Oleh Seno Gumira Ajidarma
Belum jelas sejak kapan sejarah plagiarisme di Indonesia dimulai. Tetapi, dalam dunia kesusastraan Indonesia, pagi-pagi HB Jassin sudah harus membela Chairil Anwar yang telah menjadi ikon kesusastraan Indonesia, melalui buku kritik sastra berjudul Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 (1956), dari tuduhan banyak orang yang menyatakan dan ”membuktikan” bahwa penyair itu adalah plagiator.
Kreativitas plagiator?
Bagi HB Jassin, tuduhan semacam itu memiliki alasan dan tujuan etis, yakni bahwa plagiarisme merupakan penipuan tidak bermoral, dan barangkali karena itu lantas seluruh karya Chairil Anwar kehilangan kesahihannya. Atas tuduhan semacam itu, HB Jassin membelokkan perkara dari masalah moral kepada masalah sastra, yakni bahwa kredibilitas Chairil Anwar sebagai penyair ditentukan oleh kreativitas sastranya, bukan oleh pertimbangan moralnya ketika melakukan tindakan yang membuat sebagian karyanya disebut plagiat. Mengikuti logika Jassin, moralitas adalah urusan manusia dengan hati nuraninya sendiri, tetapi pekerjaan sastra Chairil, adalah urusan kritikus sastra untuk menunjukkan duduk perkaranya, sebagai perkara sastra. Dalam bahasa Jassin, ”Saya tidak merasa mempunyai kompetensi untuk menyoroti sudut moral dari seniman ini. Dengan cara ini, kita menyingkirkan persoalan moral yang memang tidak pernah jadi perhitungan penyair semasa hidupnya.”
Selanjutnya, seperti bisa diikuti dalam buku yang sampai 40 tahun kemudian masih dicetak ulang tersebut, Jassin melakukan kategorisasi 94 tulisan Chairil yang kariernya hanya berlangsung 6,5 tahun itu sebagai berikut: saduran (4 sajak), terjemahan (10 sajak, 4 prosa), asli (70 sajak, 6 prosa). Dalam hal sajak saduran dan terjemahan yang termuat di media cetak dengan nama Chairil Anwar sebagai penulisnya, tanpa nama penulis sajak yang menjadi sumbernya, seperti Willem Elsschot, Archibald MacLeish, E Du Perron, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Conrad Aiken, WH Auden, itulah yang disebut sebagai sajak plagiat. Namun, melalui perbandingan atas karya asli dalam bahasa Inggris dan Belanda, dengan hasil saduran dan terjemahan Chairil dalam bahasa Indonesia, sungguh HB Jassin sebaliknya telah menunjukkan ”kebesaran” Chairil Anwar, yang harus bekerja dengan ”modal” bahasa dan pencapaian karya sastra Indonesia seadanya yang tersedia sampai tahun kematiannya, yakni 1949.
Mengikuti uraian Jassin atau membandingkannya sendiri, telah banyak disetujui terdapatnya jasa dan sumbangan Chairil Anwar yang besar bagi bahasa Indonesia. Namun, dalam catatan ini saya tidak akan menunjukkan secara teknis, di sebelah mana kiat penyaduran dan penerjemahan Chairil telah membuat sajak seperti ”Krawang-Bekasi” bagaikan menjadi milik bangsa Indonesia sendiri, karena yang ingin saya garis bawahi adalah perkara lain: Dalam wacana ini, rupa-rupanya siapa yang mengarang dianggap penting, jika tidak sangat amat penting, di bawah mitos Pengarang sebagai Sosok Agung.
Kasus Hamka dan Wacana Junus
Saya masih akan melaporkan satu kasus lagi, ketika yang dituduh kali ini adalah ”monumen moralitas” itu sendiri, yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal sebagai Hamka, seorang ulama yang sejak muda membangun tradisi menulis, sehingga setiap langkah dalam pemikirannya bisa diperiksa dan mempertanggungjawabkan dirinya sendiri, seperti yang kemudian berlangsung dalam tuduhan plagiat atas Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1938). Meski novel ini sudah terbit sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, ternyata baru menjadi polemik tahun 1962 setelah mengalami cetak ulang untuk kedelapan kalinya, yang sangat beruntung terkumpul dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam Polemik (Junus Amir Hamzah, 1963).
Mengikuti polemik dalam buku tersebut, Hamka dituduh menjiplak karya Musthafa al-Manfaluthi berjudul Magdalaine (disebut juga Madjdulin) yang berbahasa Arab, dan telah diceritakan kembali dalam bentuk film di Mesir dengan judul Dumu-El-Hub (Airmata Cinta). Disebutkan bahwa Manfaluthi ternyata juga ”mentjarternja” (sic!) dari karya berbahasa Perancis, Sous les Tilleuls (Di Bawah Lindungan Bunga Tilia) yang ditulis Alphonse Karr. Jika dalam hal Manfaluthi sumber bahasa Perancis itu disebut dengan jelas; dalam hal Hamka, yang disebutkan sangat menyukai karya-karya Manfaluthi, memang tidak. Setelah menyebutkan berbagai kemiripan pada berbagai paragraf, termasuk bagaimana Hamka telah berkiat mengubahnya, para penyerangnya memastikan status plagiator tersebut kepada Hamka, sebagai kontradiksi terhadap status sosialnya sebagai agamawan.
Hamka sendiri dikutip menjawab, antara lain, seperti berikut, ”… kalau ada orang yang menunggu-nunggu saya akan membalas segala serangan rendah dan hinaan itu, payahlah mereka menunggu sebab saya tidak akan membalas. Yang saya tunggu sekarang adalah terbentuknya satu Panitia Kesusastraan yang bersifat ilmiah, di bawah naungan salah satu Universitas (Fakultas Sastra-nya) dan lebih baik yang dekat dari tempat kediaman saya, yaitu Universitas Indonesia.” Sebelumnya juga ia sebutkan, ”Hendaknya jangan dicampur aduk hamun- maki dengan plagiatlah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck atau sadurankah atau aslikah…/ Kalau Panitia tersebut memandang perlu untuk menanyai saya, saya akan bersedia memberikan keterangan.” Pengadilan ilmiah seperti yang diharapkannya memang tidak terjadi, tetapi polemik yang semula tampak jelas merupakan usaha pembunuhan karakter, sampai juga kepada perbincangan yang lebih bersungguh-sungguh, ketika HB Jassin, Umar Junus, Ali Audah, Wiratmo Soekito, dan sejumlah nama lagi nimbrung dalam polemik.
Menurut Jassin dalam pengantar buku Manfaluthi yang akhirnya diterjemahkan sebagai Magdalena (1963), ”Memang ada kemiripan plot, ada pikiran- pikiran dan gagasan-gagasan yang mengingatkan kepada Magdalena, tetapi ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri, permasalahan sendiri. Sekiranya ada niat pada Hamka untuk menyadur Magdalena Manfaluthi, kepandaiannya melukiskan lingkungan masyarakat dan menggambarkan alam serta manusianya, kemahirannya melukiskan seluk-beluk adat istiadat serta keahliannya membentangkan latar belakang sejarah masyarakat Islam di Minangkabau, mengangkat ceritanya itu jadi ciptaan Hamka sendiri….” Ditambahkannya, ”Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka, adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.”
Berbeda dengan kasus Chairil, pendapat Jassin kali ini disanggah Umar Junus. Argumen Jassin di atas tidak dianggapnya cukup. ”Dalam hubungan jiplakan yang bersifat saduran, yang perlu diperhatikan ialah adanya persamaan pola dan plot, sedangkan filsafatnya, temanya, bisa saja berbeda. Kami tidak mengetahui dengan pasti apakah memang ada persamaan pola dan plot antara Madjdulin dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, tapi yang dapat kami katakan, alasan yang digunakan oleh pembelanya dengan menggunakan tema, filsafat, dan sebagainya tidak meyakinkan kami bahwa itu bukan jiplakan. / Penonjolan Jassin yang mengatakan bahwa Tenggelamnya Kapal Van der Wijck mengandung soal adat yang pasti tidak ada pada Madjdulin sulit untuk dipertanggungjawabkan,” tulis Junus. Maka, seperti dapat disaksikan, bukan lagi Hamka yang diserang, melainkan argumen pembelaan Jassin.
Dengan demikian, keberhinggaan wacana telah berkembang, tetapi belum mengubah mitos bahwa kedudukan pengarang adalah ”sakral”, yakni bahwa segala sesuatu yang bersumber daripadanya adalah orisinal atawa ”asli”.
Kepengarangan dan konstruksi sosial
Tahun 2000, yakni 38 tahun setelah polemik yang bersumber kepada satu dalil itu, bahwa kualitas ”kesucian” seorang pengarang terletak kepada orisinalitasnya, muncul buku Hidup Matinya Sang Pengarang yang disunting oleh Toeti Heraty. Isinya, berbagai pemikiran mengenai kepengarangan, yang pada mulanya memang menunjukkan posisi pengarang sebagai sosok genius dan agung, yang difungsikan sebagai sumber pencerahan bagi masyarakatnya, tetapi yang segera disusul dengan munculnya tesis kemandirian teks, menggusur sama sekali maksud dan tujuan pengarang. Maka dalam hal ini pembaca seolah bertiwikrama menjadi Mahapembaca, yang sambil ”membunuh” pengarang mendapat hak sepenuhnya melakukan pembermaknaannya sendiri. Kenapa bisa begitu?
Esai Roland Barthes yang juga diterjemahkan dalam buku ini, Kematian Sang Pengarang, menyampaikan bahwa sebetulnya pengarang dalam konteks yang kita bicarakan, bukan pendongeng tradisional, adalah tokoh modern yang dihasilkan masyarakat Barat pada saat keluar dari Abad Pertengahan, dipengaruhi empirisme Inggris, rasionalisme Perancis, dan keyakinan pribadi Reformasi tempat diketemukannya kehormatan individual atau manusia pribadi. Dalam sastra, pribadi pengarang menjadi sangat penting, sebelum digugurkan pendapat bahwa pengarang modern lahir pada waktu yang sama dengan teksnya; ia bukan subjek dari mana buku itu berasal dan setiap teks ditulis secara abadi kini dan di sini, yang dalam istilah linguistik disebut performatif, yakni hanya terdapat pada orang pertama dan dalam waktu kini, ketika tindak bicara tidak mempunyai isi lain dari tindak pengucapannya.
Menurut Barthes, teks bukan lagi deretan kata dengan makna teologis, yakni bahwa ada ”pesan” dari pengarang yang berperan bagaikan Tuhan, melainkan teks sebagai ruang multidimensi tempat telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang aslinya: teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya. Seorang pengarang diibaratkannya hidup di dalam kamus raksasa, tempat ia hidup hanya untuk meniru buku, dan buku ini sendiri hanya merupakan jaringan tanda, peniruan tanpa akhir. Suatu teks terdiri dari penulisan ganda, beberapa kebudayaan yang bertemu dalam dialog, dalam hubungan-hubungan, yang terkumpul bukan pada pengarang (yang kekiniannya sudah berlalu) tetapi pada pembaca, ruang tempat teks diguratkan tanpa ada yang hilang. Pembaca adalah seseorang yang memegang semua jalur dari mana tulisan dibuat dalam medan yang sama. Sehingga, menurut Barthes, mitos harus dibalik: Kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian pengarang.
Namun, kita harus hati-hati dalam menafsir kata ”pengarang” ini karena menurut Michael Foucault dalam Siapa Itu Sang Pengarang? yang juga diterjemahkan di sini, di antara ulasannya yang panjang lebar, bahwa ”… akan sama kelirunya jika kita menyamakan pengarang dengan pengarang sebenarnya, kalau kita menyamakannya dengan pembicara fiktif; fungsi-pengarang dilaksanakan dan beroperasi dalam analisis itu sendiri, dalam pembagian dan jarak.” Nah, apakah ini berarti wacana yang menciptakan pengarang, dan pengarang tidak menciptakan apa-apa, karena fungsi bagian dari wacana?
Sampai di sini, untuk sementara disimpulkan bahwa (1) plagiarisme sebagai bentuk kebersalahan timbul dari mitos kesucian pengarang yang ditentukan oleh orisinalitasnya; (2) meski secara filosofis dominasi pengarang atas teks sudah terhapus, tidak berarti bahwa plagiarisme menjadi halal karena mengakui ketidakmungkinan untuk jadi asli tidaklah sama dengan pemberian izin untuk mengutip tanpa menyebutkan sumbernya; (3) plagiarisme sebagai masalah etis, meski moralitasnya merupakan tanggung jawab pelaku terhadap dirinya sendiri, layak diterjemahkan secara legal dan sosial, sejauh terdapat pihak yang karenanya mendapat kerugian dan ketidakadilan dalam segala bentuk; (4) setiap bentuk kebersalahan dalam konteks ini tentunya diandaikan dapat ditebus kembali.
Seno Gumira Ajidarma Wartawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar