Oleh Rhenald Kasali
”Perubahan belum tentu menjadikan sesuatu lebih baik, tetapi tanpa perubahan tak ada kemajuan, tak ada pembaruan.”
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla tahun 2004 memenangi pemilihan presiden/wakil presiden dengan mengusung tema ”perubahan”. Tema ”perubahan” juga menjadi janji kunci Barack Obama untuk menjadi calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Ia menyuarakan mutlaknya perubahan di Washington DC sambil menyebut John McCain identik dengan Presiden George W Bush yang telah membuat AS terpuruk.
Konflik dan kontradiksi adalah bahasa penting dalam sejarah perubahan. Akan tetapi, terlibat dalam konflik atau menciptakan konflik bukanlah tujuan dari setiap perubahan yang menghendaki kemajuan. Manusia bisa berputar-putar pada obyek yang berubah dan hanyut dikendalikannya, atau keluar dari pusaran setan itu dengan solusi alternatif.
Yang pertama terperangkap dengan ”adu jago” (dialektika) yang membuat perubahan problematik, sedangkan yang kedua mengajak keluar dengan bahasa harapan. Mungkinkah konflik-konflik yang marak belakangan ini termasuk soal kenaikan harga BBM mampu memicu perubahan positif bagi Indonesia?
Bahasa dialektika
Di pemakaman Abraham Lincoln (1865), Disraeli pernah menyatakan, pembunuhan terhadap pejuang antiperbudakan ini tak bisa mengubah sejarah, betapapun kerasnya konflik dan teror yang diciptakan lawan-lawan Lincoln.
Konflik memang merupakan bagian memilukan dalam sejarah perubahan. Namun, ucapan Disraeli justru banyak dikritisi. ”Assasinations” justru bisa memukul balik dan memicu perubahan. Setiap kebohongan dan teror akan menemukan akibatnya sendiri.
Konflik sangat meletihkan dan tidak menguntungkan bagi bangsa yang sedang berubah karena konflik terus memicu konflik, sedangkan ekuilibriumnya cuma sebentar. Selain itu, masyarakat bisa beranggapan, konflik satu-satunya cara mencapai tujuan.
Adalah keyakinan saya, kita mulai keletihan menyaksikan konflik dan adu mulut. Konflik bukan cuma terjadi di seputar kenaikan harga BBM. Wabah flu burung, ketertiban lalu lintas, penertiban pedagang kaki lima, pembangunan jalan tol dan lintasan busway, privatisasi BUMN, upah buruh, sampai pilkada. Semua diwarnai ancaman-ancaman dan adu kekuatan.
Konflik sering kali dimulai dengan adanya ketidakpastian sehingga prosesnya melewati keragu-raguan. Di tengah-tengah keragu-raguan, muncullah silang pendapat. Kata Tomatsu Shibutani (1966), ”Informasi dibutuhkan manusia untuk meramalkan tindakan.” Akan tetapi, Rosnow (1980) menemukan fakta selalu ada pihak yang punya kesenangan membelokkan informasi untuk kepentingannya.
Ketidakpastian, pembelokan fakta, dan lemahnya otoritas membuat konflik berkepanjangan. Dalam situasi itu, banyak pihak terperangkap dalam bahasa dialektika yang yang bersumber dari kaum Hegelian yang kental dengan istilah-istilah teror (”awas saja”), konflik (”lawan”, ”frustrasi”), konfrontasi (”hadapi”), dan kekuasaan (”hancurkan”, ”tekan”, ”mobilisasi massa/ kekuatan”, ”taklukkan”, ”kuasai”).
Bagi kaum Hegelian (Van de Ven, 1995), suasana stabil hanya terjadi saat posisi konflik berimbang. Perubahan terjadi saat yang satu berhasil menguasai yang lain.
Meski ada pendapat, konflik akan berakhir dengan sintesis kreatif, kasus-kasus perubahan melalui bahasa dialektika justru menemukan jawaban sebaliknya. Biayanya mahal, menindas hak-hak asasi manusia, dan setiap kali selesai selalu konflik lagi. Bahasa konflik memicu tindakan-tindakan brutal, seperti mobilisasi kekuatan, saling lempar dan pukul, rampas, bom molotov, pentung, dan seterusnya. Dan, ini bukan cuma mewarnai mahasiswa dan pendemo, tetapi juga meluas sampai politisi dan polisi. Padahal, semua itu berawal dari mulut pencari kekuasaan.
Pertanyaannya, inikah yang kita inginkan dari republik yang ”baru bisa sekadar mimpi” ini karena janji perubahan tak kunjung tiba buktinya?
Bahasa trialektika
Sebenarnya ada bahasa yang lebih optimistis, tetapi dalam kultur konflik tidak terkesan heroik. Dikenal pasca-Perang Dingin: Trialektika. Trialektika ditopang oleh tujuan yang jelas (a clear future), daya tarik (attractiveness), dan adanya keaktifan (Ford & Ford, 1994).
Dalam kamus perubahan kaum trialektika, tidak ada kata resistensi sebab resistensi hanyalah sebuah wake-up call. Kalau alarm disetel orang lain, pasti mengganggu kenyamanan yang tertidur.
Trialektika tidak menyalahkan resistensi, tetapi introspektif dengan mengatakan, ”mereka belum tertarik” atau ”belum mengerti”. Maka, membuat perubahan menjadi menarik, tepercaya dengan tujuan-tujuan yang jelas serta tahapan kemenangan mutlak dibutuhkan.
Celakanya, meski kaum trialektika yakin tindakannya baik untuk bangsa, kaum dialektika bisa membelokkan simpati sehingga rakyat bingung. Dalam kebingungan itu, rakyat hanya berpegang pada persepsinya semata, yaitu siapa yang bisa memasok oksigen untuk menyambung nyawa, bukan janji.
Tindakan perubahan
Bahasa bisa saja diperdebatkan. Kata-kata bisa diselubungkan. Janji-janji perubahan mudah diucapkan dan kekuasaan bisa dipertukarkan. Namun, perubahan tidak bisa disamar-samarkan. Bahasa perubahan yang dipakai setiap orang akan menentukan hasilnya seperti apa. Mudah diramalkan, bahasa konflik hasilnya adalah perubahan problematik, sedangkan bahasa trialektika meski kurang heroik, menjanjikan harapan.
Perubahan pada abad ke-21 jelas jauh lebih kompleks. Ada progress paradox, yaitu selalu muncul masalah-masalah baru pada setiap kemajuan. Ada proponen yang mengagung-agungkan kemajuan dan ada oponen yang memperbesar masalah. Dengan demikian, perubahan memerlukan lebih dari sekadar komunikasi, yaitu terobosan secepat kilat, aliansi kekuatan, endorsement, dan tentu saja nyali.
Semua itu tampak dalam tiga bulan pertama. Jika tiga bulan pertama tidak ada perubahan signifikan, siapa pun yang menjanjikan perubahan, ia hanya bercanda dengan kata-kata saja. Dalam tiga bulan pertama itu, pemimpin perubahan bukan cuma dituntut thinking out of the box, tetapi juga jumping out of the box.
Kalau harga BBM terus melambung, mungkin sudah tidak saatnya lagi berkelahi dan berputar-putar di situ. Cari saja alternatif energi baru di luar minyak. Ini jelas lebih baik daripada adu mulut atau unjuk kekuatan.
Rhenald Kasali Mengajar Manajemen Perubahan pada Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar