Senin, 03 Mei 2010

Menuntut Ekspatriat Berbahasa Indonesia

Oleh: Maryanto
Pemerhati politik bahasa

Harian The Jakarta Post (15 Agustus 2003) pernah menurunkan berita “Learn to speak bahasa Indonesia or pack your bags!”. Berita ini berisi tuntutan bagi mereka yang disebut ekspatriat agar mampu berbahasa Indonesia demi pekerjaan di Indonesia. Pada Hari Buruh 1 Mei ini, tuntutan tersebut perlu disuarakan kembali guna mengatasi kesenjangan sosial antara pekerja asing dan pekerja domestik.

Kesenjangan sudah terlalu lebar. Seiring dengan perkembangan pasar bebas jasa tenaga kerja, jika tidak segera diatasi, kesenjangan ini bisa membahayakan kelangsungan hidup berbangsa Indonesia. Sudah lama terdengar anak bangsa Indonesia digaji jauh lebih rendah daripada anak bangsa lain yang sama-sama mengais rezeki di bumi Indonesia. Seorang buruh migran bisa mengantongi gaji sepuluh kali lipat upah buruh domestik. Padahal posisi mereka sama.

Janganlah lamban negara ini bertindak. Indonesia tidak boleh lama-lama membiarkan warganya di bumi sendiri saja menjadi bangsa inferior. Superioritas ekspatriat boleh jadi imbas dari kehausan Indonesia akan kedatangan investor asing, tetapi investor dan pekerja asing mestinya datang terpisah. Pekerja asing haruslah tunduk kepada aturan ketenagakerjaan yang berlaku.

Perundang-undangan

Sudah tersedia perundang-undangan yang mengatur ihwal tenaga kerja asing di Indonesia. Jacob Nuwa Wea, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di era Presiden Megawati, pernah menetapkan tata cara perekrutan pekerja asing dengan surat keputusannya, Nomor: KEP-20/MEN/III/2004, tanggal 1 Maret 2004. Pada Bab II, Pasal 2 huruf (c) dalam keputusan ini, tenaga kerja asing yang diberi pekerjaan di Indonesia dipersyaratkan mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Belum terdengar keputusan Nuwa Wea dicabut. Namun, aturan yang sangat bagus itu masih terlihat sepi dalam implementasi. Para perekrut tenaga kerja asing belum ramai mempersoalkan dan melaksanakannya. Sebagai pemegang otoritas pengelola kebahasaan Indonesia, Pusat Bahasa (Kementerian Pendidikan Nasional) juga belum bergegas ikut mengawal pelaksanaan aturan perundang-undangan tersebut.

Sangat menarik--meski agak terlambat--gagasan sekelompok orang Pusat Bahasa untuk menggelar seminar dan lokakarya (semiloka) nasional di Jakarta pada 20-22 Juli 2010 dengan mengangkat isu sertifikasi pendidikan dan pekerjaan dengan ujian bahasa sendiri. Isu ini, menurut informasi dari Pusat Bahasa, diangkat untuk membahas peluang dan tantangan bahasa Indonesia pada era pasar bebas.

Peluang memang terbuka sangat luas bagi bahasa Indonesia untuk berperan dalam sertifikasi kompetensi tenaga kerja. Komponen kompetensi kerja--task skill; task management skill; contingency management skill; job/role environment skill; transfer skill--semuanya bersangkut-paut dengan komunikasi berbahasa. Bahkan, menurut Regional Model of Competency Standard (RMCS), kemampuan mengomunikasikan ide dan informasi merupakan sebuah kompetensi kunci tersendiri.

Bagaimana merancang komunikasi berbahasa di dunia kerja Indonesia? Kalau untuk negara Australia, sebagai contoh, jangan coba-coba seorang pekerja paramedis pergi bekerja di negeri itu tanpa memegang sertifikat hasil ujian IELTS (sejenis TOEFL) sebagai bukti kompetensi berbahasa Inggris (skor minimal: 7,0). Indonesia diharapkan juga ketat memberlakukan aturan seperti itu: tidak hanya bermanfaat melindungi buruh domestik, tetapi juga jauh lebih penting, menjaring pekerja yang kompeten.

Indonesia sudah memiliki sistem ujian bahasa sendiri yang dikembangkan oleh Pusat Bahasa dengan sebutan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Sistem UKBI inilah yang rupanya akan dibahas dalam semiloka nasional nanti. Dalam sistem ujian ini, tersedia nilai kemampuan berbahasa Indonesia dari peringkat tertinggi hingga terendah: (1) Istimewa; (2) Sangat Unggul; (3) Unggul; (4) Madya; (5) Semenjana; (6) Marginal; (7) Terbatas.

Tujuh peringkat kemahiran berbahasa tersebut sudah dikukuhkan oleh Mendiknas dengan Surat Keputusan Nomor 18/U/2003 tentang UKBI. Sayangnya, belum ada sinergi implementasi produk perundang-undangan Mendiknas ini dengan produk Menakertrans untuk perekrutan tenaga kerja, baik domestik maupun asing, di Indonesia.

Sudah saatnya dibuat peta tuntutan kompetensi berbahasa Indonesia untuk setiap sektor jasa tenaga kerja. Katakan, misalnya, dokter dan profesi lain yang berisiko tinggi akan adanya malpraktek perlu dituntut minimal mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia formal pada peringkat ke-2: Sangat Unggul. Tuntutan ini juga terkait erat dengan perlindungan konsumen bagi masyarakat pengguna jasa profesi.

Persoalan berikutnya: apakah angkatan kerja domestik juga diperlakukan sama dengan ekspatriat? Tidak boleh ada diskriminasi. Dalam hal berbahasa Indonesia formal, orang Indonesia bisa jadi lebih buruk daripada orang asing. Maklumlah, orang Indonesia umumnya “jago” dalam berbahasa Indonesia informal dengan warna lokal. Malahan, sedang digalakkan bahwa orang Indonesia wajib berbahasa lokal.

Lokal-nasional

Di banyak daerah, Indonesia sedang tampak kegenitan memandang perbedaan bahasa lokal-nasional. Koran Tempo (20 Februari 2010) melaporkan ulah seorang kepala pemerintah daerah (di Jawa Tengah) yang menolak diwawancarai dalam bahasa Indonesia. Setiap tamu yang datang ke daerah itu harus repot-repot mengikuti aturan wajib berbahasa lokal (bahasa Jawa). Ulah kegenitan seperti itu sudah merebak di banyak daerah lain yang juga terhasut menganut primordialisme.

Primordialisme mencuat tajam karena terpicu atau terpacu oleh stempel politis yang sekarang melabeli bahasa Indonesia hanya sebagai sebuah bahasa nasional. Bahasa nasional dicap secara politis terpisah dari bahasa lokal. Padahal perbedaan bahasa ini sangat nisbi. Masyarakat Indonesia--kecuali mereka yang masih hidup terisolasi--menyuburkan ragam bahasa masing-masing tanpa dikotomi lokal-nasional.

Dikotomi bahasa agaknya cocok diterapkan hanya pada zaman purba, di kala nenek moyang hidup terisolasi dengan sekat-sekat bahasa kesukuan tanpa visi bahasa persatuan. Apa yang sekarang terjadi di Jawa dan di banyak daerah lain sudah berbentuk sikap pengebirian terhadap harapan para pendiri bangsa akan adanya bahasa persatuan. Kembali berbahasa lokal ala zaman purba jelaslah merupakan kegenitan untuk menumbuhkan primordialisme.

Jika primordialisme terus direvitalisasi, nantinya tidak mengherankan bila para ekspatriat (juga para pendatang, bukan putra daerah) diuji di setiap daerah. Karena bekerja di daerah Jawa Barat, misalnya, mereka harus diuji berbahasa lokal ala leluhur Sunda. Di Bali, berlakulah bahasa daerah Bali. Apabila mereka dimutasi ke Lampung, bahasa Lampung-lah yang diberlakukan. Kalau demikian seterusnya, betapa kacau negeri Indonesia ini. Indonesia sangat rapuh di era global.

Pasar jasa tenaga kerja sudah mulai terbuka bebas. Ini sebuah penanda globalisasi. Tanpa berbenah diri, Indonesia bakal tergilas pasar bebas. Segeralah tempatkan sentimen kelokalan bahasa ke dalam wadah bahasa persatuan Indonesia. Hanya dengan bersatu, termasuk dalam hal bahasa ini, Indonesia akan tangguh di era global.

Dalam percaturan global, Indonesia ditantang agar berani mengatakan bahwa kaum buruh migran tidak akan kompeten bekerja di Indonesia tanpa kemampuan komunikasi berbahasa Indonesia. Kepada ekspatriat yang tidak kompeten, beranilah berkata: ”Angkut kopermu dan angkat kakimu dari bumi Indonesia sekarang!”

Semoga gerakan dan gertakan ini muncul dari semiloka Pusat Bahasa nanti. *


Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 1 Mei 2010

Tidak ada komentar: