Sabtu, 01 Mei 2010

Etika Media

A Makmur Makka
Pemimpin Redaksi Media Watch

Beberapa waktu lalu, sebuah TV swasta di Jakarta dinyatakan bermasalah dengan seorang narasumber. Sejauh mana investigasi dan penyelesaian masalah ini oleh pihak yang berkompeten (polisi, TV yang bersangkutan, dewan pers, organisasi profesi wartawan), sampai sekarang belum jelas.

Tetapi sudah jamak, narasumber atau sumber berita, memang sangat penting bagi pekerjaan wartawan sehari-hari. Makin banyak sumber berita yang tersedia, makin memudahkan wartawan menyusun berita atau laporan, walaupun risikonya akan memerlukan banyak waktu.

Sumber berita banyak jenisnya, walaupun, nalar dan profesionalisme wartawan tetap akan membuat mereka selektif menentukan mana sumber berita yang terpercaya dan mana yang bukan. Wartawan dapat juga menilai karakteristik si sumber berita.

Ada sumber berita yang sengaja mencari popularitas untuk diri sendiri, atau sengaja menggunakan media untuk kepentingan kelompoknya atau mungkin bersangkut paut dengan materi.

Salah satu di antaranya, usaha menggunakan media untuk membuat the trial balloon. Biasanya dipakai untuk mengetes suatu gagasan atau ide dengan melemparkannya untuk dimuat dalam media.

Bila mendapat reaksi publik yang baik, mereka akan meneruskan, dan sebaliknya jika tidak, gagasan atau ide itu akan ditinggalkan dan diingkari.

Pemerintah yang berkuasa di Irak sebelum mengeksekusi Saddam Husein, melakukan the trial balloon melalui media, ketika ternyata reaksi masyarakat tidak siginifikan, eksekusi dilaksanakan.

Di Indonesia, praktik seperti ini sudah biasa terjadi. Jika the trial balloon melalui publikasi gratis mendapat reaksi jelek dari masyarakat, para politisi dan pelempar isu akan membantahnya sebagai 'hanya wacana.'

The Source of Mob
Informasi dari sumber yang tidak mau disebut namanya yang oleh media sering ditulis: menurut sumber yang dapat dipercaya atau sumber yang tidak mau disebut namanya atau menurut sebuah sumber, sebutlah X, terbukti banyak membuat masalah bagi praktisi media, termasuk media Amerika Serikat yang gaya penulisan pemberitaannya banyak ditiru oleh media Indonesia.

Sebuah studi yang dilakukan American Newspaper Publisher Association (ANPA) l975, menyebutkan bahwa dua pertiga berita yang dibuat contoh dari surat kabar besar dan kecil, sering membuat berita tanpa menyebutkan sumber atau unnamed source. Surat kabar bertiras besar malah melakukannya lebih sering. Ini yang membuat pembaca diperlakukan dalam proses yang tidak berkesudahan.

Kolumnis Russel Baker dari New York Times menyebut kecenderungan itu sebagai the sources mob dengan menulis: Reliable Source, Unimpeachable Source, Source Close to the Investigation, Highly Placed Source, State House Insider, City Hall Source. (Everette E Dennis & Arnold H Ismach: Reporting Processes and Practices: 'Newswriting for Today's Readers l981').

Apa yang harus dilakukan oleh wartawan dalam situasi pelik seperti unnamed source ini? Ada senjata yang harus digunakan wartawan untuk menghadapi sumber yang tidak ingin namanya disebutkan dalam berita/laporan. Curtis D Macdougall dalam Intrepretative Reporting l977 menyebut kiatnya dengan mengadakan verification and honesty purposes (melakukan verifikasi dan tujuan sejujurnya).

Mengadakan wawancara sebanyak mungkin dengan sumber lain, dengan demikian si wartawan akan sanggup menghindari sejumlah kesalahan yang mungkin terjadi dalam pengumpulan bahan mengenai suatu peristiwa tanpa prasangka.

Verifikasi juga berarti, bukan hanya mengecek pernyataan dari berbagai sumber berita yang saling bertentangan. Tetapi, juga sampai pada hal-hal detail, seperti penulisan nama dan alamat, karena merasa tidak bersalah (innocence), kelalaian (careless) tidak bisa dijadikan bahan pembelaan dalam perkara pencemaran nama baik, fitnah.

Tanggung jawab wartawan
Elemen utama dalam persoalan keseharian wartawan/redaksi, tidak hanya dalam sumber berita. Atau, apakah sumber beritanya kredibel atau tidak. Tetapi yang terutama, apakah ia mempunyai dedikasi pada profesi atau apakah wartawan itu berangkat dengan kejujuran hati nuraninya. Profesi wartawan, bukanlah tempat bagi orang yang selalu punya prasangka buruk, terbawa dendam dan kebencian. Atau mereka yang bermain-main dengan kekuasaan (karena ia menentukan), menorehkan kesalahan dan keburukan orang kendatipun ia berniat menyatakan kebenaran. Karena, hal itu akan membuat pribadinya rancu dengan profesi yang diembannya.

Bahwa komitmen pertama wartawan tetap pada kebenaran adalah suatu keniscayaan. Esensi disiplin dalam kewartawanan melakukan verifikasi fakta. Bahwa berita itu harus selalu komprehensif dan proporsional. Tulislah apa yang sebetulnya terjadi, sudahkah berita itu berdasarkan fakta, jangan melebih-lebihkan.

Masih banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan wartawan dalam menulis berita atau laporan, tetapi luput dari perhatian masyarakat yang awam.

Kegemaran bermain-main dengan sumber yang tidak jelas menjadi salah satu contohnya. Masyarakat pun hanya mengeluh dan mencibir, hanya sedikit yang punya kesadaran kritis dan bersuara menempuh jalur hukum jika saja nama baik mereka diserang.

Wajarlah, wartawan seharusnya selalu diingatkan untuk tidak 'bermain-main' dengan narasumber yang tidak jelas, karena hal itu hanya akan mencemarkan profesinya sendiri, profesi beribu-ribu rekannya yang masih punya dedikasi tinggi memegang prinsip dan kode etik wartawan.


Sumber: Republika, Sabtu, 01 Mei 2010

Tidak ada komentar: