Oleh Badui U. Subhan
Ihwal waktu, saya teringat tiga cerita. Dua di antaranya saya dapatkan dari media film. Satu lagi dari novel. Film pertama bercerita tentang beberapa siswa ‘nakal’ yang mencoba memecahkan rahasia sebuah teks puisi yang ditulis oleh alumnus senior di sekolahnya. Film kedua tentang guru ‘palsu’ yang mengajar anak-anak secara santai (lebih tepatnya sesuka hati) di sekolah yang masyhur amat formal. Sedangkan cerita yang terdapat dalam novel, juga tak jauh berbeda tema dengan cerita di dua film, tentang seorang pelajar yang dikeluarkan dari sekolahnya dan kemudian memilih sekolah yang dibangun dari gerbong kereta api.
Ketiga cerita tersebut tentu berbeda latar waktu dan tempatnya. Namun ada satu hal yang kiranya dapat diambil benang merahnya secara halus dan lurus: gugatan atas dunia pendidikan yang terlalu formal dan rigid. Film pertama bertajuk Dead Poet Society, film kedua berlabel The School of Rock, dan novel yang saya maksud tidak lain adalah Totto Chan.
Bagi saya, dunia pendidikan yang diangkat dalam ketiga cerita tersebut tak hanya ingin menyoroti soal cara atau gaya belajar. Dari ketiganya, secara implisit saya melihat bahwa konsep waktu juga amat menjadi perhatian penulisnya. Saya katakan implisit sebab pada ketiga cerita tersebut, sudut pandang waktu tidak demikian detil ‘digugat’ oleh para penulisnya. Namun bagi penonton atau pembaca yang kritis tentu akan mendapati simbol-simbol penggugatan atas makna waktu yang kini terlanjur dipahami dan disamakan dengan makna kecepatan.
Kita insyaf, makna waktu bukanlah untuk dibelenggu pada pengertian kecepatan. Kita mengenal adagium tua ini: siapa cepat dia dapat! Sama sekali saya berani memperdebatkan keabsahan makna konsep waktu macam demikian. Rasanya terlalu beraroma materialistik! Dan saya kira, tiga ayat yang telah diwahyukan Tuhan dalam surat Al ‘Ashr (AQ 601:1-3) adalah rangkaian teks terbuka tentang konsep waktu yang meminta diinsyafi oleh semua manusia agar tak dilepaskan dari tali konsep Al Haq (benar dan sesuai porsi) dan Al Shabr (sabar alias tidak terburu-buru).
Coba saja perhatikan dan resapi tiga cerita tersebut. Sungguh tak berlebihan kiranya jika konsep pendidikan dan waktu yang disentil di dalamnya akan kita temukan kelurusan relnya dengan konsep pendidikan yang telah lama diusung oleh Montessori, Rabindranat Tagore, dan Ivan Illich yang membongkar sifat ketat, formal, dan destruktifnya gaya ‘pendidikan’ yang membelengggu anak-anak.
Ya, tepat waktu adalah penting! Akan tetapi, mesti serigid itukah kita akan memaknainya (ingat, bukan menerjemahkan), sedangkan konsep ketat atau kendurnya waktu adalah kita pula yang mengukurnya?
Saya kira, itulah mengapa kisah-kisah satir atau paradoks di atas selalu aktual, terus tumbuh dan berkembang dengan gaya tuturnya masing-masing di setiap zaman. Ah, bukankah kita kerap keliru memaknai pendidikan? Seyogyanya, akhir atau ujung tujuan pendidikan bukanlah untuk cepat rimbun dan berjejalnya pengetahuan dalam otak setiap anak didik, melainkan hadir dan tumbuhnya rasa bijak dalam setiap hati para pembelajar, baik anak-anak, orang dewasa, terlebih orang tua.
Saya memandang kecepatan atau ketepatan waktu tidak pernah berbanding lurus maknanya dengan kesuksesan—bukankah ini cenderung berkesan ‘kejar setoran’? Sebab itu, saya lebih berpendapat bahwa kesuksesan adalah ihwal kebenaran dan kebaikan dalam melakukan suatu proses. Logikanya mudah dicerna, siapa yang tidak benar dan tidak baik dalam berproses (awas, bukan tidak cepat!) alangkah kurang bijak disebut sukses.
Akhirnya, konsep waktu yang manakah yang hendak kita imani dan kita ajarkan kepada anak-anak didik kita di sini? Akankah tetap rigid dengan kehendak untuk selalu cepat waktu (dan tepat waktu, meskipun absurd) seraya menutup mata akan akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya?
Depok, 21 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar