yang sempit.
Akibatnya, pergaulan sastra menjadi tegang dan tidak produktif. Di samping itu, sikap demikian telah menyuguhkan kepada kita tema-tema perdebatan yang sebenarnya jauh dari keperluan dunia sastra. Tema- tema yang menjenuhkan seperti sastra pribumi dan nonpribumi, sastra pusat-sastra lokal, sastra feminis, sastra wangi sastra bau, dan lainnya, memperlihatkan permainan politik sastra yang membuat ekspresi literer itu malah tidak produktif.
Di dalam kecenderungan ini orientasi sastra pun bergeser, dari yang semula merupakan upaya mencapai otentisitas, jadi sekadar upaya merumuskan identitas personal maupun kelompok. Sebagai akibatnya, penyebutan serta pengertian kita terhadap penyair pun tersempitkan berdasar wilayah asal atau berdasar basis komunitasnya.
Hadirnya kantong lokal
Situasi di atas membuat saya merasa kita telah kehilangan penyair Indonesia. Sebagai gantinya, kita mendapatkan penyair Bali, penyair Padang, penyair Lampung, Penyair Bandung, dan seterusnya. Penyair Indonesia itu seolah telah berhenti pada generasi 70-an. Pada Taufik Ismail, Sutardji, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono....
Kenapa Taufik Ismail tidak dibilang penyair Cirebon atau penyair Sumbar misalnya? Atau Abdul Hadi WM, mengapa tidak dikenal sebagai penyair Madura, sebagaimana halnya kita sekarang menyebut Mardi Luhung sebagai penyair Jawa Timur?
Pertanyaan itu tak cukup dijawab dengan argumentasi normatif saja. Karena ada persoalan di luar hal itu yang antara lain menciptakan kekeliruan alam cara kita memosisikan penyair kita sekarang ini.
Kekeliruan itu terjadi bukan hanya karena mengentalnya interes politik (juga ekonomi), tetapi juga akibat tidak siapnya publik sastra Indonesia menerima kebangkitan baru para penyair kita yang berbasis pada kantong-kantong lokal, termasuk komunitas-komunitas yang tumbuh di berbagai daerah.
Cara pikir yang bertolak dari pengultusan terhadap generasi sastra tertentu menjadi penyebab utama ketidaksiapan itu. Publik sastra kita masih memelihara takhayul tentang adanya pusat-pusat sastra. Terutama yang ada di kota besar, lebih utama di Jakarta. Dan masih kuatnya dominasi politik-ekonomi dari penyair lama, membuat sebagian besar para penyair daerah merasa rendah-diri, bahkan tak siap tidak percaya pada pencapaian artistik mereka sendiri.
Padahal penyair terbaik era ini sesungguhnya bukanlah produk langsung dari kubu-kubu sastra yang dibayangkan sebagai pusat itu. Kubu-kubu yang seperti kastil di Eropa atau keraton di Jawa, dibangun hanya untuk membendung air bah potensi literer yang dari daerah (komunitas lokal). Wajar bila kemudian penyebut daerah atau lokalitas tertentu mengiringi nama seorang penyair, ”Ya, si Fulan itu penyair Bali.” Selesai.
Tak ada lagi ruang dan peluang bagi Fulan untuk disebut (bahkan menyebut dirinya sendiri sebagai) penyair Indonesia. Kenyataan ironis, terjadi justru di masa kita diberi kemudahan luar biasa untuk berinteraksi dan berintegrasi antara satu dengan yang lainnya. Di tengah samudra seluler, SMS, blackberry, internet, facebook, chating, komunikasi tak henti dan langsung antara hati dan hati.
Kemudahan hidup itu ternyata tak berhasil dioptimalisasi masyarakat sastra untuk berbagi diri dan gagasan, mengintegrasikan visi dan masa depan. Akan tetapi, justru memanfaatkan dan mengeksploitasinya untuk kepentingan sesaat, berbagai interes yang sangat pragmatis.
Permainan pornografi
Mungkin hal yang senada bisa dilihat dalam ihwal sastra kedua mengenai pornografi. Satu tindak atau produk yang memanfaatkan selera rendah manusia, yang seharusnya jadi barang haram dalam sastra, tetapi justru lebih banyak diselebrasi. Sebuah perayaan yang tampaknya hanya mengikuti gerak oportunistik dari media massa, di mana pornografi dieksploitasi sekadar untuk mendapatkan laba material.
Posisi sastra, yang dalam sejarah keberadaannya lebih tua dari media massa—terlebih dalam bentuk-bentuk modernnya—tentu memiliki kemampuan untuk mentransendensi selera rendah publik itu ke dalam makna yang lebih dalam. Namun, yang terjadi, sebagian sastra mutakhir kita justru memanfaatkan pornografi hanya untuk mengejar efek pragmatis kepopuleran dan akhirnya gelembung finansial.
Kecenderungan itu, pertama, karena gagalnya sastra mengantisipasi euforia kebebasan yang belakangan hampir menerabas semua batas kesopanan. Kedua, kegagalan itu menjadi penanda menguatnya motif ”pasar” di balik modus penciptaan, bahkan penilaian (judgement) sebuah karya sastra. Para pelaku sastra ternyata tak berhasil membentengi dirinya dari latah budaya yang diciptakan oleh industri media.
Pada titik ini, segala yang dangkal dan artifisial pun ramai dirayakan. Kedalaman dan kematangan jadi sepi di kejauhan. Sastra hari ini bukanlah suatu jalan yang dapat menemani kita dalam pencarian arti segala sesuatu. Sebaliknya, sastra hari ini hanyalah suatu realitas virtual yang tidak memerlukan arti karena lebih mengedepankan permainan. Seperti yang dikatakan Amir Hamzah dalam sajaknya, Astana Rela, sastra hari ini merupakan suatu dunia ”permainan kau permainkan”.
Dari gelap ke akrobat
Ihwal sastra kita ketiga adalah soal akrobatik bahasa. Sebuah istilah yang relatif dan sering digunakan secara acak untuk menyindir kecenderungan puisi yang hampa makna, bergelap- gelap, berumit-rumit, dan memerlukan referensi khusus untuk dapat memahaminya.
Pada dekade 80-an, istilah yang populer untuk mengatakan akrobatik bahasa ini adalah puisi gelap. Namun, perkembangan teori kesusastraan yang digunakan telah menyebabkan istilah puisi gelap tidak relevan lagi. Lantaran gelap tidaknya sebuah puisi ternyata ditentukan oleh kadar apresiasi yang dimiliki seorang pembaca. Bila awalnya puisi Sutardji mungkin dikira gelap, pandangan itu berubah ketika Dami N Toda membedahnya dan meyakinkan publik sastra bahwa ternyata puisi semacam itu bukan puisi gelap.
Mungkin ada gradasi signifikansi antara ”kegelapan” dan ”akrobasi” dalam sastra Indonesia. Namun, keduanya memperlihatkan sebuah semangat untuk menciptakan ”kebaruan” atau alternatif pengucapan literer yang berbeda. Namun, yang terjadi, ternyata bukan kebaruan sesungguhnya, tetapi juga semacam ”permainan yang dipermainkan”. Sekadar kegenitan dan sensasi yang dalam esensinya tidak pernah lepas dari lirisisme konvensional sebagaimana ditunjukkan Hartoyo Andangjaya.
Kedangkalan dalam memaknai hidup yang kian kompleks belakangan ini membuat sebagian penyair bersiasat dengan melakukan puzzle kata-kata, tanpa ada pendalaman baik dari sintaksis, diksi maupun gramatika secara keseluruhan. Mungkin puzzle itu merefleksikan kompleksitas hidup kita. Namun, pemaknaan yang muncul darinya hampa: kembali pada kedangkalan. Puisi jadi asing, bahkan dari penyairnya sendiri.
Di dalam kecenderungan ini orientasi sastra pun bergeser, dari yang semula merupakan upaya mencapai otentisitas, jadi sekadar upaya merumuskan identitas personal maupun kelompok. Sebagai akibatnya, penyebutan serta pengertian kita terhadap penyair pun tersempitkan berdasar wilayah asal atau berdasar basis komunitasnya.
Hadirnya kantong lokal
Situasi di atas membuat saya merasa kita telah kehilangan penyair Indonesia. Sebagai gantinya, kita mendapatkan penyair Bali, penyair Padang, penyair Lampung, Penyair Bandung, dan seterusnya. Penyair Indonesia itu seolah telah berhenti pada generasi 70-an. Pada Taufik Ismail, Sutardji, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono....
Kenapa Taufik Ismail tidak dibilang penyair Cirebon atau penyair Sumbar misalnya? Atau Abdul Hadi WM, mengapa tidak dikenal sebagai penyair Madura, sebagaimana halnya kita sekarang menyebut Mardi Luhung sebagai penyair Jawa Timur?
Pertanyaan itu tak cukup dijawab dengan argumentasi normatif saja. Karena ada persoalan di luar hal itu yang antara lain menciptakan kekeliruan alam cara kita memosisikan penyair kita sekarang ini.
Kekeliruan itu terjadi bukan hanya karena mengentalnya interes politik (juga ekonomi), tetapi juga akibat tidak siapnya publik sastra Indonesia menerima kebangkitan baru para penyair kita yang berbasis pada kantong-kantong lokal, termasuk komunitas-komunitas yang tumbuh di berbagai daerah.
Cara pikir yang bertolak dari pengultusan terhadap generasi sastra tertentu menjadi penyebab utama ketidaksiapan itu. Publik sastra kita masih memelihara takhayul tentang adanya pusat-pusat sastra. Terutama yang ada di kota besar, lebih utama di Jakarta. Dan masih kuatnya dominasi politik-ekonomi dari penyair lama, membuat sebagian besar para penyair daerah merasa rendah-diri, bahkan tak siap tidak percaya pada pencapaian artistik mereka sendiri.
Padahal penyair terbaik era ini sesungguhnya bukanlah produk langsung dari kubu-kubu sastra yang dibayangkan sebagai pusat itu. Kubu-kubu yang seperti kastil di Eropa atau keraton di Jawa, dibangun hanya untuk membendung air bah potensi literer yang dari daerah (komunitas lokal). Wajar bila kemudian penyebut daerah atau lokalitas tertentu mengiringi nama seorang penyair, ”Ya, si Fulan itu penyair Bali.” Selesai.
Tak ada lagi ruang dan peluang bagi Fulan untuk disebut (bahkan menyebut dirinya sendiri sebagai) penyair Indonesia. Kenyataan ironis, terjadi justru di masa kita diberi kemudahan luar biasa untuk berinteraksi dan berintegrasi antara satu dengan yang lainnya. Di tengah samudra seluler, SMS, blackberry, internet, facebook, chating, komunikasi tak henti dan langsung antara hati dan hati.
Kemudahan hidup itu ternyata tak berhasil dioptimalisasi masyarakat sastra untuk berbagi diri dan gagasan, mengintegrasikan visi dan masa depan. Akan tetapi, justru memanfaatkan dan mengeksploitasinya untuk kepentingan sesaat, berbagai interes yang sangat pragmatis.
Permainan pornografi
Mungkin hal yang senada bisa dilihat dalam ihwal sastra kedua mengenai pornografi. Satu tindak atau produk yang memanfaatkan selera rendah manusia, yang seharusnya jadi barang haram dalam sastra, tetapi justru lebih banyak diselebrasi. Sebuah perayaan yang tampaknya hanya mengikuti gerak oportunistik dari media massa, di mana pornografi dieksploitasi sekadar untuk mendapatkan laba material.
Posisi sastra, yang dalam sejarah keberadaannya lebih tua dari media massa—terlebih dalam bentuk-bentuk modernnya—tentu memiliki kemampuan untuk mentransendensi selera rendah publik itu ke dalam makna yang lebih dalam. Namun, yang terjadi, sebagian sastra mutakhir kita justru memanfaatkan pornografi hanya untuk mengejar efek pragmatis kepopuleran dan akhirnya gelembung finansial.
Kecenderungan itu, pertama, karena gagalnya sastra mengantisipasi euforia kebebasan yang belakangan hampir menerabas semua batas kesopanan. Kedua, kegagalan itu menjadi penanda menguatnya motif ”pasar” di balik modus penciptaan, bahkan penilaian (judgement) sebuah karya sastra. Para pelaku sastra ternyata tak berhasil membentengi dirinya dari latah budaya yang diciptakan oleh industri media.
Pada titik ini, segala yang dangkal dan artifisial pun ramai dirayakan. Kedalaman dan kematangan jadi sepi di kejauhan. Sastra hari ini bukanlah suatu jalan yang dapat menemani kita dalam pencarian arti segala sesuatu. Sebaliknya, sastra hari ini hanyalah suatu realitas virtual yang tidak memerlukan arti karena lebih mengedepankan permainan. Seperti yang dikatakan Amir Hamzah dalam sajaknya, Astana Rela, sastra hari ini merupakan suatu dunia ”permainan kau permainkan”.
Dari gelap ke akrobat
Ihwal sastra kita ketiga adalah soal akrobatik bahasa. Sebuah istilah yang relatif dan sering digunakan secara acak untuk menyindir kecenderungan puisi yang hampa makna, bergelap- gelap, berumit-rumit, dan memerlukan referensi khusus untuk dapat memahaminya.
Pada dekade 80-an, istilah yang populer untuk mengatakan akrobatik bahasa ini adalah puisi gelap. Namun, perkembangan teori kesusastraan yang digunakan telah menyebabkan istilah puisi gelap tidak relevan lagi. Lantaran gelap tidaknya sebuah puisi ternyata ditentukan oleh kadar apresiasi yang dimiliki seorang pembaca. Bila awalnya puisi Sutardji mungkin dikira gelap, pandangan itu berubah ketika Dami N Toda membedahnya dan meyakinkan publik sastra bahwa ternyata puisi semacam itu bukan puisi gelap.
Mungkin ada gradasi signifikansi antara ”kegelapan” dan ”akrobasi” dalam sastra Indonesia. Namun, keduanya memperlihatkan sebuah semangat untuk menciptakan ”kebaruan” atau alternatif pengucapan literer yang berbeda. Namun, yang terjadi, ternyata bukan kebaruan sesungguhnya, tetapi juga semacam ”permainan yang dipermainkan”. Sekadar kegenitan dan sensasi yang dalam esensinya tidak pernah lepas dari lirisisme konvensional sebagaimana ditunjukkan Hartoyo Andangjaya.
Kedangkalan dalam memaknai hidup yang kian kompleks belakangan ini membuat sebagian penyair bersiasat dengan melakukan puzzle kata-kata, tanpa ada pendalaman baik dari sintaksis, diksi maupun gramatika secara keseluruhan. Mungkin puzzle itu merefleksikan kompleksitas hidup kita. Namun, pemaknaan yang muncul darinya hampa: kembali pada kedangkalan. Puisi jadi asing, bahkan dari penyairnya sendiri.
Puisi atau sastra hanya menjadi lamunan penyair yang meratapi hidupnya. Itulah hal terbaik yang mungkin dapat direfleksikan penyair bagi masyarakat, bagi bangsanya: kita hanya dapat melamun, meratapi bangsa yang terengah-engah ini.
Riki Dhamparan Putra, penyair, menetap di Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar