Senin, 16 Juni 2008

Apresiasi buat Guru Swasta

Oleh Asmadji A.S. Muchtar

Apa jadinya dunia pendidikan Indonesia jika tidak banyak orang yang bersedia menjadi guru swasta atau guru honorer (non-PNS)? Inilah pertanyaan penting yang harus didiskusikan. Pertanyaan itu bisa dilanjutkan: misalnya, apa jadinya dunia pendidikan kita jika tidak ada sekolah swasta (termasuk pesantren)? Mengapa banyak orang sudi mendirikan sekolah atau jadi guru swasta?

Pertanyaan pertama dan kedua bisa dijawab dengan satu kata: runyam. Pasalnya, dunia pendidikan kita akan sangat sulit mengangkat sebagian besar anak bangsa dari kebodohan jika tidak didukung banyak guru swasta dan sekolah swasta.

Layak diungkapkan, dengan anggaran pendidikan yang minim, negara kita bisa dikatakan mustahil mampu memberikan pendidikan yang memadai bagi anak-anak bangsa. Untungnya, banyak orang bersedia menjadi guru swasta maupun mendirikan sekolah swasta untuk membantu negara dalam mendidik anak- anak bangsa.

Oleh karena itu, negara layak memberikan apresiasi kepada guru swasta dan pengelola sekolah swasta. Hal ini harus diimplementasikan dengan dua langkah. Pertama, memberikan status PNS kepada mereka. Kedua, memberikan subsidi kolektif agar tercipta keadilan dalam dunia pendidikan yang notabene sebagai dapur untuk menggodok generasi baru yang akan menentukan masa depan bangsa dan negara.

Yang dimaksudkan dengan kebijakan subsidi kolektif adalah bantuan pemerintah melalui sejumlah departemen untuk meringankan guru-guru swasta dan sekolah-sekolah swasta berkaitan dengan beban dan tugasnya mendidik anak-anak bangsa. Misalnya, buku pelajaran dan buku bacaan berbagai cabang ilmu (ekonomi, perdagangan, pariwisata dan budaya, sosial, dan lain sebagainya) diterbitkan oleh departemen masing-masing kemudian dibagikan secara gratis kepada guru-guru swasta dan kepada sekolah-sekolah swasta untuk membangun perpustakaan di sekolah masing-masing.

Perlu diingat, salah satu kebutuhan setiap guru adalah buku- buku untuk mengajar di depan kelas. Jika tidak mendapat bantuan dari mana pun, maka guru- guru swasta akan terpaksa membelinya sendiri. Padahal, gaji mereka umumnya sangat kecil, bahkan ada gaji guru swasta yang lebih layak disebut uang transpor saja.

Jika semua departemen memberikan subsidi dalam bentuk buku bagi guru-guru swasta dan bagi sekolah-sekolah swasta, mutu sekolah swasta kita tentu akan lebih baik lagi dan mampu bersaing dengan sekolah negeri. Bahkan, bukan tidak mungkin akan muncul banyak sekolah swasta yang lebih bermutu dibandingkan dengan sekolah negeri.

Apresiasi kepada guru-guru swasta juga layak diimplementasikan dalam bentuk bantuan uang atau materi oleh kalangan pengusaha besar dan menengah di seluruh Tanah Air. Misalnya, masing-masing pengusaha secara rutin memberikan santunan kepada guru-guru swasta di daerah masing-masing. Dengan mendapatkan santunan rutin dari kaum pengusaha, guru-guru swasta akan lebih bersemangat dalam mendidik murid-muridnya, berapa pun nilai santunan yang didapatkannya. Sebab, santunan dalam bentuk uang atau materi tak bisa dinilai sebatas angka- angka karena berkaitan dengan niat baik dan sikap apresiatif terhadap dunia pendidikan.

Kalangan perbankan juga selayaknya memberikan apresiasi kepada guru-guru swasta dalam bentuk pemberian kredit lunak untuk kepemilikan rumah maupun kendaraan. Bahkan, sangat mungkin bank-bank besar mampu memberikan kredit dengan bunga nol persen kepada kalangan guru swasta sebagai bukti kepedulian dunia perbankan terhadap dunia pendidikan kita.

Ibadah
Mengapa orang mau mendirikan sekolah atau menjadi guru swasta? Untuk menjawab pertanyaan di atas, bisa cukup dengan dua kata saja: sebagai ibadah. Dalam hal ini, banyak orang sudi menjadi guru swasta karena pekerjaan mengajar dianggap sebagai ibadah.

Memang, bagi guru-guru swasta pekerjaan mengajar bukan semata-mata bertujuan untuk mendapatkan gaji, melainkan juga untuk mendapatkan pahala. Ini jelas terkait dengan keimanan masing-masing karena semua agama sama-sama mengajarkan umatnya agar bisa menjadi guru bagi dirinya sendiri, bagi anak-anaknya sendiri, dan umumnya bagi generasi berikutnya. Meskipun mereka menyadari risikonya, yakni tidak bisa kaya raya.

Semangat beribadah guru-guru swasta yang diimplementasikan dengan menekuni profesi sebagai pengajar akan berlipat ganda jika banyak pihak bersedia berterima kasih kepada mereka dengan memandang sekolah swasta bukan sebagai lembaga pendidikan sekunder.

Memandang sekolah swasta sama dengan sekolah negeri karena guru-guru swasta sudah mendapatkan bantuan dari banyak pihak akan menghapus kesenjangan antara sekolah swasta dan sekolah negeri. Sudah terbukti semakin banyak sekolah swasta yang mutunya lebih baik dibandingkan dengan sekolah negeri.

Asmadji A.S. Muchtar, Direktur Religions to Peace Institute, Kudus, Jawa Tengah

Kamis, 12 Juni 2008

Derita Dunia Pendidikan

Oleh Aan Zainal Hafid

Persoalan yang menimpa dunia pendidikan kita seolah tanpa henti, tak putus dirundung malang. Setelah anggaran pendidikan dipotong sebesar 10 persen, anggaran pembangunan perpustakaan sebesar Rp 30 miliar juga dipotong. Padahal, sampai akhir tahun 2007, jumlah perpustakaan sangat minim, hanya 27,6 persen sekolah dasar di Tanah Air yang memiliki perpustakaan!

Sempurna sudah penderitaan di dunia pendidikan. Jangankan perpustakaan, gedung sekolahnya saja banyak yang ambruk.

Inilah salah satu kenyataan mengenaskan yang ditemui. Bahkan, untuk sekolah-sekolah dengan gedung yang terbilang megah sekalipun, ihwal perpustakaan kerap luput dari perhatian. Padahal, perpustakaan sekolah merupakan salah satu variabel yang juga turut menentukan terhadap capaian kualitas pendidikan. Bukankah perpustakaan merupakan salah satu pusat informasi yang akan memperluas pengetahuan para siswa, bahkan juga para guru?

Kondisi perpustakaan
Kurang memadai bahkan ketiadaan perpustakaan sekolah juga tergambar dari hasil penelitian Pusat Pembinaan Perpustakaan Depdiknas (Syihabuddin Qalyubi dkk: 2003), antara lain, bahwa: 1) banyak sekolah yang belum menyelenggarakan perpustakaan, 2) keberadaan dan kegiatan perpustakaan sangat tergantung pada sikap kepala sekolah, 3) kebanyakan perpustakaan tidak memiliki pengelola tetap (pustakawan), 4) pekerjaan di perpustakaan dianggap kurang terhormat, 5) koleksi perpustakaan sekolah umumnya tidak bermutu, dan 6) dana yang dialokasikan untuk pengadaan perpustakaan sekolah itu sangat terbatas.

Demikian sebuah potret buram yang dihasilkan dari cara pandang penyelenggaraan pendidikan yang belum dapat menyentuh berbagai unsur secara komprehensif.

Kerisauan kita adalah di tengah harapan akan lahirnya generasi muda berkualitas dan visioner, keadaan seperti itu tentu saja kurang menguntungkan. Karena itu, pemerintah dan pihak-pihak terkait sudah saatnya berpikir dan berupaya keras membangun kepedulian dan semangat yang kuat ke arah pembentukan perpustakaan yang lengkap, nyaman, mampu menjawab perkembangan, dan terintegrasi dengan proses belajar-mengajar. Jangan biarkan sekolah kehilangan ”pelita”-nya.

Namun, dengan terpotongnya dana pembangunan perpustakaan dan bahan belajar, yang memang belum memadai itu, rasanya harapan serupa itu semakin mengawang.

Tapi, ini tentu bukanlah sebuah lonceng kematian. Pihak sekolah jangan patah arang. Asal punya komitmen, pasti ada cara yang bisa dilakukan agar terdapat sarana dan prasarana perpustakaan, koleksi buku yang lengkap, biaya operasional, dan adanya pustakawan yang memang berkompeten di bidangnya. Selanjutnya, pembinaan dan pengembangan perlu terus dilakukan sehingga perpustakaan sekolah dapat terus bergerak maju dan senantiasa dapat menyediakan buku-buku bermutu untuk dapat dimanfaatkan para siswa secara maksimal.

Minat dan budaya baca
Siapa pun tahu betapa pentingnya membaca untuk menambah pengetahuan, memunculkan ide-ide baru, memperluas wawasan serta pengertian-pengertian yang memungkinkan seseorang semakin cerdas dan berkarakter.

Bagi para siswa, kegiatan membaca merupakan tuntutan mutlak seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kurikulum. Masalahnya, untuk meningkatkan minat baca itu diperlukan sarana dan prasarana yang memadai, utamanya melalui pengadaan dan pengelolaan perpustakaan sekolah.

Bukankah dari perpustakaan kita akan dapat memetik banyak nilai? Dimensi nilai yang terkandung dalam perpustakaan adalah nilai pendidikan, nilai informasi, nilai ekonomis, nilai sejarah dan dokumentasi, nilai sosial, nilai budaya, serta nilai demokrasi dan rekreasi (Sutarno NS, 2005).

Dikatakan demikian karena perpustakaan menyimpan koleksi ilmu pengetahuan, merupakan pusat informasi, mengandung nilai ekonomis dengan menyediakan beragam buku yang bisa dibaca tanpa biaya, serta tersedianya data, fakta, dan dokumen yang berharga.

Di samping itu, perpustakaan juga mengandung nilai sosial karena memang tidak bersifat komersial.

Bagi para siswa, beberapa manfaat perpustakaan sekolah (Ibrahim Bafadal, 2001), antara lain, adalah dapat menimbulkan kecintaan terhadap membaca, memperkaya pengalaman belajar, serta menanamkan kebiasaan belajar mandiri.

Dalam konteks ini maka keberadaan perpustakaan sekolah yang dikelola dengan profesional diharapkan akan dapat menginternalisasikan berbagai dimensi nilai sehingga aspek edukatif dan rekreatif yang merupakan orientasi dari perpustakaan dengan sendirinya dapat terwujud.

Budaya baca
Dari kebiasaan membaca yang terbentuk melalui perpustakaan, selanjutnya dalam jangka waktu tertentu diharapkan dapat menciptakan budaya baca di kalangan para siswa. Bila ini terjadi, siswa akan semakin memahami pelajaran dan kaya akan beragam pengetahuan.

Tersedianya perpustakaan yang memadai juga akan mendorong siswa untuk memanfaatkan lebih banyak waktunya untuk membaca. Selain itu, adanya bacaan-bacaan yang bermanfaat juga dapat membentuk pola pikir dan pola tindak yang lebih matang dan terukur.

Sudah saatnya kita mempersiapkan generasi muda yang lebih baik. Oleh karena itu, tidak ada alasan sebenarnya untuk memotong apalagi menghapus anggaran perpustakaan. Jangan tambah lagi kisah-kisah mengenaskan dunia pendidikan.

Aan Zainal Hafid Pendidik, Pekerja Sosial Tinggal di Bandung

Senin, 09 Juni 2008

Arah Baru Pendidikan

Oleh Ester Lince Napitupulu

Pendidikan yang mampu melayani semua anak dalam keragaman dan perbedaan, dengan fokus untuk mengoptimalkan potensi anak secara penuh, kini menjadi kecenderungan reformasi pendidikan yang tengah dikembangkan banyak negara. Inilah pendidikan inklusi yang diharapkan menciptakan proses pendidikan yang ramah anak.

Pendidikan inklusi menjadi jembatan untuk mewujudkan pendidikan untuk semua atau education for all, tanpa ada seorang pun yang tertinggal dari layanan sistem pendidikan. Pendidikan inklusi ini diyakini membuat sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik. Ke depan, pendidikan inklusi juga bisa menghancurkan eksklusivitas sosial dalam masyarakat.

Sheldon Shaeffer dari Biro Pendidikan Regional Asia Pasifik UNESCO, dalam Konferensi Persiapan Regional Asia Pasifik mengenai Pendidikan Inklusi di Denpasar, Bali, akhir Mei lalu, menjelaskan, pendidikan inklusi merupakan sebuah proses menuju dan merespons keragaman kebutuhan peserta didik melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya, dan masyarakat, serta mengurangi ketertinggalan dalam dan dari pendidikan.

Semangat pendidikan inklusi memandang perbedaan di antara para siswa sebagai sebuah tantangan yang memberikan keuntungan, bukan hambatan dalam pembelajaran di sekolah. Pendidikan yang demikian mampu terlaksana jika kita mengakui bahwa semua anak berhak mendapat pendidikan berkualitas.

”Pendidikan inklusi, khususnya di Asia, tidak hanya bagaimana mengintegrasikan sekelompok anak dalam suatu pendidikan khusus. Perlu difokuskan bagaimana mengembangkan strategi menghilangkan hambatan-hambatan dalam belajar dan sebaliknya semua anak bisa berpartisipasi. Hanya dengan cara ini, kita dapat mencapai pendidikan berkualitas bagi semua,” kata Sheldon.

Karena itu, perlu diciptakan sekolah ramah anak supaya mereka sadar akan hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan berkualitas baik. Sheldon menyebutkan sekolah ramah anak adalah sekolah yang mencari anak. Artinya, sekolah itu harus mau mengidentifikasi anak-anak yang tidak terjangkau dan membantu mereka untuk mendapatkan hak pendidikan.

Sekolah juga harus berpusat pada anak, yaitu mengembangkan potensi anak secara penuh meliputi semua perkembangan anak, yakni kesehatan, status gizi, dan kesejahteraan, serta peduli terhadap apa yang terjadi pada anak sebelum masuk sekolah dan setelah lulus.

”Yang penting dari semua adalah sekolah harus memiliki kualitas lingkungan belajar yang baik, yakni yang responsif jender, mendorong partisipasi anak-anak, keluarga, dan masyarakat,” kata Sheldon.

Namun, pada kenyataannya masih banyak anak-anak yang tertinggal dari layanan pendidikan. Mereka adalah anak-anak penyandang ketunaan atau berkebutuhan khusus, anak-anak jalanan dan pekerja anak, anak-anak yang berada di lingkungan yang sulit seperti konflik bersenjata dan bencana alam, anak-anak yatim piatu dan yang dibuang, anak-anak dari keluarga sangat miskin, anak-anak yang terinfeksi HIV/AIDS, serta anak-anak migran/pengungsi.

Di dunia ada 72,13 juta anak usia sekolah dasar yang tidak bersekolah—27 juta di antaranya ada di kawasan Asia Pasifik. Sebanyak 56,8 persen adalah perempuan.

Perhatian dunia
Renato Opertti dari Biro Pendidikan Internasional UNESCO mengatakan, pendidikan inklusi telah tumbuh menjadi perhatian dunia yang menantang proses reformasi pendidikan di negara maju dan berkembang. Sasarannya adalah memberikan layanan pendidikan berkualitas yang didefinisikan kembali sebagai proses belajar dengan memperhitungkan kemampuan belajar anak yang berbeda, mengurangi eksklusivitas, dan tidak mengajarkan pengetahuan akademik yang tinggi semata.

Untuk dapat melaksanakan pendidikan inklusi ini dibutuhkan sistem pendidikan dan peran guru yang mengarah pada paradigma baru pendidikan, yaitu mampu memanusiakan anak-anak didik. Untuk komitmen ini butuh pengajaran kuat pada guru sejak pendidikan di perguruan tinggi hingga pendidikan selama menjadi guru.

Pengajaran guru seharusnya didasarkan pada paradigma untuk bisa memahami siswa dalam keberbedaannya. Dengan kurikulum yang fleksibel, guru akan mudah mengerti mengenai perbedaan anak-anak yang memiliki kapasitas khas.

Pendidikan guru dibawa untuk mengubah label-label yang mempertahankan hierarki kemampuan yang sering kali menutup potensi siswa. Yang ditekankan justru potensi belajar terbuka bagi setiap siswa dan distimulasi.

Pendidikan inklusi itu juga merespons kebutuhan budaya dan kelompok sosial beragam. Ini tantangan tidak mudah, tetapi pendidikan sedang menuju kepada pembiasaan untuk menerima keragaman mulai dari sekolah.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, kebijakan pendidikan Indonesia mengharuskan tidak boleh ada anak tertinggal layanan pendidikan, dan pendidikan dilakukan secara holistik. Tantangan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar, heterogen, dan wilayah yang sangat luas.

Upaya menjangkau semua warga untuk menikmati pendidikan terus dilakukan dan ditingkatkan. Anak-anak berkebutuhan khusus seperti penyandang berbagai ketunaan dan anak cerdas istimewa mendapat pendidikan khusus dengan sekolah atau kelas khusus atau kelas akselerasi.

Untuk anak-anak jalanan, di daerah terisolasi, miskin, pengungsi, atau di daerah konflik dan bencana alam, diberikan pendidikan layanan khusus.
Ester Lince Napitupulu, wartawan Kompas.

Plagiarisme dan Kepengarangan

Oleh Seno Gumira Ajidarma

Belum jelas sejak kapan sejarah plagiarisme di Indonesia dimulai. Tetapi, dalam dunia kesusastraan Indonesia, pagi-pagi HB Jassin sudah harus membela Chairil Anwar yang telah menjadi ikon kesusastraan Indonesia, melalui buku kritik sastra berjudul Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 (1956), dari tuduhan banyak orang yang menyatakan dan ”membuktikan” bahwa penyair itu adalah plagiator.

Kreativitas plagiator?
Bagi HB Jassin, tuduhan semacam itu memiliki alasan dan tujuan etis, yakni bahwa plagiarisme merupakan penipuan tidak bermoral, dan barangkali karena itu lantas seluruh karya Chairil Anwar kehilangan kesahihannya. Atas tuduhan semacam itu, HB Jassin membelokkan perkara dari masalah moral kepada masalah sastra, yakni bahwa kredibilitas Chairil Anwar sebagai penyair ditentukan oleh kreativitas sastranya, bukan oleh pertimbangan moralnya ketika melakukan tindakan yang membuat sebagian karyanya disebut plagiat. Mengikuti logika Jassin, moralitas adalah urusan manusia dengan hati nuraninya sendiri, tetapi pekerjaan sastra Chairil, adalah urusan kritikus sastra untuk menunjukkan duduk perkaranya, sebagai perkara sastra. Dalam bahasa Jassin, ”Saya tidak merasa mempunyai kompetensi untuk menyoroti sudut moral dari seniman ini. Dengan cara ini, kita menyingkirkan persoalan moral yang memang tidak pernah jadi perhitungan penyair semasa hidupnya.”

Selanjutnya, seperti bisa diikuti dalam buku yang sampai 40 tahun kemudian masih dicetak ulang tersebut, Jassin melakukan kategorisasi 94 tulisan Chairil yang kariernya hanya berlangsung 6,5 tahun itu sebagai berikut: saduran (4 sajak), terjemahan (10 sajak, 4 prosa), asli (70 sajak, 6 prosa). Dalam hal sajak saduran dan terjemahan yang termuat di media cetak dengan nama Chairil Anwar sebagai penulisnya, tanpa nama penulis sajak yang menjadi sumbernya, seperti Willem Elsschot, Archibald MacLeish, E Du Perron, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Conrad Aiken, WH Auden, itulah yang disebut sebagai sajak plagiat. Namun, melalui perbandingan atas karya asli dalam bahasa Inggris dan Belanda, dengan hasil saduran dan terjemahan Chairil dalam bahasa Indonesia, sungguh HB Jassin sebaliknya telah menunjukkan ”kebesaran” Chairil Anwar, yang harus bekerja dengan ”modal” bahasa dan pencapaian karya sastra Indonesia seadanya yang tersedia sampai tahun kematiannya, yakni 1949.

Mengikuti uraian Jassin atau membandingkannya sendiri, telah banyak disetujui terdapatnya jasa dan sumbangan Chairil Anwar yang besar bagi bahasa Indonesia. Namun, dalam catatan ini saya tidak akan menunjukkan secara teknis, di sebelah mana kiat penyaduran dan penerjemahan Chairil telah membuat sajak seperti ”Krawang-Bekasi” bagaikan menjadi milik bangsa Indonesia sendiri, karena yang ingin saya garis bawahi adalah perkara lain: Dalam wacana ini, rupa-rupanya siapa yang mengarang dianggap penting, jika tidak sangat amat penting, di bawah mitos Pengarang sebagai Sosok Agung.

Kasus Hamka dan Wacana Junus
Saya masih akan melaporkan satu kasus lagi, ketika yang dituduh kali ini adalah ”monumen moralitas” itu sendiri, yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal sebagai Hamka, seorang ulama yang sejak muda membangun tradisi menulis, sehingga setiap langkah dalam pemikirannya bisa diperiksa dan mempertanggungjawabkan dirinya sendiri, seperti yang kemudian berlangsung dalam tuduhan plagiat atas Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1938). Meski novel ini sudah terbit sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, ternyata baru menjadi polemik tahun 1962 setelah mengalami cetak ulang untuk kedelapan kalinya, yang sangat beruntung terkumpul dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam Polemik (Junus Amir Hamzah, 1963).

Mengikuti polemik dalam buku tersebut, Hamka dituduh menjiplak karya Musthafa al-Manfaluthi berjudul Magdalaine (disebut juga Madjdulin) yang berbahasa Arab, dan telah diceritakan kembali dalam bentuk film di Mesir dengan judul Dumu-El-Hub (Airmata Cinta). Disebutkan bahwa Manfaluthi ternyata juga ”mentjarternja” (sic!) dari karya berbahasa Perancis, Sous les Tilleuls (Di Bawah Lindungan Bunga Tilia) yang ditulis Alphonse Karr. Jika dalam hal Manfaluthi sumber bahasa Perancis itu disebut dengan jelas; dalam hal Hamka, yang disebutkan sangat menyukai karya-karya Manfaluthi, memang tidak. Setelah menyebutkan berbagai kemiripan pada berbagai paragraf, termasuk bagaimana Hamka telah berkiat mengubahnya, para penyerangnya memastikan status plagiator tersebut kepada Hamka, sebagai kontradiksi terhadap status sosialnya sebagai agamawan.

Hamka sendiri dikutip menjawab, antara lain, seperti berikut, ”… kalau ada orang yang menunggu-nunggu saya akan membalas segala serangan rendah dan hinaan itu, payahlah mereka menunggu sebab saya tidak akan membalas. Yang saya tunggu sekarang adalah terbentuknya satu Panitia Kesusastraan yang bersifat ilmiah, di bawah naungan salah satu Universitas (Fakultas Sastra-nya) dan lebih baik yang dekat dari tempat kediaman saya, yaitu Universitas Indonesia.” Sebelumnya juga ia sebutkan, ”Hendaknya jangan dicampur aduk hamun- maki dengan plagiatlah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck atau sadurankah atau aslikah…/ Kalau Panitia tersebut memandang perlu untuk menanyai saya, saya akan bersedia memberikan keterangan.” Pengadilan ilmiah seperti yang diharapkannya memang tidak terjadi, tetapi polemik yang semula tampak jelas merupakan usaha pembunuhan karakter, sampai juga kepada perbincangan yang lebih bersungguh-sungguh, ketika HB Jassin, Umar Junus, Ali Audah, Wiratmo Soekito, dan sejumlah nama lagi nimbrung dalam polemik.

Menurut Jassin dalam pengantar buku Manfaluthi yang akhirnya diterjemahkan sebagai Magdalena (1963), ”Memang ada kemiripan plot, ada pikiran- pikiran dan gagasan-gagasan yang mengingatkan kepada Magdalena, tetapi ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri, permasalahan sendiri. Sekiranya ada niat pada Hamka untuk menyadur Magdalena Manfaluthi, kepandaiannya melukiskan lingkungan masyarakat dan menggambarkan alam serta manusianya, kemahirannya melukiskan seluk-beluk adat istiadat serta keahliannya membentangkan latar belakang sejarah masyarakat Islam di Minangkabau, mengangkat ceritanya itu jadi ciptaan Hamka sendiri….” Ditambahkannya, ”Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka, adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.”

Berbeda dengan kasus Chairil, pendapat Jassin kali ini disanggah Umar Junus. Argumen Jassin di atas tidak dianggapnya cukup. ”Dalam hubungan jiplakan yang bersifat saduran, yang perlu diperhatikan ialah adanya persamaan pola dan plot, sedangkan filsafatnya, temanya, bisa saja berbeda. Kami tidak mengetahui dengan pasti apakah memang ada persamaan pola dan plot antara Madjdulin dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, tapi yang dapat kami katakan, alasan yang digunakan oleh pembelanya dengan menggunakan tema, filsafat, dan sebagainya tidak meyakinkan kami bahwa itu bukan jiplakan. / Penonjolan Jassin yang mengatakan bahwa Tenggelamnya Kapal Van der Wijck mengandung soal adat yang pasti tidak ada pada Madjdulin sulit untuk dipertanggungjawabkan,” tulis Junus. Maka, seperti dapat disaksikan, bukan lagi Hamka yang diserang, melainkan argumen pembelaan Jassin.

Dengan demikian, keberhinggaan wacana telah berkembang, tetapi belum mengubah mitos bahwa kedudukan pengarang adalah ”sakral”, yakni bahwa segala sesuatu yang bersumber daripadanya adalah orisinal atawa ”asli”.

Kepengarangan dan konstruksi sosial
Tahun 2000, yakni 38 tahun setelah polemik yang bersumber kepada satu dalil itu, bahwa kualitas ”kesucian” seorang pengarang terletak kepada orisinalitasnya, muncul buku Hidup Matinya Sang Pengarang yang disunting oleh Toeti Heraty. Isinya, berbagai pemikiran mengenai kepengarangan, yang pada mulanya memang menunjukkan posisi pengarang sebagai sosok genius dan agung, yang difungsikan sebagai sumber pencerahan bagi masyarakatnya, tetapi yang segera disusul dengan munculnya tesis kemandirian teks, menggusur sama sekali maksud dan tujuan pengarang. Maka dalam hal ini pembaca seolah bertiwikrama menjadi Mahapembaca, yang sambil ”membunuh” pengarang mendapat hak sepenuhnya melakukan pembermaknaannya sendiri. Kenapa bisa begitu?

Esai Roland Barthes yang juga diterjemahkan dalam buku ini, Kematian Sang Pengarang, menyampaikan bahwa sebetulnya pengarang dalam konteks yang kita bicarakan, bukan pendongeng tradisional, adalah tokoh modern yang dihasilkan masyarakat Barat pada saat keluar dari Abad Pertengahan, dipengaruhi empirisme Inggris, rasionalisme Perancis, dan keyakinan pribadi Reformasi tempat diketemukannya kehormatan individual atau manusia pribadi. Dalam sastra, pribadi pengarang menjadi sangat penting, sebelum digugurkan pendapat bahwa pengarang modern lahir pada waktu yang sama dengan teksnya; ia bukan subjek dari mana buku itu berasal dan setiap teks ditulis secara abadi kini dan di sini, yang dalam istilah linguistik disebut performatif, yakni hanya terdapat pada orang pertama dan dalam waktu kini, ketika tindak bicara tidak mempunyai isi lain dari tindak pengucapannya.

Menurut Barthes, teks bukan lagi deretan kata dengan makna teologis, yakni bahwa ada ”pesan” dari pengarang yang berperan bagaikan Tuhan, melainkan teks sebagai ruang multidimensi tempat telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang aslinya: teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya. Seorang pengarang diibaratkannya hidup di dalam kamus raksasa, tempat ia hidup hanya untuk meniru buku, dan buku ini sendiri hanya merupakan jaringan tanda, peniruan tanpa akhir. Suatu teks terdiri dari penulisan ganda, beberapa kebudayaan yang bertemu dalam dialog, dalam hubungan-hubungan, yang terkumpul bukan pada pengarang (yang kekiniannya sudah berlalu) tetapi pada pembaca, ruang tempat teks diguratkan tanpa ada yang hilang. Pembaca adalah seseorang yang memegang semua jalur dari mana tulisan dibuat dalam medan yang sama. Sehingga, menurut Barthes, mitos harus dibalik: Kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian pengarang.

Namun, kita harus hati-hati dalam menafsir kata ”pengarang” ini karena menurut Michael Foucault dalam Siapa Itu Sang Pengarang? yang juga diterjemahkan di sini, di antara ulasannya yang panjang lebar, bahwa ”… akan sama kelirunya jika kita menyamakan pengarang dengan pengarang sebenarnya, kalau kita menyamakannya dengan pembicara fiktif; fungsi-pengarang dilaksanakan dan beroperasi dalam analisis itu sendiri, dalam pembagian dan jarak.” Nah, apakah ini berarti wacana yang menciptakan pengarang, dan pengarang tidak menciptakan apa-apa, karena fungsi bagian dari wacana?

Sampai di sini, untuk sementara disimpulkan bahwa (1) plagiarisme sebagai bentuk kebersalahan timbul dari mitos kesucian pengarang yang ditentukan oleh orisinalitasnya; (2) meski secara filosofis dominasi pengarang atas teks sudah terhapus, tidak berarti bahwa plagiarisme menjadi halal karena mengakui ketidakmungkinan untuk jadi asli tidaklah sama dengan pemberian izin untuk mengutip tanpa menyebutkan sumbernya; (3) plagiarisme sebagai masalah etis, meski moralitasnya merupakan tanggung jawab pelaku terhadap dirinya sendiri, layak diterjemahkan secara legal dan sosial, sejauh terdapat pihak yang karenanya mendapat kerugian dan ketidakadilan dalam segala bentuk; (4) setiap bentuk kebersalahan dalam konteks ini tentunya diandaikan dapat ditebus kembali.

Seno Gumira Ajidarma Wartawan

Jumat, 06 Juni 2008

Bahasa Perubahan

Oleh Rhenald Kasali

”Perubahan belum tentu menjadikan sesuatu lebih baik, tetapi tanpa perubahan tak ada kemajuan, tak ada pembaruan.”

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla tahun 2004 memenangi pemilihan presiden/wakil presiden dengan mengusung tema ”perubahan”. Tema ”perubahan” juga menjadi janji kunci Barack Obama untuk menjadi calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Ia menyuarakan mutlaknya perubahan di Washington DC sambil menyebut John McCain identik dengan Presiden George W Bush yang telah membuat AS terpuruk.

Konflik dan kontradiksi adalah bahasa penting dalam sejarah perubahan. Akan tetapi, terlibat dalam konflik atau menciptakan konflik bukanlah tujuan dari setiap perubahan yang menghendaki kemajuan. Manusia bisa berputar-putar pada obyek yang berubah dan hanyut dikendalikannya, atau keluar dari pusaran setan itu dengan solusi alternatif.

Yang pertama terperangkap dengan ”adu jago” (dialektika) yang membuat perubahan problematik, sedangkan yang kedua mengajak keluar dengan bahasa harapan. Mungkinkah konflik-konflik yang marak belakangan ini termasuk soal kenaikan harga BBM mampu memicu perubahan positif bagi Indonesia?

Bahasa dialektika
Di pemakaman Abraham Lincoln (1865), Disraeli pernah menyatakan, pembunuhan terhadap pejuang antiperbudakan ini tak bisa mengubah sejarah, betapapun kerasnya konflik dan teror yang diciptakan lawan-lawan Lincoln.

Konflik memang merupakan bagian memilukan dalam sejarah perubahan. Namun, ucapan Disraeli justru banyak dikritisi. ”Assasinations” justru bisa memukul balik dan memicu perubahan. Setiap kebohongan dan teror akan menemukan akibatnya sendiri.

Konflik sangat meletihkan dan tidak menguntungkan bagi bangsa yang sedang berubah karena konflik terus memicu konflik, sedangkan ekuilibriumnya cuma sebentar. Selain itu, masyarakat bisa beranggapan, konflik satu-satunya cara mencapai tujuan.

Adalah keyakinan saya, kita mulai keletihan menyaksikan konflik dan adu mulut. Konflik bukan cuma terjadi di seputar kenaikan harga BBM. Wabah flu burung, ketertiban lalu lintas, penertiban pedagang kaki lima, pembangunan jalan tol dan lintasan busway, privatisasi BUMN, upah buruh, sampai pilkada. Semua diwarnai ancaman-ancaman dan adu kekuatan.

Konflik sering kali dimulai dengan adanya ketidakpastian sehingga prosesnya melewati keragu-raguan. Di tengah-tengah keragu-raguan, muncullah silang pendapat. Kata Tomatsu Shibutani (1966), ”Informasi dibutuhkan manusia untuk meramalkan tindakan.” Akan tetapi, Rosnow (1980) menemukan fakta selalu ada pihak yang punya kesenangan membelokkan informasi untuk kepentingannya.

Ketidakpastian, pembelokan fakta, dan lemahnya otoritas membuat konflik berkepanjangan. Dalam situasi itu, banyak pihak terperangkap dalam bahasa dialektika yang yang bersumber dari kaum Hegelian yang kental dengan istilah-istilah teror (”awas saja”), konflik (”lawan”, ”frustrasi”), konfrontasi (”hadapi”), dan kekuasaan (”hancurkan”, ”tekan”, ”mobilisasi massa/ kekuatan”, ”taklukkan”, ”kuasai”).

Bagi kaum Hegelian (Van de Ven, 1995), suasana stabil hanya terjadi saat posisi konflik berimbang. Perubahan terjadi saat yang satu berhasil menguasai yang lain.

Meski ada pendapat, konflik akan berakhir dengan sintesis kreatif, kasus-kasus perubahan melalui bahasa dialektika justru menemukan jawaban sebaliknya. Biayanya mahal, menindas hak-hak asasi manusia, dan setiap kali selesai selalu konflik lagi. Bahasa konflik memicu tindakan-tindakan brutal, seperti mobilisasi kekuatan, saling lempar dan pukul, rampas, bom molotov, pentung, dan seterusnya. Dan, ini bukan cuma mewarnai mahasiswa dan pendemo, tetapi juga meluas sampai politisi dan polisi. Padahal, semua itu berawal dari mulut pencari kekuasaan.

Pertanyaannya, inikah yang kita inginkan dari republik yang ”baru bisa sekadar mimpi” ini karena janji perubahan tak kunjung tiba buktinya?

Bahasa trialektika
Sebenarnya ada bahasa yang lebih optimistis, tetapi dalam kultur konflik tidak terkesan heroik. Dikenal pasca-Perang Dingin: Trialektika. Trialektika ditopang oleh tujuan yang jelas (a clear future), daya tarik (attractiveness), dan adanya keaktifan (Ford & Ford, 1994).

Dalam kamus perubahan kaum trialektika, tidak ada kata resistensi sebab resistensi hanyalah sebuah wake-up call. Kalau alarm disetel orang lain, pasti mengganggu kenyamanan yang tertidur.

Trialektika tidak menyalahkan resistensi, tetapi introspektif dengan mengatakan, ”mereka belum tertarik” atau ”belum mengerti”. Maka, membuat perubahan menjadi menarik, tepercaya dengan tujuan-tujuan yang jelas serta tahapan kemenangan mutlak dibutuhkan.

Celakanya, meski kaum trialektika yakin tindakannya baik untuk bangsa, kaum dialektika bisa membelokkan simpati sehingga rakyat bingung. Dalam kebingungan itu, rakyat hanya berpegang pada persepsinya semata, yaitu siapa yang bisa memasok oksigen untuk menyambung nyawa, bukan janji.

Tindakan perubahan
Bahasa bisa saja diperdebatkan. Kata-kata bisa diselubungkan. Janji-janji perubahan mudah diucapkan dan kekuasaan bisa dipertukarkan. Namun, perubahan tidak bisa disamar-samarkan. Bahasa perubahan yang dipakai setiap orang akan menentukan hasilnya seperti apa. Mudah diramalkan, bahasa konflik hasilnya adalah perubahan problematik, sedangkan bahasa trialektika meski kurang heroik, menjanjikan harapan.

Perubahan pada abad ke-21 jelas jauh lebih kompleks. Ada progress paradox, yaitu selalu muncul masalah-masalah baru pada setiap kemajuan. Ada proponen yang mengagung-agungkan kemajuan dan ada oponen yang memperbesar masalah. Dengan demikian, perubahan memerlukan lebih dari sekadar komunikasi, yaitu terobosan secepat kilat, aliansi kekuatan, endorsement, dan tentu saja nyali.

Semua itu tampak dalam tiga bulan pertama. Jika tiga bulan pertama tidak ada perubahan signifikan, siapa pun yang menjanjikan perubahan, ia hanya bercanda dengan kata-kata saja. Dalam tiga bulan pertama itu, pemimpin perubahan bukan cuma dituntut thinking out of the box, tetapi juga jumping out of the box.

Kalau harga BBM terus melambung, mungkin sudah tidak saatnya lagi berkelahi dan berputar-putar di situ. Cari saja alternatif energi baru di luar minyak. Ini jelas lebih baik daripada adu mulut atau unjuk kekuatan.

Rhenald Kasali Mengajar Manajemen Perubahan pada Universitas Indonesia

Kamis, 05 Juni 2008

Dilema Pembajakan di Dunia "Online"

Oleh Amir Sodikin

Bagi kalangan akademik, plagiarisme merupakan aib yang akan melekat seumur hidup. Tak ada ampun bagi karakter orang yang menjiplak seperti itu. Itu di dunia nyata, bagaimana jika di dunia maya? Masihkah hak cipta dihargai para netizen? Benarkah ini kiamat bagi masa depan hak cipta? Apakah memang para pengguna internet itu mencuri ataukah hanya berbagi?

Setelah melihat link tersebut, ternyata isinya 99,99 persen mirip dengan skripsi saya yang dapat diakses di alamat ini. Hanya ada 0,01 persen pembeda pada tulisan tersebut, yaitu perbedaan nama penulisnya. Kalau skripsi saya yang menulis saya sendiri, yaitu Ahmad Zakaria, dalam tulisan tersebut penulisnya...,” begitu Ahmad Zakaria ”curhat” di dalam blog-nya, http://www.ahmadzakaria.net/.

Kasus plagiarisme atau penjiplakan karya ilmiah seperti yang diceritakan Ahmad Zakaria, terutama melalui media internet, pasti tidak sedikit. Bahkan, sudah menjadi bahan gunjingan banyak orang bahwa di kalangan pejabat pun banyak yang ketahuan menjiplak. Karya yang diprotes Ahmad tersebut juga dibagi ”gratis” di http://www.indoskripsi.com/.

Tak dimungkiri lagi, pembajakan teks, buku, kutipan, berita, musik, foto, kartun, video, dan banyak karya lain yang di dunia nyata dikenal sebagai ”memiliki copyright” akhirnya ketika di dunia maya menjadi seolah tak berarti.

Semua orang bebas seolah bebas menjiplak, fungsi copy dan paste benar-benar mengendalikan peradaban cyber ini. Apakah betul pada era cyber hak cipta benar-benar sudah tamat?

Arsitektur mendukung
Di dunia internet, ternyata persoalan menjiplak atau plagiarisme tak bisa dipandang secara ”hitam dan putih”. Banyak faktor yang mendukung kondisi seperti itu. Tak hanya faktor kemalasan atau faktor ekonomi, tetapi secara kultur, dunia maya berbeda dari dunia nyata.

Dunia maya, dengan ”bangunan-bangunannya” berupa website, e-mail, dan jenis transfer data online lainnya, didukung oleh arsitektur bernama script atau code yang secara teknis membolehkan copy dan paste. Jadi, copy pasti merupakan legal operation dalam teknis ”pembangunan rumah” di jaringan internet. Fungsi ini di dunia nyata seperti halnya: ayo berbagi!

Seorang webmaster ternama dunia yang juga pengembang software website interaktif DragonflyCMS, DJMaze, dalam sebuah forum mengatakan, ”Jika kamu tak menginginkan berita teks atau foto karya kamu di-copy oleh orang lain, maka jangan pernah meng-online-kannya.”

Komentar itu untuk menjawab seorang pengunjung di situs www.cpgnuke.com yang menanyakan bagaimana memproteksi kegiatan copy di teks berita maupun di galeri foto. DJMaze tak sedang memprovokasi orang untuk meng-copy karya orang lain. Namun, yang ia tekankan adalah secara infrastruktur di internet tak memungkinkan untuk memproteksi copy dan paste.

Portal berita www.detik.com dahulu biasa memproteksi fungsi klik kanan, tetapi fungsi ini dengan mudah bisa dimatikan dengan cara mematikan fungsi javascript di browser. Portal komunitas www.fotografer.net memiliki proteksi, yang, menurut penulis, paling hebat untuk kategori watermarking sebuah foto di galeri online karena ketika orang berusaha menyimpan foto itu maka akan otomatis destroy (rusak).

Tetapi, toh kalau orang kepepet ingin meng-copy foto itu, dia bisa mengakalinya dengan cara tradisional, yaitu dengan menekan tombol ”Print Screen” dari keyboard komputer. Dalam konteks ini, pernyataan DJMaze adalah benar.

Semangat berbagi
Ya, semangat berbagi memang menjadi tema utama di internet. Inilah awal dari persoalan penjiplakan ini, yaitu tak dilarangnya fungsi yang mendukung penjiplakan itu. Kalau begitu, apakah arsitektur internet memang dari awal membolehkan tindak pencurian?

”Jika tujuh juta orang mencuri, maka mereka itu bukan pencuri,” kata David Post, profesor ilmu hukum dari Temple University yang dikutip Terry Halbert dan Elaine Ingulli dalam bukunya, CyberEthics.

Pernyataan itu lagi-lagi tidak ingin menyudutkan hak cipta. Perenungan para filsuf sampai kini seolah tak ada jawabannya, bagaimana sebenarnya nasib hak cipta di dunia maya, terutama hak cipta yang terkait dengan karya ilmiah, buku, ide, foto, musik, video, dan lain-lain.

Para pengguna situs-situs interaktif yang isinya menekankan semangat berbagi, seperti YouTube, menganggap secara natural fungsi internet adalah untuk berbagi. Namun, jika yang dibagi itu adalah, misalnya, video musik yang baru beredar di pasaran, apakah hal itu bukannya sama saja dengan mencuri?

Di situs-situs model seperti itu banyak yang meng-online-kan musik-musik dari grup ternama yang direkam dari televisi atau langsung dari video aslinya. Bahkan, film lengkap pun bisa diunduh dan dinikmati.

Terry Halbert dan Elaine Ingulli dalam CyberEthics mencoba melontarkan pertanyaan: apa sebenarnya yang dicuri? Toh, ketika orang menikmati lagu via YouTube, misalnya, si pemilik lagu tak akan terkurangi ”rasa” dalam menikmati lagu-lagunya. Lalu, apanya yang dicuri?

Halbert dan Ingulli menjawabnya sendiri dengan mengutip Michael Greene, President and CEO of the National Academy of Recording Arts and Science, ”Banyak artis yang belum mapan akhirnya terpinggirkan dari dunia bisnis hiburan. Pembajakan musik (di internet) telah mencuri kehidupan mereka dan terpaksa meninggalkan mimpi-mimpi mereka akibat ulah pencuri di internet.”

Faktor ekonomi memang selalu dominan dalam konteks ini. Seharusnya, siapa yang ”membayar” maka dia baru dapat hak akses untuk menikmati entah itu buku, musik, atau film. Ini sudah menjadi konvensi umum.

Walaupun ada pemberontakan dari sistem sosial masyarakat online, seperti pendapat Steve Levy dalam Hackers: Heroes of The Computer Revolution, ”semua informasi seharusnya gratis”, tetapi masyarakat dunia maya adalah bagian dari dunia nyata yang tunduk kepada aturan-aturan dunia nyata. Aktivitas ilegal dan legal hingga kini masih menggunakan norma-norma dunia nyata.

Jika seseorang bermoral, dia tak akan pernah menggunakan foto atau teks yang bukan karya nya. Integritas seorang webmaster, blogger, fotografer, penulis, dan sastrawan akan dipertaruhkan jika tetap memaksakan diri melanggar aturan dunia nyata. Itu berarti daya kekuatan di bidang internet tak boleh digunakan semena-mena untuk membajak desain, teks, berita, atau materi lain.

”Tidak boleh menggunakan komputer untuk melukai orang lain,” itulah isi nomor satu dari 10 Etika Komputer milik Computer Ethics Institute di Amerika Serikat.

Sebaliknya, jika karya, entah tulisan atau foto, kita tak ingin di-copy atau dibagi oleh orang lain, jangan pernah meng-upload di dunia maya. Itu aturan sederhananya. (Disadur dari Kompas.com. Kamis, 5 Juni 2008).