Senin, 10 Mei 2010

Sejarah Panjang Pelarangan Buku di Indonesia

Oleh: Irwan Nugroho
Wartawan Detik.com

Tahukah anda, tahun 1970-an Indonesia pernah mengalami paceklik buku (book starvation)? Tepatnya di tahun 1973, UNESCO mencatat tidak ada satupun judul buku yang terbit dan dijual di pasaran.

Usut punya usut, paceklik itu adalah imbas dari pencabutan subsidi kertas oleh pemerintah sejak tahun 1965. Penerbitan buku mandek dan baru menggeliat kembali sejak pemerintah Orde Baru membuat proyek buku inpres. Tidak hanya jumlah buku yang melonjak, ratusan penerbit pun muncul.

Itulah secuil sejarah pelarangan buku di tanah air seperti digambarkan dalam Pameran Pelarangan Buku dari Zaman ke Zaman. Pameran tersebut digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, 14-17 Maret 2010.

Acara ini adalah hasil kerjasama antara Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dan Grafisosial Indonesia. Selain pameran, digelar pula diskusi secara berseri tentang pelarangan buku.

Perjalanan panjang pelarangan buku di Indonesia diuraikan secara apik dalam tiga buah infografis. Untuk mendramatisir suasana, dibuatlah replika penjara dengan jeruji berwarna hitam. Di dalamnya, terdapat ratusan judul buku, berserta sejumlah cover-nya, yang dilarang sejak tahun 1959.

Meski buku atau brosur telah banyak dilarang pada masa kolonial, namun mulai tahun itulah pemerintah RI melakukan intervensi terhadap barang cetakan. Pada 1959 itu, diterbitkan peraturan No 23/perpu/1959 yang memberi wewenang militer melarang buku dan menutup percetakan.

Satu orang pengarang menjadi korban pelarangan buku saat itu, yakni sastrawan Pramudya Ananta Toer. Ia mengarang buku berjudul "Hoakiau" yang disebut sejarahwan Asvi Warman Adam membela etnis Tionghoa atas pembatasan bisnis mereka di tingkat kecamatan ke bawah. Almarhum Pram sendiri berkomentar mengenai bukunya yang belum sempat turun dari percetakan itu. "Buku itu dilarang karena saya dituduh menjual negara ke RRC," kata pengarang trilogi Bumi Manusia ini.

Di tahun 1963, Presiden Soekarno menandatangani Perpres No 4 tentang pengamanan barang cetakan. Sejak adanya peraturan tersebut, wewenang untuk membredel buku yang 'berbahaya' berpindah dari tangan militer kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Hingga kini pun, Kejagung masih menggunakan UU itu untuk melarang buku.

Dengan perpres itu, Soekarno melarang pendukung Manifesto Kebudayaan, yang berakibat 20-an sastrawan kesulitan untuk mempublikasikan karya-karya mereka. Namun, tindakan ini berbalas tiga tahun kemudian ketika penggantinya, Soeharto, mengumumkan pelarangan Lekra serta membreidel 70-an judul buku karya para senimannya. 87 Nama penulis yang berhaluan kiri juga dilarang untuk menulis di media masa hingga sekarang.

Pelarangan buku makin tidak terbendung ketika Kejagung membentuk lembaga bernama clearing house, yang berfungsi untuk mengawasi isi cetakan. Lembaga ini beranggotakan Jamintel, BIN, Departemen Penerangan, dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depdikbud pada saat itu juga bergerak sendiri dengan melarang buku-buku seperti milik Pram, Soepardo, dan Rivai Apin sebagai bahan ajar.

"Di masa itu, bukan hanya pengarangnya saja, tapi penjual buku yang dilarang juga dipenjara. Di Yogyakarta, 3 orang mahasiswa dikenai tuduhan subversif dengan ancaman hukuman 5 tahun karena menjual buku-buku karya Pram," kata Asvi dalam sesi diskusi, Selasa (16/3), kemarin.

Munculnya gerakan reformasi memberikan euforia kebebasan dalam berekspresi dan menyatakan pendapat. Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mengatakan, ada kekosongan waktu 7 tahun di mana pemerintah RI tidak melakukan tindakan apapun terhadap jenis-jenis buku yang beredar. Namun, pada tahun 2007, Kejagung kembali melakukan pelarang buku yang, menurutnya, paling tidak cerdas sepanjang sejarah.

Kejagung memberangus buku-buku pelajaran SMP dan SMA karena tidak menyertakan peristiwa Madiun 1948 serta tidak menyebut PKI dalam peristiwa G30S. Namun, buku-buku pelajaran yang memuat kurikulum sejarah periode sebelumnya juga ikut dilarang.

Peristiwa Madiun dan G30S termasuk dalam buku pelajaran sejarah jilid III. Namun, Kejagung juga melarang peredaran buku jilid I dan II yang berisi pelajaran tentang kerajaan-kerajaan di tanah air hingga masa kemerdekaan RI.

Meski mendapat tentangan dari berbagai pihak, namun Kejagung tidak bergeming. Di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Hendarman Supandji, tahun 2009, Kejagung melarang peredaran lima buku. Buku-buku tersebut adalah: Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua
Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.(irw/iy)

Sumber: Detik.com, Rabu, 17/03/2010 12:32 WIB

Tidak ada komentar: