Kamis, 05 Juni 2008

Dilema Pembajakan di Dunia "Online"

Oleh Amir Sodikin

Bagi kalangan akademik, plagiarisme merupakan aib yang akan melekat seumur hidup. Tak ada ampun bagi karakter orang yang menjiplak seperti itu. Itu di dunia nyata, bagaimana jika di dunia maya? Masihkah hak cipta dihargai para netizen? Benarkah ini kiamat bagi masa depan hak cipta? Apakah memang para pengguna internet itu mencuri ataukah hanya berbagi?

Setelah melihat link tersebut, ternyata isinya 99,99 persen mirip dengan skripsi saya yang dapat diakses di alamat ini. Hanya ada 0,01 persen pembeda pada tulisan tersebut, yaitu perbedaan nama penulisnya. Kalau skripsi saya yang menulis saya sendiri, yaitu Ahmad Zakaria, dalam tulisan tersebut penulisnya...,” begitu Ahmad Zakaria ”curhat” di dalam blog-nya, http://www.ahmadzakaria.net/.

Kasus plagiarisme atau penjiplakan karya ilmiah seperti yang diceritakan Ahmad Zakaria, terutama melalui media internet, pasti tidak sedikit. Bahkan, sudah menjadi bahan gunjingan banyak orang bahwa di kalangan pejabat pun banyak yang ketahuan menjiplak. Karya yang diprotes Ahmad tersebut juga dibagi ”gratis” di http://www.indoskripsi.com/.

Tak dimungkiri lagi, pembajakan teks, buku, kutipan, berita, musik, foto, kartun, video, dan banyak karya lain yang di dunia nyata dikenal sebagai ”memiliki copyright” akhirnya ketika di dunia maya menjadi seolah tak berarti.

Semua orang bebas seolah bebas menjiplak, fungsi copy dan paste benar-benar mengendalikan peradaban cyber ini. Apakah betul pada era cyber hak cipta benar-benar sudah tamat?

Arsitektur mendukung
Di dunia internet, ternyata persoalan menjiplak atau plagiarisme tak bisa dipandang secara ”hitam dan putih”. Banyak faktor yang mendukung kondisi seperti itu. Tak hanya faktor kemalasan atau faktor ekonomi, tetapi secara kultur, dunia maya berbeda dari dunia nyata.

Dunia maya, dengan ”bangunan-bangunannya” berupa website, e-mail, dan jenis transfer data online lainnya, didukung oleh arsitektur bernama script atau code yang secara teknis membolehkan copy dan paste. Jadi, copy pasti merupakan legal operation dalam teknis ”pembangunan rumah” di jaringan internet. Fungsi ini di dunia nyata seperti halnya: ayo berbagi!

Seorang webmaster ternama dunia yang juga pengembang software website interaktif DragonflyCMS, DJMaze, dalam sebuah forum mengatakan, ”Jika kamu tak menginginkan berita teks atau foto karya kamu di-copy oleh orang lain, maka jangan pernah meng-online-kannya.”

Komentar itu untuk menjawab seorang pengunjung di situs www.cpgnuke.com yang menanyakan bagaimana memproteksi kegiatan copy di teks berita maupun di galeri foto. DJMaze tak sedang memprovokasi orang untuk meng-copy karya orang lain. Namun, yang ia tekankan adalah secara infrastruktur di internet tak memungkinkan untuk memproteksi copy dan paste.

Portal berita www.detik.com dahulu biasa memproteksi fungsi klik kanan, tetapi fungsi ini dengan mudah bisa dimatikan dengan cara mematikan fungsi javascript di browser. Portal komunitas www.fotografer.net memiliki proteksi, yang, menurut penulis, paling hebat untuk kategori watermarking sebuah foto di galeri online karena ketika orang berusaha menyimpan foto itu maka akan otomatis destroy (rusak).

Tetapi, toh kalau orang kepepet ingin meng-copy foto itu, dia bisa mengakalinya dengan cara tradisional, yaitu dengan menekan tombol ”Print Screen” dari keyboard komputer. Dalam konteks ini, pernyataan DJMaze adalah benar.

Semangat berbagi
Ya, semangat berbagi memang menjadi tema utama di internet. Inilah awal dari persoalan penjiplakan ini, yaitu tak dilarangnya fungsi yang mendukung penjiplakan itu. Kalau begitu, apakah arsitektur internet memang dari awal membolehkan tindak pencurian?

”Jika tujuh juta orang mencuri, maka mereka itu bukan pencuri,” kata David Post, profesor ilmu hukum dari Temple University yang dikutip Terry Halbert dan Elaine Ingulli dalam bukunya, CyberEthics.

Pernyataan itu lagi-lagi tidak ingin menyudutkan hak cipta. Perenungan para filsuf sampai kini seolah tak ada jawabannya, bagaimana sebenarnya nasib hak cipta di dunia maya, terutama hak cipta yang terkait dengan karya ilmiah, buku, ide, foto, musik, video, dan lain-lain.

Para pengguna situs-situs interaktif yang isinya menekankan semangat berbagi, seperti YouTube, menganggap secara natural fungsi internet adalah untuk berbagi. Namun, jika yang dibagi itu adalah, misalnya, video musik yang baru beredar di pasaran, apakah hal itu bukannya sama saja dengan mencuri?

Di situs-situs model seperti itu banyak yang meng-online-kan musik-musik dari grup ternama yang direkam dari televisi atau langsung dari video aslinya. Bahkan, film lengkap pun bisa diunduh dan dinikmati.

Terry Halbert dan Elaine Ingulli dalam CyberEthics mencoba melontarkan pertanyaan: apa sebenarnya yang dicuri? Toh, ketika orang menikmati lagu via YouTube, misalnya, si pemilik lagu tak akan terkurangi ”rasa” dalam menikmati lagu-lagunya. Lalu, apanya yang dicuri?

Halbert dan Ingulli menjawabnya sendiri dengan mengutip Michael Greene, President and CEO of the National Academy of Recording Arts and Science, ”Banyak artis yang belum mapan akhirnya terpinggirkan dari dunia bisnis hiburan. Pembajakan musik (di internet) telah mencuri kehidupan mereka dan terpaksa meninggalkan mimpi-mimpi mereka akibat ulah pencuri di internet.”

Faktor ekonomi memang selalu dominan dalam konteks ini. Seharusnya, siapa yang ”membayar” maka dia baru dapat hak akses untuk menikmati entah itu buku, musik, atau film. Ini sudah menjadi konvensi umum.

Walaupun ada pemberontakan dari sistem sosial masyarakat online, seperti pendapat Steve Levy dalam Hackers: Heroes of The Computer Revolution, ”semua informasi seharusnya gratis”, tetapi masyarakat dunia maya adalah bagian dari dunia nyata yang tunduk kepada aturan-aturan dunia nyata. Aktivitas ilegal dan legal hingga kini masih menggunakan norma-norma dunia nyata.

Jika seseorang bermoral, dia tak akan pernah menggunakan foto atau teks yang bukan karya nya. Integritas seorang webmaster, blogger, fotografer, penulis, dan sastrawan akan dipertaruhkan jika tetap memaksakan diri melanggar aturan dunia nyata. Itu berarti daya kekuatan di bidang internet tak boleh digunakan semena-mena untuk membajak desain, teks, berita, atau materi lain.

”Tidak boleh menggunakan komputer untuk melukai orang lain,” itulah isi nomor satu dari 10 Etika Komputer milik Computer Ethics Institute di Amerika Serikat.

Sebaliknya, jika karya, entah tulisan atau foto, kita tak ingin di-copy atau dibagi oleh orang lain, jangan pernah meng-upload di dunia maya. Itu aturan sederhananya. (Disadur dari Kompas.com. Kamis, 5 Juni 2008).

Tidak ada komentar: