Oleh Heru Emka
Penyair dan peminat kajian budaya. Tinggal di Semarang.
BARU beberapa waktu berselang kita menjadi saksi betapa para gadis muda kita dilanda demam untuk menjadi selebriti. Ketenaran, nama besar, dan hidup enak sebagai orang beken disepakati sebagai buah impian mereka yang penuh damba mencebur dalam berbagai kontes yang bisa menjadikan mereka sebagai seorang bintang secara instan. Tapi itu sekadar tren, sebatas warna-warni sebuah musim, yang akan berganti pada ragam lainnya.
Tapi, hasrat untuk menjadi cantik adalah mantera abadi, yang tak pernah lekang pengaruhnya sejak awal peradaban manusia. Menarik sekali apa yang diungkapkan oleh majalah pria Salon (edisi November 2004) tentang kegairahan tanpa henti untuk tampil menjadi cantik dalam special section di majalah ini: History of Beauty. Dalam artikel panjang ini secara menarik dikisahkan mitos keindahan para dewi kecantikan dari Ratu Helena (Helen of Troy), Cleopatra hingga para selebritis belia Hollywood seperti Liv Tyler.
Ratu Helena yang dipandang sebagai penyebab Perang Troya yang berdarah itu, dianggap sebagai perempuan yang memiliki ”kecantikan berbisa”, ”le femme fatale” (si cantik yang mematikan) dengan sorot mata indah yang mengandung bius, seperti digambarkan oleh pujangga Homerus. Cleopatra menduduki peringkat kedua dengan resep istimewa mandi susu plus madu, yang masih diadopsi oleh para perempuan sekarang ini. Kemudian para dewi tahun enam puluhan yang bentuk tubuhnya seindah Venus seperti Raquel Welch, hingga citra dewi muda Hollywood yang dipandang mewakili kecantikan alami, jauh dari rekayasa fisik secara medis, yakni Liv Tyler.
Namun menurut saya, yang menarik bukan apa atau siapa yang menghiasi deret galeri para dewi kecantikan versi Salon (yang bisa saja disusun ulang oleh redaksi media lainnya) namun penjelasan bahwa kecantikan, walaupun tetap menjadi mantera memikat bagi setiap wanita di mana saja, telah bergeser maknanya, dari masa ke masa. Kecantikan yang semula dikagumi sebagai seni keindahan (art of beauty, yang barangkali mewakili tahap pemikiran mistik) bergeser sebagai ”teknologi keindahan” (science of beauty) yang mewujud lewat teknologi kecantikan artifisial seperti bedah plastik, implan sel hidup atau terapi ozon dan sebagaianya.
Dan bagai para pendamba kecantikan, ”science of beauty” bahkan menjadi mantera baru, dengan ”kuil-kuil baru” berbagai salon kecantikan yang eksklusif dan mewah, dengan peralatan modern yang menggabungkan kemampuan medis rumah sakit dengan kenyamanan pelayanan hotel berbintang lima.
Tubuh yang Termodifikasi
Tubuh menjadi obyek baru bagi seni rupa kecantikan, menjadi obyek utama sebuah modifikasi atas nama estetika. Dalam Body Modification, yang diedit oleh Mike Featherstone, (Thousand Oaks, London, 2000) menurut saya merupakan sebuah antologi paling komprehensif yang menjelaskan tentang ”politik tubuh” dan hasrat abadi untuk cantik menyebutkan: bahwa tubuh manusia akhirnya menjelma menjadi pemujaan baru dalam sudut pandang studi kebudayaan (the human body is the new fetish of cultural studies).
Dalam antologi ini, tak saja para feminis, namun juga para psikoanalis, para fenomenolog dan para antropolog, ikut mengembangkan teori yang tajam dan berbeda tentang tubuh manusia. Menjadi cantik memang lebih menyenangkan (preferable). Karena memberikan keutamaan fisik pada perempuan lebih mudah mendapatkan pasangan, pujian, atau bahkan pekerjaan. Begitu besarnya pukau mantera kecantikan sehingga membuat para wanita, dari masa ke masa, cenderung narsistis, memuja kecantikan tubuh semata. Namun di sisi lain, kecantikan sendiri telah direduksi oleh kepentingan kapitalisme. Versi dan defenisi kecantikan yang begitu beragam sesuai kultur yang ada di dunia, kemudian diperas dalam sebuah definisi yang seragam, versi media massa terkemuka atau lembaga yang merasa punya wewenang untuk menentukan wanita tercantik sedunia, seperti Miss World, misalnya. Masalahnya, haruskah ada kelompok tertentu yang berhak menentukan kriteria kecantikan dan kriteria macam apakah yang pantas digunakan untuk memberi penilaian? Dan bisakah mewakili suatu obyektivitas? Bukankah setiap periode zaman serta masing-masing kebudayaan dan era-sosialnya memiliki standar sendiri tentang konsep kecantikan dan estetika tubuh?
Industri global yang juga menjadikan kecantikan dan keindahan tubuh sebagai isu panas juga menunjukkan kecenderungan untuk bergerak secara homogen. Berbagai industri kosmetik modern seperti L’Oreal, Estte Lauder, Lancome, dan sebagainya, mendirikan berbagai lembaga riset di seluruh dunia bahkan dalam kepentingan untuk menyelaraskan produk bisnis mereka dengan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat unik, dari berbagai latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Belenggu, Candu
Tak heran bila tokoh feminis postmodern seperti Julia Kristeva menganggap bahwa kecantikan sebagai rahmat sekaligus kutukan.
“Ada semacam belenggu kecanduan dalam konsep kecantikan, sehingga wanita tergoda untuk merantaikan diri dalam citra cantik, dan mengabaikan isu strategis lainya yang tak kalah penting dalam kehidupannya. Mereka menjadi boneka yang terantai dalam etalase kekaguman para pria,” ujarnya dalam Desire in Language (Columbia University Press, 1982).
Kita memahami kegundahan feminis yang satu ini. Gairah para wanita untuk terus melakukan perombakan atas tubuhnya sendiri melalui berbagai tindakan bedah plastik, body piercing, berbagai program fitness, rekayasa prosthetik, dan berbagai upaya lain dari proses neural implants, hingga metode pengobatan mutakhir nanoteknologi, yang atas nama fashion dalam tahun-tahun terakhir ini, telah membuat tubuh menjadi tempat yang paling aktual untuk melakukan eksperimen.
“Bila kecantikan menjadi mantera abadi, dengan mitos-mitos yang hampa dan tak relevan bagi aktualisasi diri, maka alangkah menderitanya tubuh wanita masa kini,” begitu keluh Kathy Davis, dalam My Body is My Art: Cosmetic Surgery as Feminist Utopia, The European Journal of Women's Studies No 4: pp 23-37 (1997). Dan korban mitos ini masih saja terentang dalam jarak yang begitu panjang. Dari kawasan sibuk Manhattan hingga di sebuah salon kecantikan di Depok. Muncul lagi berita tentang si anu yang menjadi korban jiwa karena efek merusak sebuah operasi bedah plastik. Si anu ini pun bisa saja tampil dalam deretan sosial yang tak terhingga. Dari hostes sebuah klub malam murahan, hingga presiden direktur sebuah perusahaan elektronik di Maryland, Amerika Serikat.
Ah…. kecantikan kadang terasa sungguh absurd… ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar