Jumat, 06 Maret 2009
Jurnal Institut Humaniora
Kirimkan info dan opini anda ke email: subhanters@yahoo.com
Jurnal Institut Humaniora membuka ruang bagi anda untuk menulis opini. Tulisan
tidak terlalu panjang dan isi tulisan adalah tanggung jawab penulis. Sementara ini, Jurnal Institut Humaniora belum dapat memberikan imbalan bagi penulis yang tulisannya dimuat.
Dukung terus budaya literasi!
Ada Dusta di Antara Kita
Ketetapan, juga keberakhiran, tak pernah bermakna keabadian. Segalanya selalu terbuka untuk berubah, membalikkan kebiasaan bahkan keyakinan sebelumnya. Waktu itu dinamis. Bergerak perlahan atau cepat adalah ruh-nya.
Setidaknya, ada hal menarik dari narasi pembuka di atas dengan fenomena dusta atau kebohongan.
Tentu kita akrab dengan kata ‘bohong’ atau ‘dusta’, bukan? Itulah inti makna dari proyek manipulasi. Keadaan yang sebenarnya (kerap kita menyebutnya dengan fakta) disembunyikan di balik bungkusan yang terbuat dari bahan seolah-olah. Kita pernah mengatakan sakit, namun jika ditilik dari kacamata medis tak (akan) ditemukan unsur-unsur penguat alasan tersebut.
Ya, bukankah sakit memang mesti disesuaikan terlebih dulu dengan tanda-tandanya, semisal nyeri, tak bisa bergerak sempurna, dan sebagainya. Singkatnya, sakit adalah kenormalan atau kemapanan yang mengalami erosi.
Keadaan sakit bukan tak ada dalam realitas, tapi mengatakan (sekali lagi, mengatakan) sakit adalah salah satu pilihan saja dari sekian pilihan yang diproyeksikan untuk memperkuat sebuah alasan akan sesuatu, entah karena memang malas, enggan, atau tak mau melakukan sesuatu.
Apakah berdosa bila berdusta? Akan ada dua kutub yang berbeda ketika menjawab pertanyaan ini. Tentu berdosa jika dalilnya diikatkan kepada ayat-ayat ketuhanan, ayat-ayat kepatuhan yang turun dari langit itu. Dan di sini tak ada keterangan lanjutan. Di sini hanya ada ketundukan. Dusta adalah dosa! Titik. Qulil haq walau kana muran. Pengecualian tak akan ditemukan dasarnya.
Namun di lain kutub, dusta bahkan bisa jadi pahala. Pembalikan dari asumsi dan nilai-nilai dosa. Pernahkah kita mengatakan “tak apa, santai saja” setelah sang teman mengejek kita dan bertanya, “marah ya?” Tentu saja jawaban kita adalah jawaban dusta bila dalam hati sebenarnya dongkol bergolak-golak. Kita refleks memutar fakta, menggelontorkan kata yang samasekali berbeda dengan rasa yang tengah melanda dada. Sebab di wilayah ini ada adab, maka itu bukan dusta, kata orang (yang berpura-pura) bijak.
Lantas, bohongkah bila orang-orang bijak tak pernah berdusta?
Depok, 24 Februari 2009
Kamis, 19 Februari 2009
Siswa (Cerdas), Milik Siapa?
Akhir-akhir ini wacana tentang keberadaan siswa cerdas dalam sistem pendidikan hangat dibicarakan. Diskusi tentangnya sering mengacu pada pertanyaan pengelolaan, pendampingan, status, dan manfaat bagi masyarakat dan bangsa.
Tanpa pemahaman jernih tentang antropologi pendidikan yang integral, pembahasan tentang anak-anak istimewa ini hanya akan memuaskan kepentingan kelompok tertentu dan menjadikan mereka korban instrumentalisasi pendidikan. Lebih dari itu, visi keadilan sosial dalam pendidikan terabaikan karena kebijakan pendidikan dikelola dengan pendekatan elitis.
Visi tentang manusia
Pertanyaan teknis dan programatis tentang pendidikan anak cerdas hanya akan berkutat pada masalah pinggiran saat pendidik dan pengambil kebijakan tidak memiliki visi mendalam tentang manusia yang dididik. Gagasannya, anak cerdas sudah seharusnya ”dijadikan milik negara” (Kompas, 2/2), jelas mendasarkan diri pada pemahaman sempit antropologi pendidikan. Di sini, yang diutamakan bukan pertumbuhan anak, tetapi lebih mengarah pada instrumentalisasi anak didik yang mengobyekkan mereka demi kepentingan lain selain demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik itu sendiri.
Demikian juga program kelas akselerasi yang marak terjadi. Program ini jauh dari gagasan manusia sebagai individu unik. Manusia diredusir melulu pada kemampuan otak sehingga kapasitas ini perlu dikarbit pertumbuhannya melalui jalur khusus. Parahnya, kelas akselerasi sering menjadi kedok untuk mengeruk dana masyarakat dengan dalih ekselensi akademis. Faktanya, materi pembelajaran dipadatkan tanpa diferensiasi proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak.
Setali tiga uang. Model pendampingan pendidikan khusus dengan cara karantina demi persiapan olimpiade juga perlu dikritisi. Model pendidikan seperti ini lebih merupakan instrumentalisasi anak-anak cerdas demi prestise kepentingan kelompok tertentu, entah itu ”bangsa”, ”negara”, atau ”Departemen Pendidikan Nasional”.
Memang anak-anak cerdas itu perlu didampingi. Namun, pendampingan itu harus dilandasi dengan motivasi demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik sebagai pribadi unik dan layak mendapat layanan pendidikan sesuai dengan dinamika perkembangan kepribadiannya. Selain itu, sebagai makhluk sosial, individu tidak akan tumbuh sehat jika model pendidikan lebih berupa pemisahan daripada integrasi dan interaksi aktif dengan rekan sebaya.
Selama ini, program pendampingan anak-anak cerdas lebih didasari asumsi manusia berharga karena otaknya. Karena itu, sebelum membuat program pendidikan bagi anak cerdas, pendidik dan pengambil kebijakan harus kritis bertanya tentang antropologi pendidikan yang ada di balik setiap perencanaan pendidikan.
Milik kemanusiaan
Tidak ada yang memiliki hak untuk mengklaim atas kepemilikan anak-anak cerdas itu selain sejarah kemanusiaan itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah, kehadiran anak-anak cerdas ini telah memperkaya kemanusiaan yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan lebih bermartabat melalui olah pikir, olah hati, dan olah fisik yang mereka miliki.
Karena itu, mengklaim kehadiran anak-anak cerdas sebagai milik kelompok tertentu merupakan wacana yang sesat sebab mereka tidak milik siapa-siapa selain milik kemanusiaan itu sendiri.
Jika anak-anak cerdas itu menjadi milik kemanusiaan, maka melalui pengetahuan, bakat, dan kecerdasannya, mereka mampu menyumbangkan perbaikan bagi masyarakat. Kehadiran anak-anak cerdas juga perlu menjadi berkat bagi kemanusiaan yang lain dan tidak bisa diklaim atau dibatasi dalam membagi pengetahuan dan kekayaan kepada orang lain. Karena itu, segregasi, pemisahan, karantina jelas bertentangan dengan hakikat pendidikan dan keberadaan anak-anak cerdas itu sendiri.
Di sinilah visi keadilan sosial perlu ditumbuhkan di kalangan pendidik dan pengambil keputusan. Banyak teori pendidikan menunjukkan, pengetahuan yang dibagikan itu akan memperkaya kemanusiaan dan masyarakat daripada disimpan dan dimiliki seorang diri. Pada kenyataannya, ilmu pengetahuan itu terbentuk dan berkembang karena perjumpaan dengan orang lain. Dalam perjumpaan dengan orang lain inilah ilmu itu berkembang. Ilmu yang dibagikan tidak membuat si pemilik ilmu itu kian miskin, bahkan ia menjadi semakin kaya.
Menyesatkan
Dari sisi antropologi pendidikan, wacana ”anak cerdas” sebenarnya menyesatkan sebab paradigma ini membagi dua kelompok manusia, cerdas dan tidak cerdas. Padahal, istilah ”anak cerdas” ini pun sering hanya didasarkan pada satu kriteria, yaitu kemampuan akademis belaka.
Kini, kita kian tahu, ada banyak jenis kecerdasan. Maka, wacana ”anak cerdas” bisa mengecoh para pendidik dan pengambil keputusan untuk memprioritaskan yang satu melebihi yang lain. Faktanya, sebenarnya tidak ada yang disebut ”anak cerdas” sebab tiap anak memiliki kecerdasannya sendiri-sendiri.
Wacana tentang ”anak cerdas” muncul karena ada berbagai kepentingan yang ingin menjadikan mereka alat kepentingan sempit daripada mendasarkan diri pada keprihatinan asasi pendidikan yang menganggap tiap anak berhak mendapat layanan pendidikan prima sebab pada dasarnya tiap anak adalah anak-anak cerdas. Pemahaman sempit tentang antropologi pendidikan yang meredusir anak cerdas sekadar instrumentasi kepentingan dalam jangka panjang akan merugikan anak itu sendiri, bahkan merugikan masyarakat.
Layanan prima
Setiap anak memiliki potensi kecerdasan dan hak untuk mendapat layanan prima dalam pendidikan sehingga seluruh potensi kemanusiaan dan kepribadiannya bertumbuh secara integral dan utuh. Separasi, karantina, program akselerasi, dan pendewaan ide ”anak cerdas” sebagai lebih penting daripada keyakinan bahwa ”semua anak adalah cerdas” menunjukkan adanya cacat pemahaman terhadap antropologi pendidikan yang dianut pendidik dan pengambil kebijakan.
Instrumentalisasi anak-anak cerdas demi nafsu kelompok kepentingan tertentu harus dihentikan, diganti dengan program pendidikan yang lebih menghargai perkembangan dan pertumbuhan diri anak didik secara integral tanpa mencabut anak didik dari lingkungan sosialnya. Jika ini terjadi, kita akan memetik buah-buah kehadiran mereka bagi masyarakat sebab pada hakikatnya anak-anak itu adalah milik kemanusiaan, bukan milik segelintir orang yang memanfaatkan mereka demi prestise, harga diri, dan kepentingan sempit mereka sendiri.
*) Doni Koesoema A, Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston
Sumber: Kompas, Selasa, 17 Februari 2009 23:54 WIB
Rabu, 18 Februari 2009
"Adios" Kapitalisme
Bolivia kembali menjadi perhatian dunia. Kemenangan referendum 25 Januari 2009 itu mencengangkan.
Meski ada penolakan di beberapa provinsi, seperti di Media Luna dan Santa Cruz, hal itu tidak berarti karena ditutup gaung setuju yang mencapai 65 persen.
Bukan hanya itu. Kemenangan juga identik dengan masyarakat miskin di pedesaan. Meski di ibu kota negara, La Paz, keberhasilan mencapai 74 persen, bila dihitung keseluruhan, daerah perkotaan hanya mencapai 52 persen. Di pedesaan justru mencapai 82 persen. Makna apa yang bisa dikais di baliknya?
Terperangkap
Keberhasilan referendum di negara berpenduduk 10 juta orang itu bukan sebuah kebetulan. Sebuah proses panjang telah dilewati negeri yang mayoritas rakyatnya keturunan Indian suku Aymara, Quechua, dan Guaraní. Sejak kemerdekaan tahun 1825, proses otoderminasi terus digulirkan dan coba dijalankan dan nyaris membawa hasil.
Pada tahun 1952, pemerintah melakukan reforma agraria dan nasionalisasi perusahaan pertambangan. Hasilnya mengecewakan. Para tuan tanah (latifundos) terlalu kuat untuk ditaklukkan. Nasionalisasi juga kandas. Upaya ”menyenangkan” sindikat dengan meluaskan izin penambangan berakibat pada sandaran ekonomi pada ekspor semata. Negara terlilit superinflasi, mencapai 2.400 persen saat harga tambang dunia anjlok.
Keadaan itu mendorong Presiden Victor Paz Estenssoro (1985-1992) dan Presiden Gonzalo Sánchez de Lozada Bustamente (1993-1997) untuk berjuang. Privatisasi perusahaan negara menjadi pilihan. Semboyan Ronald Reagan, ”negara bukan bagian dari solusi, tetapi bagian dari masalah”, mendorong dijualnya perusahaan minyak Yacimientos Petrolíferos Fiscales Bolivianos kepada swasta.
Kekuatan diri
Semula, privatisasi itu kelihatan manis. Lebih lagi saat Bank Dunia dan Bank Inter-Americano de Desarrollo amat ”murah hati” membantu. Inflasi ditekan hingga 10 persen. Namun, Bolivia yang kaya sumber energi, hidrokarbon, dan energi listrik justru merasakan keanehan. Kapitalisme justru melahirkan kemiskinan, bukan kesejahteraan.
Kenyataan itu disadari Evo Morales. Perlahan tetapi pasti, ia membangun Gerakan Sosialisme (Movimiento al Socialismo). Bagi Morales, rakyat adalah pemilik hidupnya. Ia perlu sadar untuk membangun otonomi, bukannya menyerahkan nasib kepada orang, apalagi negara lain. Tanah sebagai salah satu sumber hidup dialokasikan untuk semua. Kepemilikan dibatasi maksimal 5.000 hektar. Ini disambut sí (ya) oleh 78,4 persen rakyat.
Tidak hanya itu. Kapitalisme buas yang mengakui doktrin laissez-faire ditolak secara aklamatif. Rakyat disadarkan, kebebasan tanpa batas adalah bagai menggali kubur untuk diri sendiri. Apalagi hal itu dijalankan dalam iklim spekulatif. Model ekonomi yang bersifat ”di atas kertas”, virtual, dan imaterial seperti ini, oleh Tom Wolfe dalam Hoguera de las Vanidades, 1987, ditakdirkan akan hancur. Rakyat diajak membangun kekuatan diri.
”Partisisapi”
Bolivia dapat menjadi acuan. Pertama, keberanian berpihak kepada rakyat. Evo Morales adalah contohnya. Ia tidak menyandarkan nasib bangsa pada ketidakpastian ekonomi global (seperti harga minyak) untuk kemudian bersikap populis-oportunis. Ia tidak terperangkap janji manis privatisasi sebagai solusi. Ia tahu, privatisasi bermanfaat untuk mengumpulkan keuntungan, tetapi saat colapse (seperti Lehman Brothers) akan ”membagi” petaka kepada rakyat. Karena itu, pilihannya hanya ketegasan untuk menyatakan ”adios” (selamat jalan) pada taktik kapitalistik yang menjerat dan curang, jalan stik yang menjerat dan curang.
Politik kita masih setengah hati. Kita masih berada pada tataran senang atau tidak senang, benar atau salah. Perasaan tersinggung karena dikritik atau difitnah amat dominan. Upaya pembelaan diri dirasa begitu penting. Padahal, mereka yang bijak tahu, takaran dari segalanya adalah kebaikan umum. Rakyat tanpa dikampanyekan pun tahu, kesejahteraan yang telah dialami akan diapresiasi dalam pemilu.
Kedua, referendum Bolivia adalah bukti kesadaran yang membebaskan. Rakyat Indian tahu, menyerahkan nasib pada ”negosiasi” di parlemen adalah keniscayaan. Di sana logika ”partisisapi” yang tampak. Upaya meraih keuntungan (pribadi) amat jelas. Debat terjadi saat pembagian jarahan timpang. Tetapi, saat ”disepakati”, semua berjejer, bagai sapi ikut ke luar kandang setelah yang lain keluar.
Perubahan di negeri ini hanya terwujud ketika wakil rakyat lebih konsekuen kepada konstituen. Bekerja untuk rakyat tidak sekadar semboyan, tetapi juga falsafah hidup yang diyakini.
Sementara itu, rakyat yang sudah memilih tidak akan pasif. Ia mengawal dan meminta pertanggungjawaban terhadap janji kesejahteraan yang diucapkan.
Robert Bala Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca dan Universidad Complutense de Madrid, Spanyol
Sumber: Kompas, Kamis, 12 Februari 2009 00:59 WIB
Fenomena Neo-sosialisme
Umum disepakati, ada dua kecenderungan gerakan neo-sosialisme di Amerika Latin. Di satu sisi, (pemerintahan) yang dinilai ”pragmatis”, ”rasional”, dan ”modern” yang ada di Cile, Brasil, dan Uruguay berhadapan dengan kiri yang ”dema-gogis”, ”nasionalistis”, dan ”populistis” di Venezuela, Bolivia, Paraguay, dan Argentina.
Namun, ada yang mengatakan, ada kecenderungan yang lebih banyak, lebih rumit, karena bergantung pada lahan tempatnya bersemai. FR Gallegos (2008), misalnya, mengatakan, neo-sosialisme Amerika Latin diwarnai warisan kelembagaan neo-liberalisme, pengaruh dan posisi gerakan sosial, serta sejarah perkembangan parpol progresif pada tiap negara tempatnya bertumbuh kembang. Dengan demikian, ada lebih dari dua kecenderungan— meski semuanya memiliki kemauan yang sama—yaitu melawan agenda neo-liberal lewat penguatan negara dan perbaikan kondisi sosial.
Ada kesepakatan, sejak kemenangan Hugo Chavez di Venezuela (1998), dengan sedikit pengecualian (antara lain Meksiko dan Kolombia), terjadi apa yang disebut ”pergeseran ke kiri” di hampir semua negara Amerika Latin. Namun, ada referensi luas terkait apakah ”pergeseran ke kiri” ini cenderung seragam, atau ada dua jalan yang berbeda (kiri demokratis dan kanan populistis), atau lebih banyak lagi seperti diyakini Gallegos itu.
Yang pasti, semua ini menunjukkan betapa berbedanya Amerika Latin dibandingkan dengan referensi ”hitam putih” Eropa tahun 1970-an yang sekadar membagi kecenderungan progresif (sosialistis) atau reaksioner (sosial demokratis).
Teori Sosial Demokrasi (Sosdem) Amerika Latin sepenuhnya berbeda dengan Eropa. Kiri Amerika Latin secara tradisional bersifat revolusioner, antikapitalistis, dan (tak jarang) antidemokratis. Ketika berkuasa dan berkesempatan merekayasa aturan main, yang kemudian dilakukan sering sepenuhnya mengubah sistem kapitalistis dan demokrasi borjuasi. Kata kunci seperti Godesberg, New Labor, atau Pacto de Moncloa saat Sosdem menjadi lebih moderat dan membuka diri bagi kelas menengah jarang terucap di Amerika Latin.
Berjalan tanpa ideologi
Hal ini lebih dari sekadar pertanyaan politik dan akademis yang menarik. Kini, berbagai pemerintahan kiri di Amerika Latin tampaknya secara praksis berjalan tanpa ideologi dan tanpa teori. Praktik dan wacana politik tampaknya tidak berjalan seiring. Jurnal Nueva Sociedad Edisi Khusus 2008, mengajukan judul ”Seberapa Kiri, Kirinya Amerika Latin?”, memuat tulisan-tulisan yang mendiskusikan wacana dan langkah politik atau latar belakang sejarah dan (gerakan) sosial yang menyebabkan ”pergeseran ke kiri” di Latin Amerika. Ada hal-hal yang diperlukan guna memahami perubahan paradigma dan mencari jawaban atas pertanyaan: bisakah kelompok kiri Latin Amerika memenuhi janjinya; dan langgengkah hal itu?
Sepanjang 1980-an, Amerika Latin mengalami ”Dekade yang Hilang” dengan pertumbuhan ekonomi terendah, kemiskinan melejit, distribusi pendapatan terburuk di dunia. Setelah terjadi pertumbuhan ekonomi yang lumayan pada paruh pertama 1990-an di bawah ”arahan dan kendali” Bank Dunia dan IMF, kembali terjadi ”5 tahun yang hilang” pada paruh kedua 1990-an. Penyebabnya, penyesuaian struktural neo-liberal (Konsensus Washington) tidak mampu menepati janji perbaikan. Sebaliknya, Argentina sebagai negara ”pajangan” reformasi neo-liberal saat itu pada 2001 terjerembab krisis serius.
Akibatnya, pemilih memberi kartu merah kepada pemerintahan dan parpol tradisional dan memilih kandidat yang menyandang posisi kiri. Hugo Chavez, Evo Morales, dan Rafael Correa, misalnya, mewakili kecenderungan itu. Sementara di negara-negara dengan tradisi demokrasi, termasuk memiliki parpol kiri yang kuat (seperti di Brasil, Cile, Argentina), terjadi perubahan paradigma sistem politiknya.
Namun, yang tak kalah penting adalah seberapa besar ”ruang gerak” sebuah pemerintahan. Inilah salah satu alasan sikap pragmatis sebagian pemerintahan neo-sosialisme Amerika Latin. Penjelasan lain, de facto kelompok kiri Amerika Latin mengalami ”Sosial Demokratisasi” untuk memenangkan suara kelas menengah. Dengan demikian, ”pergeseran ke kiri” di Amerika Latin pada saat sama juga bisa berarti ”pergeseran ke kanan”, kelompok kirinya menjadi Sosdem.
Tiga kecenderungan
Meski demikian, secara rinci, ada beragam wacana dan praktik politik pemerintahan di Amerika Latin. Setidaknya ada tiga kecenderungan. Pertama, (kian) aktifnya negara dalam pereko-nomian. Kedua, negara memprioritaskan kebijakan sosial sebagai kebijakan pendistribusian kue pembangunan. Ketiga, terjadi diversifikasi hubungan politik dan ekonomi luar negeri. Sementara itu, tak satu pun yang mempertanyakan stabilitas moneter dan keuangan, aturan pasar bebas, dan integrasi pasar dunia. Semua elemen Konsensus Washington, akibat hiperinflasi sepanjang 1990-an, diserap menjadi bagian penting kebijakan pemerintah.
Selama 10 tahun ”pergeseran ke kiri” di Amerika Latin, telah timbul perbaikan sosial-ekonomi yang signifikan. Tingkat kemiskinan menurun dari 48 persen menjadi 36 persen total penduduk. Di Brasil, 11 juta keluarga mendapat tunjangan langsung berkat program Bolsa Famillia. Sebelumnya hanya 3,6 juta keluarga yang mendapat manfaat itu pada tahun 2003. Di banyak negara Amerika Latin terjadi perbaikan distribusi penghasilan rakyat.
Namun, semua ini bisa terjadi bersamaan dengan export booms sejak 2003 selama 10 tahun. Hal itu mempertebal kas negara, meski pada saat yang sama porsi pengeluaran sosial dibandingkan dengan total pengeluaran nyaris tidak atau hanya sedikit meningkat. Begitu pula dengan pajak yang hanya 20 persen dan terbilang rendah dalam total anggaran. Sementara itu, di beberapa negara, Brasil misalnya, struktur pajaknya masih amat regresif. Begitu pula banyak yang masih menyubsidi konsumsi kelas menengah sehingga melemahkan kemampuan investasi dalam sebuah negara yang infrastruktur ekonominya terbilang lemah. Terkait hal-hal itu, untuk pertama kali Sosial Demokrasi di Amerika Latin memiliki kesempatan. Bagaimana kelompok ”kiri tengah” memanfaatkan peluang itu.
IVAN A. HADAR Analis Ekonomi-Politik; Wakil Pemred Jurnal SosDem
Sumber: Kompas, Kamis, 12 Februari 2009 00:59 WIB
Senin, 16 Februari 2009
Menulis Setiap Hari!
Rabu, 14 Januari 2009
Mengubah Paradigma UN
Hasil ujian nasional akan diperhitungkan untuk masuk perguruan tinggi negeri (Kompas, 8/1). Di satu sisi, wacana ini bisa meningkatkan gengsi UN yang selama ini banyak menuai kritik. Di sisi lain, perubahan kebijakan ini bisa salah sasaran jika tidak terjadi perubahan paradigma dalam memahami UN. Mengelola evaluasi pendidikan integral tidak semudah membalik tangan.
Masalahnya, sifat dan tujuan ujian nasional (UN) dan tes masuk perguruan tinggi (PT) secara kualitatif berbeda. UN bersifat sumatif, bertujuan menilai prestasi individual siswa guna menentukan apakah seorang individu memiliki kompetensi yang disyaratkan setelah melewati proses pendidikan dalam waktu tertentu. Ambang kelulusan UN ditentukan melalui kriteria penguasaan materi (criterion-reference test), berakibat langsung pada nasib siswa (high stake testing). Siswa lulus atau tidak lulus.
Adapun sifat tes masuk PT adalah formatif untuk ”mendiskriminasi” siswa berdasarkan kompetensi dan potensi akademik yang tujuannya menjaring calon yang memiliki kelayakan dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan tuntutan di PT. Karena itu, tes masuk PT bersifat normatif (norm-reference testing), tidak hanya mendasarkan diri pada penguasaan materi, tetapi memeringkat siswa dan membatasinya sesuai jumlah kursi.
Penguasaan (proficiency) materi menjadi sekunder. Lebih dari itu, item soal sering dibuat dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi sehingga menjadi selektif. Ini untuk menghindari efek langit-langit (ceiling effect) yang bisa terjadi akibat siswa telah terbiasa dengan soal UN sehingga siswa pintar dan cukupan tidak dapat dibedakan karena mereka sama- sama meraih nilai maksimal.
Jernih memahami hakikat dua macam tes ini penting agar kebijakan pendidikan yang diambil benar-benar memiliki dasar rasional pedagogis dan psikometrik yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan sekadar berdasarkan politik kepentingan untuk menunjukkan bahwa UN yang selama ini menuai kritik berguna dan penting.
Wacana integrasi
Wacana integrasi UN dengan PT memang diperlukan agar apa yang dipelajari siswa di SMA menjadi dasar bagi pengembangan ilmu di PT. Namun, integrasi ini tidak akan efektif jika hanya dilakukan pada pelibatan PT dalam pengawasan pelaksanaan UN.
Mengajak PT menjadi rekanan pemerintah dalam menyelenggarakan UN untuk menjamin bahwa dalam pelaksanaannya UN tidak memiliki cacat prosedur pelaksanaan adalah salah satu bagian teknis dari prosedur standar pelaksanaan tes. Kredibilitas pelaksanaan tes merupakan salah satu alat untuk mengukur validitas hasil UN. Namun, lebih dari itu, peningkatan kualitas soal, penarikan kesimpulan hasil UN, reliabilitas item UN untuk benar-benar mengukur kompetensi yang dibutuhkan dalam proses seleksi masuk PT itulah yang pertama-tama perlu dibenahi.
Integrasi hasil UN sebagai penentu penerimaan mahasiswa baru di PTN mengandaikan, hasil UN memiliki validitas (benar-benar mengukur apa yang ingin diukur), konsistensi hasil saat diujikan pada banyak populasi (reliable), dan fair (memenuhi rasa keadilan, tidak adanya bias, perlakuan sama terhadap peserta tes, kesempatan belajar atas materi yang diujikan, dan lainnya).
Tiga tuntutan
Untuk membenahi ini, ada tiga tuntutan yang harus dipenuhi. Pertama, independensi desain soal untuk UN harus dijaga. Selama Badan Nasional Standardisasi Pendidikan (BNSP) dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bertanggung jawab dalam mengelola desain UN, konflik kepentingan akan terjadi. Tanpa independensi atau manipulasi nilai demi kepentingan tertentu akan terjadi dalam lembaga penyelenggara UN sebab mereka sendiri yang membuat soal dan mereka sendiri yang membuat laporan pertanggungjawaban bagi diri sendiri.
Kedua, independensi lembaga penyelenggara UN memungkinkan proses desain soal UN, pelaksanaan tes dan evaluasi atau penarikan kesimpulan atas skor UN lebih sahih dan dapat diandalkan karena lembaga itu mendesain tes sesuai tujuan, yaitu untuk menyeleksi siswa di tingkat PT. Kompetensi penyelenggara UN seperti ini harus diserahkan kepada konsorsium PT atau lembaga independen penyelenggara tes yang mampu menyelenggarakan secara obyektif dan akuntabel kepada publik dan pemangku kepentingan.
Ketiga, perubahan penggunaan hasil UN pada gilirannya akan mengubah tujuan penggunaan hasil UN seperti selama ini terjadi, yaitu untuk menentukan kelulusan siswa. Harus ada perubahan paradigma atas tujuan penggunaan hasil UN. Jika hasil UN sebagai alat tes seleksi PT, memakai hasil UN untuk meluluskan siswa merupakan kebijakan evaluasi pendidikan yang salah sasaran sebab terjadi salah kaprah dalam penarikan kesimpulan berdasarkan data dari sebuah alat tes.
Independensi
Kini yang dibutuhkan adalah akuntabilitas lembaga pendidikan di hadapan publik melalui independensi penyelenggara UN. Pendidikan di tingkat menengah hanya bisa akuntabel jika pelaksanaan UN mampu memberi data valid, reliable, dan fair untuk menilai kompetensi seorang siswa. Meski BNSP merupakan lembaga independen, saat bekerja sama dengan Depdiknas menjadi penyelenggara, penilai, dan pelapor UN terhadap pemerintah, konflik kepentingan membuat BNSP kehilangan kredibilitas. Apalagi saat tidak ada laporan yang bisa diakses publik tentang pelaksanaan UN, terutama tingkat validitas, reliabilitas, dan fairness soal-soal UN.
Independensi penyelenggara UN harus diutamakan agar tidak terjadi konflik kepentingan jika hasil UN ingin dipakai sebagai seleksi mahasiswa baru di PT. Selain itu, penyelenggara UN harus akuntabel dan bertanggung jawab bukan sekadar kepada pemerintah, tetapi kepada pemangku kepentingan yang lebih besar, yaitu PT dan masyarakat. Sistem seleksi mahasiswa baru harus fair dan memerhatikan kepentingan jangka panjang PT sendiri dengan menyeleksi siswa yang benar-benar kompeten dan memiliki potensi sukses secara akademis.
Memaksakan hasil UN sebagai syarat penerimaan mahasiswa PT bisa salah sasaran jika UN masih bersifat sumatif, yang kriterianya adalah standar isi minimal ala kurikulum SMA untuk menentukan kelulusan siswa. Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma terhadap UN.
Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston
Kompas, Rabu, 14 Januari 2009 | 00:26 WIB