Oleh: Irwan Nugroho
Wartawan Detik.com
Tahukah anda, tahun 1970-an Indonesia pernah mengalami paceklik buku (book starvation)? Tepatnya di tahun 1973, UNESCO mencatat tidak ada satupun judul buku yang terbit dan dijual di pasaran.
Usut punya usut, paceklik itu adalah imbas dari pencabutan subsidi kertas oleh pemerintah sejak tahun 1965. Penerbitan buku mandek dan baru menggeliat kembali sejak pemerintah Orde Baru membuat proyek buku inpres. Tidak hanya jumlah buku yang melonjak, ratusan penerbit pun muncul.
Itulah secuil sejarah pelarangan buku di tanah air seperti digambarkan dalam Pameran Pelarangan Buku dari Zaman ke Zaman. Pameran tersebut digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, 14-17 Maret 2010.
Acara ini adalah hasil kerjasama antara Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dan Grafisosial Indonesia. Selain pameran, digelar pula diskusi secara berseri tentang pelarangan buku.
Perjalanan panjang pelarangan buku di Indonesia diuraikan secara apik dalam tiga buah infografis. Untuk mendramatisir suasana, dibuatlah replika penjara dengan jeruji berwarna hitam. Di dalamnya, terdapat ratusan judul buku, berserta sejumlah cover-nya, yang dilarang sejak tahun 1959.
Meski buku atau brosur telah banyak dilarang pada masa kolonial, namun mulai tahun itulah pemerintah RI melakukan intervensi terhadap barang cetakan. Pada 1959 itu, diterbitkan peraturan No 23/perpu/1959 yang memberi wewenang militer melarang buku dan menutup percetakan.
Satu orang pengarang menjadi korban pelarangan buku saat itu, yakni sastrawan Pramudya Ananta Toer. Ia mengarang buku berjudul "Hoakiau" yang disebut sejarahwan Asvi Warman Adam membela etnis Tionghoa atas pembatasan bisnis mereka di tingkat kecamatan ke bawah. Almarhum Pram sendiri berkomentar mengenai bukunya yang belum sempat turun dari percetakan itu. "Buku itu dilarang karena saya dituduh menjual negara ke RRC," kata pengarang trilogi Bumi Manusia ini.
Di tahun 1963, Presiden Soekarno menandatangani Perpres No 4 tentang pengamanan barang cetakan. Sejak adanya peraturan tersebut, wewenang untuk membredel buku yang 'berbahaya' berpindah dari tangan militer kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Hingga kini pun, Kejagung masih menggunakan UU itu untuk melarang buku.
Dengan perpres itu, Soekarno melarang pendukung Manifesto Kebudayaan, yang berakibat 20-an sastrawan kesulitan untuk mempublikasikan karya-karya mereka. Namun, tindakan ini berbalas tiga tahun kemudian ketika penggantinya, Soeharto, mengumumkan pelarangan Lekra serta membreidel 70-an judul buku karya para senimannya. 87 Nama penulis yang berhaluan kiri juga dilarang untuk menulis di media masa hingga sekarang.
Pelarangan buku makin tidak terbendung ketika Kejagung membentuk lembaga bernama clearing house, yang berfungsi untuk mengawasi isi cetakan. Lembaga ini beranggotakan Jamintel, BIN, Departemen Penerangan, dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depdikbud pada saat itu juga bergerak sendiri dengan melarang buku-buku seperti milik Pram, Soepardo, dan Rivai Apin sebagai bahan ajar.
"Di masa itu, bukan hanya pengarangnya saja, tapi penjual buku yang dilarang juga dipenjara. Di Yogyakarta, 3 orang mahasiswa dikenai tuduhan subversif dengan ancaman hukuman 5 tahun karena menjual buku-buku karya Pram," kata Asvi dalam sesi diskusi, Selasa (16/3), kemarin.
Munculnya gerakan reformasi memberikan euforia kebebasan dalam berekspresi dan menyatakan pendapat. Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mengatakan, ada kekosongan waktu 7 tahun di mana pemerintah RI tidak melakukan tindakan apapun terhadap jenis-jenis buku yang beredar. Namun, pada tahun 2007, Kejagung kembali melakukan pelarang buku yang, menurutnya, paling tidak cerdas sepanjang sejarah.
Kejagung memberangus buku-buku pelajaran SMP dan SMA karena tidak menyertakan peristiwa Madiun 1948 serta tidak menyebut PKI dalam peristiwa G30S. Namun, buku-buku pelajaran yang memuat kurikulum sejarah periode sebelumnya juga ikut dilarang.
Peristiwa Madiun dan G30S termasuk dalam buku pelajaran sejarah jilid III. Namun, Kejagung juga melarang peredaran buku jilid I dan II yang berisi pelajaran tentang kerajaan-kerajaan di tanah air hingga masa kemerdekaan RI.
Meski mendapat tentangan dari berbagai pihak, namun Kejagung tidak bergeming. Di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Hendarman Supandji, tahun 2009, Kejagung melarang peredaran lima buku. Buku-buku tersebut adalah: Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua
Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.(irw/iy)
Sumber: Detik.com, Rabu, 17/03/2010 12:32 WIB
Senin, 10 Mei 2010
Minggu, 09 Mei 2010
Buta Matematika dan Ujian Nasional
Oleh: Ahmad Rizali
Pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI)
Dalam era pemerintah sekarang, bangsa Indonesia selalu dibuat gembira oleh bertaburnya prestasi medali emas dan perak murid SMP dan SMA dalam berbagai olimpiade sains dan matematika tingkat dunia, baik dalam kategori teori maupun praktek. Saking bangganya, foto para pemenang dipajang di lobi kantor Kementerian Pendidikan Nasional, dan histeria itu mendorong sekolah di seantero Nusantara berlomba melatih murid-muridnya agar lulus seleksi nasional olimpiade.
Namun benarkah prestasi segelintir murid yang berhasil membentuk persepsi publik bahwa ternyata murid sekolah di Indonesia itu cerdas telah mewakili tingkat penguasaan matematika murid kita? Ternyata tidak. Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2007 melaporkan bahwa 48 persen murid setingkat SMP di Indonesia buta matematika. Jika buta huruf berarti tidak mengerti huruf latin dan cara memakainya, buta matematika adalah tidak paham tentang angka atau bilangan dan desimal, tidak paham operasi kali-bagi-tambah-kurang atau ping-poro-lan-sudo (bahasa Jawa), dan tidak paham membaca grafik sederhana.
Dari 52 persen murid yang melek matematika, lebih dari setengahnya (55,7 persen) hanya melek tingkat dasar, yang hanya paham tentang bilangan dan desimal, operasi ping-poro-lan-sudo, dan grafik sederhana. Bandingkan dengan di Malaysia, yang sudah 82 persen murid melek matematika dan hanya 15 persen darinya tertinggal di tingkat dasar, yang belum mampu menggunakan pemahaman tersebut dalam keseharian. Angka itu jauh di bawah rerata internasional, yang hanya 25 persen murid buta matematika dengan 61 persen dari mereka melek dan mampu menguasai tingkat dasar.
Tidak usahlah kita bandingkan dengan kemampuan murid di Republik Korea Selatan, yang hanya 2 persen buta matematika. Dan ketika dibandingkan dengan Bosnia Herzegovina, sebuah negeri yang pernah dilanda perang etnik, kondisi Indonesia pun terlihat lebih buruk. Di sana hanya 23 persen murid buta matematika, dan 31 persen dari yang melek berada di tingkat dasar.
TIMSS 2007 juga mencatat bahwa murid Indonesia yang mampu menggunakan pemahaman matematikanya untuk menyelesaikan persoalan yang perlu beberapa langkah rumit (high order thinking) hanya kurang dari 1 persen, di bawah rerata internasional yang sekitar 2 persen. Bandingkan dengan murid Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura yang di atas 40 persen.
Ada yang salah
Tingkat buta matematika di Indonesia pun ternyata meningkat. Pada 1999 masih bercokol di angka 50 persen, pada 2003 turun menjadi 45 persen, tapi pada 2007 meningkat lagi menjadi 48 persen. Sementara itu, mereka yang memiliki kemampuan tertinggi melorot dari 2 persen pada 1999 menjadi hanya kurang dari 1 persen pada 2007.
Sungguh naif jika otoritas pengambil kebijakan pendidikan Indonesia tidak mengetahui gambaran sangat suram tentang kegagalan pendidikan matematika ini, dan sungguh mencengangkan, pemerintah tidak pernah memaparkan masalah serius ini secara terbuka kepada publik pembayar pajak, namun langsung memaksa sekolah untuk menjalankan ujian nasional (UN) mulai jenjang SD hingga SLTA dan menaikkan batas nilai kelulusan setiap tahun dengan dalih menaikkan mutu pendidikan.
Gembar-gembor prestasi olimpiade matematika dan sains boleh jadi merupakan upaya menutupi kegagalan pendidikan matematika yang meluas tersebut. Secara alamiah, murid sangat pandai akan eksis di mana pun, termasuk di Indonesia yang tingkat melek matematikanya rendah. Meskipun jumlahnya sangat sedikit, jika mereka dilatih intensif tentu akan berhasil. Sementara itu, murid yang sangat bodoh juga berjumlah sangat sedikit, sehingga jika ada kebutaan matematika sebanyak hampir setengah dari populasi, tentu dapat disimpulkan bahwa ada yang salah dalam pendidikan di negeri ini.
Meskipun pemerintah yakin bahwa UN dapat meningkatkan mutu pendidikan, artinya UN matematika dapat meningkatkan mutu penguasaan matematika murid. Sehingga, saat persentase kelulusan mata pelajaran matematika di UN SMP naik, bahkan ketika batas kelulusannya dinaikkan, belum tentu secara otomatis tingkat melek matematika kita membaik pula. Sebab, UN jenjang SMP kita memiliki model soal yang berbeda dengan soal TIMSS-2007, sehingga hasil UN Indonesia tidak bisa dibandingkan setara dengan hasil uji TIMSS-2007.
Mutu guru
Matematika dianggap sebagai bahasa universal untuk memahami ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagai alat utama untuk berpikir dan bernalar. Sehingga, di negara mana pun, pelajaran matematika di tingkat pendidikan dasar memperoleh porsi paling besar. Di Indonesia, pelajaran matematika SMP diberi porsi 4 jam dari 32 total jam pelajaran per pekan, bahkan di SD diberikan selama 5 jam pelajaran per pekan (lebih dari 15 persen dari mata pelajaran yang diberikan). Dengan porsi sebanyak itu, sudah seharusnya sekolah tidak gagal mendidik muridnya melek matematika.
Kegagalan tersebut mungkin akibat lemahnya penguasaan guru atas bahan ajar matematika dan cara penyampaian yang kurang menarik di kelas. Akibatnya, pelajaran matematika menjadi momok dan sangat membosankan, bahkan untuk murid pintar sekalipun. Hal itu terbukti, lebih dari 50 persen guru kelas di SD dan sekitar 50 persen guru matematika SMP tidak layak mengajar, meskipun tingkat pendidikan formal mereka tidak ekstrem lebih rendah dibanding di Malaysia (TIMSS-2007).
Untuk menaikkan angka melek matematika, pemerintah, selain harus mati matian memperbaiki mutu guru ketika mahasiswa (pre-service) dan saat mengajar (in-service), harus pula membenahi sarana dan prasarana pendidikan dasar hingga memenuhi standar pelayanan minimum (SPM) di seluruh pelosok Nusantara. Soal UN pun harus dibuat selaras dengan soal TIMSS yang lebih mengutamakan penguasaan tuntas konsep dasar matematika, karena soal UN saat ini hanya mendorong penyerapan tuntas materi yang terlalu banyak dan memicu murid untuk menghafal.
Jika upaya perbaikan yang konsisten dan berjangka panjang itu dikerjakan oleh pemerintahan yang berperilaku seperti pecundang, jangan berharap mutu pendidikan akan membaik, dan alangkah buruknya nasib dan masa depan anak negeri yang bercita-cita mencerdaskan bangsa ini.
Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 8/5/2010
Pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI)
Dalam era pemerintah sekarang, bangsa Indonesia selalu dibuat gembira oleh bertaburnya prestasi medali emas dan perak murid SMP dan SMA dalam berbagai olimpiade sains dan matematika tingkat dunia, baik dalam kategori teori maupun praktek. Saking bangganya, foto para pemenang dipajang di lobi kantor Kementerian Pendidikan Nasional, dan histeria itu mendorong sekolah di seantero Nusantara berlomba melatih murid-muridnya agar lulus seleksi nasional olimpiade.
Namun benarkah prestasi segelintir murid yang berhasil membentuk persepsi publik bahwa ternyata murid sekolah di Indonesia itu cerdas telah mewakili tingkat penguasaan matematika murid kita? Ternyata tidak. Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2007 melaporkan bahwa 48 persen murid setingkat SMP di Indonesia buta matematika. Jika buta huruf berarti tidak mengerti huruf latin dan cara memakainya, buta matematika adalah tidak paham tentang angka atau bilangan dan desimal, tidak paham operasi kali-bagi-tambah-kurang atau ping-poro-lan-sudo (bahasa Jawa), dan tidak paham membaca grafik sederhana.
Dari 52 persen murid yang melek matematika, lebih dari setengahnya (55,7 persen) hanya melek tingkat dasar, yang hanya paham tentang bilangan dan desimal, operasi ping-poro-lan-sudo, dan grafik sederhana. Bandingkan dengan di Malaysia, yang sudah 82 persen murid melek matematika dan hanya 15 persen darinya tertinggal di tingkat dasar, yang belum mampu menggunakan pemahaman tersebut dalam keseharian. Angka itu jauh di bawah rerata internasional, yang hanya 25 persen murid buta matematika dengan 61 persen dari mereka melek dan mampu menguasai tingkat dasar.
Tidak usahlah kita bandingkan dengan kemampuan murid di Republik Korea Selatan, yang hanya 2 persen buta matematika. Dan ketika dibandingkan dengan Bosnia Herzegovina, sebuah negeri yang pernah dilanda perang etnik, kondisi Indonesia pun terlihat lebih buruk. Di sana hanya 23 persen murid buta matematika, dan 31 persen dari yang melek berada di tingkat dasar.
TIMSS 2007 juga mencatat bahwa murid Indonesia yang mampu menggunakan pemahaman matematikanya untuk menyelesaikan persoalan yang perlu beberapa langkah rumit (high order thinking) hanya kurang dari 1 persen, di bawah rerata internasional yang sekitar 2 persen. Bandingkan dengan murid Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura yang di atas 40 persen.
Ada yang salah
Tingkat buta matematika di Indonesia pun ternyata meningkat. Pada 1999 masih bercokol di angka 50 persen, pada 2003 turun menjadi 45 persen, tapi pada 2007 meningkat lagi menjadi 48 persen. Sementara itu, mereka yang memiliki kemampuan tertinggi melorot dari 2 persen pada 1999 menjadi hanya kurang dari 1 persen pada 2007.
Sungguh naif jika otoritas pengambil kebijakan pendidikan Indonesia tidak mengetahui gambaran sangat suram tentang kegagalan pendidikan matematika ini, dan sungguh mencengangkan, pemerintah tidak pernah memaparkan masalah serius ini secara terbuka kepada publik pembayar pajak, namun langsung memaksa sekolah untuk menjalankan ujian nasional (UN) mulai jenjang SD hingga SLTA dan menaikkan batas nilai kelulusan setiap tahun dengan dalih menaikkan mutu pendidikan.
Gembar-gembor prestasi olimpiade matematika dan sains boleh jadi merupakan upaya menutupi kegagalan pendidikan matematika yang meluas tersebut. Secara alamiah, murid sangat pandai akan eksis di mana pun, termasuk di Indonesia yang tingkat melek matematikanya rendah. Meskipun jumlahnya sangat sedikit, jika mereka dilatih intensif tentu akan berhasil. Sementara itu, murid yang sangat bodoh juga berjumlah sangat sedikit, sehingga jika ada kebutaan matematika sebanyak hampir setengah dari populasi, tentu dapat disimpulkan bahwa ada yang salah dalam pendidikan di negeri ini.
Meskipun pemerintah yakin bahwa UN dapat meningkatkan mutu pendidikan, artinya UN matematika dapat meningkatkan mutu penguasaan matematika murid. Sehingga, saat persentase kelulusan mata pelajaran matematika di UN SMP naik, bahkan ketika batas kelulusannya dinaikkan, belum tentu secara otomatis tingkat melek matematika kita membaik pula. Sebab, UN jenjang SMP kita memiliki model soal yang berbeda dengan soal TIMSS-2007, sehingga hasil UN Indonesia tidak bisa dibandingkan setara dengan hasil uji TIMSS-2007.
Mutu guru
Matematika dianggap sebagai bahasa universal untuk memahami ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagai alat utama untuk berpikir dan bernalar. Sehingga, di negara mana pun, pelajaran matematika di tingkat pendidikan dasar memperoleh porsi paling besar. Di Indonesia, pelajaran matematika SMP diberi porsi 4 jam dari 32 total jam pelajaran per pekan, bahkan di SD diberikan selama 5 jam pelajaran per pekan (lebih dari 15 persen dari mata pelajaran yang diberikan). Dengan porsi sebanyak itu, sudah seharusnya sekolah tidak gagal mendidik muridnya melek matematika.
Kegagalan tersebut mungkin akibat lemahnya penguasaan guru atas bahan ajar matematika dan cara penyampaian yang kurang menarik di kelas. Akibatnya, pelajaran matematika menjadi momok dan sangat membosankan, bahkan untuk murid pintar sekalipun. Hal itu terbukti, lebih dari 50 persen guru kelas di SD dan sekitar 50 persen guru matematika SMP tidak layak mengajar, meskipun tingkat pendidikan formal mereka tidak ekstrem lebih rendah dibanding di Malaysia (TIMSS-2007).
Untuk menaikkan angka melek matematika, pemerintah, selain harus mati matian memperbaiki mutu guru ketika mahasiswa (pre-service) dan saat mengajar (in-service), harus pula membenahi sarana dan prasarana pendidikan dasar hingga memenuhi standar pelayanan minimum (SPM) di seluruh pelosok Nusantara. Soal UN pun harus dibuat selaras dengan soal TIMSS yang lebih mengutamakan penguasaan tuntas konsep dasar matematika, karena soal UN saat ini hanya mendorong penyerapan tuntas materi yang terlalu banyak dan memicu murid untuk menghafal.
Jika upaya perbaikan yang konsisten dan berjangka panjang itu dikerjakan oleh pemerintahan yang berperilaku seperti pecundang, jangan berharap mutu pendidikan akan membaik, dan alangkah buruknya nasib dan masa depan anak negeri yang bercita-cita mencerdaskan bangsa ini.
Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 8/5/2010
Senin, 03 Mei 2010
Menuntut Ekspatriat Berbahasa Indonesia
Oleh: Maryanto
Pemerhati politik bahasa
Harian The Jakarta Post (15 Agustus 2003) pernah menurunkan berita “Learn to speak bahasa Indonesia or pack your bags!”. Berita ini berisi tuntutan bagi mereka yang disebut ekspatriat agar mampu berbahasa Indonesia demi pekerjaan di Indonesia. Pada Hari Buruh 1 Mei ini, tuntutan tersebut perlu disuarakan kembali guna mengatasi kesenjangan sosial antara pekerja asing dan pekerja domestik.
Kesenjangan sudah terlalu lebar. Seiring dengan perkembangan pasar bebas jasa tenaga kerja, jika tidak segera diatasi, kesenjangan ini bisa membahayakan kelangsungan hidup berbangsa Indonesia. Sudah lama terdengar anak bangsa Indonesia digaji jauh lebih rendah daripada anak bangsa lain yang sama-sama mengais rezeki di bumi Indonesia. Seorang buruh migran bisa mengantongi gaji sepuluh kali lipat upah buruh domestik. Padahal posisi mereka sama.
Janganlah lamban negara ini bertindak. Indonesia tidak boleh lama-lama membiarkan warganya di bumi sendiri saja menjadi bangsa inferior. Superioritas ekspatriat boleh jadi imbas dari kehausan Indonesia akan kedatangan investor asing, tetapi investor dan pekerja asing mestinya datang terpisah. Pekerja asing haruslah tunduk kepada aturan ketenagakerjaan yang berlaku.
Perundang-undangan
Sudah tersedia perundang-undangan yang mengatur ihwal tenaga kerja asing di Indonesia. Jacob Nuwa Wea, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di era Presiden Megawati, pernah menetapkan tata cara perekrutan pekerja asing dengan surat keputusannya, Nomor: KEP-20/MEN/III/2004, tanggal 1 Maret 2004. Pada Bab II, Pasal 2 huruf (c) dalam keputusan ini, tenaga kerja asing yang diberi pekerjaan di Indonesia dipersyaratkan mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Belum terdengar keputusan Nuwa Wea dicabut. Namun, aturan yang sangat bagus itu masih terlihat sepi dalam implementasi. Para perekrut tenaga kerja asing belum ramai mempersoalkan dan melaksanakannya. Sebagai pemegang otoritas pengelola kebahasaan Indonesia, Pusat Bahasa (Kementerian Pendidikan Nasional) juga belum bergegas ikut mengawal pelaksanaan aturan perundang-undangan tersebut.
Sangat menarik--meski agak terlambat--gagasan sekelompok orang Pusat Bahasa untuk menggelar seminar dan lokakarya (semiloka) nasional di Jakarta pada 20-22 Juli 2010 dengan mengangkat isu sertifikasi pendidikan dan pekerjaan dengan ujian bahasa sendiri. Isu ini, menurut informasi dari Pusat Bahasa, diangkat untuk membahas peluang dan tantangan bahasa Indonesia pada era pasar bebas.
Peluang memang terbuka sangat luas bagi bahasa Indonesia untuk berperan dalam sertifikasi kompetensi tenaga kerja. Komponen kompetensi kerja--task skill; task management skill; contingency management skill; job/role environment skill; transfer skill--semuanya bersangkut-paut dengan komunikasi berbahasa. Bahkan, menurut Regional Model of Competency Standard (RMCS), kemampuan mengomunikasikan ide dan informasi merupakan sebuah kompetensi kunci tersendiri.
Bagaimana merancang komunikasi berbahasa di dunia kerja Indonesia? Kalau untuk negara Australia, sebagai contoh, jangan coba-coba seorang pekerja paramedis pergi bekerja di negeri itu tanpa memegang sertifikat hasil ujian IELTS (sejenis TOEFL) sebagai bukti kompetensi berbahasa Inggris (skor minimal: 7,0). Indonesia diharapkan juga ketat memberlakukan aturan seperti itu: tidak hanya bermanfaat melindungi buruh domestik, tetapi juga jauh lebih penting, menjaring pekerja yang kompeten.
Indonesia sudah memiliki sistem ujian bahasa sendiri yang dikembangkan oleh Pusat Bahasa dengan sebutan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Sistem UKBI inilah yang rupanya akan dibahas dalam semiloka nasional nanti. Dalam sistem ujian ini, tersedia nilai kemampuan berbahasa Indonesia dari peringkat tertinggi hingga terendah: (1) Istimewa; (2) Sangat Unggul; (3) Unggul; (4) Madya; (5) Semenjana; (6) Marginal; (7) Terbatas.
Tujuh peringkat kemahiran berbahasa tersebut sudah dikukuhkan oleh Mendiknas dengan Surat Keputusan Nomor 18/U/2003 tentang UKBI. Sayangnya, belum ada sinergi implementasi produk perundang-undangan Mendiknas ini dengan produk Menakertrans untuk perekrutan tenaga kerja, baik domestik maupun asing, di Indonesia.
Sudah saatnya dibuat peta tuntutan kompetensi berbahasa Indonesia untuk setiap sektor jasa tenaga kerja. Katakan, misalnya, dokter dan profesi lain yang berisiko tinggi akan adanya malpraktek perlu dituntut minimal mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia formal pada peringkat ke-2: Sangat Unggul. Tuntutan ini juga terkait erat dengan perlindungan konsumen bagi masyarakat pengguna jasa profesi.
Persoalan berikutnya: apakah angkatan kerja domestik juga diperlakukan sama dengan ekspatriat? Tidak boleh ada diskriminasi. Dalam hal berbahasa Indonesia formal, orang Indonesia bisa jadi lebih buruk daripada orang asing. Maklumlah, orang Indonesia umumnya “jago” dalam berbahasa Indonesia informal dengan warna lokal. Malahan, sedang digalakkan bahwa orang Indonesia wajib berbahasa lokal.
Lokal-nasional
Di banyak daerah, Indonesia sedang tampak kegenitan memandang perbedaan bahasa lokal-nasional. Koran Tempo (20 Februari 2010) melaporkan ulah seorang kepala pemerintah daerah (di Jawa Tengah) yang menolak diwawancarai dalam bahasa Indonesia. Setiap tamu yang datang ke daerah itu harus repot-repot mengikuti aturan wajib berbahasa lokal (bahasa Jawa). Ulah kegenitan seperti itu sudah merebak di banyak daerah lain yang juga terhasut menganut primordialisme.
Primordialisme mencuat tajam karena terpicu atau terpacu oleh stempel politis yang sekarang melabeli bahasa Indonesia hanya sebagai sebuah bahasa nasional. Bahasa nasional dicap secara politis terpisah dari bahasa lokal. Padahal perbedaan bahasa ini sangat nisbi. Masyarakat Indonesia--kecuali mereka yang masih hidup terisolasi--menyuburkan ragam bahasa masing-masing tanpa dikotomi lokal-nasional.
Dikotomi bahasa agaknya cocok diterapkan hanya pada zaman purba, di kala nenek moyang hidup terisolasi dengan sekat-sekat bahasa kesukuan tanpa visi bahasa persatuan. Apa yang sekarang terjadi di Jawa dan di banyak daerah lain sudah berbentuk sikap pengebirian terhadap harapan para pendiri bangsa akan adanya bahasa persatuan. Kembali berbahasa lokal ala zaman purba jelaslah merupakan kegenitan untuk menumbuhkan primordialisme.
Jika primordialisme terus direvitalisasi, nantinya tidak mengherankan bila para ekspatriat (juga para pendatang, bukan putra daerah) diuji di setiap daerah. Karena bekerja di daerah Jawa Barat, misalnya, mereka harus diuji berbahasa lokal ala leluhur Sunda. Di Bali, berlakulah bahasa daerah Bali. Apabila mereka dimutasi ke Lampung, bahasa Lampung-lah yang diberlakukan. Kalau demikian seterusnya, betapa kacau negeri Indonesia ini. Indonesia sangat rapuh di era global.
Pasar jasa tenaga kerja sudah mulai terbuka bebas. Ini sebuah penanda globalisasi. Tanpa berbenah diri, Indonesia bakal tergilas pasar bebas. Segeralah tempatkan sentimen kelokalan bahasa ke dalam wadah bahasa persatuan Indonesia. Hanya dengan bersatu, termasuk dalam hal bahasa ini, Indonesia akan tangguh di era global.
Dalam percaturan global, Indonesia ditantang agar berani mengatakan bahwa kaum buruh migran tidak akan kompeten bekerja di Indonesia tanpa kemampuan komunikasi berbahasa Indonesia. Kepada ekspatriat yang tidak kompeten, beranilah berkata: ”Angkut kopermu dan angkat kakimu dari bumi Indonesia sekarang!”
Semoga gerakan dan gertakan ini muncul dari semiloka Pusat Bahasa nanti. *
Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 1 Mei 2010
Pemerhati politik bahasa
Harian The Jakarta Post (15 Agustus 2003) pernah menurunkan berita “Learn to speak bahasa Indonesia or pack your bags!”. Berita ini berisi tuntutan bagi mereka yang disebut ekspatriat agar mampu berbahasa Indonesia demi pekerjaan di Indonesia. Pada Hari Buruh 1 Mei ini, tuntutan tersebut perlu disuarakan kembali guna mengatasi kesenjangan sosial antara pekerja asing dan pekerja domestik.
Kesenjangan sudah terlalu lebar. Seiring dengan perkembangan pasar bebas jasa tenaga kerja, jika tidak segera diatasi, kesenjangan ini bisa membahayakan kelangsungan hidup berbangsa Indonesia. Sudah lama terdengar anak bangsa Indonesia digaji jauh lebih rendah daripada anak bangsa lain yang sama-sama mengais rezeki di bumi Indonesia. Seorang buruh migran bisa mengantongi gaji sepuluh kali lipat upah buruh domestik. Padahal posisi mereka sama.
Janganlah lamban negara ini bertindak. Indonesia tidak boleh lama-lama membiarkan warganya di bumi sendiri saja menjadi bangsa inferior. Superioritas ekspatriat boleh jadi imbas dari kehausan Indonesia akan kedatangan investor asing, tetapi investor dan pekerja asing mestinya datang terpisah. Pekerja asing haruslah tunduk kepada aturan ketenagakerjaan yang berlaku.
Perundang-undangan
Sudah tersedia perundang-undangan yang mengatur ihwal tenaga kerja asing di Indonesia. Jacob Nuwa Wea, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di era Presiden Megawati, pernah menetapkan tata cara perekrutan pekerja asing dengan surat keputusannya, Nomor: KEP-20/MEN/III/2004, tanggal 1 Maret 2004. Pada Bab II, Pasal 2 huruf (c) dalam keputusan ini, tenaga kerja asing yang diberi pekerjaan di Indonesia dipersyaratkan mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Belum terdengar keputusan Nuwa Wea dicabut. Namun, aturan yang sangat bagus itu masih terlihat sepi dalam implementasi. Para perekrut tenaga kerja asing belum ramai mempersoalkan dan melaksanakannya. Sebagai pemegang otoritas pengelola kebahasaan Indonesia, Pusat Bahasa (Kementerian Pendidikan Nasional) juga belum bergegas ikut mengawal pelaksanaan aturan perundang-undangan tersebut.
Sangat menarik--meski agak terlambat--gagasan sekelompok orang Pusat Bahasa untuk menggelar seminar dan lokakarya (semiloka) nasional di Jakarta pada 20-22 Juli 2010 dengan mengangkat isu sertifikasi pendidikan dan pekerjaan dengan ujian bahasa sendiri. Isu ini, menurut informasi dari Pusat Bahasa, diangkat untuk membahas peluang dan tantangan bahasa Indonesia pada era pasar bebas.
Peluang memang terbuka sangat luas bagi bahasa Indonesia untuk berperan dalam sertifikasi kompetensi tenaga kerja. Komponen kompetensi kerja--task skill; task management skill; contingency management skill; job/role environment skill; transfer skill--semuanya bersangkut-paut dengan komunikasi berbahasa. Bahkan, menurut Regional Model of Competency Standard (RMCS), kemampuan mengomunikasikan ide dan informasi merupakan sebuah kompetensi kunci tersendiri.
Bagaimana merancang komunikasi berbahasa di dunia kerja Indonesia? Kalau untuk negara Australia, sebagai contoh, jangan coba-coba seorang pekerja paramedis pergi bekerja di negeri itu tanpa memegang sertifikat hasil ujian IELTS (sejenis TOEFL) sebagai bukti kompetensi berbahasa Inggris (skor minimal: 7,0). Indonesia diharapkan juga ketat memberlakukan aturan seperti itu: tidak hanya bermanfaat melindungi buruh domestik, tetapi juga jauh lebih penting, menjaring pekerja yang kompeten.
Indonesia sudah memiliki sistem ujian bahasa sendiri yang dikembangkan oleh Pusat Bahasa dengan sebutan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Sistem UKBI inilah yang rupanya akan dibahas dalam semiloka nasional nanti. Dalam sistem ujian ini, tersedia nilai kemampuan berbahasa Indonesia dari peringkat tertinggi hingga terendah: (1) Istimewa; (2) Sangat Unggul; (3) Unggul; (4) Madya; (5) Semenjana; (6) Marginal; (7) Terbatas.
Tujuh peringkat kemahiran berbahasa tersebut sudah dikukuhkan oleh Mendiknas dengan Surat Keputusan Nomor 18/U/2003 tentang UKBI. Sayangnya, belum ada sinergi implementasi produk perundang-undangan Mendiknas ini dengan produk Menakertrans untuk perekrutan tenaga kerja, baik domestik maupun asing, di Indonesia.
Sudah saatnya dibuat peta tuntutan kompetensi berbahasa Indonesia untuk setiap sektor jasa tenaga kerja. Katakan, misalnya, dokter dan profesi lain yang berisiko tinggi akan adanya malpraktek perlu dituntut minimal mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia formal pada peringkat ke-2: Sangat Unggul. Tuntutan ini juga terkait erat dengan perlindungan konsumen bagi masyarakat pengguna jasa profesi.
Persoalan berikutnya: apakah angkatan kerja domestik juga diperlakukan sama dengan ekspatriat? Tidak boleh ada diskriminasi. Dalam hal berbahasa Indonesia formal, orang Indonesia bisa jadi lebih buruk daripada orang asing. Maklumlah, orang Indonesia umumnya “jago” dalam berbahasa Indonesia informal dengan warna lokal. Malahan, sedang digalakkan bahwa orang Indonesia wajib berbahasa lokal.
Lokal-nasional
Di banyak daerah, Indonesia sedang tampak kegenitan memandang perbedaan bahasa lokal-nasional. Koran Tempo (20 Februari 2010) melaporkan ulah seorang kepala pemerintah daerah (di Jawa Tengah) yang menolak diwawancarai dalam bahasa Indonesia. Setiap tamu yang datang ke daerah itu harus repot-repot mengikuti aturan wajib berbahasa lokal (bahasa Jawa). Ulah kegenitan seperti itu sudah merebak di banyak daerah lain yang juga terhasut menganut primordialisme.
Primordialisme mencuat tajam karena terpicu atau terpacu oleh stempel politis yang sekarang melabeli bahasa Indonesia hanya sebagai sebuah bahasa nasional. Bahasa nasional dicap secara politis terpisah dari bahasa lokal. Padahal perbedaan bahasa ini sangat nisbi. Masyarakat Indonesia--kecuali mereka yang masih hidup terisolasi--menyuburkan ragam bahasa masing-masing tanpa dikotomi lokal-nasional.
Dikotomi bahasa agaknya cocok diterapkan hanya pada zaman purba, di kala nenek moyang hidup terisolasi dengan sekat-sekat bahasa kesukuan tanpa visi bahasa persatuan. Apa yang sekarang terjadi di Jawa dan di banyak daerah lain sudah berbentuk sikap pengebirian terhadap harapan para pendiri bangsa akan adanya bahasa persatuan. Kembali berbahasa lokal ala zaman purba jelaslah merupakan kegenitan untuk menumbuhkan primordialisme.
Jika primordialisme terus direvitalisasi, nantinya tidak mengherankan bila para ekspatriat (juga para pendatang, bukan putra daerah) diuji di setiap daerah. Karena bekerja di daerah Jawa Barat, misalnya, mereka harus diuji berbahasa lokal ala leluhur Sunda. Di Bali, berlakulah bahasa daerah Bali. Apabila mereka dimutasi ke Lampung, bahasa Lampung-lah yang diberlakukan. Kalau demikian seterusnya, betapa kacau negeri Indonesia ini. Indonesia sangat rapuh di era global.
Pasar jasa tenaga kerja sudah mulai terbuka bebas. Ini sebuah penanda globalisasi. Tanpa berbenah diri, Indonesia bakal tergilas pasar bebas. Segeralah tempatkan sentimen kelokalan bahasa ke dalam wadah bahasa persatuan Indonesia. Hanya dengan bersatu, termasuk dalam hal bahasa ini, Indonesia akan tangguh di era global.
Dalam percaturan global, Indonesia ditantang agar berani mengatakan bahwa kaum buruh migran tidak akan kompeten bekerja di Indonesia tanpa kemampuan komunikasi berbahasa Indonesia. Kepada ekspatriat yang tidak kompeten, beranilah berkata: ”Angkut kopermu dan angkat kakimu dari bumi Indonesia sekarang!”
Semoga gerakan dan gertakan ini muncul dari semiloka Pusat Bahasa nanti. *
Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 1 Mei 2010
Sabtu, 01 Mei 2010
Etika Media
A Makmur Makka
Pemimpin Redaksi Media Watch
Beberapa waktu lalu, sebuah TV swasta di Jakarta dinyatakan bermasalah dengan seorang narasumber. Sejauh mana investigasi dan penyelesaian masalah ini oleh pihak yang berkompeten (polisi, TV yang bersangkutan, dewan pers, organisasi profesi wartawan), sampai sekarang belum jelas.
Tetapi sudah jamak, narasumber atau sumber berita, memang sangat penting bagi pekerjaan wartawan sehari-hari. Makin banyak sumber berita yang tersedia, makin memudahkan wartawan menyusun berita atau laporan, walaupun risikonya akan memerlukan banyak waktu.
Sumber berita banyak jenisnya, walaupun, nalar dan profesionalisme wartawan tetap akan membuat mereka selektif menentukan mana sumber berita yang terpercaya dan mana yang bukan. Wartawan dapat juga menilai karakteristik si sumber berita.
Ada sumber berita yang sengaja mencari popularitas untuk diri sendiri, atau sengaja menggunakan media untuk kepentingan kelompoknya atau mungkin bersangkut paut dengan materi.
Salah satu di antaranya, usaha menggunakan media untuk membuat the trial balloon. Biasanya dipakai untuk mengetes suatu gagasan atau ide dengan melemparkannya untuk dimuat dalam media.
Bila mendapat reaksi publik yang baik, mereka akan meneruskan, dan sebaliknya jika tidak, gagasan atau ide itu akan ditinggalkan dan diingkari.
Pemerintah yang berkuasa di Irak sebelum mengeksekusi Saddam Husein, melakukan the trial balloon melalui media, ketika ternyata reaksi masyarakat tidak siginifikan, eksekusi dilaksanakan.
Di Indonesia, praktik seperti ini sudah biasa terjadi. Jika the trial balloon melalui publikasi gratis mendapat reaksi jelek dari masyarakat, para politisi dan pelempar isu akan membantahnya sebagai 'hanya wacana.'
The Source of Mob
Informasi dari sumber yang tidak mau disebut namanya yang oleh media sering ditulis: menurut sumber yang dapat dipercaya atau sumber yang tidak mau disebut namanya atau menurut sebuah sumber, sebutlah X, terbukti banyak membuat masalah bagi praktisi media, termasuk media Amerika Serikat yang gaya penulisan pemberitaannya banyak ditiru oleh media Indonesia.
Sebuah studi yang dilakukan American Newspaper Publisher Association (ANPA) l975, menyebutkan bahwa dua pertiga berita yang dibuat contoh dari surat kabar besar dan kecil, sering membuat berita tanpa menyebutkan sumber atau unnamed source. Surat kabar bertiras besar malah melakukannya lebih sering. Ini yang membuat pembaca diperlakukan dalam proses yang tidak berkesudahan.
Kolumnis Russel Baker dari New York Times menyebut kecenderungan itu sebagai the sources mob dengan menulis: Reliable Source, Unimpeachable Source, Source Close to the Investigation, Highly Placed Source, State House Insider, City Hall Source. (Everette E Dennis & Arnold H Ismach: Reporting Processes and Practices: 'Newswriting for Today's Readers l981').
Apa yang harus dilakukan oleh wartawan dalam situasi pelik seperti unnamed source ini? Ada senjata yang harus digunakan wartawan untuk menghadapi sumber yang tidak ingin namanya disebutkan dalam berita/laporan. Curtis D Macdougall dalam Intrepretative Reporting l977 menyebut kiatnya dengan mengadakan verification and honesty purposes (melakukan verifikasi dan tujuan sejujurnya).
Mengadakan wawancara sebanyak mungkin dengan sumber lain, dengan demikian si wartawan akan sanggup menghindari sejumlah kesalahan yang mungkin terjadi dalam pengumpulan bahan mengenai suatu peristiwa tanpa prasangka.
Verifikasi juga berarti, bukan hanya mengecek pernyataan dari berbagai sumber berita yang saling bertentangan. Tetapi, juga sampai pada hal-hal detail, seperti penulisan nama dan alamat, karena merasa tidak bersalah (innocence), kelalaian (careless) tidak bisa dijadikan bahan pembelaan dalam perkara pencemaran nama baik, fitnah.
Tanggung jawab wartawan
Elemen utama dalam persoalan keseharian wartawan/redaksi, tidak hanya dalam sumber berita. Atau, apakah sumber beritanya kredibel atau tidak. Tetapi yang terutama, apakah ia mempunyai dedikasi pada profesi atau apakah wartawan itu berangkat dengan kejujuran hati nuraninya. Profesi wartawan, bukanlah tempat bagi orang yang selalu punya prasangka buruk, terbawa dendam dan kebencian. Atau mereka yang bermain-main dengan kekuasaan (karena ia menentukan), menorehkan kesalahan dan keburukan orang kendatipun ia berniat menyatakan kebenaran. Karena, hal itu akan membuat pribadinya rancu dengan profesi yang diembannya.
Bahwa komitmen pertama wartawan tetap pada kebenaran adalah suatu keniscayaan. Esensi disiplin dalam kewartawanan melakukan verifikasi fakta. Bahwa berita itu harus selalu komprehensif dan proporsional. Tulislah apa yang sebetulnya terjadi, sudahkah berita itu berdasarkan fakta, jangan melebih-lebihkan.
Masih banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan wartawan dalam menulis berita atau laporan, tetapi luput dari perhatian masyarakat yang awam.
Kegemaran bermain-main dengan sumber yang tidak jelas menjadi salah satu contohnya. Masyarakat pun hanya mengeluh dan mencibir, hanya sedikit yang punya kesadaran kritis dan bersuara menempuh jalur hukum jika saja nama baik mereka diserang.
Wajarlah, wartawan seharusnya selalu diingatkan untuk tidak 'bermain-main' dengan narasumber yang tidak jelas, karena hal itu hanya akan mencemarkan profesinya sendiri, profesi beribu-ribu rekannya yang masih punya dedikasi tinggi memegang prinsip dan kode etik wartawan.
Sumber: Republika, Sabtu, 01 Mei 2010
Pemimpin Redaksi Media Watch
Beberapa waktu lalu, sebuah TV swasta di Jakarta dinyatakan bermasalah dengan seorang narasumber. Sejauh mana investigasi dan penyelesaian masalah ini oleh pihak yang berkompeten (polisi, TV yang bersangkutan, dewan pers, organisasi profesi wartawan), sampai sekarang belum jelas.
Tetapi sudah jamak, narasumber atau sumber berita, memang sangat penting bagi pekerjaan wartawan sehari-hari. Makin banyak sumber berita yang tersedia, makin memudahkan wartawan menyusun berita atau laporan, walaupun risikonya akan memerlukan banyak waktu.
Sumber berita banyak jenisnya, walaupun, nalar dan profesionalisme wartawan tetap akan membuat mereka selektif menentukan mana sumber berita yang terpercaya dan mana yang bukan. Wartawan dapat juga menilai karakteristik si sumber berita.
Ada sumber berita yang sengaja mencari popularitas untuk diri sendiri, atau sengaja menggunakan media untuk kepentingan kelompoknya atau mungkin bersangkut paut dengan materi.
Salah satu di antaranya, usaha menggunakan media untuk membuat the trial balloon. Biasanya dipakai untuk mengetes suatu gagasan atau ide dengan melemparkannya untuk dimuat dalam media.
Bila mendapat reaksi publik yang baik, mereka akan meneruskan, dan sebaliknya jika tidak, gagasan atau ide itu akan ditinggalkan dan diingkari.
Pemerintah yang berkuasa di Irak sebelum mengeksekusi Saddam Husein, melakukan the trial balloon melalui media, ketika ternyata reaksi masyarakat tidak siginifikan, eksekusi dilaksanakan.
Di Indonesia, praktik seperti ini sudah biasa terjadi. Jika the trial balloon melalui publikasi gratis mendapat reaksi jelek dari masyarakat, para politisi dan pelempar isu akan membantahnya sebagai 'hanya wacana.'
The Source of Mob
Informasi dari sumber yang tidak mau disebut namanya yang oleh media sering ditulis: menurut sumber yang dapat dipercaya atau sumber yang tidak mau disebut namanya atau menurut sebuah sumber, sebutlah X, terbukti banyak membuat masalah bagi praktisi media, termasuk media Amerika Serikat yang gaya penulisan pemberitaannya banyak ditiru oleh media Indonesia.
Sebuah studi yang dilakukan American Newspaper Publisher Association (ANPA) l975, menyebutkan bahwa dua pertiga berita yang dibuat contoh dari surat kabar besar dan kecil, sering membuat berita tanpa menyebutkan sumber atau unnamed source. Surat kabar bertiras besar malah melakukannya lebih sering. Ini yang membuat pembaca diperlakukan dalam proses yang tidak berkesudahan.
Kolumnis Russel Baker dari New York Times menyebut kecenderungan itu sebagai the sources mob dengan menulis: Reliable Source, Unimpeachable Source, Source Close to the Investigation, Highly Placed Source, State House Insider, City Hall Source. (Everette E Dennis & Arnold H Ismach: Reporting Processes and Practices: 'Newswriting for Today's Readers l981').
Apa yang harus dilakukan oleh wartawan dalam situasi pelik seperti unnamed source ini? Ada senjata yang harus digunakan wartawan untuk menghadapi sumber yang tidak ingin namanya disebutkan dalam berita/laporan. Curtis D Macdougall dalam Intrepretative Reporting l977 menyebut kiatnya dengan mengadakan verification and honesty purposes (melakukan verifikasi dan tujuan sejujurnya).
Mengadakan wawancara sebanyak mungkin dengan sumber lain, dengan demikian si wartawan akan sanggup menghindari sejumlah kesalahan yang mungkin terjadi dalam pengumpulan bahan mengenai suatu peristiwa tanpa prasangka.
Verifikasi juga berarti, bukan hanya mengecek pernyataan dari berbagai sumber berita yang saling bertentangan. Tetapi, juga sampai pada hal-hal detail, seperti penulisan nama dan alamat, karena merasa tidak bersalah (innocence), kelalaian (careless) tidak bisa dijadikan bahan pembelaan dalam perkara pencemaran nama baik, fitnah.
Tanggung jawab wartawan
Elemen utama dalam persoalan keseharian wartawan/redaksi, tidak hanya dalam sumber berita. Atau, apakah sumber beritanya kredibel atau tidak. Tetapi yang terutama, apakah ia mempunyai dedikasi pada profesi atau apakah wartawan itu berangkat dengan kejujuran hati nuraninya. Profesi wartawan, bukanlah tempat bagi orang yang selalu punya prasangka buruk, terbawa dendam dan kebencian. Atau mereka yang bermain-main dengan kekuasaan (karena ia menentukan), menorehkan kesalahan dan keburukan orang kendatipun ia berniat menyatakan kebenaran. Karena, hal itu akan membuat pribadinya rancu dengan profesi yang diembannya.
Bahwa komitmen pertama wartawan tetap pada kebenaran adalah suatu keniscayaan. Esensi disiplin dalam kewartawanan melakukan verifikasi fakta. Bahwa berita itu harus selalu komprehensif dan proporsional. Tulislah apa yang sebetulnya terjadi, sudahkah berita itu berdasarkan fakta, jangan melebih-lebihkan.
Masih banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan wartawan dalam menulis berita atau laporan, tetapi luput dari perhatian masyarakat yang awam.
Kegemaran bermain-main dengan sumber yang tidak jelas menjadi salah satu contohnya. Masyarakat pun hanya mengeluh dan mencibir, hanya sedikit yang punya kesadaran kritis dan bersuara menempuh jalur hukum jika saja nama baik mereka diserang.
Wajarlah, wartawan seharusnya selalu diingatkan untuk tidak 'bermain-main' dengan narasumber yang tidak jelas, karena hal itu hanya akan mencemarkan profesinya sendiri, profesi beribu-ribu rekannya yang masih punya dedikasi tinggi memegang prinsip dan kode etik wartawan.
Sumber: Republika, Sabtu, 01 Mei 2010
Lomba Menulis Cerpen Remaja 2010 LMCR 2010
Syarat-syarat Lomba:
1. Lomba ini terbuka untuk pelajar tingkat SLTP (Kategori A), SLTA (Kategori B) dan Mahasiswa/Guru/Umum (Kategori C) dari seluruh Indonesia maupun yang studi/bekerja di luar negeri. Kecuali keluarga besar PT ROHTO Laboratories Indonesia dan Panitia/Dewan Juri LMCR 2010
2. Lomba dibuka 21 April 2010 dan ditutup 15 September 2010 (Stempel Pos)
3. Tema Cerita: Dunia remaja dan segala aspek kehidupannya (cinta, kebahagiaan, kepedihan, harapan, kegagalan, cita-cita, derita dan kekecewaan)
4. Judul bebas tetapi harus mengacu tema Butir 3
5. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu judul
6. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia literer (indah, menarik, mengalir) dan komunikatif. Bahasa gaul dan bahasa daerah/asing boleh digunakan untuk segmen dialog para tokohnya – jika itu diperlukan dan sesuai dengan tema
7. Naskah yang dilombakan harus asli (bukan jiplakan) dan belum pernah dipublikasi
Ketentuan Khusus:
1. Naskah ditulis di kertas ukuran kuarto, ditik berjarak 1,5 spasi, font 12, huruf Times New Roman, margin justified 5 Cm, panjang naskah antara 6-10 halaman, dikirim ke panitia dalam bentuk printout 3 (tiga) rangkap/copy disertai file dalam bentuk CD.
2. b. Cantumkan sinopsis maksimal 1 (satu) halaman, mini-biodata pengarang, foto 4R, fotocopy KTP atau SIM/Paspor/Student Card
3. Setiap judul cerpen yang dilombakan wajib dilampiri kemasan LIP ICE (bagian kartonnya) atau segel SELSUN Shampo jenis apa saja
4. Naskah cerpen yang dilombakan beserta persyaratannya dimasukkan ke dalam satu amplop (boleh berisi beberapa judul), cantumkan tulisan PESERTA LMCR-2010 dan Kategori-nya di atas amplop kanan atas dan dikirim ke:
Panitia LMCR-2010 LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD – Jalan Gunung Pancar No.25 Bukit Golf Hijau,
Sentul City, Bogor 16810
5. Hasil lomba diumumkan tanggal 15 Oktober 2010 melalui www.rayakulturanet dan www.rohto.co.id
6. Keputusan Dewan Juri bersifat final dan mengikat
7. Hasil Lomba:
Masing-masing kategori: Pemenang I, II, II dan 5 (lima) Pemenang Harapan Utama, 10 (sepuluh) Pemenang Harapan dan Pemenang Karya Favorit untuk Kategori A: 20 Pemenang, Kategori B: 60 Pemenang dan Kategori C: 100 Pemenang.
Hadiah Untuk Pemenang:
Kategori A (Pelajar SLTP)
* Pemenang I – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 2.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari PT ROHTO + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 20 (dua puluh) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
* Sekolah Pemenang I, II dan II berhak mendapat 1 (satu) unit TV
Kategori B (Pelajar SLTA)
* Pemenang I – Uang Tunai Rp 5.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari PT ROHTO + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 60 (enam puluh) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
* Sekolah Pemenang I, II dan III berhak mendapat 1 (satu) unit TV
Kategori C (Mahasiswa/Guru/Umum)
* Pemenang I – Uang Tunai Rp 7.500.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 6.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.500.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 100 (seratus) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
1. Naskah cerpen yang dilombakan jadi milik PT ROHTO, hak cipta milik pengarangnya. Informasi lebih lanjut e-mail ke rayakultura@gmail.com
Ketua Panitia LMCR-2010
Dra. Naning Pranoto, MA
Sumber: http://www.rayakultura.net
1. Lomba ini terbuka untuk pelajar tingkat SLTP (Kategori A), SLTA (Kategori B) dan Mahasiswa/Guru/Umum (Kategori C) dari seluruh Indonesia maupun yang studi/bekerja di luar negeri. Kecuali keluarga besar PT ROHTO Laboratories Indonesia dan Panitia/Dewan Juri LMCR 2010
2. Lomba dibuka 21 April 2010 dan ditutup 15 September 2010 (Stempel Pos)
3. Tema Cerita: Dunia remaja dan segala aspek kehidupannya (cinta, kebahagiaan, kepedihan, harapan, kegagalan, cita-cita, derita dan kekecewaan)
4. Judul bebas tetapi harus mengacu tema Butir 3
5. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu judul
6. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia literer (indah, menarik, mengalir) dan komunikatif. Bahasa gaul dan bahasa daerah/asing boleh digunakan untuk segmen dialog para tokohnya – jika itu diperlukan dan sesuai dengan tema
7. Naskah yang dilombakan harus asli (bukan jiplakan) dan belum pernah dipublikasi
Ketentuan Khusus:
1. Naskah ditulis di kertas ukuran kuarto, ditik berjarak 1,5 spasi, font 12, huruf Times New Roman, margin justified 5 Cm, panjang naskah antara 6-10 halaman, dikirim ke panitia dalam bentuk printout 3 (tiga) rangkap/copy disertai file dalam bentuk CD.
2. b. Cantumkan sinopsis maksimal 1 (satu) halaman, mini-biodata pengarang, foto 4R, fotocopy KTP atau SIM/Paspor/Student Card
3. Setiap judul cerpen yang dilombakan wajib dilampiri kemasan LIP ICE (bagian kartonnya) atau segel SELSUN Shampo jenis apa saja
4. Naskah cerpen yang dilombakan beserta persyaratannya dimasukkan ke dalam satu amplop (boleh berisi beberapa judul), cantumkan tulisan PESERTA LMCR-2010 dan Kategori-nya di atas amplop kanan atas dan dikirim ke:
Panitia LMCR-2010 LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD – Jalan Gunung Pancar No.25 Bukit Golf Hijau,
Sentul City, Bogor 16810
5. Hasil lomba diumumkan tanggal 15 Oktober 2010 melalui www.rayakulturanet dan www.rohto.co.id
6. Keputusan Dewan Juri bersifat final dan mengikat
7. Hasil Lomba:
Masing-masing kategori: Pemenang I, II, II dan 5 (lima) Pemenang Harapan Utama, 10 (sepuluh) Pemenang Harapan dan Pemenang Karya Favorit untuk Kategori A: 20 Pemenang, Kategori B: 60 Pemenang dan Kategori C: 100 Pemenang.
Hadiah Untuk Pemenang:
Kategori A (Pelajar SLTP)
* Pemenang I – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 2.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari PT ROHTO + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 20 (dua puluh) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
* Sekolah Pemenang I, II dan II berhak mendapat 1 (satu) unit TV
Kategori B (Pelajar SLTA)
* Pemenang I – Uang Tunai Rp 5.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari PT ROHTO + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 60 (enam puluh) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
* Sekolah Pemenang I, II dan III berhak mendapat 1 (satu) unit TV
Kategori C (Mahasiswa/Guru/Umum)
* Pemenang I – Uang Tunai Rp 7.500.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 6.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.500.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 100 (seratus) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
1. Naskah cerpen yang dilombakan jadi milik PT ROHTO, hak cipta milik pengarangnya. Informasi lebih lanjut e-mail ke rayakultura@gmail.com
Ketua Panitia LMCR-2010
Dra. Naning Pranoto, MA
Sumber: http://www.rayakultura.net
LOMBA MENGULAS KARYA SASTRA (LMKS) 2010
MOTTO
Menyelami Sastra, meningkatkan tradisi membaca-menulis dan memperluas cakrawala bangsa.
PERSYARATAN PESERTA
1. Peserta adalah guru SMA/SMK/MA
2. Belum pernah menjadi pemenang LMKS sebelumnya.
PERSYARATAN TULISAN
1. Tulisan adalah karya asli dan belum pernah dipublikasikan di media manapun.
2. Bentuk ulasan dapat berupa esai dengan penyajian yang jelas, enak dibaca dan ditunjang kepustakaan yang memadai.
3. Panjang tulisan 5-20 halaman kuarto, 1,5 spasi (1500-6000 kata).
4. Tulisan merupakan ulasan terhadap salah satu buku sastra yang telah ditetapkan (lihat daftar).
5. Peserta diharuskan mengulas sebuah buku sastra secara utuh, tidak hanya satu puisi/cerpen. Membandingkan dengan karya lain diizinkan.
6. Peserta boleh mengirim lebih dari 1 (satu) naskah, dengan catatan hanya 1 (satu) naskah terbaik yang akan dipertimbangkan menjadi pemenang.
7. Di halaman akhir tulisan (halaman terpisah), ditulis identitas dan alamat lengkap penulis serta no. telepon/HP yang dapat dihubungi.
PENGIRIMAN TULISAN
1. Tulisan sebanyak 3 rangkap dimasukan amplop, pada bagian luar ditulis LMKS PROGRAM REGULER 2010 diantar langsung atau dikirim paling lambat tanggal 22 Juni 2010 (stempel pos).
2. Tulisan dikirim ke alamat:
Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kegiatan Pembinaan Pendidikan Estetika pada Subag RT, Bagian Umum, Set Ditjen Mandikdasmen, Kompleks Kemendiknas Senayan Gedung E Lantai 5, Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270.
PENGUMUMAN PEMENANG
1. Panitia akan memilih 15 peserta terbaik untuk mengikuti seleksi final di Jakarta.
2. Selama mengikuti seleksi final di Jakarta, panitia menyediakan biaya transportasi dan akomodasi.
3. Pemenang LMKS 2010 akan diumumkan pada tanggal 10 Oktober 2010.
HADIAH
1. Panitia menyediakan hadiah berupa uang tunai sebagai berikut:
- Pemenang 1 Rp6.500.000,-
- Pemenang 2 Rp6.000.000,-
- Pemenang 3 Rp5.500.000,-
- Pemenang 4 Rp5.000.000,-
- Pemenang 5 Rp4.500.000,-
- Pemenang 6 s.d. 10 Rp4.000.000,-
- Pemenang 11 s.d. 15 Rp3.500.000,-
2. Pajak hadiah sebesar 15% (PPH psl 21) ditanggung pemenang.
3. Kepada semua peserta akan diberikan piagam penghargaan.
KETENTUAN PANITIA
1. Kementerian Pendidikan Nasional berhak menerbitkan dan menggandakan naskah yang terpilih.
2. Keputusan panitia bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
LAIN-LAIN
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi panitia penyelenggara:
Kegiatan Pembinaan Pendidikan Estetika Jakarta Subag RT,
Bagian Umum Set Ditjen Mandikdasmen.
Telp. (021) 5725616, atau 57851730
Email : estetika.mandikdasmen@yahoo.co.id
Website: http://depdiknas.go.id
BERIKUT INI DAFTAR PILIHAN BUKU UNTUK DIULAS OLEH PESERTA LMKS 2010:
PUISI:
99 untuk Tuhanku, Emha Ainun Nadjib
Aku Ini Binatang Jalang, Chairil Anwar
Asmaradana, Goenawan Muhammad
Ayat-ayat Api, Sapardi Djoko Damono
Derai-derai Cemara, Chairil Anwar
Diterbangkan Kata-Kata, Agus R. Sarjono
Dunia Semata Wayang, Iman Budhi Santoso
Efrosina, Cecep Syamsul Hari
Empat Kumpulam Sajak, WS Rendra
Garam-Garam Hujan, Jamal D. Rahman
Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono
Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku, Husni Djamaluddin
Indonesiaku, Hamid Jabbar
Kalung Dari Teman, Afrizal Maina
Kepada Cium, Joko Pinurbo
Kolam, Sapardi Djoko Damono
Kota Cahaya, Isbedy Stiawan ZS
Lautan Jilbab, Emha Ainun Nadjib
Luang Prahang, Adul Hadi WM
Madura Akulah Darahmu, D. Zawawi Imron
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Taufiq Ismail
Menjadi Penyair Lagi, Acep Zam-zam Noor
Mimpi Gugur Zaitun, Dorothea Rosa Herliany
Tirani dan Benteng, Taufik Ismail
Nyanyian dalam Kelam, Sutikno WS
Nyanyian Tanah Air, Saini KM
O Amuk Kapak, Sutardji Calzoum Bachri
Padamu Jua, Amir Hamzah
Potret Pembangunan dalam Sajak, WS Rendra
Puisi-puisi dari Penjara, S. Anantaguna
Reruntuhan Cahaya, Jamal D. Rahman
Secangkir Teh, Sono Farid Maulana
Sembahyang Rumputan, Ahmadun Yosi Herfanda
Sebelum Senja Selesai, Moh. Wan Anwar
Patiwangi, Oka Rusmini
Suatu Cerita dari Negeri Angin, Agus R. Sardjono
CERPEN:
Adam Marifat, Danarto
Antara Wilis dan Gunung Kelud, Toha Mohtar
Bali, Putu Wijaya
Berhala, Danarto
Bibir dalam Pispot, Hamsad Rangkuti
Bidadari Meniti Pelangi, S. Prasetyo Utamo
Blok, Putu Wijaya
Bromocorah, Mochtar Lubis
Bunga Jepun, Putu Fajar Arcana
Godlob, Danarto
Hampir Sebuah Subversi, Kuntowijoyo
Hikayat Batu-Batu, Taufik Ikram Jamil
Hujan Menulis Ayam, Sutardji Chalzoum Bachri
Kali Mati, Joni Ariadinata
Kayu Naga, Korrie Layun Rampan
Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, Gus tf Sakai
Kritikus Adinan, Budi Darma
Kuda Terbang Mario Pinto, Lina Christanty
Lebaran di Karet, Umar Kayam
Malaikat Tak Datang Malam Hari, Joni Ariadinata
Mandi Api, Gde Soethama
Membaca Hang Jebat, Tufik Ikram Jamil
Membunuh Orang Gila, Sapardi Djoko Damono
Menuju Kamar Durhaka, Utuy Tatang Sontani
Orang Sakit, Hudan Hidayat
Orang-orang Bloomington, Budi Darma
Parang Tak Berulu, Raudal Tanjung Banua
Rumah Kawin, Zen Hae
Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarma
Sampah Bulan Desember, Hamsad Rangkuti
Sang Artis, Rosihan Anwar
Sebatang Ceri Di Halaman, Fakhrunnas MA. Jabbar
Senapan Cinta, Kurnia Effendi
Senyum Karyamin, Ahmad Tohari
Sepasang MAut, Wan Anwar
Si PAdang, Harris Effendi TAhar
Tegak Lurus dengan Langit, Iwan SImatupang
NOVEL:
Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer
Ayat-ayat Cinta, Habiburahman Al Syirazy
Bulan Susut, Ismet Fanany
Bulang Cahaya, Rida K. Liamsi
Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer
Burung-burung Manyar, YB Mangunwijaya
Ca-bau-kan, Remy Silado
Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan
Di Batas Angin, Yanusa Nugroho
Gadis Tangsi, Suparto Brata
Geni Jora, Abidah El Khailiegy
Gerhana, AA Navis
Harimau! Harimau!, Mochtar Lubis
Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, YB Mangunwijaya
Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer
Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma
Ketika Lampu Berwarna Merah, Hamsad Rangkuti
Kitab Omong Kosong, Seno Gumira Ajidarma
Laskar Pelangi, Andrea Hirata
Maut dan Cinta, Mochtar Lubis
Manyora, Yanusa Nugroho
Naga Bumi, Seno Gumira Ajidarma
Namaku Tiweraut, Ari Sekarningsih
Olenka, Budi Darma
Orang-Orang Proyek, Ahmad Tohari
Pada Sebuah Kapal, Nh Dini
Pasar, Kuntowijoyo
Perang, Putu Wijaya
Perempuan Berkalung Sorban, Abidah El Khalieqy
Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer
Sedimen Senja, SN RAtmana
Tabularasa, Ratih Kumala
Tamu, Wisran HAdi
TAngan-tangan Kehidupan, Titis Basino PI
Wasripin dan Satinah, Kuntowijoyo
Ziarah, Iwan Simatupang
DRAMA:
Aduh, Putu Wijaya
Alia Luka Serembi Mekah, Ratna Sarumpaet
Atas Nama Cinta, Agus R. Sarjono
Awal dan Mira, Utuy Tatang Santony
Dag Dig Dug, Putu Wijaya
Empat Sandiwara Orang Melayu, Wisran Hadi
Iblis, Mohammad Diponegoro
Kapai-Kapai, Arifin C. Noer
Ken Arok, Saini KM
Mahkamah, Asrul Sani
Malam Jahanam, Montinggo Busye
Opera Kecoa, Nano Riantiarno
Orkes Madun, Arifin C. Noer
Panembahan Reso, Rendra
Sekelumit Nyanyian Sunda, Nasjah Djamin
Serikat KAcamata Hitam, Saini KM
Suksesi, N Riantiarno
5 Naskah Drama Pemenang Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2003
Menyelami Sastra, meningkatkan tradisi membaca-menulis dan memperluas cakrawala bangsa.
PERSYARATAN PESERTA
1. Peserta adalah guru SMA/SMK/MA
2. Belum pernah menjadi pemenang LMKS sebelumnya.
PERSYARATAN TULISAN
1. Tulisan adalah karya asli dan belum pernah dipublikasikan di media manapun.
2. Bentuk ulasan dapat berupa esai dengan penyajian yang jelas, enak dibaca dan ditunjang kepustakaan yang memadai.
3. Panjang tulisan 5-20 halaman kuarto, 1,5 spasi (1500-6000 kata).
4. Tulisan merupakan ulasan terhadap salah satu buku sastra yang telah ditetapkan (lihat daftar).
5. Peserta diharuskan mengulas sebuah buku sastra secara utuh, tidak hanya satu puisi/cerpen. Membandingkan dengan karya lain diizinkan.
6. Peserta boleh mengirim lebih dari 1 (satu) naskah, dengan catatan hanya 1 (satu) naskah terbaik yang akan dipertimbangkan menjadi pemenang.
7. Di halaman akhir tulisan (halaman terpisah), ditulis identitas dan alamat lengkap penulis serta no. telepon/HP yang dapat dihubungi.
PENGIRIMAN TULISAN
1. Tulisan sebanyak 3 rangkap dimasukan amplop, pada bagian luar ditulis LMKS PROGRAM REGULER 2010 diantar langsung atau dikirim paling lambat tanggal 22 Juni 2010 (stempel pos).
2. Tulisan dikirim ke alamat:
Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kegiatan Pembinaan Pendidikan Estetika pada Subag RT, Bagian Umum, Set Ditjen Mandikdasmen, Kompleks Kemendiknas Senayan Gedung E Lantai 5, Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270.
PENGUMUMAN PEMENANG
1. Panitia akan memilih 15 peserta terbaik untuk mengikuti seleksi final di Jakarta.
2. Selama mengikuti seleksi final di Jakarta, panitia menyediakan biaya transportasi dan akomodasi.
3. Pemenang LMKS 2010 akan diumumkan pada tanggal 10 Oktober 2010.
HADIAH
1. Panitia menyediakan hadiah berupa uang tunai sebagai berikut:
- Pemenang 1 Rp6.500.000,-
- Pemenang 2 Rp6.000.000,-
- Pemenang 3 Rp5.500.000,-
- Pemenang 4 Rp5.000.000,-
- Pemenang 5 Rp4.500.000,-
- Pemenang 6 s.d. 10 Rp4.000.000,-
- Pemenang 11 s.d. 15 Rp3.500.000,-
2. Pajak hadiah sebesar 15% (PPH psl 21) ditanggung pemenang.
3. Kepada semua peserta akan diberikan piagam penghargaan.
KETENTUAN PANITIA
1. Kementerian Pendidikan Nasional berhak menerbitkan dan menggandakan naskah yang terpilih.
2. Keputusan panitia bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
LAIN-LAIN
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi panitia penyelenggara:
Kegiatan Pembinaan Pendidikan Estetika Jakarta Subag RT,
Bagian Umum Set Ditjen Mandikdasmen.
Telp. (021) 5725616, atau 57851730
Email : estetika.mandikdasmen@yahoo.co.id
Website: http://depdiknas.go.id
BERIKUT INI DAFTAR PILIHAN BUKU UNTUK DIULAS OLEH PESERTA LMKS 2010:
PUISI:
99 untuk Tuhanku, Emha Ainun Nadjib
Aku Ini Binatang Jalang, Chairil Anwar
Asmaradana, Goenawan Muhammad
Ayat-ayat Api, Sapardi Djoko Damono
Derai-derai Cemara, Chairil Anwar
Diterbangkan Kata-Kata, Agus R. Sarjono
Dunia Semata Wayang, Iman Budhi Santoso
Efrosina, Cecep Syamsul Hari
Empat Kumpulam Sajak, WS Rendra
Garam-Garam Hujan, Jamal D. Rahman
Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono
Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku, Husni Djamaluddin
Indonesiaku, Hamid Jabbar
Kalung Dari Teman, Afrizal Maina
Kepada Cium, Joko Pinurbo
Kolam, Sapardi Djoko Damono
Kota Cahaya, Isbedy Stiawan ZS
Lautan Jilbab, Emha Ainun Nadjib
Luang Prahang, Adul Hadi WM
Madura Akulah Darahmu, D. Zawawi Imron
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Taufiq Ismail
Menjadi Penyair Lagi, Acep Zam-zam Noor
Mimpi Gugur Zaitun, Dorothea Rosa Herliany
Tirani dan Benteng, Taufik Ismail
Nyanyian dalam Kelam, Sutikno WS
Nyanyian Tanah Air, Saini KM
O Amuk Kapak, Sutardji Calzoum Bachri
Padamu Jua, Amir Hamzah
Potret Pembangunan dalam Sajak, WS Rendra
Puisi-puisi dari Penjara, S. Anantaguna
Reruntuhan Cahaya, Jamal D. Rahman
Secangkir Teh, Sono Farid Maulana
Sembahyang Rumputan, Ahmadun Yosi Herfanda
Sebelum Senja Selesai, Moh. Wan Anwar
Patiwangi, Oka Rusmini
Suatu Cerita dari Negeri Angin, Agus R. Sardjono
CERPEN:
Adam Marifat, Danarto
Antara Wilis dan Gunung Kelud, Toha Mohtar
Bali, Putu Wijaya
Berhala, Danarto
Bibir dalam Pispot, Hamsad Rangkuti
Bidadari Meniti Pelangi, S. Prasetyo Utamo
Blok, Putu Wijaya
Bromocorah, Mochtar Lubis
Bunga Jepun, Putu Fajar Arcana
Godlob, Danarto
Hampir Sebuah Subversi, Kuntowijoyo
Hikayat Batu-Batu, Taufik Ikram Jamil
Hujan Menulis Ayam, Sutardji Chalzoum Bachri
Kali Mati, Joni Ariadinata
Kayu Naga, Korrie Layun Rampan
Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, Gus tf Sakai
Kritikus Adinan, Budi Darma
Kuda Terbang Mario Pinto, Lina Christanty
Lebaran di Karet, Umar Kayam
Malaikat Tak Datang Malam Hari, Joni Ariadinata
Mandi Api, Gde Soethama
Membaca Hang Jebat, Tufik Ikram Jamil
Membunuh Orang Gila, Sapardi Djoko Damono
Menuju Kamar Durhaka, Utuy Tatang Sontani
Orang Sakit, Hudan Hidayat
Orang-orang Bloomington, Budi Darma
Parang Tak Berulu, Raudal Tanjung Banua
Rumah Kawin, Zen Hae
Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarma
Sampah Bulan Desember, Hamsad Rangkuti
Sang Artis, Rosihan Anwar
Sebatang Ceri Di Halaman, Fakhrunnas MA. Jabbar
Senapan Cinta, Kurnia Effendi
Senyum Karyamin, Ahmad Tohari
Sepasang MAut, Wan Anwar
Si PAdang, Harris Effendi TAhar
Tegak Lurus dengan Langit, Iwan SImatupang
NOVEL:
Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer
Ayat-ayat Cinta, Habiburahman Al Syirazy
Bulan Susut, Ismet Fanany
Bulang Cahaya, Rida K. Liamsi
Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer
Burung-burung Manyar, YB Mangunwijaya
Ca-bau-kan, Remy Silado
Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan
Di Batas Angin, Yanusa Nugroho
Gadis Tangsi, Suparto Brata
Geni Jora, Abidah El Khailiegy
Gerhana, AA Navis
Harimau! Harimau!, Mochtar Lubis
Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, YB Mangunwijaya
Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer
Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma
Ketika Lampu Berwarna Merah, Hamsad Rangkuti
Kitab Omong Kosong, Seno Gumira Ajidarma
Laskar Pelangi, Andrea Hirata
Maut dan Cinta, Mochtar Lubis
Manyora, Yanusa Nugroho
Naga Bumi, Seno Gumira Ajidarma
Namaku Tiweraut, Ari Sekarningsih
Olenka, Budi Darma
Orang-Orang Proyek, Ahmad Tohari
Pada Sebuah Kapal, Nh Dini
Pasar, Kuntowijoyo
Perang, Putu Wijaya
Perempuan Berkalung Sorban, Abidah El Khalieqy
Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer
Sedimen Senja, SN RAtmana
Tabularasa, Ratih Kumala
Tamu, Wisran HAdi
TAngan-tangan Kehidupan, Titis Basino PI
Wasripin dan Satinah, Kuntowijoyo
Ziarah, Iwan Simatupang
DRAMA:
Aduh, Putu Wijaya
Alia Luka Serembi Mekah, Ratna Sarumpaet
Atas Nama Cinta, Agus R. Sarjono
Awal dan Mira, Utuy Tatang Santony
Dag Dig Dug, Putu Wijaya
Empat Sandiwara Orang Melayu, Wisran Hadi
Iblis, Mohammad Diponegoro
Kapai-Kapai, Arifin C. Noer
Ken Arok, Saini KM
Mahkamah, Asrul Sani
Malam Jahanam, Montinggo Busye
Opera Kecoa, Nano Riantiarno
Orkes Madun, Arifin C. Noer
Panembahan Reso, Rendra
Sekelumit Nyanyian Sunda, Nasjah Djamin
Serikat KAcamata Hitam, Saini KM
Suksesi, N Riantiarno
5 Naskah Drama Pemenang Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2003
Langganan:
Postingan (Atom)