Rabu, 18 Februari 2009

"Adios" Kapitalisme

Oleh Robert Bala

Bolivia kembali menjadi perhatian dunia. Kemenangan referendum 25 Januari 2009 itu mencengangkan.

Meski ada penolakan di beberapa provinsi, seperti di Media Luna dan Santa Cruz, hal itu tidak berarti karena ditutup gaung setuju yang mencapai 65 persen.

Bukan hanya itu. Kemenangan juga identik dengan masyarakat miskin di pedesaan. Meski di ibu kota negara, La Paz, keberhasilan mencapai 74 persen, bila dihitung keseluruhan, daerah perkotaan hanya mencapai 52 persen. Di pedesaan justru mencapai 82 persen. Makna apa yang bisa dikais di baliknya?

Terperangkap
Keberhasilan referendum di negara berpenduduk 10 juta orang itu bukan sebuah kebetulan. Sebuah proses panjang telah dilewati negeri yang mayoritas rakyatnya keturunan Indian suku Aymara, Quechua, dan Guaraní. Sejak kemerdekaan tahun 1825, proses otoderminasi terus digulirkan dan coba dijalankan dan nyaris membawa hasil.

Pada tahun 1952, pemerintah melakukan reforma agraria dan nasionalisasi perusahaan pertambangan. Hasilnya mengecewakan. Para tuan tanah (latifundos) terlalu kuat untuk ditaklukkan. Nasionalisasi juga kandas. Upaya ”menyenangkan” sindikat dengan meluaskan izin penambangan berakibat pada sandaran ekonomi pada ekspor semata. Negara terlilit superinflasi, mencapai 2.400 persen saat harga tambang dunia anjlok.

Keadaan itu mendorong Presiden Victor Paz Estenssoro (1985-1992) dan Presiden Gonzalo Sánchez de Lozada Bustamente (1993-1997) untuk berjuang. Privatisasi perusahaan negara menjadi pilihan. Semboyan Ronald Reagan, ”negara bukan bagian dari solusi, tetapi bagian dari masalah”, mendorong dijualnya perusahaan minyak Yacimientos Petrolíferos Fiscales Bolivianos kepada swasta.

Kekuatan diri
Semula, privatisasi itu kelihatan manis. Lebih lagi saat Bank Dunia dan Bank Inter-Americano de Desarrollo amat ”murah hati” membantu. Inflasi ditekan hingga 10 persen. Namun, Bolivia yang kaya sumber energi, hidrokarbon, dan energi listrik justru merasakan keanehan. Kapitalisme justru melahirkan kemiskinan, bukan kesejahteraan.

Kenyataan itu disadari Evo Morales. Perlahan tetapi pasti, ia membangun Gerakan Sosialisme (Movimiento al Socialismo). Bagi Morales, rakyat adalah pemilik hidupnya. Ia perlu sadar untuk membangun otonomi, bukannya menyerahkan nasib kepada orang, apalagi negara lain. Tanah sebagai salah satu sumber hidup dialokasikan untuk semua. Kepemilikan dibatasi maksimal 5.000 hektar. Ini disambut sí (ya) oleh 78,4 persen rakyat.

Tidak hanya itu. Kapitalisme buas yang mengakui doktrin laissez-faire ditolak secara aklamatif. Rakyat disadarkan, kebebasan tanpa batas adalah bagai menggali kubur untuk diri sendiri. Apalagi hal itu dijalankan dalam iklim spekulatif. Model ekonomi yang bersifat ”di atas kertas”, virtual, dan imaterial seperti ini, oleh Tom Wolfe dalam Hoguera de las Vanidades, 1987, ditakdirkan akan hancur. Rakyat diajak membangun kekuatan diri.

”Partisisapi”
Bolivia dapat menjadi acuan. Pertama, keberanian berpihak kepada rakyat. Evo Morales adalah contohnya. Ia tidak menyandarkan nasib bangsa pada ketidakpastian ekonomi global (seperti harga minyak) untuk kemudian bersikap populis-oportunis. Ia tidak terperangkap janji manis privatisasi sebagai solusi. Ia tahu, privatisasi bermanfaat untuk mengumpulkan keuntungan, tetapi saat colapse (seperti Lehman Brothers) akan ”membagi” petaka kepada rakyat. Karena itu, pilihannya hanya ketegasan untuk menyatakan ”adios” (selamat jalan) pada taktik kapitalistik yang menjerat dan curang, jalan stik yang menjerat dan curang.

Politik kita masih setengah hati. Kita masih berada pada tataran senang atau tidak senang, benar atau salah. Perasaan tersinggung karena dikritik atau difitnah amat dominan. Upaya pembelaan diri dirasa begitu penting. Padahal, mereka yang bijak tahu, takaran dari segalanya adalah kebaikan umum. Rakyat tanpa dikampanyekan pun tahu, kesejahteraan yang telah dialami akan diapresiasi dalam pemilu.

Kedua, referendum Bolivia adalah bukti kesadaran yang membebaskan. Rakyat Indian tahu, menyerahkan nasib pada ”negosiasi” di parlemen adalah keniscayaan. Di sana logika ”partisisapi” yang tampak. Upaya meraih keuntungan (pribadi) amat jelas. Debat terjadi saat pembagian jarahan timpang. Tetapi, saat ”disepakati”, semua berjejer, bagai sapi ikut ke luar kandang setelah yang lain keluar.

Perubahan di negeri ini hanya terwujud ketika wakil rakyat lebih konsekuen kepada konstituen. Bekerja untuk rakyat tidak sekadar semboyan, tetapi juga falsafah hidup yang diyakini.
Sementara itu, rakyat yang sudah memilih tidak akan pasif. Ia mengawal dan meminta pertanggungjawaban terhadap janji kesejahteraan yang diucapkan.

Robert Bala Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca dan Universidad Complutense de Madrid, Spanyol
Sumber: Kompas, Kamis, 12 Februari 2009 00:59 WIB

Tidak ada komentar: