Oleh Doni Koesoema A
Akhir-akhir ini wacana tentang keberadaan siswa cerdas dalam sistem pendidikan hangat dibicarakan. Diskusi tentangnya sering mengacu pada pertanyaan pengelolaan, pendampingan, status, dan manfaat bagi masyarakat dan bangsa.
Tanpa pemahaman jernih tentang antropologi pendidikan yang integral, pembahasan tentang anak-anak istimewa ini hanya akan memuaskan kepentingan kelompok tertentu dan menjadikan mereka korban instrumentalisasi pendidikan. Lebih dari itu, visi keadilan sosial dalam pendidikan terabaikan karena kebijakan pendidikan dikelola dengan pendekatan elitis.
Visi tentang manusia
Pertanyaan teknis dan programatis tentang pendidikan anak cerdas hanya akan berkutat pada masalah pinggiran saat pendidik dan pengambil kebijakan tidak memiliki visi mendalam tentang manusia yang dididik. Gagasannya, anak cerdas sudah seharusnya ”dijadikan milik negara” (Kompas, 2/2), jelas mendasarkan diri pada pemahaman sempit antropologi pendidikan. Di sini, yang diutamakan bukan pertumbuhan anak, tetapi lebih mengarah pada instrumentalisasi anak didik yang mengobyekkan mereka demi kepentingan lain selain demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik itu sendiri.
Demikian juga program kelas akselerasi yang marak terjadi. Program ini jauh dari gagasan manusia sebagai individu unik. Manusia diredusir melulu pada kemampuan otak sehingga kapasitas ini perlu dikarbit pertumbuhannya melalui jalur khusus. Parahnya, kelas akselerasi sering menjadi kedok untuk mengeruk dana masyarakat dengan dalih ekselensi akademis. Faktanya, materi pembelajaran dipadatkan tanpa diferensiasi proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak.
Setali tiga uang. Model pendampingan pendidikan khusus dengan cara karantina demi persiapan olimpiade juga perlu dikritisi. Model pendidikan seperti ini lebih merupakan instrumentalisasi anak-anak cerdas demi prestise kepentingan kelompok tertentu, entah itu ”bangsa”, ”negara”, atau ”Departemen Pendidikan Nasional”.
Memang anak-anak cerdas itu perlu didampingi. Namun, pendampingan itu harus dilandasi dengan motivasi demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik sebagai pribadi unik dan layak mendapat layanan pendidikan sesuai dengan dinamika perkembangan kepribadiannya. Selain itu, sebagai makhluk sosial, individu tidak akan tumbuh sehat jika model pendidikan lebih berupa pemisahan daripada integrasi dan interaksi aktif dengan rekan sebaya.
Selama ini, program pendampingan anak-anak cerdas lebih didasari asumsi manusia berharga karena otaknya. Karena itu, sebelum membuat program pendidikan bagi anak cerdas, pendidik dan pengambil kebijakan harus kritis bertanya tentang antropologi pendidikan yang ada di balik setiap perencanaan pendidikan.
Milik kemanusiaan
Tidak ada yang memiliki hak untuk mengklaim atas kepemilikan anak-anak cerdas itu selain sejarah kemanusiaan itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah, kehadiran anak-anak cerdas ini telah memperkaya kemanusiaan yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan lebih bermartabat melalui olah pikir, olah hati, dan olah fisik yang mereka miliki.
Karena itu, mengklaim kehadiran anak-anak cerdas sebagai milik kelompok tertentu merupakan wacana yang sesat sebab mereka tidak milik siapa-siapa selain milik kemanusiaan itu sendiri.
Akhir-akhir ini wacana tentang keberadaan siswa cerdas dalam sistem pendidikan hangat dibicarakan. Diskusi tentangnya sering mengacu pada pertanyaan pengelolaan, pendampingan, status, dan manfaat bagi masyarakat dan bangsa.
Tanpa pemahaman jernih tentang antropologi pendidikan yang integral, pembahasan tentang anak-anak istimewa ini hanya akan memuaskan kepentingan kelompok tertentu dan menjadikan mereka korban instrumentalisasi pendidikan. Lebih dari itu, visi keadilan sosial dalam pendidikan terabaikan karena kebijakan pendidikan dikelola dengan pendekatan elitis.
Visi tentang manusia
Pertanyaan teknis dan programatis tentang pendidikan anak cerdas hanya akan berkutat pada masalah pinggiran saat pendidik dan pengambil kebijakan tidak memiliki visi mendalam tentang manusia yang dididik. Gagasannya, anak cerdas sudah seharusnya ”dijadikan milik negara” (Kompas, 2/2), jelas mendasarkan diri pada pemahaman sempit antropologi pendidikan. Di sini, yang diutamakan bukan pertumbuhan anak, tetapi lebih mengarah pada instrumentalisasi anak didik yang mengobyekkan mereka demi kepentingan lain selain demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik itu sendiri.
Demikian juga program kelas akselerasi yang marak terjadi. Program ini jauh dari gagasan manusia sebagai individu unik. Manusia diredusir melulu pada kemampuan otak sehingga kapasitas ini perlu dikarbit pertumbuhannya melalui jalur khusus. Parahnya, kelas akselerasi sering menjadi kedok untuk mengeruk dana masyarakat dengan dalih ekselensi akademis. Faktanya, materi pembelajaran dipadatkan tanpa diferensiasi proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak.
Setali tiga uang. Model pendampingan pendidikan khusus dengan cara karantina demi persiapan olimpiade juga perlu dikritisi. Model pendidikan seperti ini lebih merupakan instrumentalisasi anak-anak cerdas demi prestise kepentingan kelompok tertentu, entah itu ”bangsa”, ”negara”, atau ”Departemen Pendidikan Nasional”.
Memang anak-anak cerdas itu perlu didampingi. Namun, pendampingan itu harus dilandasi dengan motivasi demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik sebagai pribadi unik dan layak mendapat layanan pendidikan sesuai dengan dinamika perkembangan kepribadiannya. Selain itu, sebagai makhluk sosial, individu tidak akan tumbuh sehat jika model pendidikan lebih berupa pemisahan daripada integrasi dan interaksi aktif dengan rekan sebaya.
Selama ini, program pendampingan anak-anak cerdas lebih didasari asumsi manusia berharga karena otaknya. Karena itu, sebelum membuat program pendidikan bagi anak cerdas, pendidik dan pengambil kebijakan harus kritis bertanya tentang antropologi pendidikan yang ada di balik setiap perencanaan pendidikan.
Milik kemanusiaan
Tidak ada yang memiliki hak untuk mengklaim atas kepemilikan anak-anak cerdas itu selain sejarah kemanusiaan itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah, kehadiran anak-anak cerdas ini telah memperkaya kemanusiaan yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan lebih bermartabat melalui olah pikir, olah hati, dan olah fisik yang mereka miliki.
Karena itu, mengklaim kehadiran anak-anak cerdas sebagai milik kelompok tertentu merupakan wacana yang sesat sebab mereka tidak milik siapa-siapa selain milik kemanusiaan itu sendiri.
Jika anak-anak cerdas itu menjadi milik kemanusiaan, maka melalui pengetahuan, bakat, dan kecerdasannya, mereka mampu menyumbangkan perbaikan bagi masyarakat. Kehadiran anak-anak cerdas juga perlu menjadi berkat bagi kemanusiaan yang lain dan tidak bisa diklaim atau dibatasi dalam membagi pengetahuan dan kekayaan kepada orang lain. Karena itu, segregasi, pemisahan, karantina jelas bertentangan dengan hakikat pendidikan dan keberadaan anak-anak cerdas itu sendiri.
Di sinilah visi keadilan sosial perlu ditumbuhkan di kalangan pendidik dan pengambil keputusan. Banyak teori pendidikan menunjukkan, pengetahuan yang dibagikan itu akan memperkaya kemanusiaan dan masyarakat daripada disimpan dan dimiliki seorang diri. Pada kenyataannya, ilmu pengetahuan itu terbentuk dan berkembang karena perjumpaan dengan orang lain. Dalam perjumpaan dengan orang lain inilah ilmu itu berkembang. Ilmu yang dibagikan tidak membuat si pemilik ilmu itu kian miskin, bahkan ia menjadi semakin kaya.
Menyesatkan
Dari sisi antropologi pendidikan, wacana ”anak cerdas” sebenarnya menyesatkan sebab paradigma ini membagi dua kelompok manusia, cerdas dan tidak cerdas. Padahal, istilah ”anak cerdas” ini pun sering hanya didasarkan pada satu kriteria, yaitu kemampuan akademis belaka.
Kini, kita kian tahu, ada banyak jenis kecerdasan. Maka, wacana ”anak cerdas” bisa mengecoh para pendidik dan pengambil keputusan untuk memprioritaskan yang satu melebihi yang lain. Faktanya, sebenarnya tidak ada yang disebut ”anak cerdas” sebab tiap anak memiliki kecerdasannya sendiri-sendiri.
Wacana tentang ”anak cerdas” muncul karena ada berbagai kepentingan yang ingin menjadikan mereka alat kepentingan sempit daripada mendasarkan diri pada keprihatinan asasi pendidikan yang menganggap tiap anak berhak mendapat layanan pendidikan prima sebab pada dasarnya tiap anak adalah anak-anak cerdas. Pemahaman sempit tentang antropologi pendidikan yang meredusir anak cerdas sekadar instrumentasi kepentingan dalam jangka panjang akan merugikan anak itu sendiri, bahkan merugikan masyarakat.
Layanan prima
Setiap anak memiliki potensi kecerdasan dan hak untuk mendapat layanan prima dalam pendidikan sehingga seluruh potensi kemanusiaan dan kepribadiannya bertumbuh secara integral dan utuh. Separasi, karantina, program akselerasi, dan pendewaan ide ”anak cerdas” sebagai lebih penting daripada keyakinan bahwa ”semua anak adalah cerdas” menunjukkan adanya cacat pemahaman terhadap antropologi pendidikan yang dianut pendidik dan pengambil kebijakan.
Instrumentalisasi anak-anak cerdas demi nafsu kelompok kepentingan tertentu harus dihentikan, diganti dengan program pendidikan yang lebih menghargai perkembangan dan pertumbuhan diri anak didik secara integral tanpa mencabut anak didik dari lingkungan sosialnya. Jika ini terjadi, kita akan memetik buah-buah kehadiran mereka bagi masyarakat sebab pada hakikatnya anak-anak itu adalah milik kemanusiaan, bukan milik segelintir orang yang memanfaatkan mereka demi prestise, harga diri, dan kepentingan sempit mereka sendiri.
*) Doni Koesoema A, Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston
Sumber: Kompas, Selasa, 17 Februari 2009 23:54 WIB