Oleh Badui U. Subhan
Ihwal waktu, saya teringat tiga cerita. Dua di antaranya saya dapatkan dari media film. Satu lagi dari novel. Film pertama bercerita tentang beberapa siswa ‘nakal’ yang mencoba memecahkan rahasia sebuah teks puisi yang ditulis oleh alumnus senior di sekolahnya. Film kedua tentang guru ‘palsu’ yang mengajar anak-anak secara santai (lebih tepatnya sesuka hati) di sekolah yang masyhur amat formal. Sedangkan cerita yang terdapat dalam novel, juga tak jauh berbeda tema dengan cerita di dua film, tentang seorang pelajar yang dikeluarkan dari sekolahnya dan kemudian memilih sekolah yang dibangun dari gerbong kereta api.
Ketiga cerita tersebut tentu berbeda latar waktu dan tempatnya. Namun ada satu hal yang kiranya dapat diambil benang merahnya secara halus dan lurus: gugatan atas dunia pendidikan yang terlalu formal dan rigid. Film pertama bertajuk Dead Poet Society, film kedua berlabel The School of Rock, dan novel yang saya maksud tidak lain adalah Totto Chan.
Bagi saya, dunia pendidikan yang diangkat dalam ketiga cerita tersebut tak hanya ingin menyoroti soal cara atau gaya belajar. Dari ketiganya, secara implisit saya melihat bahwa konsep waktu juga amat menjadi perhatian penulisnya. Saya katakan implisit sebab pada ketiga cerita tersebut, sudut pandang waktu tidak demikian detil ‘digugat’ oleh para penulisnya. Namun bagi penonton atau pembaca yang kritis tentu akan mendapati simbol-simbol penggugatan atas makna waktu yang kini terlanjur dipahami dan disamakan dengan makna kecepatan.
Kita insyaf, makna waktu bukanlah untuk dibelenggu pada pengertian kecepatan. Kita mengenal adagium tua ini: siapa cepat dia dapat! Sama sekali saya berani memperdebatkan keabsahan makna konsep waktu macam demikian. Rasanya terlalu beraroma materialistik! Dan saya kira, tiga ayat yang telah diwahyukan Tuhan dalam surat Al ‘Ashr (AQ 601:1-3) adalah rangkaian teks terbuka tentang konsep waktu yang meminta diinsyafi oleh semua manusia agar tak dilepaskan dari tali konsep Al Haq (benar dan sesuai porsi) dan Al Shabr (sabar alias tidak terburu-buru).
Coba saja perhatikan dan resapi tiga cerita tersebut. Sungguh tak berlebihan kiranya jika konsep pendidikan dan waktu yang disentil di dalamnya akan kita temukan kelurusan relnya dengan konsep pendidikan yang telah lama diusung oleh Montessori, Rabindranat Tagore, dan Ivan Illich yang membongkar sifat ketat, formal, dan destruktifnya gaya ‘pendidikan’ yang membelengggu anak-anak.
Ya, tepat waktu adalah penting! Akan tetapi, mesti serigid itukah kita akan memaknainya (ingat, bukan menerjemahkan), sedangkan konsep ketat atau kendurnya waktu adalah kita pula yang mengukurnya?
Saya kira, itulah mengapa kisah-kisah satir atau paradoks di atas selalu aktual, terus tumbuh dan berkembang dengan gaya tuturnya masing-masing di setiap zaman. Ah, bukankah kita kerap keliru memaknai pendidikan? Seyogyanya, akhir atau ujung tujuan pendidikan bukanlah untuk cepat rimbun dan berjejalnya pengetahuan dalam otak setiap anak didik, melainkan hadir dan tumbuhnya rasa bijak dalam setiap hati para pembelajar, baik anak-anak, orang dewasa, terlebih orang tua.
Saya memandang kecepatan atau ketepatan waktu tidak pernah berbanding lurus maknanya dengan kesuksesan—bukankah ini cenderung berkesan ‘kejar setoran’? Sebab itu, saya lebih berpendapat bahwa kesuksesan adalah ihwal kebenaran dan kebaikan dalam melakukan suatu proses. Logikanya mudah dicerna, siapa yang tidak benar dan tidak baik dalam berproses (awas, bukan tidak cepat!) alangkah kurang bijak disebut sukses.
Akhirnya, konsep waktu yang manakah yang hendak kita imani dan kita ajarkan kepada anak-anak didik kita di sini? Akankah tetap rigid dengan kehendak untuk selalu cepat waktu (dan tepat waktu, meskipun absurd) seraya menutup mata akan akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya?
Depok, 21 Juli 2010
Minggu, 25 Juli 2010
Senin, 19 Juli 2010
Mitologi Sisifus dan Absurditas Seni
Oleh Farhan Adityasmara
Alumnus Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta
PARA dewa telah menghukum Sisifus untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung, dari puncak gunung, batu itu akan jatuh kebawah oleh beratnya sendiri. Tidak ada hukuman yang lebih mengerikan daripada pekerjaan yang tak berguna, dan tanpa harapan itu. Sebuah kekonyolan repetitif yang bijaksana, atau sebuah kebijaksanaan konyol yang repetitif, atau mungkin perpaduan keduanya. Mungkin tidak ada istilah yang tepat selain absurd untuk memberikan definisi yang jelas.
Absurd is not reasonable, foolish and ridicoulus.
Dari bahasa Latin absurdus. Ab-surdus yang berarti tuli, atau bodoh. Menurut kamus, absurd berarti demikian dan terjemahannya sebagai berikut:
“Absurd is having no rational or orderly relationship to human life: meaningless (an absurd universe). Lacking order or value (an absurd existence). absurdism is a philosophy based on the believe that the universe is irrational and meaningless and that the search for order brings the individual into conflict with the universe”.
Dari sini absurd dapat diterjemahkan sebagai hal yang tidak rasional dalam hubungannya dengan kehidupan manusia: tiada artinya (alam/dunia absurd). Kurang bermakna atau tidak berharga (eksistensi absurd). Absurdisme adalah sebuah filosofi berdasarkan kepercayaan bahwa alam semesta adalah tidak rasional dan tidak berarti dan bahwa pencarian makna membawa seseorang ke dalam konflik dengan alam).
Dalam esai Albert Camus tentang Sisifus, Camus memperkenalkan filsafat Absurdisme dalam pencarian makna yang sia-sia oleh manusia, kesatuan dan kejelasan dalam menghadapi dunia yang tidak dapat dipahami, yang tidak memiliki Tuhan dan kekekalan. Apakah realisasi tentang yang absurd ini harus dijawab dengan bunuh diri? Camus menjawab: "Tidak”. Yang dibutuhkan adalah pemberontakan."Ia kemudian membentangkan sejumlah pendekatan terhadap kehidupan yang absurd. Bab terakhirnya membandingkan absurditas kehidupan manusia dengan situasi yang dialami Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Esai ini menyimpulkan, "Perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Kita harus membayangkan bahwa Sisifus berbahagia." Esai filsafatnya terbit pada tahun 1942. Terdiri atas 120 halaman dan terbitan aslinya dalam bahasa Prancis dengan judul Le Mythe de Sisyphe, terjemahan bahasa Inggris oleh Justin O'Brien, terbit pada 1955.
Kisah Sisifus, sesuai esai dari Albert Camus, Le Mythe de Sysiphe merujuk dari mitologi yunani karya Homer, mendeskripsikan sifat-sifatnya yang bijaksana, selalu waspada, namun pada kisah lain ia cenderung menjadi perampok atau pembuat onar. Hubungannya tentang penculikan Egina, putri dari Aesop, yang membuat para dewa menjadi murka. Pertempuran dengan Dewa kematian. Tentang kesetiaan sang istri yang bertentangan dengan kodrat manusia untuk menguburkan jasadnya, sehingga membuat Pluto memberi ijin kepada Sisifus untuk kembali lagi ke dunia untuk menghukum sang istri, namun Sisifus memberontak pada Pluto Sang Dewa, karena kenikmatan dunia yang membuat Sisifus tidak ingin kembali ke alam suram neraka. Akhirnya Merkurius datang untuk mencabut nyawanya dan ia dihukum kembali di neraka untuk melakukan pekerjaan yang absurd. Mengangkat batu besar keatas gunung, kemudian menggelindingkannya kembali kebawah, untuk selamanya. Pekerjaan yang tidak berguna dan tanpa harapan. Namun pekerjaan yang tanpa harapan itu adalah kemenangannya atas pemberontakannya pada Dewa. Pada akhirnya kita harus membayangkan bahwa Sisifus bahagia, karena perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati manusia.
Diceritakan oleh Homer bahwa,
Sisyphus was son of the king Aeolus of Thessaly and Enarete, and the founder and first king of Ephyra (Corinth). He was the father of Glaucus by the nymph Merope, and the grandfather of Bellerophon.
Menurut Homer Sisifus adalah putra dari raja Aeolus dari Thessaly dan Enarete, dan pendiri serta raja pertama dari Ephyra (Korintus). Ayah dari Glaucus dari seorang bidadari Merope dan kakek dari Bellerophon.
Yang membuat karya Albert Camus ini menjadi kuat dan bergema adalah karena karya ini ditulis oleh seorang autodidak, (pada saat itu Camus tidak dapat mendaftarkan diri untuk ujian akhir filsafat karena menderita tuberkulosa).
A metaphor for modern lives spent working at futile jobs in factories and offices. "The workman of today works every day in his life at the same tasks, and this fate is no less absurd. But it is tragic only at the rare moments when it becomes conscious".
Sisifus adalah mitologi yang merupakan metafora dari kehidupan modern saat ini, di mana buruh-buruh pabrik dan pekerja kantoran melakukan tugas yang sama sepanjang hari selama hidupnya. Melakukan tugas yang sama dan nasibnya ini tak kalah absurd. Namun ketragisannya hanya muncul di saat mereka sadar akan nasibnya.
Hal ini juga sangat kental terasa di dalam dunia seni. Para seniman terus menerus berkarya apakah itu berupa karya seni rupa, seni pertunjukan, bahkan fotografi dan video art. Membuat suatu karya pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit, karena seniman biasanya lebih mengutamakan idealisme. Bagaikan mengangkat sebuah batu besar ke puncak gunung, namun pada saat sang seniman mempertunjukkan hasil karya kepada apreasiator, di situlah saat-saat dia melihat batu besar itu meluncur ke bawah. Di situlah letak kepuasan, terlebih apabila karya tersebut dihargai oleh orang lain baik secara materi maupun non-materi. Namun setelah selesai, dia harus berkarya lagi, dia harus mengangkat batu itu lagi ke puncak gunung.
Seniman—tradisional pada khususnya—di Indonesia, tidak bisa dipungkiri belum sepenuhnya memperoleh penghargaan secara profesional dari pekerjaan mereka. Berbeda mungkin dengan seniman-seniman yang sudah memiliki nama besar dan jam terbang tinggi. Hal ini tak terkecuali, seniman dari seni pertunjukan, seni rupa, termasuk fotografi. Berbeda halnya dengan apa yang terjadi di luar negeri, khususnya di Eropa, Amerika, dan Australia, kesenian, sangatlah dihargai. Penulis sempat berinteraksi dengan salah seorang seniman pertunjukan tari dari Australia, dia bisa menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 3.000.000,00 apabila di-kurs-kan dengan rupiah, untuk 1 jam mengajar atau memberi kursus tari, di negaranya. Sangatlah kontras dengan apa yang terjadi dengan apa yang terjadi di negara kita. Ada yang tahu gaji pengajar seni tari di sanggar-sanggar tari?
Pengalaman yang pernah saya jadikan sampel penelitian, untuk sebuah pertunjukan tari Reog Dhodog, sebuah tarian khas daeah Sonopakis, Bantul, untuk sekali pertunjukan dengan pemain dan pengiring musik tradisional sebanyak 15-20 orang, bayaran yang didapat hanya rata-rata sekitar Rp. 600.000,00 sampai Rp. 750.000,00. Berarti setiap pemain maksimal hanya mendapatkan bayaran maksimal sebesar Rp. 37.500,00. Hal yang sangat wajar terjadi, dan anda dapat memberi penilaian sendiri. Melalui observasi dan interaksi langsung dalam kegiatan-kegiatan berkesenian, penulis menyadari bahwa kepuasan dari seorang seniman memiliki nilai lebih daripada sekedar materi. Seni dan absurditas seperti tweedledum and tweedledee.
Sumber: indonesiaartnews.or.id
Alumnus Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta
PARA dewa telah menghukum Sisifus untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung, dari puncak gunung, batu itu akan jatuh kebawah oleh beratnya sendiri. Tidak ada hukuman yang lebih mengerikan daripada pekerjaan yang tak berguna, dan tanpa harapan itu. Sebuah kekonyolan repetitif yang bijaksana, atau sebuah kebijaksanaan konyol yang repetitif, atau mungkin perpaduan keduanya. Mungkin tidak ada istilah yang tepat selain absurd untuk memberikan definisi yang jelas.
Absurd is not reasonable, foolish and ridicoulus.
Dari bahasa Latin absurdus. Ab-surdus yang berarti tuli, atau bodoh. Menurut kamus, absurd berarti demikian dan terjemahannya sebagai berikut:
“Absurd is having no rational or orderly relationship to human life: meaningless (an absurd universe). Lacking order or value (an absurd existence). absurdism is a philosophy based on the believe that the universe is irrational and meaningless and that the search for order brings the individual into conflict with the universe”.
Dari sini absurd dapat diterjemahkan sebagai hal yang tidak rasional dalam hubungannya dengan kehidupan manusia: tiada artinya (alam/dunia absurd). Kurang bermakna atau tidak berharga (eksistensi absurd). Absurdisme adalah sebuah filosofi berdasarkan kepercayaan bahwa alam semesta adalah tidak rasional dan tidak berarti dan bahwa pencarian makna membawa seseorang ke dalam konflik dengan alam).
Dalam esai Albert Camus tentang Sisifus, Camus memperkenalkan filsafat Absurdisme dalam pencarian makna yang sia-sia oleh manusia, kesatuan dan kejelasan dalam menghadapi dunia yang tidak dapat dipahami, yang tidak memiliki Tuhan dan kekekalan. Apakah realisasi tentang yang absurd ini harus dijawab dengan bunuh diri? Camus menjawab: "Tidak”. Yang dibutuhkan adalah pemberontakan."Ia kemudian membentangkan sejumlah pendekatan terhadap kehidupan yang absurd. Bab terakhirnya membandingkan absurditas kehidupan manusia dengan situasi yang dialami Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Esai ini menyimpulkan, "Perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Kita harus membayangkan bahwa Sisifus berbahagia." Esai filsafatnya terbit pada tahun 1942. Terdiri atas 120 halaman dan terbitan aslinya dalam bahasa Prancis dengan judul Le Mythe de Sisyphe, terjemahan bahasa Inggris oleh Justin O'Brien, terbit pada 1955.
Kisah Sisifus, sesuai esai dari Albert Camus, Le Mythe de Sysiphe merujuk dari mitologi yunani karya Homer, mendeskripsikan sifat-sifatnya yang bijaksana, selalu waspada, namun pada kisah lain ia cenderung menjadi perampok atau pembuat onar. Hubungannya tentang penculikan Egina, putri dari Aesop, yang membuat para dewa menjadi murka. Pertempuran dengan Dewa kematian. Tentang kesetiaan sang istri yang bertentangan dengan kodrat manusia untuk menguburkan jasadnya, sehingga membuat Pluto memberi ijin kepada Sisifus untuk kembali lagi ke dunia untuk menghukum sang istri, namun Sisifus memberontak pada Pluto Sang Dewa, karena kenikmatan dunia yang membuat Sisifus tidak ingin kembali ke alam suram neraka. Akhirnya Merkurius datang untuk mencabut nyawanya dan ia dihukum kembali di neraka untuk melakukan pekerjaan yang absurd. Mengangkat batu besar keatas gunung, kemudian menggelindingkannya kembali kebawah, untuk selamanya. Pekerjaan yang tidak berguna dan tanpa harapan. Namun pekerjaan yang tanpa harapan itu adalah kemenangannya atas pemberontakannya pada Dewa. Pada akhirnya kita harus membayangkan bahwa Sisifus bahagia, karena perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati manusia.
Diceritakan oleh Homer bahwa,
Sisyphus was son of the king Aeolus of Thessaly and Enarete, and the founder and first king of Ephyra (Corinth). He was the father of Glaucus by the nymph Merope, and the grandfather of Bellerophon.
Menurut Homer Sisifus adalah putra dari raja Aeolus dari Thessaly dan Enarete, dan pendiri serta raja pertama dari Ephyra (Korintus). Ayah dari Glaucus dari seorang bidadari Merope dan kakek dari Bellerophon.
Yang membuat karya Albert Camus ini menjadi kuat dan bergema adalah karena karya ini ditulis oleh seorang autodidak, (pada saat itu Camus tidak dapat mendaftarkan diri untuk ujian akhir filsafat karena menderita tuberkulosa).
A metaphor for modern lives spent working at futile jobs in factories and offices. "The workman of today works every day in his life at the same tasks, and this fate is no less absurd. But it is tragic only at the rare moments when it becomes conscious".
Sisifus adalah mitologi yang merupakan metafora dari kehidupan modern saat ini, di mana buruh-buruh pabrik dan pekerja kantoran melakukan tugas yang sama sepanjang hari selama hidupnya. Melakukan tugas yang sama dan nasibnya ini tak kalah absurd. Namun ketragisannya hanya muncul di saat mereka sadar akan nasibnya.
Hal ini juga sangat kental terasa di dalam dunia seni. Para seniman terus menerus berkarya apakah itu berupa karya seni rupa, seni pertunjukan, bahkan fotografi dan video art. Membuat suatu karya pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit, karena seniman biasanya lebih mengutamakan idealisme. Bagaikan mengangkat sebuah batu besar ke puncak gunung, namun pada saat sang seniman mempertunjukkan hasil karya kepada apreasiator, di situlah saat-saat dia melihat batu besar itu meluncur ke bawah. Di situlah letak kepuasan, terlebih apabila karya tersebut dihargai oleh orang lain baik secara materi maupun non-materi. Namun setelah selesai, dia harus berkarya lagi, dia harus mengangkat batu itu lagi ke puncak gunung.
Seniman—tradisional pada khususnya—di Indonesia, tidak bisa dipungkiri belum sepenuhnya memperoleh penghargaan secara profesional dari pekerjaan mereka. Berbeda mungkin dengan seniman-seniman yang sudah memiliki nama besar dan jam terbang tinggi. Hal ini tak terkecuali, seniman dari seni pertunjukan, seni rupa, termasuk fotografi. Berbeda halnya dengan apa yang terjadi di luar negeri, khususnya di Eropa, Amerika, dan Australia, kesenian, sangatlah dihargai. Penulis sempat berinteraksi dengan salah seorang seniman pertunjukan tari dari Australia, dia bisa menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 3.000.000,00 apabila di-kurs-kan dengan rupiah, untuk 1 jam mengajar atau memberi kursus tari, di negaranya. Sangatlah kontras dengan apa yang terjadi dengan apa yang terjadi di negara kita. Ada yang tahu gaji pengajar seni tari di sanggar-sanggar tari?
Pengalaman yang pernah saya jadikan sampel penelitian, untuk sebuah pertunjukan tari Reog Dhodog, sebuah tarian khas daeah Sonopakis, Bantul, untuk sekali pertunjukan dengan pemain dan pengiring musik tradisional sebanyak 15-20 orang, bayaran yang didapat hanya rata-rata sekitar Rp. 600.000,00 sampai Rp. 750.000,00. Berarti setiap pemain maksimal hanya mendapatkan bayaran maksimal sebesar Rp. 37.500,00. Hal yang sangat wajar terjadi, dan anda dapat memberi penilaian sendiri. Melalui observasi dan interaksi langsung dalam kegiatan-kegiatan berkesenian, penulis menyadari bahwa kepuasan dari seorang seniman memiliki nilai lebih daripada sekedar materi. Seni dan absurditas seperti tweedledum and tweedledee.
Sumber: indonesiaartnews.or.id
Kecantikan sebagai Mantera Abadi
Oleh Heru Emka
Penyair dan peminat kajian budaya. Tinggal di Semarang.
BARU beberapa waktu berselang kita menjadi saksi betapa para gadis muda kita dilanda demam untuk menjadi selebriti. Ketenaran, nama besar, dan hidup enak sebagai orang beken disepakati sebagai buah impian mereka yang penuh damba mencebur dalam berbagai kontes yang bisa menjadikan mereka sebagai seorang bintang secara instan. Tapi itu sekadar tren, sebatas warna-warni sebuah musim, yang akan berganti pada ragam lainnya.
Tapi, hasrat untuk menjadi cantik adalah mantera abadi, yang tak pernah lekang pengaruhnya sejak awal peradaban manusia. Menarik sekali apa yang diungkapkan oleh majalah pria Salon (edisi November 2004) tentang kegairahan tanpa henti untuk tampil menjadi cantik dalam special section di majalah ini: History of Beauty. Dalam artikel panjang ini secara menarik dikisahkan mitos keindahan para dewi kecantikan dari Ratu Helena (Helen of Troy), Cleopatra hingga para selebritis belia Hollywood seperti Liv Tyler.
Ratu Helena yang dipandang sebagai penyebab Perang Troya yang berdarah itu, dianggap sebagai perempuan yang memiliki ”kecantikan berbisa”, ”le femme fatale” (si cantik yang mematikan) dengan sorot mata indah yang mengandung bius, seperti digambarkan oleh pujangga Homerus. Cleopatra menduduki peringkat kedua dengan resep istimewa mandi susu plus madu, yang masih diadopsi oleh para perempuan sekarang ini. Kemudian para dewi tahun enam puluhan yang bentuk tubuhnya seindah Venus seperti Raquel Welch, hingga citra dewi muda Hollywood yang dipandang mewakili kecantikan alami, jauh dari rekayasa fisik secara medis, yakni Liv Tyler.
Namun menurut saya, yang menarik bukan apa atau siapa yang menghiasi deret galeri para dewi kecantikan versi Salon (yang bisa saja disusun ulang oleh redaksi media lainnya) namun penjelasan bahwa kecantikan, walaupun tetap menjadi mantera memikat bagi setiap wanita di mana saja, telah bergeser maknanya, dari masa ke masa. Kecantikan yang semula dikagumi sebagai seni keindahan (art of beauty, yang barangkali mewakili tahap pemikiran mistik) bergeser sebagai ”teknologi keindahan” (science of beauty) yang mewujud lewat teknologi kecantikan artifisial seperti bedah plastik, implan sel hidup atau terapi ozon dan sebagaianya.
Dan bagai para pendamba kecantikan, ”science of beauty” bahkan menjadi mantera baru, dengan ”kuil-kuil baru” berbagai salon kecantikan yang eksklusif dan mewah, dengan peralatan modern yang menggabungkan kemampuan medis rumah sakit dengan kenyamanan pelayanan hotel berbintang lima.
Tubuh yang Termodifikasi
Tubuh menjadi obyek baru bagi seni rupa kecantikan, menjadi obyek utama sebuah modifikasi atas nama estetika. Dalam Body Modification, yang diedit oleh Mike Featherstone, (Thousand Oaks, London, 2000) menurut saya merupakan sebuah antologi paling komprehensif yang menjelaskan tentang ”politik tubuh” dan hasrat abadi untuk cantik menyebutkan: bahwa tubuh manusia akhirnya menjelma menjadi pemujaan baru dalam sudut pandang studi kebudayaan (the human body is the new fetish of cultural studies).
Dalam antologi ini, tak saja para feminis, namun juga para psikoanalis, para fenomenolog dan para antropolog, ikut mengembangkan teori yang tajam dan berbeda tentang tubuh manusia. Menjadi cantik memang lebih menyenangkan (preferable). Karena memberikan keutamaan fisik pada perempuan lebih mudah mendapatkan pasangan, pujian, atau bahkan pekerjaan. Begitu besarnya pukau mantera kecantikan sehingga membuat para wanita, dari masa ke masa, cenderung narsistis, memuja kecantikan tubuh semata. Namun di sisi lain, kecantikan sendiri telah direduksi oleh kepentingan kapitalisme. Versi dan defenisi kecantikan yang begitu beragam sesuai kultur yang ada di dunia, kemudian diperas dalam sebuah definisi yang seragam, versi media massa terkemuka atau lembaga yang merasa punya wewenang untuk menentukan wanita tercantik sedunia, seperti Miss World, misalnya. Masalahnya, haruskah ada kelompok tertentu yang berhak menentukan kriteria kecantikan dan kriteria macam apakah yang pantas digunakan untuk memberi penilaian? Dan bisakah mewakili suatu obyektivitas? Bukankah setiap periode zaman serta masing-masing kebudayaan dan era-sosialnya memiliki standar sendiri tentang konsep kecantikan dan estetika tubuh?
Industri global yang juga menjadikan kecantikan dan keindahan tubuh sebagai isu panas juga menunjukkan kecenderungan untuk bergerak secara homogen. Berbagai industri kosmetik modern seperti L’Oreal, Estte Lauder, Lancome, dan sebagainya, mendirikan berbagai lembaga riset di seluruh dunia bahkan dalam kepentingan untuk menyelaraskan produk bisnis mereka dengan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat unik, dari berbagai latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Belenggu, Candu
Tak heran bila tokoh feminis postmodern seperti Julia Kristeva menganggap bahwa kecantikan sebagai rahmat sekaligus kutukan.
“Ada semacam belenggu kecanduan dalam konsep kecantikan, sehingga wanita tergoda untuk merantaikan diri dalam citra cantik, dan mengabaikan isu strategis lainya yang tak kalah penting dalam kehidupannya. Mereka menjadi boneka yang terantai dalam etalase kekaguman para pria,” ujarnya dalam Desire in Language (Columbia University Press, 1982).
Kita memahami kegundahan feminis yang satu ini. Gairah para wanita untuk terus melakukan perombakan atas tubuhnya sendiri melalui berbagai tindakan bedah plastik, body piercing, berbagai program fitness, rekayasa prosthetik, dan berbagai upaya lain dari proses neural implants, hingga metode pengobatan mutakhir nanoteknologi, yang atas nama fashion dalam tahun-tahun terakhir ini, telah membuat tubuh menjadi tempat yang paling aktual untuk melakukan eksperimen.
“Bila kecantikan menjadi mantera abadi, dengan mitos-mitos yang hampa dan tak relevan bagi aktualisasi diri, maka alangkah menderitanya tubuh wanita masa kini,” begitu keluh Kathy Davis, dalam My Body is My Art: Cosmetic Surgery as Feminist Utopia, The European Journal of Women's Studies No 4: pp 23-37 (1997). Dan korban mitos ini masih saja terentang dalam jarak yang begitu panjang. Dari kawasan sibuk Manhattan hingga di sebuah salon kecantikan di Depok. Muncul lagi berita tentang si anu yang menjadi korban jiwa karena efek merusak sebuah operasi bedah plastik. Si anu ini pun bisa saja tampil dalam deretan sosial yang tak terhingga. Dari hostes sebuah klub malam murahan, hingga presiden direktur sebuah perusahaan elektronik di Maryland, Amerika Serikat.
Ah…. kecantikan kadang terasa sungguh absurd… ***
Penyair dan peminat kajian budaya. Tinggal di Semarang.
BARU beberapa waktu berselang kita menjadi saksi betapa para gadis muda kita dilanda demam untuk menjadi selebriti. Ketenaran, nama besar, dan hidup enak sebagai orang beken disepakati sebagai buah impian mereka yang penuh damba mencebur dalam berbagai kontes yang bisa menjadikan mereka sebagai seorang bintang secara instan. Tapi itu sekadar tren, sebatas warna-warni sebuah musim, yang akan berganti pada ragam lainnya.
Tapi, hasrat untuk menjadi cantik adalah mantera abadi, yang tak pernah lekang pengaruhnya sejak awal peradaban manusia. Menarik sekali apa yang diungkapkan oleh majalah pria Salon (edisi November 2004) tentang kegairahan tanpa henti untuk tampil menjadi cantik dalam special section di majalah ini: History of Beauty. Dalam artikel panjang ini secara menarik dikisahkan mitos keindahan para dewi kecantikan dari Ratu Helena (Helen of Troy), Cleopatra hingga para selebritis belia Hollywood seperti Liv Tyler.
Ratu Helena yang dipandang sebagai penyebab Perang Troya yang berdarah itu, dianggap sebagai perempuan yang memiliki ”kecantikan berbisa”, ”le femme fatale” (si cantik yang mematikan) dengan sorot mata indah yang mengandung bius, seperti digambarkan oleh pujangga Homerus. Cleopatra menduduki peringkat kedua dengan resep istimewa mandi susu plus madu, yang masih diadopsi oleh para perempuan sekarang ini. Kemudian para dewi tahun enam puluhan yang bentuk tubuhnya seindah Venus seperti Raquel Welch, hingga citra dewi muda Hollywood yang dipandang mewakili kecantikan alami, jauh dari rekayasa fisik secara medis, yakni Liv Tyler.
Namun menurut saya, yang menarik bukan apa atau siapa yang menghiasi deret galeri para dewi kecantikan versi Salon (yang bisa saja disusun ulang oleh redaksi media lainnya) namun penjelasan bahwa kecantikan, walaupun tetap menjadi mantera memikat bagi setiap wanita di mana saja, telah bergeser maknanya, dari masa ke masa. Kecantikan yang semula dikagumi sebagai seni keindahan (art of beauty, yang barangkali mewakili tahap pemikiran mistik) bergeser sebagai ”teknologi keindahan” (science of beauty) yang mewujud lewat teknologi kecantikan artifisial seperti bedah plastik, implan sel hidup atau terapi ozon dan sebagaianya.
Dan bagai para pendamba kecantikan, ”science of beauty” bahkan menjadi mantera baru, dengan ”kuil-kuil baru” berbagai salon kecantikan yang eksklusif dan mewah, dengan peralatan modern yang menggabungkan kemampuan medis rumah sakit dengan kenyamanan pelayanan hotel berbintang lima.
Tubuh yang Termodifikasi
Tubuh menjadi obyek baru bagi seni rupa kecantikan, menjadi obyek utama sebuah modifikasi atas nama estetika. Dalam Body Modification, yang diedit oleh Mike Featherstone, (Thousand Oaks, London, 2000) menurut saya merupakan sebuah antologi paling komprehensif yang menjelaskan tentang ”politik tubuh” dan hasrat abadi untuk cantik menyebutkan: bahwa tubuh manusia akhirnya menjelma menjadi pemujaan baru dalam sudut pandang studi kebudayaan (the human body is the new fetish of cultural studies).
Dalam antologi ini, tak saja para feminis, namun juga para psikoanalis, para fenomenolog dan para antropolog, ikut mengembangkan teori yang tajam dan berbeda tentang tubuh manusia. Menjadi cantik memang lebih menyenangkan (preferable). Karena memberikan keutamaan fisik pada perempuan lebih mudah mendapatkan pasangan, pujian, atau bahkan pekerjaan. Begitu besarnya pukau mantera kecantikan sehingga membuat para wanita, dari masa ke masa, cenderung narsistis, memuja kecantikan tubuh semata. Namun di sisi lain, kecantikan sendiri telah direduksi oleh kepentingan kapitalisme. Versi dan defenisi kecantikan yang begitu beragam sesuai kultur yang ada di dunia, kemudian diperas dalam sebuah definisi yang seragam, versi media massa terkemuka atau lembaga yang merasa punya wewenang untuk menentukan wanita tercantik sedunia, seperti Miss World, misalnya. Masalahnya, haruskah ada kelompok tertentu yang berhak menentukan kriteria kecantikan dan kriteria macam apakah yang pantas digunakan untuk memberi penilaian? Dan bisakah mewakili suatu obyektivitas? Bukankah setiap periode zaman serta masing-masing kebudayaan dan era-sosialnya memiliki standar sendiri tentang konsep kecantikan dan estetika tubuh?
Industri global yang juga menjadikan kecantikan dan keindahan tubuh sebagai isu panas juga menunjukkan kecenderungan untuk bergerak secara homogen. Berbagai industri kosmetik modern seperti L’Oreal, Estte Lauder, Lancome, dan sebagainya, mendirikan berbagai lembaga riset di seluruh dunia bahkan dalam kepentingan untuk menyelaraskan produk bisnis mereka dengan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat unik, dari berbagai latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Belenggu, Candu
Tak heran bila tokoh feminis postmodern seperti Julia Kristeva menganggap bahwa kecantikan sebagai rahmat sekaligus kutukan.
“Ada semacam belenggu kecanduan dalam konsep kecantikan, sehingga wanita tergoda untuk merantaikan diri dalam citra cantik, dan mengabaikan isu strategis lainya yang tak kalah penting dalam kehidupannya. Mereka menjadi boneka yang terantai dalam etalase kekaguman para pria,” ujarnya dalam Desire in Language (Columbia University Press, 1982).
Kita memahami kegundahan feminis yang satu ini. Gairah para wanita untuk terus melakukan perombakan atas tubuhnya sendiri melalui berbagai tindakan bedah plastik, body piercing, berbagai program fitness, rekayasa prosthetik, dan berbagai upaya lain dari proses neural implants, hingga metode pengobatan mutakhir nanoteknologi, yang atas nama fashion dalam tahun-tahun terakhir ini, telah membuat tubuh menjadi tempat yang paling aktual untuk melakukan eksperimen.
“Bila kecantikan menjadi mantera abadi, dengan mitos-mitos yang hampa dan tak relevan bagi aktualisasi diri, maka alangkah menderitanya tubuh wanita masa kini,” begitu keluh Kathy Davis, dalam My Body is My Art: Cosmetic Surgery as Feminist Utopia, The European Journal of Women's Studies No 4: pp 23-37 (1997). Dan korban mitos ini masih saja terentang dalam jarak yang begitu panjang. Dari kawasan sibuk Manhattan hingga di sebuah salon kecantikan di Depok. Muncul lagi berita tentang si anu yang menjadi korban jiwa karena efek merusak sebuah operasi bedah plastik. Si anu ini pun bisa saja tampil dalam deretan sosial yang tak terhingga. Dari hostes sebuah klub malam murahan, hingga presiden direktur sebuah perusahaan elektronik di Maryland, Amerika Serikat.
Ah…. kecantikan kadang terasa sungguh absurd… ***
Langganan:
Postingan (Atom)