Oleh Badui U. Subhan
Judul : Komedikus Erektus; Dagelan Republik Kacau Balau
Penulis : Bambang Haryanto
Penerbit : Imania, Depok
Cetakan : Pertama - November 2010
Tebal : xxxii+205 halaman
Format : 13 x 20,5 cm – Soft Cover
ISBN : 978-602-96413-7-0
Kita kerap mendengar ungkapan bahwa tertawa itu baik atau sehat. Namun realitas yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, langsung maupun tidak, seperti ramai-ramai sedang mengingkari ungkapan tersebut. Di mana-mana, banyak orang lebih suka marah, menghardik, mengeluh, dan mengumpat tinimbang memberi solusi atau sekadar merespons masalahnya dengan seulas senyum.
Keadaan tersebut mungkin memiliki logikanya sendiri. Jika tak lucu maka tak ada tawa. Ya, secara kasat mata dan pikiran awam memang banyak peristiwa yang tak sedap untuk dipandang dan dirasa, sehingga sulit menimbulkan tawa. Misal, bagaimana bisa tertawa kala institusi kepolisian dan penegak hukum lainnya masih gemar korupsi, perseteruan yang kian absurd antara “cicak” dan “buaya”, dahsyatnya ancaman flu burung dan flu babi, berlarut-larutnya kasus Bank Century, para anggota DPR yang masih kekanak-kanakan, pilpres yang tak pernah luber dan judil, petaka abadi lumpur Lapindo, dan masih banyak lagi. Kita mungkin diam-diam pula mengumpat dalam hati, sungguh sial hidup di sini!
Bagi masyarakat awam dan cenderung emosional, kebanyakan peristiwa yang telah disinggung di atas mungkin tak bisa dipahami sebagai kelucuan, terlebih dibuat lelucon. Apalagi jika narasi informasi yang diterimanya lebih bergaya ilmiah dan serius. Sebaliknya, dan ini tak banyak, bagi orang-orang yang memiliki sense of humor tinggi, peristiwa-peristiwa apapun yang mengiris hati akan selalu ditemukan celah komedinya. Lelucon ironis. Salah seorang macam ini ialah Bambang Haryanto, sang pencetus Hari Suporter Nasional, yang kembali menorehkan kecerdasan ‘analisa’ komedinya terhadap beberapa peristiwa politik dalam sebuah buku bertajuk Komedikus Erektus. Buku pertamanya Ledakan Tawa dari Afrika sampai dengan Rusia (USA, 1987), buku keduanya Ledakan Tawa dari Dunia Satwa (Andi, 1987).
Buku Komedikus Erektus menghimpun beberapa tulisan lelucon politik dengan cerdas, lugas, lucu, sekaligus membuat gemas pembaca. Kecerdasan yang dimaksud bukan karena gaya tulisannya mirip dengan cara analisa pada karya-karya ilmiah yang kerap berujung pada kesimpulan kaku. Kecerdasan ini lebih terasa karena kepandaian sang penulis dalam menemukan lelucon-lelucon ironis di balik peristiwa-peristiwa politik nyata sehari-hari, yang anehnya kerap dianggap sebagai tindakan sakral, mulia, dan heroik bagi penggagas dan pendukung fanatiknya.
Kecerdasan lelucon-lelucon itu diperkuat pula oleh gaya penulisannya yang lugas dan tak terjebak pada stereotip komedi ‘kacangan’. Pun terasa aktual di setiap ruang dan waktu. Alhasil, lelucon-lelucon yang ditampilkan tak sekadar membuat pembaca tersenyum simpul atau bahkan tergelak, melainkan mampu mengusik sudut pandang berpikir kita (sang pembaca) yang masih terbiasa sempit atau mapan (jika tak ingin dikatakan bebal). Salah satu contoh dapat dibaca pada Bab VI dengan subjudul “SBY: 9 Desember 2009 dan Singa” (hal: 47-48).
Tanggal tersebut mengacu pada gerakan moral peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia. Saat itu Andi Mallarangeng, orang dekat Presiden SBY, meluncurkan ‘mantra’ tentang ancaman penumpang gelap yang hendak memicu huru-hara di negeri ini. ‘Mantra’ itu tentu memiliki tendensi agar publik lebih percaya kepada kekuasaan dan kepemimpinan SBY yang baru terpilih lagi sebagai presiden. Ironisnya, menurut ‘analisa’ komedi Bambang, kata-kata ‘mantra’ Mallarangeng yang mestinya bernilai tinggi itu akhirnya kempis tak bertuah (tak seperti mantra-mantra Soeharto yang selalu bertuah karena sukses mencap komunis kepada setiap lawan politiknya) mengingat masyarakat terlanjur dikecewakan oleh pernyataan-pernyataan SBY sebelumnya yang nihil bukti.
Masyarakat masih ingat, pada saat bom Kuningan meledak (17/7/2009), SBY buru-buru tampil dengan seting dramatik dan menyatakan bahwa gerakan tersebut untuk menggajal dirinya dilantik jadi presiden. Nyatanya, peristiwa tersebut tak ada kaitan sama sekali. Ia juga meyakinkan bahwa akan ada gerakan massa yang hendak menduduki kantor KPU. Faktanya, tak pula berbukti! Satu-satunya bukti yang dapat dipercaya adalah semua itu hanya dagelan politik!
Isi macam demikian menghiasi semua tulisan dalam buku yang terbagi dalam 28 bab ini. Setiap bab-nya menyajikan ‘analisa’ serta lelucon yang segar dan variatif. Tak begitu jelas, memang, alasan pembagian atau dasar perbedaan tema dalam setiap bab-nya, namun pembaca tak perlu khawatir akan terusik kenikmatannya pada lelucon-lelucon politik yang terhimpun pada buku yang dipuji oleh berbagai tokoh yang masih “waras” macam Jaya Suprana, Wimar Witoelar, Effendi Ghazali, dan Budiarto Shambazy ini.
Kesegaran lainnya, tak semua bahan lelucon yang diracik Bambang ini lahir dari peristiwa politik di dalam negeri. Di samping itu, lelucon-lelucon politik dalam negerinya juga dikemas baik oleh Bambang dengan ‘metode’ komparasi yang apik terhadap peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh populer di luar negeri baik yang murni beraroma politik maupun tidak, seperti tertuang pada tulisan bertajuk “Bir Obama, Polisi Korup, dan Ketegasan SBY Kita”, “Naisbitt and It’s A Comedy, Stupid!”, “Pilpres 2009: The Good, The Bad, and The Ugly”, “Lagu Michael Jackson dan Inspirasi Pilpres 2009”, dan “General Election 2009’s Guffaw”. Masih banyak yang lainnya.
Lelucon-lelucon yang diracik oleh lelaki yang pernah gagal ikut lomba Audisi Pelawak TPI-4 ini memang memiliki kekhasan tersendiri, khususnya di ranah komedi Indonesia. Pada semua tulisan Bambang ini tak akan ditemukan sedikit pun lelucon umum yang kerap (kecanduan) mengeksploitasi ‘laku’ kekerasan atau cemoohan fisik tokoh-tokohnya seperti pada lawakan-lawakan yang ditayangkan oleh stasiun televisi swasta kita. Isi tulisan dalam buku ini pun tak lahir dari kekosongan budaya. Racikan lelucon Bambang betul-betul terinspirasi dari peristiwa politik yang faktual dan diksi bahasanya tak lantas jatuh pada narasi sarkastik seperti yang kerap ‘muncrat’ dari mulut para komentator politik pada umumnya.
Kiranya, masyarakat yang terlanjur ‘alergi’ pada wacana politik pun, ketika membaca buku ini, akan dapat menikmatinya dengan tetap sentosa. Nilai plus lainnya, pada setiap tulisan disertakan pula ilustrasi kartun yang dapat memudahkan pembaca mengikat inti pesan yang hendak disampaikan sang penulis.
Pada akhirnya, buku ini tak hanya mengungkap lelucon-lelucon yang (kerap samar) hadir di balik setiap peristiwa politik, melainkan pula menguji dan menambah sense of critic setiap pembacanya agar selalu ‘waspada’ terhadap wacana-wacana indah, manis, dan tak jarang bombastis yang kerap dilontarkan, dipajang, atau ditayangkan para ‘politikus’ (apapun level dan sebutannya) melalui beragam media yang ada.
Menjaga kesadaran atau kewarasan diri tak harus selalu didapat dengan cara mengkonsumsi bacaan-bacaan yang analitis-ilmiah. Seperti kata Gus Dur, daya humor dapat membuat hati bahagia dan menyehatkan pikiran.*
Senin, 06 Desember 2010
Kamis, 18 November 2010
KOMPETISI MENULIS ESAI: Selamat Datang
KOMPETISI MENULIS ESAI: Selamat Datang: "Anak Muda & RekonsiliasiMenyembuhkan luka sejarah adalah kerja besar. Bukan sekadar kerja satu dua tahun, tetapi mungkin puluhan tahun. Beta..."
Kamis, 07 Oktober 2010
Guru Inspiratif
Oleh: Rhenald Kasali
Dalam hidup ini kita mengenal 2 jenis guru: Guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama sangat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer seluruh isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standard (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99% seluruh guru yang saya temui.
Guru inspiratif jumlahnya sangat terbatas, populasinya kurang dari 1%. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, melainkan yang mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Kalau guru kurikulum melahirkan manajer-manajer handal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaharu yang berani menghancurkan kebiasaan-kebiasaan lama.
Dunia memerlukan dua-duanya seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan. Tapi sayangnya sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Keberadaan guru inspiratif akan sangat menentukan berapa lama suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.
Freedom Writers
Karya-karya pembaharuan, baik temuan-temuan spektakuler keilmuan, produk-produk komersial, maupun gerakan-gerakan sosial akan tampak di masyarakat. Tetapi tak dapat dipungkiri semua itu berawal dari bangku sekolah. Dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat perlunya kreativitas. Ia memperbaiki hal-hal yang dipercaya banyak orang tidak bisa diperbaiki, dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung (connecting the unconnected).
Kisah dan karya guru inspiratif antara lain dapat dilihat dalam diri Erin Gruwell, guru perempuan yang ditempatkan di sebuah kelas “bodoh”, yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antar geng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan kumpulan “honors students”, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di honors class yang dibutuhkan adalah guru kurikulum.
Erin memulainya dengan segala kesulitan. Selain katanya “bodoh” dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, terlibat kekerasan antargeng, saling melecehkan, tempramen, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh.
Kelas itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak super nakal tak boleh disekolahkan bersama-sama distinguised scholars. Tetapi Erin tak putus asa, Ia membuat “kurikulum”-nya sendiri. Kurikulum itu bukan berisi ajaran-ajaran pengetahuan biasa (hard skill), melainkan pengetahuan hidup.
Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai dan membagi mereka ke dalam dua kelompok di kiri dan di kanan. Kalau menjawab “ya” mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antar geng.
Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama was-was, hidup penuh ancaman, curiga pada kelompok lain dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa lebih relax terhadap guru dan teman-temannya dan sepakat saling memperbaharui hubungan. Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi, sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Karya-karya mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers (FW). Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku-pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film FW yang dibintangi Hilary Swank.
Keluar dari Belenggu
Apa yang dilakukan Erin Gruwell sebenarnya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan dasar saja, melainkan juga pada pendidikan tinggi. Namun entah mengapa belakangan ini dunia pendidikan kita semakin mengisolasi dirinya dari dunia luar dan hanya ingin menghasilkan lulusan yang terbelenggu oleh kurikulum.
Yang disebut dosen teladan adalah dosen yang patuh mengikuti kurikulum, menulis karya ilmiah di jurnal-jurnal tertentu yang sudah ditentukan (meskipun pembacanya belum tentu memadai), dan rajin mengisi absen. Dengarlah protes Kazuo Murakami., Ph.D, pemenang penghargaan Max Planck (1990) yang menulis buku Tuhan dalam Gen Kita: The Devine Message of The DNA (2007). Ia terpaksa hijrah ke Amerika saat menyaksikan dominasi guru-guru kurikulum di Jepang yang membangun benteng hirarki. Universitas, katanya, telah menjadi menara gading yang tak perduli dengan apa yang telah terjadi di luar.
Meski belum begitu menonjol dalam masyarakat kita, peranan guru-guru inspiratif ini sangat dibutuhkan. Terlebih anggaran pendidikan kita masih sangat terbatas, dan lulusan-lulusannya banyak yang tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang studi yang ditempuhnya. Kita tidak bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara akademis, tahu kebenaran internal, tapi kurang kreatif mendulang kesempatan dan buta kebenaran eksternal.
Ada 2 masalah yang perlu kita renungkan disini. Pertama, dosen kurikulum hanya membentuk kompetensi (student’s ability). Ia hanya membentuk beberapa orang, untuk kepentingan orang itu sendiri. Sedangkan guru inspiratif membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, melainkan ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat “Aku ingin jadi seperti dia” atau “Aku bisa lebih hebat lagi”.
Kedua, ketidakmampuan para pendidik merespons tekanan-tekanan eksternal, dapat membuat mereka membentengi diri secara berlebihan dengan mengunci kurikulum secara sakral. Setiap upaya yang dilakukan guru-guru kreatif untuk meremajakannya dianggap sebagai ancaman, bahkan dianggap sebagai perbuatan tidak bermoral.
Saya masih ingat betul, kejadian yang menimpa seorang guru inspiratif yang sangat saya kenal. Pada tahun 2005 Ia menerima penghargaan dari Yayasan Pengembangan Kreativitas atas karya-karyanya dalam bidang pendidikan. Penghargaan serupa dalam masing-masing bidang saat itu juga diberikan kepada Helmi Yahya, Jaya Suprana, Bang Yos, dan Guruh Soekarno Putra. Tapi tak banyak yang tahu hari-hari itu Ia baru saja menerima ancaman pemecatan karena dianggap melanggar “kurikulum”. Kesalahannya adalah telah memperbaharui metode pengajaran agar murid-muridnya menjadi lebih artikulatif. Muridnya senang belum berarti guru-guru lain senang. Mereka merasa terganggu oleh penyajian di luar kurikulum dan mereka menuntut agar guru ini ditarik. Semester berikutnya namanya dicoret dari daftar pengajar. Karir gurubesarnya pun dipersulit oleh guru-guru kurikulum yang menggunakan kaca pembesar menguji kebenaran internal.
Kata Jagdish N. Sheth, begitu orang-orang lama menyangkal realita baru, maka mereka dapat menjadi arogan, terperangkap dengan kompetensi masa lalu, ingin hidupnya nyaman, dan membangun batas-batas kekuasaan teritorial. Prilaku internal itu adalah belenggu innertia, yang disebutnya sebagai destructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak dimilikinya.
Sudah saatnya benteng innertia seperti ini dihapuskan dengan “memanusiawikan” kurikulum dengan memberi ruang yang lebih memadai bagi guru-guru kreatif.
Sumber: www.duniaguru.com diambil dari Kompas.com
Dalam hidup ini kita mengenal 2 jenis guru: Guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama sangat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer seluruh isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standard (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99% seluruh guru yang saya temui.
Guru inspiratif jumlahnya sangat terbatas, populasinya kurang dari 1%. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, melainkan yang mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Kalau guru kurikulum melahirkan manajer-manajer handal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaharu yang berani menghancurkan kebiasaan-kebiasaan lama.
Dunia memerlukan dua-duanya seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan. Tapi sayangnya sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Keberadaan guru inspiratif akan sangat menentukan berapa lama suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.
Freedom Writers
Karya-karya pembaharuan, baik temuan-temuan spektakuler keilmuan, produk-produk komersial, maupun gerakan-gerakan sosial akan tampak di masyarakat. Tetapi tak dapat dipungkiri semua itu berawal dari bangku sekolah. Dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat perlunya kreativitas. Ia memperbaiki hal-hal yang dipercaya banyak orang tidak bisa diperbaiki, dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung (connecting the unconnected).
Kisah dan karya guru inspiratif antara lain dapat dilihat dalam diri Erin Gruwell, guru perempuan yang ditempatkan di sebuah kelas “bodoh”, yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antar geng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan kumpulan “honors students”, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di honors class yang dibutuhkan adalah guru kurikulum.
Erin memulainya dengan segala kesulitan. Selain katanya “bodoh” dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, terlibat kekerasan antargeng, saling melecehkan, tempramen, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh.
Kelas itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak super nakal tak boleh disekolahkan bersama-sama distinguised scholars. Tetapi Erin tak putus asa, Ia membuat “kurikulum”-nya sendiri. Kurikulum itu bukan berisi ajaran-ajaran pengetahuan biasa (hard skill), melainkan pengetahuan hidup.
Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai dan membagi mereka ke dalam dua kelompok di kiri dan di kanan. Kalau menjawab “ya” mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antar geng.
Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama was-was, hidup penuh ancaman, curiga pada kelompok lain dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa lebih relax terhadap guru dan teman-temannya dan sepakat saling memperbaharui hubungan. Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi, sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Karya-karya mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers (FW). Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku-pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film FW yang dibintangi Hilary Swank.
Keluar dari Belenggu
Apa yang dilakukan Erin Gruwell sebenarnya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan dasar saja, melainkan juga pada pendidikan tinggi. Namun entah mengapa belakangan ini dunia pendidikan kita semakin mengisolasi dirinya dari dunia luar dan hanya ingin menghasilkan lulusan yang terbelenggu oleh kurikulum.
Yang disebut dosen teladan adalah dosen yang patuh mengikuti kurikulum, menulis karya ilmiah di jurnal-jurnal tertentu yang sudah ditentukan (meskipun pembacanya belum tentu memadai), dan rajin mengisi absen. Dengarlah protes Kazuo Murakami., Ph.D, pemenang penghargaan Max Planck (1990) yang menulis buku Tuhan dalam Gen Kita: The Devine Message of The DNA (2007). Ia terpaksa hijrah ke Amerika saat menyaksikan dominasi guru-guru kurikulum di Jepang yang membangun benteng hirarki. Universitas, katanya, telah menjadi menara gading yang tak perduli dengan apa yang telah terjadi di luar.
Meski belum begitu menonjol dalam masyarakat kita, peranan guru-guru inspiratif ini sangat dibutuhkan. Terlebih anggaran pendidikan kita masih sangat terbatas, dan lulusan-lulusannya banyak yang tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang studi yang ditempuhnya. Kita tidak bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara akademis, tahu kebenaran internal, tapi kurang kreatif mendulang kesempatan dan buta kebenaran eksternal.
Ada 2 masalah yang perlu kita renungkan disini. Pertama, dosen kurikulum hanya membentuk kompetensi (student’s ability). Ia hanya membentuk beberapa orang, untuk kepentingan orang itu sendiri. Sedangkan guru inspiratif membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, melainkan ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat “Aku ingin jadi seperti dia” atau “Aku bisa lebih hebat lagi”.
Kedua, ketidakmampuan para pendidik merespons tekanan-tekanan eksternal, dapat membuat mereka membentengi diri secara berlebihan dengan mengunci kurikulum secara sakral. Setiap upaya yang dilakukan guru-guru kreatif untuk meremajakannya dianggap sebagai ancaman, bahkan dianggap sebagai perbuatan tidak bermoral.
Saya masih ingat betul, kejadian yang menimpa seorang guru inspiratif yang sangat saya kenal. Pada tahun 2005 Ia menerima penghargaan dari Yayasan Pengembangan Kreativitas atas karya-karyanya dalam bidang pendidikan. Penghargaan serupa dalam masing-masing bidang saat itu juga diberikan kepada Helmi Yahya, Jaya Suprana, Bang Yos, dan Guruh Soekarno Putra. Tapi tak banyak yang tahu hari-hari itu Ia baru saja menerima ancaman pemecatan karena dianggap melanggar “kurikulum”. Kesalahannya adalah telah memperbaharui metode pengajaran agar murid-muridnya menjadi lebih artikulatif. Muridnya senang belum berarti guru-guru lain senang. Mereka merasa terganggu oleh penyajian di luar kurikulum dan mereka menuntut agar guru ini ditarik. Semester berikutnya namanya dicoret dari daftar pengajar. Karir gurubesarnya pun dipersulit oleh guru-guru kurikulum yang menggunakan kaca pembesar menguji kebenaran internal.
Kata Jagdish N. Sheth, begitu orang-orang lama menyangkal realita baru, maka mereka dapat menjadi arogan, terperangkap dengan kompetensi masa lalu, ingin hidupnya nyaman, dan membangun batas-batas kekuasaan teritorial. Prilaku internal itu adalah belenggu innertia, yang disebutnya sebagai destructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak dimilikinya.
Sudah saatnya benteng innertia seperti ini dihapuskan dengan “memanusiawikan” kurikulum dengan memberi ruang yang lebih memadai bagi guru-guru kreatif.
Sumber: www.duniaguru.com diambil dari Kompas.com
Rabu, 01 September 2010
Minggu, 25 Juli 2010
Cepat Waktu?
Oleh Badui U. Subhan
Ihwal waktu, saya teringat tiga cerita. Dua di antaranya saya dapatkan dari media film. Satu lagi dari novel. Film pertama bercerita tentang beberapa siswa ‘nakal’ yang mencoba memecahkan rahasia sebuah teks puisi yang ditulis oleh alumnus senior di sekolahnya. Film kedua tentang guru ‘palsu’ yang mengajar anak-anak secara santai (lebih tepatnya sesuka hati) di sekolah yang masyhur amat formal. Sedangkan cerita yang terdapat dalam novel, juga tak jauh berbeda tema dengan cerita di dua film, tentang seorang pelajar yang dikeluarkan dari sekolahnya dan kemudian memilih sekolah yang dibangun dari gerbong kereta api.
Ketiga cerita tersebut tentu berbeda latar waktu dan tempatnya. Namun ada satu hal yang kiranya dapat diambil benang merahnya secara halus dan lurus: gugatan atas dunia pendidikan yang terlalu formal dan rigid. Film pertama bertajuk Dead Poet Society, film kedua berlabel The School of Rock, dan novel yang saya maksud tidak lain adalah Totto Chan.
Bagi saya, dunia pendidikan yang diangkat dalam ketiga cerita tersebut tak hanya ingin menyoroti soal cara atau gaya belajar. Dari ketiganya, secara implisit saya melihat bahwa konsep waktu juga amat menjadi perhatian penulisnya. Saya katakan implisit sebab pada ketiga cerita tersebut, sudut pandang waktu tidak demikian detil ‘digugat’ oleh para penulisnya. Namun bagi penonton atau pembaca yang kritis tentu akan mendapati simbol-simbol penggugatan atas makna waktu yang kini terlanjur dipahami dan disamakan dengan makna kecepatan.
Kita insyaf, makna waktu bukanlah untuk dibelenggu pada pengertian kecepatan. Kita mengenal adagium tua ini: siapa cepat dia dapat! Sama sekali saya berani memperdebatkan keabsahan makna konsep waktu macam demikian. Rasanya terlalu beraroma materialistik! Dan saya kira, tiga ayat yang telah diwahyukan Tuhan dalam surat Al ‘Ashr (AQ 601:1-3) adalah rangkaian teks terbuka tentang konsep waktu yang meminta diinsyafi oleh semua manusia agar tak dilepaskan dari tali konsep Al Haq (benar dan sesuai porsi) dan Al Shabr (sabar alias tidak terburu-buru).
Coba saja perhatikan dan resapi tiga cerita tersebut. Sungguh tak berlebihan kiranya jika konsep pendidikan dan waktu yang disentil di dalamnya akan kita temukan kelurusan relnya dengan konsep pendidikan yang telah lama diusung oleh Montessori, Rabindranat Tagore, dan Ivan Illich yang membongkar sifat ketat, formal, dan destruktifnya gaya ‘pendidikan’ yang membelengggu anak-anak.
Ya, tepat waktu adalah penting! Akan tetapi, mesti serigid itukah kita akan memaknainya (ingat, bukan menerjemahkan), sedangkan konsep ketat atau kendurnya waktu adalah kita pula yang mengukurnya?
Saya kira, itulah mengapa kisah-kisah satir atau paradoks di atas selalu aktual, terus tumbuh dan berkembang dengan gaya tuturnya masing-masing di setiap zaman. Ah, bukankah kita kerap keliru memaknai pendidikan? Seyogyanya, akhir atau ujung tujuan pendidikan bukanlah untuk cepat rimbun dan berjejalnya pengetahuan dalam otak setiap anak didik, melainkan hadir dan tumbuhnya rasa bijak dalam setiap hati para pembelajar, baik anak-anak, orang dewasa, terlebih orang tua.
Saya memandang kecepatan atau ketepatan waktu tidak pernah berbanding lurus maknanya dengan kesuksesan—bukankah ini cenderung berkesan ‘kejar setoran’? Sebab itu, saya lebih berpendapat bahwa kesuksesan adalah ihwal kebenaran dan kebaikan dalam melakukan suatu proses. Logikanya mudah dicerna, siapa yang tidak benar dan tidak baik dalam berproses (awas, bukan tidak cepat!) alangkah kurang bijak disebut sukses.
Akhirnya, konsep waktu yang manakah yang hendak kita imani dan kita ajarkan kepada anak-anak didik kita di sini? Akankah tetap rigid dengan kehendak untuk selalu cepat waktu (dan tepat waktu, meskipun absurd) seraya menutup mata akan akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya?
Depok, 21 Juli 2010
Ihwal waktu, saya teringat tiga cerita. Dua di antaranya saya dapatkan dari media film. Satu lagi dari novel. Film pertama bercerita tentang beberapa siswa ‘nakal’ yang mencoba memecahkan rahasia sebuah teks puisi yang ditulis oleh alumnus senior di sekolahnya. Film kedua tentang guru ‘palsu’ yang mengajar anak-anak secara santai (lebih tepatnya sesuka hati) di sekolah yang masyhur amat formal. Sedangkan cerita yang terdapat dalam novel, juga tak jauh berbeda tema dengan cerita di dua film, tentang seorang pelajar yang dikeluarkan dari sekolahnya dan kemudian memilih sekolah yang dibangun dari gerbong kereta api.
Ketiga cerita tersebut tentu berbeda latar waktu dan tempatnya. Namun ada satu hal yang kiranya dapat diambil benang merahnya secara halus dan lurus: gugatan atas dunia pendidikan yang terlalu formal dan rigid. Film pertama bertajuk Dead Poet Society, film kedua berlabel The School of Rock, dan novel yang saya maksud tidak lain adalah Totto Chan.
Bagi saya, dunia pendidikan yang diangkat dalam ketiga cerita tersebut tak hanya ingin menyoroti soal cara atau gaya belajar. Dari ketiganya, secara implisit saya melihat bahwa konsep waktu juga amat menjadi perhatian penulisnya. Saya katakan implisit sebab pada ketiga cerita tersebut, sudut pandang waktu tidak demikian detil ‘digugat’ oleh para penulisnya. Namun bagi penonton atau pembaca yang kritis tentu akan mendapati simbol-simbol penggugatan atas makna waktu yang kini terlanjur dipahami dan disamakan dengan makna kecepatan.
Kita insyaf, makna waktu bukanlah untuk dibelenggu pada pengertian kecepatan. Kita mengenal adagium tua ini: siapa cepat dia dapat! Sama sekali saya berani memperdebatkan keabsahan makna konsep waktu macam demikian. Rasanya terlalu beraroma materialistik! Dan saya kira, tiga ayat yang telah diwahyukan Tuhan dalam surat Al ‘Ashr (AQ 601:1-3) adalah rangkaian teks terbuka tentang konsep waktu yang meminta diinsyafi oleh semua manusia agar tak dilepaskan dari tali konsep Al Haq (benar dan sesuai porsi) dan Al Shabr (sabar alias tidak terburu-buru).
Coba saja perhatikan dan resapi tiga cerita tersebut. Sungguh tak berlebihan kiranya jika konsep pendidikan dan waktu yang disentil di dalamnya akan kita temukan kelurusan relnya dengan konsep pendidikan yang telah lama diusung oleh Montessori, Rabindranat Tagore, dan Ivan Illich yang membongkar sifat ketat, formal, dan destruktifnya gaya ‘pendidikan’ yang membelengggu anak-anak.
Ya, tepat waktu adalah penting! Akan tetapi, mesti serigid itukah kita akan memaknainya (ingat, bukan menerjemahkan), sedangkan konsep ketat atau kendurnya waktu adalah kita pula yang mengukurnya?
Saya kira, itulah mengapa kisah-kisah satir atau paradoks di atas selalu aktual, terus tumbuh dan berkembang dengan gaya tuturnya masing-masing di setiap zaman. Ah, bukankah kita kerap keliru memaknai pendidikan? Seyogyanya, akhir atau ujung tujuan pendidikan bukanlah untuk cepat rimbun dan berjejalnya pengetahuan dalam otak setiap anak didik, melainkan hadir dan tumbuhnya rasa bijak dalam setiap hati para pembelajar, baik anak-anak, orang dewasa, terlebih orang tua.
Saya memandang kecepatan atau ketepatan waktu tidak pernah berbanding lurus maknanya dengan kesuksesan—bukankah ini cenderung berkesan ‘kejar setoran’? Sebab itu, saya lebih berpendapat bahwa kesuksesan adalah ihwal kebenaran dan kebaikan dalam melakukan suatu proses. Logikanya mudah dicerna, siapa yang tidak benar dan tidak baik dalam berproses (awas, bukan tidak cepat!) alangkah kurang bijak disebut sukses.
Akhirnya, konsep waktu yang manakah yang hendak kita imani dan kita ajarkan kepada anak-anak didik kita di sini? Akankah tetap rigid dengan kehendak untuk selalu cepat waktu (dan tepat waktu, meskipun absurd) seraya menutup mata akan akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya?
Depok, 21 Juli 2010
Senin, 19 Juli 2010
Mitologi Sisifus dan Absurditas Seni
Oleh Farhan Adityasmara
Alumnus Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta
PARA dewa telah menghukum Sisifus untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung, dari puncak gunung, batu itu akan jatuh kebawah oleh beratnya sendiri. Tidak ada hukuman yang lebih mengerikan daripada pekerjaan yang tak berguna, dan tanpa harapan itu. Sebuah kekonyolan repetitif yang bijaksana, atau sebuah kebijaksanaan konyol yang repetitif, atau mungkin perpaduan keduanya. Mungkin tidak ada istilah yang tepat selain absurd untuk memberikan definisi yang jelas.
Absurd is not reasonable, foolish and ridicoulus.
Dari bahasa Latin absurdus. Ab-surdus yang berarti tuli, atau bodoh. Menurut kamus, absurd berarti demikian dan terjemahannya sebagai berikut:
“Absurd is having no rational or orderly relationship to human life: meaningless (an absurd universe). Lacking order or value (an absurd existence). absurdism is a philosophy based on the believe that the universe is irrational and meaningless and that the search for order brings the individual into conflict with the universe”.
Dari sini absurd dapat diterjemahkan sebagai hal yang tidak rasional dalam hubungannya dengan kehidupan manusia: tiada artinya (alam/dunia absurd). Kurang bermakna atau tidak berharga (eksistensi absurd). Absurdisme adalah sebuah filosofi berdasarkan kepercayaan bahwa alam semesta adalah tidak rasional dan tidak berarti dan bahwa pencarian makna membawa seseorang ke dalam konflik dengan alam).
Dalam esai Albert Camus tentang Sisifus, Camus memperkenalkan filsafat Absurdisme dalam pencarian makna yang sia-sia oleh manusia, kesatuan dan kejelasan dalam menghadapi dunia yang tidak dapat dipahami, yang tidak memiliki Tuhan dan kekekalan. Apakah realisasi tentang yang absurd ini harus dijawab dengan bunuh diri? Camus menjawab: "Tidak”. Yang dibutuhkan adalah pemberontakan."Ia kemudian membentangkan sejumlah pendekatan terhadap kehidupan yang absurd. Bab terakhirnya membandingkan absurditas kehidupan manusia dengan situasi yang dialami Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Esai ini menyimpulkan, "Perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Kita harus membayangkan bahwa Sisifus berbahagia." Esai filsafatnya terbit pada tahun 1942. Terdiri atas 120 halaman dan terbitan aslinya dalam bahasa Prancis dengan judul Le Mythe de Sisyphe, terjemahan bahasa Inggris oleh Justin O'Brien, terbit pada 1955.
Kisah Sisifus, sesuai esai dari Albert Camus, Le Mythe de Sysiphe merujuk dari mitologi yunani karya Homer, mendeskripsikan sifat-sifatnya yang bijaksana, selalu waspada, namun pada kisah lain ia cenderung menjadi perampok atau pembuat onar. Hubungannya tentang penculikan Egina, putri dari Aesop, yang membuat para dewa menjadi murka. Pertempuran dengan Dewa kematian. Tentang kesetiaan sang istri yang bertentangan dengan kodrat manusia untuk menguburkan jasadnya, sehingga membuat Pluto memberi ijin kepada Sisifus untuk kembali lagi ke dunia untuk menghukum sang istri, namun Sisifus memberontak pada Pluto Sang Dewa, karena kenikmatan dunia yang membuat Sisifus tidak ingin kembali ke alam suram neraka. Akhirnya Merkurius datang untuk mencabut nyawanya dan ia dihukum kembali di neraka untuk melakukan pekerjaan yang absurd. Mengangkat batu besar keatas gunung, kemudian menggelindingkannya kembali kebawah, untuk selamanya. Pekerjaan yang tidak berguna dan tanpa harapan. Namun pekerjaan yang tanpa harapan itu adalah kemenangannya atas pemberontakannya pada Dewa. Pada akhirnya kita harus membayangkan bahwa Sisifus bahagia, karena perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati manusia.
Diceritakan oleh Homer bahwa,
Sisyphus was son of the king Aeolus of Thessaly and Enarete, and the founder and first king of Ephyra (Corinth). He was the father of Glaucus by the nymph Merope, and the grandfather of Bellerophon.
Menurut Homer Sisifus adalah putra dari raja Aeolus dari Thessaly dan Enarete, dan pendiri serta raja pertama dari Ephyra (Korintus). Ayah dari Glaucus dari seorang bidadari Merope dan kakek dari Bellerophon.
Yang membuat karya Albert Camus ini menjadi kuat dan bergema adalah karena karya ini ditulis oleh seorang autodidak, (pada saat itu Camus tidak dapat mendaftarkan diri untuk ujian akhir filsafat karena menderita tuberkulosa).
A metaphor for modern lives spent working at futile jobs in factories and offices. "The workman of today works every day in his life at the same tasks, and this fate is no less absurd. But it is tragic only at the rare moments when it becomes conscious".
Sisifus adalah mitologi yang merupakan metafora dari kehidupan modern saat ini, di mana buruh-buruh pabrik dan pekerja kantoran melakukan tugas yang sama sepanjang hari selama hidupnya. Melakukan tugas yang sama dan nasibnya ini tak kalah absurd. Namun ketragisannya hanya muncul di saat mereka sadar akan nasibnya.
Hal ini juga sangat kental terasa di dalam dunia seni. Para seniman terus menerus berkarya apakah itu berupa karya seni rupa, seni pertunjukan, bahkan fotografi dan video art. Membuat suatu karya pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit, karena seniman biasanya lebih mengutamakan idealisme. Bagaikan mengangkat sebuah batu besar ke puncak gunung, namun pada saat sang seniman mempertunjukkan hasil karya kepada apreasiator, di situlah saat-saat dia melihat batu besar itu meluncur ke bawah. Di situlah letak kepuasan, terlebih apabila karya tersebut dihargai oleh orang lain baik secara materi maupun non-materi. Namun setelah selesai, dia harus berkarya lagi, dia harus mengangkat batu itu lagi ke puncak gunung.
Seniman—tradisional pada khususnya—di Indonesia, tidak bisa dipungkiri belum sepenuhnya memperoleh penghargaan secara profesional dari pekerjaan mereka. Berbeda mungkin dengan seniman-seniman yang sudah memiliki nama besar dan jam terbang tinggi. Hal ini tak terkecuali, seniman dari seni pertunjukan, seni rupa, termasuk fotografi. Berbeda halnya dengan apa yang terjadi di luar negeri, khususnya di Eropa, Amerika, dan Australia, kesenian, sangatlah dihargai. Penulis sempat berinteraksi dengan salah seorang seniman pertunjukan tari dari Australia, dia bisa menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 3.000.000,00 apabila di-kurs-kan dengan rupiah, untuk 1 jam mengajar atau memberi kursus tari, di negaranya. Sangatlah kontras dengan apa yang terjadi dengan apa yang terjadi di negara kita. Ada yang tahu gaji pengajar seni tari di sanggar-sanggar tari?
Pengalaman yang pernah saya jadikan sampel penelitian, untuk sebuah pertunjukan tari Reog Dhodog, sebuah tarian khas daeah Sonopakis, Bantul, untuk sekali pertunjukan dengan pemain dan pengiring musik tradisional sebanyak 15-20 orang, bayaran yang didapat hanya rata-rata sekitar Rp. 600.000,00 sampai Rp. 750.000,00. Berarti setiap pemain maksimal hanya mendapatkan bayaran maksimal sebesar Rp. 37.500,00. Hal yang sangat wajar terjadi, dan anda dapat memberi penilaian sendiri. Melalui observasi dan interaksi langsung dalam kegiatan-kegiatan berkesenian, penulis menyadari bahwa kepuasan dari seorang seniman memiliki nilai lebih daripada sekedar materi. Seni dan absurditas seperti tweedledum and tweedledee.
Sumber: indonesiaartnews.or.id
Alumnus Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta
PARA dewa telah menghukum Sisifus untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung, dari puncak gunung, batu itu akan jatuh kebawah oleh beratnya sendiri. Tidak ada hukuman yang lebih mengerikan daripada pekerjaan yang tak berguna, dan tanpa harapan itu. Sebuah kekonyolan repetitif yang bijaksana, atau sebuah kebijaksanaan konyol yang repetitif, atau mungkin perpaduan keduanya. Mungkin tidak ada istilah yang tepat selain absurd untuk memberikan definisi yang jelas.
Absurd is not reasonable, foolish and ridicoulus.
Dari bahasa Latin absurdus. Ab-surdus yang berarti tuli, atau bodoh. Menurut kamus, absurd berarti demikian dan terjemahannya sebagai berikut:
“Absurd is having no rational or orderly relationship to human life: meaningless (an absurd universe). Lacking order or value (an absurd existence). absurdism is a philosophy based on the believe that the universe is irrational and meaningless and that the search for order brings the individual into conflict with the universe”.
Dari sini absurd dapat diterjemahkan sebagai hal yang tidak rasional dalam hubungannya dengan kehidupan manusia: tiada artinya (alam/dunia absurd). Kurang bermakna atau tidak berharga (eksistensi absurd). Absurdisme adalah sebuah filosofi berdasarkan kepercayaan bahwa alam semesta adalah tidak rasional dan tidak berarti dan bahwa pencarian makna membawa seseorang ke dalam konflik dengan alam).
Dalam esai Albert Camus tentang Sisifus, Camus memperkenalkan filsafat Absurdisme dalam pencarian makna yang sia-sia oleh manusia, kesatuan dan kejelasan dalam menghadapi dunia yang tidak dapat dipahami, yang tidak memiliki Tuhan dan kekekalan. Apakah realisasi tentang yang absurd ini harus dijawab dengan bunuh diri? Camus menjawab: "Tidak”. Yang dibutuhkan adalah pemberontakan."Ia kemudian membentangkan sejumlah pendekatan terhadap kehidupan yang absurd. Bab terakhirnya membandingkan absurditas kehidupan manusia dengan situasi yang dialami Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Esai ini menyimpulkan, "Perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Kita harus membayangkan bahwa Sisifus berbahagia." Esai filsafatnya terbit pada tahun 1942. Terdiri atas 120 halaman dan terbitan aslinya dalam bahasa Prancis dengan judul Le Mythe de Sisyphe, terjemahan bahasa Inggris oleh Justin O'Brien, terbit pada 1955.
Kisah Sisifus, sesuai esai dari Albert Camus, Le Mythe de Sysiphe merujuk dari mitologi yunani karya Homer, mendeskripsikan sifat-sifatnya yang bijaksana, selalu waspada, namun pada kisah lain ia cenderung menjadi perampok atau pembuat onar. Hubungannya tentang penculikan Egina, putri dari Aesop, yang membuat para dewa menjadi murka. Pertempuran dengan Dewa kematian. Tentang kesetiaan sang istri yang bertentangan dengan kodrat manusia untuk menguburkan jasadnya, sehingga membuat Pluto memberi ijin kepada Sisifus untuk kembali lagi ke dunia untuk menghukum sang istri, namun Sisifus memberontak pada Pluto Sang Dewa, karena kenikmatan dunia yang membuat Sisifus tidak ingin kembali ke alam suram neraka. Akhirnya Merkurius datang untuk mencabut nyawanya dan ia dihukum kembali di neraka untuk melakukan pekerjaan yang absurd. Mengangkat batu besar keatas gunung, kemudian menggelindingkannya kembali kebawah, untuk selamanya. Pekerjaan yang tidak berguna dan tanpa harapan. Namun pekerjaan yang tanpa harapan itu adalah kemenangannya atas pemberontakannya pada Dewa. Pada akhirnya kita harus membayangkan bahwa Sisifus bahagia, karena perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati manusia.
Diceritakan oleh Homer bahwa,
Sisyphus was son of the king Aeolus of Thessaly and Enarete, and the founder and first king of Ephyra (Corinth). He was the father of Glaucus by the nymph Merope, and the grandfather of Bellerophon.
Menurut Homer Sisifus adalah putra dari raja Aeolus dari Thessaly dan Enarete, dan pendiri serta raja pertama dari Ephyra (Korintus). Ayah dari Glaucus dari seorang bidadari Merope dan kakek dari Bellerophon.
Yang membuat karya Albert Camus ini menjadi kuat dan bergema adalah karena karya ini ditulis oleh seorang autodidak, (pada saat itu Camus tidak dapat mendaftarkan diri untuk ujian akhir filsafat karena menderita tuberkulosa).
A metaphor for modern lives spent working at futile jobs in factories and offices. "The workman of today works every day in his life at the same tasks, and this fate is no less absurd. But it is tragic only at the rare moments when it becomes conscious".
Sisifus adalah mitologi yang merupakan metafora dari kehidupan modern saat ini, di mana buruh-buruh pabrik dan pekerja kantoran melakukan tugas yang sama sepanjang hari selama hidupnya. Melakukan tugas yang sama dan nasibnya ini tak kalah absurd. Namun ketragisannya hanya muncul di saat mereka sadar akan nasibnya.
Hal ini juga sangat kental terasa di dalam dunia seni. Para seniman terus menerus berkarya apakah itu berupa karya seni rupa, seni pertunjukan, bahkan fotografi dan video art. Membuat suatu karya pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit, karena seniman biasanya lebih mengutamakan idealisme. Bagaikan mengangkat sebuah batu besar ke puncak gunung, namun pada saat sang seniman mempertunjukkan hasil karya kepada apreasiator, di situlah saat-saat dia melihat batu besar itu meluncur ke bawah. Di situlah letak kepuasan, terlebih apabila karya tersebut dihargai oleh orang lain baik secara materi maupun non-materi. Namun setelah selesai, dia harus berkarya lagi, dia harus mengangkat batu itu lagi ke puncak gunung.
Seniman—tradisional pada khususnya—di Indonesia, tidak bisa dipungkiri belum sepenuhnya memperoleh penghargaan secara profesional dari pekerjaan mereka. Berbeda mungkin dengan seniman-seniman yang sudah memiliki nama besar dan jam terbang tinggi. Hal ini tak terkecuali, seniman dari seni pertunjukan, seni rupa, termasuk fotografi. Berbeda halnya dengan apa yang terjadi di luar negeri, khususnya di Eropa, Amerika, dan Australia, kesenian, sangatlah dihargai. Penulis sempat berinteraksi dengan salah seorang seniman pertunjukan tari dari Australia, dia bisa menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 3.000.000,00 apabila di-kurs-kan dengan rupiah, untuk 1 jam mengajar atau memberi kursus tari, di negaranya. Sangatlah kontras dengan apa yang terjadi dengan apa yang terjadi di negara kita. Ada yang tahu gaji pengajar seni tari di sanggar-sanggar tari?
Pengalaman yang pernah saya jadikan sampel penelitian, untuk sebuah pertunjukan tari Reog Dhodog, sebuah tarian khas daeah Sonopakis, Bantul, untuk sekali pertunjukan dengan pemain dan pengiring musik tradisional sebanyak 15-20 orang, bayaran yang didapat hanya rata-rata sekitar Rp. 600.000,00 sampai Rp. 750.000,00. Berarti setiap pemain maksimal hanya mendapatkan bayaran maksimal sebesar Rp. 37.500,00. Hal yang sangat wajar terjadi, dan anda dapat memberi penilaian sendiri. Melalui observasi dan interaksi langsung dalam kegiatan-kegiatan berkesenian, penulis menyadari bahwa kepuasan dari seorang seniman memiliki nilai lebih daripada sekedar materi. Seni dan absurditas seperti tweedledum and tweedledee.
Sumber: indonesiaartnews.or.id
Kecantikan sebagai Mantera Abadi
Oleh Heru Emka
Penyair dan peminat kajian budaya. Tinggal di Semarang.
BARU beberapa waktu berselang kita menjadi saksi betapa para gadis muda kita dilanda demam untuk menjadi selebriti. Ketenaran, nama besar, dan hidup enak sebagai orang beken disepakati sebagai buah impian mereka yang penuh damba mencebur dalam berbagai kontes yang bisa menjadikan mereka sebagai seorang bintang secara instan. Tapi itu sekadar tren, sebatas warna-warni sebuah musim, yang akan berganti pada ragam lainnya.
Tapi, hasrat untuk menjadi cantik adalah mantera abadi, yang tak pernah lekang pengaruhnya sejak awal peradaban manusia. Menarik sekali apa yang diungkapkan oleh majalah pria Salon (edisi November 2004) tentang kegairahan tanpa henti untuk tampil menjadi cantik dalam special section di majalah ini: History of Beauty. Dalam artikel panjang ini secara menarik dikisahkan mitos keindahan para dewi kecantikan dari Ratu Helena (Helen of Troy), Cleopatra hingga para selebritis belia Hollywood seperti Liv Tyler.
Ratu Helena yang dipandang sebagai penyebab Perang Troya yang berdarah itu, dianggap sebagai perempuan yang memiliki ”kecantikan berbisa”, ”le femme fatale” (si cantik yang mematikan) dengan sorot mata indah yang mengandung bius, seperti digambarkan oleh pujangga Homerus. Cleopatra menduduki peringkat kedua dengan resep istimewa mandi susu plus madu, yang masih diadopsi oleh para perempuan sekarang ini. Kemudian para dewi tahun enam puluhan yang bentuk tubuhnya seindah Venus seperti Raquel Welch, hingga citra dewi muda Hollywood yang dipandang mewakili kecantikan alami, jauh dari rekayasa fisik secara medis, yakni Liv Tyler.
Namun menurut saya, yang menarik bukan apa atau siapa yang menghiasi deret galeri para dewi kecantikan versi Salon (yang bisa saja disusun ulang oleh redaksi media lainnya) namun penjelasan bahwa kecantikan, walaupun tetap menjadi mantera memikat bagi setiap wanita di mana saja, telah bergeser maknanya, dari masa ke masa. Kecantikan yang semula dikagumi sebagai seni keindahan (art of beauty, yang barangkali mewakili tahap pemikiran mistik) bergeser sebagai ”teknologi keindahan” (science of beauty) yang mewujud lewat teknologi kecantikan artifisial seperti bedah plastik, implan sel hidup atau terapi ozon dan sebagaianya.
Dan bagai para pendamba kecantikan, ”science of beauty” bahkan menjadi mantera baru, dengan ”kuil-kuil baru” berbagai salon kecantikan yang eksklusif dan mewah, dengan peralatan modern yang menggabungkan kemampuan medis rumah sakit dengan kenyamanan pelayanan hotel berbintang lima.
Tubuh yang Termodifikasi
Tubuh menjadi obyek baru bagi seni rupa kecantikan, menjadi obyek utama sebuah modifikasi atas nama estetika. Dalam Body Modification, yang diedit oleh Mike Featherstone, (Thousand Oaks, London, 2000) menurut saya merupakan sebuah antologi paling komprehensif yang menjelaskan tentang ”politik tubuh” dan hasrat abadi untuk cantik menyebutkan: bahwa tubuh manusia akhirnya menjelma menjadi pemujaan baru dalam sudut pandang studi kebudayaan (the human body is the new fetish of cultural studies).
Dalam antologi ini, tak saja para feminis, namun juga para psikoanalis, para fenomenolog dan para antropolog, ikut mengembangkan teori yang tajam dan berbeda tentang tubuh manusia. Menjadi cantik memang lebih menyenangkan (preferable). Karena memberikan keutamaan fisik pada perempuan lebih mudah mendapatkan pasangan, pujian, atau bahkan pekerjaan. Begitu besarnya pukau mantera kecantikan sehingga membuat para wanita, dari masa ke masa, cenderung narsistis, memuja kecantikan tubuh semata. Namun di sisi lain, kecantikan sendiri telah direduksi oleh kepentingan kapitalisme. Versi dan defenisi kecantikan yang begitu beragam sesuai kultur yang ada di dunia, kemudian diperas dalam sebuah definisi yang seragam, versi media massa terkemuka atau lembaga yang merasa punya wewenang untuk menentukan wanita tercantik sedunia, seperti Miss World, misalnya. Masalahnya, haruskah ada kelompok tertentu yang berhak menentukan kriteria kecantikan dan kriteria macam apakah yang pantas digunakan untuk memberi penilaian? Dan bisakah mewakili suatu obyektivitas? Bukankah setiap periode zaman serta masing-masing kebudayaan dan era-sosialnya memiliki standar sendiri tentang konsep kecantikan dan estetika tubuh?
Industri global yang juga menjadikan kecantikan dan keindahan tubuh sebagai isu panas juga menunjukkan kecenderungan untuk bergerak secara homogen. Berbagai industri kosmetik modern seperti L’Oreal, Estte Lauder, Lancome, dan sebagainya, mendirikan berbagai lembaga riset di seluruh dunia bahkan dalam kepentingan untuk menyelaraskan produk bisnis mereka dengan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat unik, dari berbagai latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Belenggu, Candu
Tak heran bila tokoh feminis postmodern seperti Julia Kristeva menganggap bahwa kecantikan sebagai rahmat sekaligus kutukan.
“Ada semacam belenggu kecanduan dalam konsep kecantikan, sehingga wanita tergoda untuk merantaikan diri dalam citra cantik, dan mengabaikan isu strategis lainya yang tak kalah penting dalam kehidupannya. Mereka menjadi boneka yang terantai dalam etalase kekaguman para pria,” ujarnya dalam Desire in Language (Columbia University Press, 1982).
Kita memahami kegundahan feminis yang satu ini. Gairah para wanita untuk terus melakukan perombakan atas tubuhnya sendiri melalui berbagai tindakan bedah plastik, body piercing, berbagai program fitness, rekayasa prosthetik, dan berbagai upaya lain dari proses neural implants, hingga metode pengobatan mutakhir nanoteknologi, yang atas nama fashion dalam tahun-tahun terakhir ini, telah membuat tubuh menjadi tempat yang paling aktual untuk melakukan eksperimen.
“Bila kecantikan menjadi mantera abadi, dengan mitos-mitos yang hampa dan tak relevan bagi aktualisasi diri, maka alangkah menderitanya tubuh wanita masa kini,” begitu keluh Kathy Davis, dalam My Body is My Art: Cosmetic Surgery as Feminist Utopia, The European Journal of Women's Studies No 4: pp 23-37 (1997). Dan korban mitos ini masih saja terentang dalam jarak yang begitu panjang. Dari kawasan sibuk Manhattan hingga di sebuah salon kecantikan di Depok. Muncul lagi berita tentang si anu yang menjadi korban jiwa karena efek merusak sebuah operasi bedah plastik. Si anu ini pun bisa saja tampil dalam deretan sosial yang tak terhingga. Dari hostes sebuah klub malam murahan, hingga presiden direktur sebuah perusahaan elektronik di Maryland, Amerika Serikat.
Ah…. kecantikan kadang terasa sungguh absurd… ***
Penyair dan peminat kajian budaya. Tinggal di Semarang.
BARU beberapa waktu berselang kita menjadi saksi betapa para gadis muda kita dilanda demam untuk menjadi selebriti. Ketenaran, nama besar, dan hidup enak sebagai orang beken disepakati sebagai buah impian mereka yang penuh damba mencebur dalam berbagai kontes yang bisa menjadikan mereka sebagai seorang bintang secara instan. Tapi itu sekadar tren, sebatas warna-warni sebuah musim, yang akan berganti pada ragam lainnya.
Tapi, hasrat untuk menjadi cantik adalah mantera abadi, yang tak pernah lekang pengaruhnya sejak awal peradaban manusia. Menarik sekali apa yang diungkapkan oleh majalah pria Salon (edisi November 2004) tentang kegairahan tanpa henti untuk tampil menjadi cantik dalam special section di majalah ini: History of Beauty. Dalam artikel panjang ini secara menarik dikisahkan mitos keindahan para dewi kecantikan dari Ratu Helena (Helen of Troy), Cleopatra hingga para selebritis belia Hollywood seperti Liv Tyler.
Ratu Helena yang dipandang sebagai penyebab Perang Troya yang berdarah itu, dianggap sebagai perempuan yang memiliki ”kecantikan berbisa”, ”le femme fatale” (si cantik yang mematikan) dengan sorot mata indah yang mengandung bius, seperti digambarkan oleh pujangga Homerus. Cleopatra menduduki peringkat kedua dengan resep istimewa mandi susu plus madu, yang masih diadopsi oleh para perempuan sekarang ini. Kemudian para dewi tahun enam puluhan yang bentuk tubuhnya seindah Venus seperti Raquel Welch, hingga citra dewi muda Hollywood yang dipandang mewakili kecantikan alami, jauh dari rekayasa fisik secara medis, yakni Liv Tyler.
Namun menurut saya, yang menarik bukan apa atau siapa yang menghiasi deret galeri para dewi kecantikan versi Salon (yang bisa saja disusun ulang oleh redaksi media lainnya) namun penjelasan bahwa kecantikan, walaupun tetap menjadi mantera memikat bagi setiap wanita di mana saja, telah bergeser maknanya, dari masa ke masa. Kecantikan yang semula dikagumi sebagai seni keindahan (art of beauty, yang barangkali mewakili tahap pemikiran mistik) bergeser sebagai ”teknologi keindahan” (science of beauty) yang mewujud lewat teknologi kecantikan artifisial seperti bedah plastik, implan sel hidup atau terapi ozon dan sebagaianya.
Dan bagai para pendamba kecantikan, ”science of beauty” bahkan menjadi mantera baru, dengan ”kuil-kuil baru” berbagai salon kecantikan yang eksklusif dan mewah, dengan peralatan modern yang menggabungkan kemampuan medis rumah sakit dengan kenyamanan pelayanan hotel berbintang lima.
Tubuh yang Termodifikasi
Tubuh menjadi obyek baru bagi seni rupa kecantikan, menjadi obyek utama sebuah modifikasi atas nama estetika. Dalam Body Modification, yang diedit oleh Mike Featherstone, (Thousand Oaks, London, 2000) menurut saya merupakan sebuah antologi paling komprehensif yang menjelaskan tentang ”politik tubuh” dan hasrat abadi untuk cantik menyebutkan: bahwa tubuh manusia akhirnya menjelma menjadi pemujaan baru dalam sudut pandang studi kebudayaan (the human body is the new fetish of cultural studies).
Dalam antologi ini, tak saja para feminis, namun juga para psikoanalis, para fenomenolog dan para antropolog, ikut mengembangkan teori yang tajam dan berbeda tentang tubuh manusia. Menjadi cantik memang lebih menyenangkan (preferable). Karena memberikan keutamaan fisik pada perempuan lebih mudah mendapatkan pasangan, pujian, atau bahkan pekerjaan. Begitu besarnya pukau mantera kecantikan sehingga membuat para wanita, dari masa ke masa, cenderung narsistis, memuja kecantikan tubuh semata. Namun di sisi lain, kecantikan sendiri telah direduksi oleh kepentingan kapitalisme. Versi dan defenisi kecantikan yang begitu beragam sesuai kultur yang ada di dunia, kemudian diperas dalam sebuah definisi yang seragam, versi media massa terkemuka atau lembaga yang merasa punya wewenang untuk menentukan wanita tercantik sedunia, seperti Miss World, misalnya. Masalahnya, haruskah ada kelompok tertentu yang berhak menentukan kriteria kecantikan dan kriteria macam apakah yang pantas digunakan untuk memberi penilaian? Dan bisakah mewakili suatu obyektivitas? Bukankah setiap periode zaman serta masing-masing kebudayaan dan era-sosialnya memiliki standar sendiri tentang konsep kecantikan dan estetika tubuh?
Industri global yang juga menjadikan kecantikan dan keindahan tubuh sebagai isu panas juga menunjukkan kecenderungan untuk bergerak secara homogen. Berbagai industri kosmetik modern seperti L’Oreal, Estte Lauder, Lancome, dan sebagainya, mendirikan berbagai lembaga riset di seluruh dunia bahkan dalam kepentingan untuk menyelaraskan produk bisnis mereka dengan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat unik, dari berbagai latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Belenggu, Candu
Tak heran bila tokoh feminis postmodern seperti Julia Kristeva menganggap bahwa kecantikan sebagai rahmat sekaligus kutukan.
“Ada semacam belenggu kecanduan dalam konsep kecantikan, sehingga wanita tergoda untuk merantaikan diri dalam citra cantik, dan mengabaikan isu strategis lainya yang tak kalah penting dalam kehidupannya. Mereka menjadi boneka yang terantai dalam etalase kekaguman para pria,” ujarnya dalam Desire in Language (Columbia University Press, 1982).
Kita memahami kegundahan feminis yang satu ini. Gairah para wanita untuk terus melakukan perombakan atas tubuhnya sendiri melalui berbagai tindakan bedah plastik, body piercing, berbagai program fitness, rekayasa prosthetik, dan berbagai upaya lain dari proses neural implants, hingga metode pengobatan mutakhir nanoteknologi, yang atas nama fashion dalam tahun-tahun terakhir ini, telah membuat tubuh menjadi tempat yang paling aktual untuk melakukan eksperimen.
“Bila kecantikan menjadi mantera abadi, dengan mitos-mitos yang hampa dan tak relevan bagi aktualisasi diri, maka alangkah menderitanya tubuh wanita masa kini,” begitu keluh Kathy Davis, dalam My Body is My Art: Cosmetic Surgery as Feminist Utopia, The European Journal of Women's Studies No 4: pp 23-37 (1997). Dan korban mitos ini masih saja terentang dalam jarak yang begitu panjang. Dari kawasan sibuk Manhattan hingga di sebuah salon kecantikan di Depok. Muncul lagi berita tentang si anu yang menjadi korban jiwa karena efek merusak sebuah operasi bedah plastik. Si anu ini pun bisa saja tampil dalam deretan sosial yang tak terhingga. Dari hostes sebuah klub malam murahan, hingga presiden direktur sebuah perusahaan elektronik di Maryland, Amerika Serikat.
Ah…. kecantikan kadang terasa sungguh absurd… ***
Senin, 10 Mei 2010
Sejarah Panjang Pelarangan Buku di Indonesia
Oleh: Irwan Nugroho
Wartawan Detik.com
Tahukah anda, tahun 1970-an Indonesia pernah mengalami paceklik buku (book starvation)? Tepatnya di tahun 1973, UNESCO mencatat tidak ada satupun judul buku yang terbit dan dijual di pasaran.
Usut punya usut, paceklik itu adalah imbas dari pencabutan subsidi kertas oleh pemerintah sejak tahun 1965. Penerbitan buku mandek dan baru menggeliat kembali sejak pemerintah Orde Baru membuat proyek buku inpres. Tidak hanya jumlah buku yang melonjak, ratusan penerbit pun muncul.
Itulah secuil sejarah pelarangan buku di tanah air seperti digambarkan dalam Pameran Pelarangan Buku dari Zaman ke Zaman. Pameran tersebut digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, 14-17 Maret 2010.
Acara ini adalah hasil kerjasama antara Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dan Grafisosial Indonesia. Selain pameran, digelar pula diskusi secara berseri tentang pelarangan buku.
Perjalanan panjang pelarangan buku di Indonesia diuraikan secara apik dalam tiga buah infografis. Untuk mendramatisir suasana, dibuatlah replika penjara dengan jeruji berwarna hitam. Di dalamnya, terdapat ratusan judul buku, berserta sejumlah cover-nya, yang dilarang sejak tahun 1959.
Meski buku atau brosur telah banyak dilarang pada masa kolonial, namun mulai tahun itulah pemerintah RI melakukan intervensi terhadap barang cetakan. Pada 1959 itu, diterbitkan peraturan No 23/perpu/1959 yang memberi wewenang militer melarang buku dan menutup percetakan.
Satu orang pengarang menjadi korban pelarangan buku saat itu, yakni sastrawan Pramudya Ananta Toer. Ia mengarang buku berjudul "Hoakiau" yang disebut sejarahwan Asvi Warman Adam membela etnis Tionghoa atas pembatasan bisnis mereka di tingkat kecamatan ke bawah. Almarhum Pram sendiri berkomentar mengenai bukunya yang belum sempat turun dari percetakan itu. "Buku itu dilarang karena saya dituduh menjual negara ke RRC," kata pengarang trilogi Bumi Manusia ini.
Di tahun 1963, Presiden Soekarno menandatangani Perpres No 4 tentang pengamanan barang cetakan. Sejak adanya peraturan tersebut, wewenang untuk membredel buku yang 'berbahaya' berpindah dari tangan militer kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Hingga kini pun, Kejagung masih menggunakan UU itu untuk melarang buku.
Dengan perpres itu, Soekarno melarang pendukung Manifesto Kebudayaan, yang berakibat 20-an sastrawan kesulitan untuk mempublikasikan karya-karya mereka. Namun, tindakan ini berbalas tiga tahun kemudian ketika penggantinya, Soeharto, mengumumkan pelarangan Lekra serta membreidel 70-an judul buku karya para senimannya. 87 Nama penulis yang berhaluan kiri juga dilarang untuk menulis di media masa hingga sekarang.
Pelarangan buku makin tidak terbendung ketika Kejagung membentuk lembaga bernama clearing house, yang berfungsi untuk mengawasi isi cetakan. Lembaga ini beranggotakan Jamintel, BIN, Departemen Penerangan, dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depdikbud pada saat itu juga bergerak sendiri dengan melarang buku-buku seperti milik Pram, Soepardo, dan Rivai Apin sebagai bahan ajar.
"Di masa itu, bukan hanya pengarangnya saja, tapi penjual buku yang dilarang juga dipenjara. Di Yogyakarta, 3 orang mahasiswa dikenai tuduhan subversif dengan ancaman hukuman 5 tahun karena menjual buku-buku karya Pram," kata Asvi dalam sesi diskusi, Selasa (16/3), kemarin.
Munculnya gerakan reformasi memberikan euforia kebebasan dalam berekspresi dan menyatakan pendapat. Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mengatakan, ada kekosongan waktu 7 tahun di mana pemerintah RI tidak melakukan tindakan apapun terhadap jenis-jenis buku yang beredar. Namun, pada tahun 2007, Kejagung kembali melakukan pelarang buku yang, menurutnya, paling tidak cerdas sepanjang sejarah.
Kejagung memberangus buku-buku pelajaran SMP dan SMA karena tidak menyertakan peristiwa Madiun 1948 serta tidak menyebut PKI dalam peristiwa G30S. Namun, buku-buku pelajaran yang memuat kurikulum sejarah periode sebelumnya juga ikut dilarang.
Peristiwa Madiun dan G30S termasuk dalam buku pelajaran sejarah jilid III. Namun, Kejagung juga melarang peredaran buku jilid I dan II yang berisi pelajaran tentang kerajaan-kerajaan di tanah air hingga masa kemerdekaan RI.
Meski mendapat tentangan dari berbagai pihak, namun Kejagung tidak bergeming. Di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Hendarman Supandji, tahun 2009, Kejagung melarang peredaran lima buku. Buku-buku tersebut adalah: Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua
Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.(irw/iy)
Sumber: Detik.com, Rabu, 17/03/2010 12:32 WIB
Wartawan Detik.com
Tahukah anda, tahun 1970-an Indonesia pernah mengalami paceklik buku (book starvation)? Tepatnya di tahun 1973, UNESCO mencatat tidak ada satupun judul buku yang terbit dan dijual di pasaran.
Usut punya usut, paceklik itu adalah imbas dari pencabutan subsidi kertas oleh pemerintah sejak tahun 1965. Penerbitan buku mandek dan baru menggeliat kembali sejak pemerintah Orde Baru membuat proyek buku inpres. Tidak hanya jumlah buku yang melonjak, ratusan penerbit pun muncul.
Itulah secuil sejarah pelarangan buku di tanah air seperti digambarkan dalam Pameran Pelarangan Buku dari Zaman ke Zaman. Pameran tersebut digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, 14-17 Maret 2010.
Acara ini adalah hasil kerjasama antara Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dan Grafisosial Indonesia. Selain pameran, digelar pula diskusi secara berseri tentang pelarangan buku.
Perjalanan panjang pelarangan buku di Indonesia diuraikan secara apik dalam tiga buah infografis. Untuk mendramatisir suasana, dibuatlah replika penjara dengan jeruji berwarna hitam. Di dalamnya, terdapat ratusan judul buku, berserta sejumlah cover-nya, yang dilarang sejak tahun 1959.
Meski buku atau brosur telah banyak dilarang pada masa kolonial, namun mulai tahun itulah pemerintah RI melakukan intervensi terhadap barang cetakan. Pada 1959 itu, diterbitkan peraturan No 23/perpu/1959 yang memberi wewenang militer melarang buku dan menutup percetakan.
Satu orang pengarang menjadi korban pelarangan buku saat itu, yakni sastrawan Pramudya Ananta Toer. Ia mengarang buku berjudul "Hoakiau" yang disebut sejarahwan Asvi Warman Adam membela etnis Tionghoa atas pembatasan bisnis mereka di tingkat kecamatan ke bawah. Almarhum Pram sendiri berkomentar mengenai bukunya yang belum sempat turun dari percetakan itu. "Buku itu dilarang karena saya dituduh menjual negara ke RRC," kata pengarang trilogi Bumi Manusia ini.
Di tahun 1963, Presiden Soekarno menandatangani Perpres No 4 tentang pengamanan barang cetakan. Sejak adanya peraturan tersebut, wewenang untuk membredel buku yang 'berbahaya' berpindah dari tangan militer kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Hingga kini pun, Kejagung masih menggunakan UU itu untuk melarang buku.
Dengan perpres itu, Soekarno melarang pendukung Manifesto Kebudayaan, yang berakibat 20-an sastrawan kesulitan untuk mempublikasikan karya-karya mereka. Namun, tindakan ini berbalas tiga tahun kemudian ketika penggantinya, Soeharto, mengumumkan pelarangan Lekra serta membreidel 70-an judul buku karya para senimannya. 87 Nama penulis yang berhaluan kiri juga dilarang untuk menulis di media masa hingga sekarang.
Pelarangan buku makin tidak terbendung ketika Kejagung membentuk lembaga bernama clearing house, yang berfungsi untuk mengawasi isi cetakan. Lembaga ini beranggotakan Jamintel, BIN, Departemen Penerangan, dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depdikbud pada saat itu juga bergerak sendiri dengan melarang buku-buku seperti milik Pram, Soepardo, dan Rivai Apin sebagai bahan ajar.
"Di masa itu, bukan hanya pengarangnya saja, tapi penjual buku yang dilarang juga dipenjara. Di Yogyakarta, 3 orang mahasiswa dikenai tuduhan subversif dengan ancaman hukuman 5 tahun karena menjual buku-buku karya Pram," kata Asvi dalam sesi diskusi, Selasa (16/3), kemarin.
Munculnya gerakan reformasi memberikan euforia kebebasan dalam berekspresi dan menyatakan pendapat. Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mengatakan, ada kekosongan waktu 7 tahun di mana pemerintah RI tidak melakukan tindakan apapun terhadap jenis-jenis buku yang beredar. Namun, pada tahun 2007, Kejagung kembali melakukan pelarang buku yang, menurutnya, paling tidak cerdas sepanjang sejarah.
Kejagung memberangus buku-buku pelajaran SMP dan SMA karena tidak menyertakan peristiwa Madiun 1948 serta tidak menyebut PKI dalam peristiwa G30S. Namun, buku-buku pelajaran yang memuat kurikulum sejarah periode sebelumnya juga ikut dilarang.
Peristiwa Madiun dan G30S termasuk dalam buku pelajaran sejarah jilid III. Namun, Kejagung juga melarang peredaran buku jilid I dan II yang berisi pelajaran tentang kerajaan-kerajaan di tanah air hingga masa kemerdekaan RI.
Meski mendapat tentangan dari berbagai pihak, namun Kejagung tidak bergeming. Di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Hendarman Supandji, tahun 2009, Kejagung melarang peredaran lima buku. Buku-buku tersebut adalah: Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua
Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.(irw/iy)
Sumber: Detik.com, Rabu, 17/03/2010 12:32 WIB
Minggu, 09 Mei 2010
Buta Matematika dan Ujian Nasional
Oleh: Ahmad Rizali
Pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI)
Dalam era pemerintah sekarang, bangsa Indonesia selalu dibuat gembira oleh bertaburnya prestasi medali emas dan perak murid SMP dan SMA dalam berbagai olimpiade sains dan matematika tingkat dunia, baik dalam kategori teori maupun praktek. Saking bangganya, foto para pemenang dipajang di lobi kantor Kementerian Pendidikan Nasional, dan histeria itu mendorong sekolah di seantero Nusantara berlomba melatih murid-muridnya agar lulus seleksi nasional olimpiade.
Namun benarkah prestasi segelintir murid yang berhasil membentuk persepsi publik bahwa ternyata murid sekolah di Indonesia itu cerdas telah mewakili tingkat penguasaan matematika murid kita? Ternyata tidak. Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2007 melaporkan bahwa 48 persen murid setingkat SMP di Indonesia buta matematika. Jika buta huruf berarti tidak mengerti huruf latin dan cara memakainya, buta matematika adalah tidak paham tentang angka atau bilangan dan desimal, tidak paham operasi kali-bagi-tambah-kurang atau ping-poro-lan-sudo (bahasa Jawa), dan tidak paham membaca grafik sederhana.
Dari 52 persen murid yang melek matematika, lebih dari setengahnya (55,7 persen) hanya melek tingkat dasar, yang hanya paham tentang bilangan dan desimal, operasi ping-poro-lan-sudo, dan grafik sederhana. Bandingkan dengan di Malaysia, yang sudah 82 persen murid melek matematika dan hanya 15 persen darinya tertinggal di tingkat dasar, yang belum mampu menggunakan pemahaman tersebut dalam keseharian. Angka itu jauh di bawah rerata internasional, yang hanya 25 persen murid buta matematika dengan 61 persen dari mereka melek dan mampu menguasai tingkat dasar.
Tidak usahlah kita bandingkan dengan kemampuan murid di Republik Korea Selatan, yang hanya 2 persen buta matematika. Dan ketika dibandingkan dengan Bosnia Herzegovina, sebuah negeri yang pernah dilanda perang etnik, kondisi Indonesia pun terlihat lebih buruk. Di sana hanya 23 persen murid buta matematika, dan 31 persen dari yang melek berada di tingkat dasar.
TIMSS 2007 juga mencatat bahwa murid Indonesia yang mampu menggunakan pemahaman matematikanya untuk menyelesaikan persoalan yang perlu beberapa langkah rumit (high order thinking) hanya kurang dari 1 persen, di bawah rerata internasional yang sekitar 2 persen. Bandingkan dengan murid Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura yang di atas 40 persen.
Ada yang salah
Tingkat buta matematika di Indonesia pun ternyata meningkat. Pada 1999 masih bercokol di angka 50 persen, pada 2003 turun menjadi 45 persen, tapi pada 2007 meningkat lagi menjadi 48 persen. Sementara itu, mereka yang memiliki kemampuan tertinggi melorot dari 2 persen pada 1999 menjadi hanya kurang dari 1 persen pada 2007.
Sungguh naif jika otoritas pengambil kebijakan pendidikan Indonesia tidak mengetahui gambaran sangat suram tentang kegagalan pendidikan matematika ini, dan sungguh mencengangkan, pemerintah tidak pernah memaparkan masalah serius ini secara terbuka kepada publik pembayar pajak, namun langsung memaksa sekolah untuk menjalankan ujian nasional (UN) mulai jenjang SD hingga SLTA dan menaikkan batas nilai kelulusan setiap tahun dengan dalih menaikkan mutu pendidikan.
Gembar-gembor prestasi olimpiade matematika dan sains boleh jadi merupakan upaya menutupi kegagalan pendidikan matematika yang meluas tersebut. Secara alamiah, murid sangat pandai akan eksis di mana pun, termasuk di Indonesia yang tingkat melek matematikanya rendah. Meskipun jumlahnya sangat sedikit, jika mereka dilatih intensif tentu akan berhasil. Sementara itu, murid yang sangat bodoh juga berjumlah sangat sedikit, sehingga jika ada kebutaan matematika sebanyak hampir setengah dari populasi, tentu dapat disimpulkan bahwa ada yang salah dalam pendidikan di negeri ini.
Meskipun pemerintah yakin bahwa UN dapat meningkatkan mutu pendidikan, artinya UN matematika dapat meningkatkan mutu penguasaan matematika murid. Sehingga, saat persentase kelulusan mata pelajaran matematika di UN SMP naik, bahkan ketika batas kelulusannya dinaikkan, belum tentu secara otomatis tingkat melek matematika kita membaik pula. Sebab, UN jenjang SMP kita memiliki model soal yang berbeda dengan soal TIMSS-2007, sehingga hasil UN Indonesia tidak bisa dibandingkan setara dengan hasil uji TIMSS-2007.
Mutu guru
Matematika dianggap sebagai bahasa universal untuk memahami ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagai alat utama untuk berpikir dan bernalar. Sehingga, di negara mana pun, pelajaran matematika di tingkat pendidikan dasar memperoleh porsi paling besar. Di Indonesia, pelajaran matematika SMP diberi porsi 4 jam dari 32 total jam pelajaran per pekan, bahkan di SD diberikan selama 5 jam pelajaran per pekan (lebih dari 15 persen dari mata pelajaran yang diberikan). Dengan porsi sebanyak itu, sudah seharusnya sekolah tidak gagal mendidik muridnya melek matematika.
Kegagalan tersebut mungkin akibat lemahnya penguasaan guru atas bahan ajar matematika dan cara penyampaian yang kurang menarik di kelas. Akibatnya, pelajaran matematika menjadi momok dan sangat membosankan, bahkan untuk murid pintar sekalipun. Hal itu terbukti, lebih dari 50 persen guru kelas di SD dan sekitar 50 persen guru matematika SMP tidak layak mengajar, meskipun tingkat pendidikan formal mereka tidak ekstrem lebih rendah dibanding di Malaysia (TIMSS-2007).
Untuk menaikkan angka melek matematika, pemerintah, selain harus mati matian memperbaiki mutu guru ketika mahasiswa (pre-service) dan saat mengajar (in-service), harus pula membenahi sarana dan prasarana pendidikan dasar hingga memenuhi standar pelayanan minimum (SPM) di seluruh pelosok Nusantara. Soal UN pun harus dibuat selaras dengan soal TIMSS yang lebih mengutamakan penguasaan tuntas konsep dasar matematika, karena soal UN saat ini hanya mendorong penyerapan tuntas materi yang terlalu banyak dan memicu murid untuk menghafal.
Jika upaya perbaikan yang konsisten dan berjangka panjang itu dikerjakan oleh pemerintahan yang berperilaku seperti pecundang, jangan berharap mutu pendidikan akan membaik, dan alangkah buruknya nasib dan masa depan anak negeri yang bercita-cita mencerdaskan bangsa ini.
Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 8/5/2010
Pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI)
Dalam era pemerintah sekarang, bangsa Indonesia selalu dibuat gembira oleh bertaburnya prestasi medali emas dan perak murid SMP dan SMA dalam berbagai olimpiade sains dan matematika tingkat dunia, baik dalam kategori teori maupun praktek. Saking bangganya, foto para pemenang dipajang di lobi kantor Kementerian Pendidikan Nasional, dan histeria itu mendorong sekolah di seantero Nusantara berlomba melatih murid-muridnya agar lulus seleksi nasional olimpiade.
Namun benarkah prestasi segelintir murid yang berhasil membentuk persepsi publik bahwa ternyata murid sekolah di Indonesia itu cerdas telah mewakili tingkat penguasaan matematika murid kita? Ternyata tidak. Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2007 melaporkan bahwa 48 persen murid setingkat SMP di Indonesia buta matematika. Jika buta huruf berarti tidak mengerti huruf latin dan cara memakainya, buta matematika adalah tidak paham tentang angka atau bilangan dan desimal, tidak paham operasi kali-bagi-tambah-kurang atau ping-poro-lan-sudo (bahasa Jawa), dan tidak paham membaca grafik sederhana.
Dari 52 persen murid yang melek matematika, lebih dari setengahnya (55,7 persen) hanya melek tingkat dasar, yang hanya paham tentang bilangan dan desimal, operasi ping-poro-lan-sudo, dan grafik sederhana. Bandingkan dengan di Malaysia, yang sudah 82 persen murid melek matematika dan hanya 15 persen darinya tertinggal di tingkat dasar, yang belum mampu menggunakan pemahaman tersebut dalam keseharian. Angka itu jauh di bawah rerata internasional, yang hanya 25 persen murid buta matematika dengan 61 persen dari mereka melek dan mampu menguasai tingkat dasar.
Tidak usahlah kita bandingkan dengan kemampuan murid di Republik Korea Selatan, yang hanya 2 persen buta matematika. Dan ketika dibandingkan dengan Bosnia Herzegovina, sebuah negeri yang pernah dilanda perang etnik, kondisi Indonesia pun terlihat lebih buruk. Di sana hanya 23 persen murid buta matematika, dan 31 persen dari yang melek berada di tingkat dasar.
TIMSS 2007 juga mencatat bahwa murid Indonesia yang mampu menggunakan pemahaman matematikanya untuk menyelesaikan persoalan yang perlu beberapa langkah rumit (high order thinking) hanya kurang dari 1 persen, di bawah rerata internasional yang sekitar 2 persen. Bandingkan dengan murid Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura yang di atas 40 persen.
Ada yang salah
Tingkat buta matematika di Indonesia pun ternyata meningkat. Pada 1999 masih bercokol di angka 50 persen, pada 2003 turun menjadi 45 persen, tapi pada 2007 meningkat lagi menjadi 48 persen. Sementara itu, mereka yang memiliki kemampuan tertinggi melorot dari 2 persen pada 1999 menjadi hanya kurang dari 1 persen pada 2007.
Sungguh naif jika otoritas pengambil kebijakan pendidikan Indonesia tidak mengetahui gambaran sangat suram tentang kegagalan pendidikan matematika ini, dan sungguh mencengangkan, pemerintah tidak pernah memaparkan masalah serius ini secara terbuka kepada publik pembayar pajak, namun langsung memaksa sekolah untuk menjalankan ujian nasional (UN) mulai jenjang SD hingga SLTA dan menaikkan batas nilai kelulusan setiap tahun dengan dalih menaikkan mutu pendidikan.
Gembar-gembor prestasi olimpiade matematika dan sains boleh jadi merupakan upaya menutupi kegagalan pendidikan matematika yang meluas tersebut. Secara alamiah, murid sangat pandai akan eksis di mana pun, termasuk di Indonesia yang tingkat melek matematikanya rendah. Meskipun jumlahnya sangat sedikit, jika mereka dilatih intensif tentu akan berhasil. Sementara itu, murid yang sangat bodoh juga berjumlah sangat sedikit, sehingga jika ada kebutaan matematika sebanyak hampir setengah dari populasi, tentu dapat disimpulkan bahwa ada yang salah dalam pendidikan di negeri ini.
Meskipun pemerintah yakin bahwa UN dapat meningkatkan mutu pendidikan, artinya UN matematika dapat meningkatkan mutu penguasaan matematika murid. Sehingga, saat persentase kelulusan mata pelajaran matematika di UN SMP naik, bahkan ketika batas kelulusannya dinaikkan, belum tentu secara otomatis tingkat melek matematika kita membaik pula. Sebab, UN jenjang SMP kita memiliki model soal yang berbeda dengan soal TIMSS-2007, sehingga hasil UN Indonesia tidak bisa dibandingkan setara dengan hasil uji TIMSS-2007.
Mutu guru
Matematika dianggap sebagai bahasa universal untuk memahami ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagai alat utama untuk berpikir dan bernalar. Sehingga, di negara mana pun, pelajaran matematika di tingkat pendidikan dasar memperoleh porsi paling besar. Di Indonesia, pelajaran matematika SMP diberi porsi 4 jam dari 32 total jam pelajaran per pekan, bahkan di SD diberikan selama 5 jam pelajaran per pekan (lebih dari 15 persen dari mata pelajaran yang diberikan). Dengan porsi sebanyak itu, sudah seharusnya sekolah tidak gagal mendidik muridnya melek matematika.
Kegagalan tersebut mungkin akibat lemahnya penguasaan guru atas bahan ajar matematika dan cara penyampaian yang kurang menarik di kelas. Akibatnya, pelajaran matematika menjadi momok dan sangat membosankan, bahkan untuk murid pintar sekalipun. Hal itu terbukti, lebih dari 50 persen guru kelas di SD dan sekitar 50 persen guru matematika SMP tidak layak mengajar, meskipun tingkat pendidikan formal mereka tidak ekstrem lebih rendah dibanding di Malaysia (TIMSS-2007).
Untuk menaikkan angka melek matematika, pemerintah, selain harus mati matian memperbaiki mutu guru ketika mahasiswa (pre-service) dan saat mengajar (in-service), harus pula membenahi sarana dan prasarana pendidikan dasar hingga memenuhi standar pelayanan minimum (SPM) di seluruh pelosok Nusantara. Soal UN pun harus dibuat selaras dengan soal TIMSS yang lebih mengutamakan penguasaan tuntas konsep dasar matematika, karena soal UN saat ini hanya mendorong penyerapan tuntas materi yang terlalu banyak dan memicu murid untuk menghafal.
Jika upaya perbaikan yang konsisten dan berjangka panjang itu dikerjakan oleh pemerintahan yang berperilaku seperti pecundang, jangan berharap mutu pendidikan akan membaik, dan alangkah buruknya nasib dan masa depan anak negeri yang bercita-cita mencerdaskan bangsa ini.
Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 8/5/2010
Senin, 03 Mei 2010
Menuntut Ekspatriat Berbahasa Indonesia
Oleh: Maryanto
Pemerhati politik bahasa
Harian The Jakarta Post (15 Agustus 2003) pernah menurunkan berita “Learn to speak bahasa Indonesia or pack your bags!”. Berita ini berisi tuntutan bagi mereka yang disebut ekspatriat agar mampu berbahasa Indonesia demi pekerjaan di Indonesia. Pada Hari Buruh 1 Mei ini, tuntutan tersebut perlu disuarakan kembali guna mengatasi kesenjangan sosial antara pekerja asing dan pekerja domestik.
Kesenjangan sudah terlalu lebar. Seiring dengan perkembangan pasar bebas jasa tenaga kerja, jika tidak segera diatasi, kesenjangan ini bisa membahayakan kelangsungan hidup berbangsa Indonesia. Sudah lama terdengar anak bangsa Indonesia digaji jauh lebih rendah daripada anak bangsa lain yang sama-sama mengais rezeki di bumi Indonesia. Seorang buruh migran bisa mengantongi gaji sepuluh kali lipat upah buruh domestik. Padahal posisi mereka sama.
Janganlah lamban negara ini bertindak. Indonesia tidak boleh lama-lama membiarkan warganya di bumi sendiri saja menjadi bangsa inferior. Superioritas ekspatriat boleh jadi imbas dari kehausan Indonesia akan kedatangan investor asing, tetapi investor dan pekerja asing mestinya datang terpisah. Pekerja asing haruslah tunduk kepada aturan ketenagakerjaan yang berlaku.
Perundang-undangan
Sudah tersedia perundang-undangan yang mengatur ihwal tenaga kerja asing di Indonesia. Jacob Nuwa Wea, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di era Presiden Megawati, pernah menetapkan tata cara perekrutan pekerja asing dengan surat keputusannya, Nomor: KEP-20/MEN/III/2004, tanggal 1 Maret 2004. Pada Bab II, Pasal 2 huruf (c) dalam keputusan ini, tenaga kerja asing yang diberi pekerjaan di Indonesia dipersyaratkan mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Belum terdengar keputusan Nuwa Wea dicabut. Namun, aturan yang sangat bagus itu masih terlihat sepi dalam implementasi. Para perekrut tenaga kerja asing belum ramai mempersoalkan dan melaksanakannya. Sebagai pemegang otoritas pengelola kebahasaan Indonesia, Pusat Bahasa (Kementerian Pendidikan Nasional) juga belum bergegas ikut mengawal pelaksanaan aturan perundang-undangan tersebut.
Sangat menarik--meski agak terlambat--gagasan sekelompok orang Pusat Bahasa untuk menggelar seminar dan lokakarya (semiloka) nasional di Jakarta pada 20-22 Juli 2010 dengan mengangkat isu sertifikasi pendidikan dan pekerjaan dengan ujian bahasa sendiri. Isu ini, menurut informasi dari Pusat Bahasa, diangkat untuk membahas peluang dan tantangan bahasa Indonesia pada era pasar bebas.
Peluang memang terbuka sangat luas bagi bahasa Indonesia untuk berperan dalam sertifikasi kompetensi tenaga kerja. Komponen kompetensi kerja--task skill; task management skill; contingency management skill; job/role environment skill; transfer skill--semuanya bersangkut-paut dengan komunikasi berbahasa. Bahkan, menurut Regional Model of Competency Standard (RMCS), kemampuan mengomunikasikan ide dan informasi merupakan sebuah kompetensi kunci tersendiri.
Bagaimana merancang komunikasi berbahasa di dunia kerja Indonesia? Kalau untuk negara Australia, sebagai contoh, jangan coba-coba seorang pekerja paramedis pergi bekerja di negeri itu tanpa memegang sertifikat hasil ujian IELTS (sejenis TOEFL) sebagai bukti kompetensi berbahasa Inggris (skor minimal: 7,0). Indonesia diharapkan juga ketat memberlakukan aturan seperti itu: tidak hanya bermanfaat melindungi buruh domestik, tetapi juga jauh lebih penting, menjaring pekerja yang kompeten.
Indonesia sudah memiliki sistem ujian bahasa sendiri yang dikembangkan oleh Pusat Bahasa dengan sebutan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Sistem UKBI inilah yang rupanya akan dibahas dalam semiloka nasional nanti. Dalam sistem ujian ini, tersedia nilai kemampuan berbahasa Indonesia dari peringkat tertinggi hingga terendah: (1) Istimewa; (2) Sangat Unggul; (3) Unggul; (4) Madya; (5) Semenjana; (6) Marginal; (7) Terbatas.
Tujuh peringkat kemahiran berbahasa tersebut sudah dikukuhkan oleh Mendiknas dengan Surat Keputusan Nomor 18/U/2003 tentang UKBI. Sayangnya, belum ada sinergi implementasi produk perundang-undangan Mendiknas ini dengan produk Menakertrans untuk perekrutan tenaga kerja, baik domestik maupun asing, di Indonesia.
Sudah saatnya dibuat peta tuntutan kompetensi berbahasa Indonesia untuk setiap sektor jasa tenaga kerja. Katakan, misalnya, dokter dan profesi lain yang berisiko tinggi akan adanya malpraktek perlu dituntut minimal mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia formal pada peringkat ke-2: Sangat Unggul. Tuntutan ini juga terkait erat dengan perlindungan konsumen bagi masyarakat pengguna jasa profesi.
Persoalan berikutnya: apakah angkatan kerja domestik juga diperlakukan sama dengan ekspatriat? Tidak boleh ada diskriminasi. Dalam hal berbahasa Indonesia formal, orang Indonesia bisa jadi lebih buruk daripada orang asing. Maklumlah, orang Indonesia umumnya “jago” dalam berbahasa Indonesia informal dengan warna lokal. Malahan, sedang digalakkan bahwa orang Indonesia wajib berbahasa lokal.
Lokal-nasional
Di banyak daerah, Indonesia sedang tampak kegenitan memandang perbedaan bahasa lokal-nasional. Koran Tempo (20 Februari 2010) melaporkan ulah seorang kepala pemerintah daerah (di Jawa Tengah) yang menolak diwawancarai dalam bahasa Indonesia. Setiap tamu yang datang ke daerah itu harus repot-repot mengikuti aturan wajib berbahasa lokal (bahasa Jawa). Ulah kegenitan seperti itu sudah merebak di banyak daerah lain yang juga terhasut menganut primordialisme.
Primordialisme mencuat tajam karena terpicu atau terpacu oleh stempel politis yang sekarang melabeli bahasa Indonesia hanya sebagai sebuah bahasa nasional. Bahasa nasional dicap secara politis terpisah dari bahasa lokal. Padahal perbedaan bahasa ini sangat nisbi. Masyarakat Indonesia--kecuali mereka yang masih hidup terisolasi--menyuburkan ragam bahasa masing-masing tanpa dikotomi lokal-nasional.
Dikotomi bahasa agaknya cocok diterapkan hanya pada zaman purba, di kala nenek moyang hidup terisolasi dengan sekat-sekat bahasa kesukuan tanpa visi bahasa persatuan. Apa yang sekarang terjadi di Jawa dan di banyak daerah lain sudah berbentuk sikap pengebirian terhadap harapan para pendiri bangsa akan adanya bahasa persatuan. Kembali berbahasa lokal ala zaman purba jelaslah merupakan kegenitan untuk menumbuhkan primordialisme.
Jika primordialisme terus direvitalisasi, nantinya tidak mengherankan bila para ekspatriat (juga para pendatang, bukan putra daerah) diuji di setiap daerah. Karena bekerja di daerah Jawa Barat, misalnya, mereka harus diuji berbahasa lokal ala leluhur Sunda. Di Bali, berlakulah bahasa daerah Bali. Apabila mereka dimutasi ke Lampung, bahasa Lampung-lah yang diberlakukan. Kalau demikian seterusnya, betapa kacau negeri Indonesia ini. Indonesia sangat rapuh di era global.
Pasar jasa tenaga kerja sudah mulai terbuka bebas. Ini sebuah penanda globalisasi. Tanpa berbenah diri, Indonesia bakal tergilas pasar bebas. Segeralah tempatkan sentimen kelokalan bahasa ke dalam wadah bahasa persatuan Indonesia. Hanya dengan bersatu, termasuk dalam hal bahasa ini, Indonesia akan tangguh di era global.
Dalam percaturan global, Indonesia ditantang agar berani mengatakan bahwa kaum buruh migran tidak akan kompeten bekerja di Indonesia tanpa kemampuan komunikasi berbahasa Indonesia. Kepada ekspatriat yang tidak kompeten, beranilah berkata: ”Angkut kopermu dan angkat kakimu dari bumi Indonesia sekarang!”
Semoga gerakan dan gertakan ini muncul dari semiloka Pusat Bahasa nanti. *
Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 1 Mei 2010
Pemerhati politik bahasa
Harian The Jakarta Post (15 Agustus 2003) pernah menurunkan berita “Learn to speak bahasa Indonesia or pack your bags!”. Berita ini berisi tuntutan bagi mereka yang disebut ekspatriat agar mampu berbahasa Indonesia demi pekerjaan di Indonesia. Pada Hari Buruh 1 Mei ini, tuntutan tersebut perlu disuarakan kembali guna mengatasi kesenjangan sosial antara pekerja asing dan pekerja domestik.
Kesenjangan sudah terlalu lebar. Seiring dengan perkembangan pasar bebas jasa tenaga kerja, jika tidak segera diatasi, kesenjangan ini bisa membahayakan kelangsungan hidup berbangsa Indonesia. Sudah lama terdengar anak bangsa Indonesia digaji jauh lebih rendah daripada anak bangsa lain yang sama-sama mengais rezeki di bumi Indonesia. Seorang buruh migran bisa mengantongi gaji sepuluh kali lipat upah buruh domestik. Padahal posisi mereka sama.
Janganlah lamban negara ini bertindak. Indonesia tidak boleh lama-lama membiarkan warganya di bumi sendiri saja menjadi bangsa inferior. Superioritas ekspatriat boleh jadi imbas dari kehausan Indonesia akan kedatangan investor asing, tetapi investor dan pekerja asing mestinya datang terpisah. Pekerja asing haruslah tunduk kepada aturan ketenagakerjaan yang berlaku.
Perundang-undangan
Sudah tersedia perundang-undangan yang mengatur ihwal tenaga kerja asing di Indonesia. Jacob Nuwa Wea, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di era Presiden Megawati, pernah menetapkan tata cara perekrutan pekerja asing dengan surat keputusannya, Nomor: KEP-20/MEN/III/2004, tanggal 1 Maret 2004. Pada Bab II, Pasal 2 huruf (c) dalam keputusan ini, tenaga kerja asing yang diberi pekerjaan di Indonesia dipersyaratkan mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Belum terdengar keputusan Nuwa Wea dicabut. Namun, aturan yang sangat bagus itu masih terlihat sepi dalam implementasi. Para perekrut tenaga kerja asing belum ramai mempersoalkan dan melaksanakannya. Sebagai pemegang otoritas pengelola kebahasaan Indonesia, Pusat Bahasa (Kementerian Pendidikan Nasional) juga belum bergegas ikut mengawal pelaksanaan aturan perundang-undangan tersebut.
Sangat menarik--meski agak terlambat--gagasan sekelompok orang Pusat Bahasa untuk menggelar seminar dan lokakarya (semiloka) nasional di Jakarta pada 20-22 Juli 2010 dengan mengangkat isu sertifikasi pendidikan dan pekerjaan dengan ujian bahasa sendiri. Isu ini, menurut informasi dari Pusat Bahasa, diangkat untuk membahas peluang dan tantangan bahasa Indonesia pada era pasar bebas.
Peluang memang terbuka sangat luas bagi bahasa Indonesia untuk berperan dalam sertifikasi kompetensi tenaga kerja. Komponen kompetensi kerja--task skill; task management skill; contingency management skill; job/role environment skill; transfer skill--semuanya bersangkut-paut dengan komunikasi berbahasa. Bahkan, menurut Regional Model of Competency Standard (RMCS), kemampuan mengomunikasikan ide dan informasi merupakan sebuah kompetensi kunci tersendiri.
Bagaimana merancang komunikasi berbahasa di dunia kerja Indonesia? Kalau untuk negara Australia, sebagai contoh, jangan coba-coba seorang pekerja paramedis pergi bekerja di negeri itu tanpa memegang sertifikat hasil ujian IELTS (sejenis TOEFL) sebagai bukti kompetensi berbahasa Inggris (skor minimal: 7,0). Indonesia diharapkan juga ketat memberlakukan aturan seperti itu: tidak hanya bermanfaat melindungi buruh domestik, tetapi juga jauh lebih penting, menjaring pekerja yang kompeten.
Indonesia sudah memiliki sistem ujian bahasa sendiri yang dikembangkan oleh Pusat Bahasa dengan sebutan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Sistem UKBI inilah yang rupanya akan dibahas dalam semiloka nasional nanti. Dalam sistem ujian ini, tersedia nilai kemampuan berbahasa Indonesia dari peringkat tertinggi hingga terendah: (1) Istimewa; (2) Sangat Unggul; (3) Unggul; (4) Madya; (5) Semenjana; (6) Marginal; (7) Terbatas.
Tujuh peringkat kemahiran berbahasa tersebut sudah dikukuhkan oleh Mendiknas dengan Surat Keputusan Nomor 18/U/2003 tentang UKBI. Sayangnya, belum ada sinergi implementasi produk perundang-undangan Mendiknas ini dengan produk Menakertrans untuk perekrutan tenaga kerja, baik domestik maupun asing, di Indonesia.
Sudah saatnya dibuat peta tuntutan kompetensi berbahasa Indonesia untuk setiap sektor jasa tenaga kerja. Katakan, misalnya, dokter dan profesi lain yang berisiko tinggi akan adanya malpraktek perlu dituntut minimal mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia formal pada peringkat ke-2: Sangat Unggul. Tuntutan ini juga terkait erat dengan perlindungan konsumen bagi masyarakat pengguna jasa profesi.
Persoalan berikutnya: apakah angkatan kerja domestik juga diperlakukan sama dengan ekspatriat? Tidak boleh ada diskriminasi. Dalam hal berbahasa Indonesia formal, orang Indonesia bisa jadi lebih buruk daripada orang asing. Maklumlah, orang Indonesia umumnya “jago” dalam berbahasa Indonesia informal dengan warna lokal. Malahan, sedang digalakkan bahwa orang Indonesia wajib berbahasa lokal.
Lokal-nasional
Di banyak daerah, Indonesia sedang tampak kegenitan memandang perbedaan bahasa lokal-nasional. Koran Tempo (20 Februari 2010) melaporkan ulah seorang kepala pemerintah daerah (di Jawa Tengah) yang menolak diwawancarai dalam bahasa Indonesia. Setiap tamu yang datang ke daerah itu harus repot-repot mengikuti aturan wajib berbahasa lokal (bahasa Jawa). Ulah kegenitan seperti itu sudah merebak di banyak daerah lain yang juga terhasut menganut primordialisme.
Primordialisme mencuat tajam karena terpicu atau terpacu oleh stempel politis yang sekarang melabeli bahasa Indonesia hanya sebagai sebuah bahasa nasional. Bahasa nasional dicap secara politis terpisah dari bahasa lokal. Padahal perbedaan bahasa ini sangat nisbi. Masyarakat Indonesia--kecuali mereka yang masih hidup terisolasi--menyuburkan ragam bahasa masing-masing tanpa dikotomi lokal-nasional.
Dikotomi bahasa agaknya cocok diterapkan hanya pada zaman purba, di kala nenek moyang hidup terisolasi dengan sekat-sekat bahasa kesukuan tanpa visi bahasa persatuan. Apa yang sekarang terjadi di Jawa dan di banyak daerah lain sudah berbentuk sikap pengebirian terhadap harapan para pendiri bangsa akan adanya bahasa persatuan. Kembali berbahasa lokal ala zaman purba jelaslah merupakan kegenitan untuk menumbuhkan primordialisme.
Jika primordialisme terus direvitalisasi, nantinya tidak mengherankan bila para ekspatriat (juga para pendatang, bukan putra daerah) diuji di setiap daerah. Karena bekerja di daerah Jawa Barat, misalnya, mereka harus diuji berbahasa lokal ala leluhur Sunda. Di Bali, berlakulah bahasa daerah Bali. Apabila mereka dimutasi ke Lampung, bahasa Lampung-lah yang diberlakukan. Kalau demikian seterusnya, betapa kacau negeri Indonesia ini. Indonesia sangat rapuh di era global.
Pasar jasa tenaga kerja sudah mulai terbuka bebas. Ini sebuah penanda globalisasi. Tanpa berbenah diri, Indonesia bakal tergilas pasar bebas. Segeralah tempatkan sentimen kelokalan bahasa ke dalam wadah bahasa persatuan Indonesia. Hanya dengan bersatu, termasuk dalam hal bahasa ini, Indonesia akan tangguh di era global.
Dalam percaturan global, Indonesia ditantang agar berani mengatakan bahwa kaum buruh migran tidak akan kompeten bekerja di Indonesia tanpa kemampuan komunikasi berbahasa Indonesia. Kepada ekspatriat yang tidak kompeten, beranilah berkata: ”Angkut kopermu dan angkat kakimu dari bumi Indonesia sekarang!”
Semoga gerakan dan gertakan ini muncul dari semiloka Pusat Bahasa nanti. *
Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 1 Mei 2010
Sabtu, 01 Mei 2010
Etika Media
A Makmur Makka
Pemimpin Redaksi Media Watch
Beberapa waktu lalu, sebuah TV swasta di Jakarta dinyatakan bermasalah dengan seorang narasumber. Sejauh mana investigasi dan penyelesaian masalah ini oleh pihak yang berkompeten (polisi, TV yang bersangkutan, dewan pers, organisasi profesi wartawan), sampai sekarang belum jelas.
Tetapi sudah jamak, narasumber atau sumber berita, memang sangat penting bagi pekerjaan wartawan sehari-hari. Makin banyak sumber berita yang tersedia, makin memudahkan wartawan menyusun berita atau laporan, walaupun risikonya akan memerlukan banyak waktu.
Sumber berita banyak jenisnya, walaupun, nalar dan profesionalisme wartawan tetap akan membuat mereka selektif menentukan mana sumber berita yang terpercaya dan mana yang bukan. Wartawan dapat juga menilai karakteristik si sumber berita.
Ada sumber berita yang sengaja mencari popularitas untuk diri sendiri, atau sengaja menggunakan media untuk kepentingan kelompoknya atau mungkin bersangkut paut dengan materi.
Salah satu di antaranya, usaha menggunakan media untuk membuat the trial balloon. Biasanya dipakai untuk mengetes suatu gagasan atau ide dengan melemparkannya untuk dimuat dalam media.
Bila mendapat reaksi publik yang baik, mereka akan meneruskan, dan sebaliknya jika tidak, gagasan atau ide itu akan ditinggalkan dan diingkari.
Pemerintah yang berkuasa di Irak sebelum mengeksekusi Saddam Husein, melakukan the trial balloon melalui media, ketika ternyata reaksi masyarakat tidak siginifikan, eksekusi dilaksanakan.
Di Indonesia, praktik seperti ini sudah biasa terjadi. Jika the trial balloon melalui publikasi gratis mendapat reaksi jelek dari masyarakat, para politisi dan pelempar isu akan membantahnya sebagai 'hanya wacana.'
The Source of Mob
Informasi dari sumber yang tidak mau disebut namanya yang oleh media sering ditulis: menurut sumber yang dapat dipercaya atau sumber yang tidak mau disebut namanya atau menurut sebuah sumber, sebutlah X, terbukti banyak membuat masalah bagi praktisi media, termasuk media Amerika Serikat yang gaya penulisan pemberitaannya banyak ditiru oleh media Indonesia.
Sebuah studi yang dilakukan American Newspaper Publisher Association (ANPA) l975, menyebutkan bahwa dua pertiga berita yang dibuat contoh dari surat kabar besar dan kecil, sering membuat berita tanpa menyebutkan sumber atau unnamed source. Surat kabar bertiras besar malah melakukannya lebih sering. Ini yang membuat pembaca diperlakukan dalam proses yang tidak berkesudahan.
Kolumnis Russel Baker dari New York Times menyebut kecenderungan itu sebagai the sources mob dengan menulis: Reliable Source, Unimpeachable Source, Source Close to the Investigation, Highly Placed Source, State House Insider, City Hall Source. (Everette E Dennis & Arnold H Ismach: Reporting Processes and Practices: 'Newswriting for Today's Readers l981').
Apa yang harus dilakukan oleh wartawan dalam situasi pelik seperti unnamed source ini? Ada senjata yang harus digunakan wartawan untuk menghadapi sumber yang tidak ingin namanya disebutkan dalam berita/laporan. Curtis D Macdougall dalam Intrepretative Reporting l977 menyebut kiatnya dengan mengadakan verification and honesty purposes (melakukan verifikasi dan tujuan sejujurnya).
Mengadakan wawancara sebanyak mungkin dengan sumber lain, dengan demikian si wartawan akan sanggup menghindari sejumlah kesalahan yang mungkin terjadi dalam pengumpulan bahan mengenai suatu peristiwa tanpa prasangka.
Verifikasi juga berarti, bukan hanya mengecek pernyataan dari berbagai sumber berita yang saling bertentangan. Tetapi, juga sampai pada hal-hal detail, seperti penulisan nama dan alamat, karena merasa tidak bersalah (innocence), kelalaian (careless) tidak bisa dijadikan bahan pembelaan dalam perkara pencemaran nama baik, fitnah.
Tanggung jawab wartawan
Elemen utama dalam persoalan keseharian wartawan/redaksi, tidak hanya dalam sumber berita. Atau, apakah sumber beritanya kredibel atau tidak. Tetapi yang terutama, apakah ia mempunyai dedikasi pada profesi atau apakah wartawan itu berangkat dengan kejujuran hati nuraninya. Profesi wartawan, bukanlah tempat bagi orang yang selalu punya prasangka buruk, terbawa dendam dan kebencian. Atau mereka yang bermain-main dengan kekuasaan (karena ia menentukan), menorehkan kesalahan dan keburukan orang kendatipun ia berniat menyatakan kebenaran. Karena, hal itu akan membuat pribadinya rancu dengan profesi yang diembannya.
Bahwa komitmen pertama wartawan tetap pada kebenaran adalah suatu keniscayaan. Esensi disiplin dalam kewartawanan melakukan verifikasi fakta. Bahwa berita itu harus selalu komprehensif dan proporsional. Tulislah apa yang sebetulnya terjadi, sudahkah berita itu berdasarkan fakta, jangan melebih-lebihkan.
Masih banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan wartawan dalam menulis berita atau laporan, tetapi luput dari perhatian masyarakat yang awam.
Kegemaran bermain-main dengan sumber yang tidak jelas menjadi salah satu contohnya. Masyarakat pun hanya mengeluh dan mencibir, hanya sedikit yang punya kesadaran kritis dan bersuara menempuh jalur hukum jika saja nama baik mereka diserang.
Wajarlah, wartawan seharusnya selalu diingatkan untuk tidak 'bermain-main' dengan narasumber yang tidak jelas, karena hal itu hanya akan mencemarkan profesinya sendiri, profesi beribu-ribu rekannya yang masih punya dedikasi tinggi memegang prinsip dan kode etik wartawan.
Sumber: Republika, Sabtu, 01 Mei 2010
Pemimpin Redaksi Media Watch
Beberapa waktu lalu, sebuah TV swasta di Jakarta dinyatakan bermasalah dengan seorang narasumber. Sejauh mana investigasi dan penyelesaian masalah ini oleh pihak yang berkompeten (polisi, TV yang bersangkutan, dewan pers, organisasi profesi wartawan), sampai sekarang belum jelas.
Tetapi sudah jamak, narasumber atau sumber berita, memang sangat penting bagi pekerjaan wartawan sehari-hari. Makin banyak sumber berita yang tersedia, makin memudahkan wartawan menyusun berita atau laporan, walaupun risikonya akan memerlukan banyak waktu.
Sumber berita banyak jenisnya, walaupun, nalar dan profesionalisme wartawan tetap akan membuat mereka selektif menentukan mana sumber berita yang terpercaya dan mana yang bukan. Wartawan dapat juga menilai karakteristik si sumber berita.
Ada sumber berita yang sengaja mencari popularitas untuk diri sendiri, atau sengaja menggunakan media untuk kepentingan kelompoknya atau mungkin bersangkut paut dengan materi.
Salah satu di antaranya, usaha menggunakan media untuk membuat the trial balloon. Biasanya dipakai untuk mengetes suatu gagasan atau ide dengan melemparkannya untuk dimuat dalam media.
Bila mendapat reaksi publik yang baik, mereka akan meneruskan, dan sebaliknya jika tidak, gagasan atau ide itu akan ditinggalkan dan diingkari.
Pemerintah yang berkuasa di Irak sebelum mengeksekusi Saddam Husein, melakukan the trial balloon melalui media, ketika ternyata reaksi masyarakat tidak siginifikan, eksekusi dilaksanakan.
Di Indonesia, praktik seperti ini sudah biasa terjadi. Jika the trial balloon melalui publikasi gratis mendapat reaksi jelek dari masyarakat, para politisi dan pelempar isu akan membantahnya sebagai 'hanya wacana.'
The Source of Mob
Informasi dari sumber yang tidak mau disebut namanya yang oleh media sering ditulis: menurut sumber yang dapat dipercaya atau sumber yang tidak mau disebut namanya atau menurut sebuah sumber, sebutlah X, terbukti banyak membuat masalah bagi praktisi media, termasuk media Amerika Serikat yang gaya penulisan pemberitaannya banyak ditiru oleh media Indonesia.
Sebuah studi yang dilakukan American Newspaper Publisher Association (ANPA) l975, menyebutkan bahwa dua pertiga berita yang dibuat contoh dari surat kabar besar dan kecil, sering membuat berita tanpa menyebutkan sumber atau unnamed source. Surat kabar bertiras besar malah melakukannya lebih sering. Ini yang membuat pembaca diperlakukan dalam proses yang tidak berkesudahan.
Kolumnis Russel Baker dari New York Times menyebut kecenderungan itu sebagai the sources mob dengan menulis: Reliable Source, Unimpeachable Source, Source Close to the Investigation, Highly Placed Source, State House Insider, City Hall Source. (Everette E Dennis & Arnold H Ismach: Reporting Processes and Practices: 'Newswriting for Today's Readers l981').
Apa yang harus dilakukan oleh wartawan dalam situasi pelik seperti unnamed source ini? Ada senjata yang harus digunakan wartawan untuk menghadapi sumber yang tidak ingin namanya disebutkan dalam berita/laporan. Curtis D Macdougall dalam Intrepretative Reporting l977 menyebut kiatnya dengan mengadakan verification and honesty purposes (melakukan verifikasi dan tujuan sejujurnya).
Mengadakan wawancara sebanyak mungkin dengan sumber lain, dengan demikian si wartawan akan sanggup menghindari sejumlah kesalahan yang mungkin terjadi dalam pengumpulan bahan mengenai suatu peristiwa tanpa prasangka.
Verifikasi juga berarti, bukan hanya mengecek pernyataan dari berbagai sumber berita yang saling bertentangan. Tetapi, juga sampai pada hal-hal detail, seperti penulisan nama dan alamat, karena merasa tidak bersalah (innocence), kelalaian (careless) tidak bisa dijadikan bahan pembelaan dalam perkara pencemaran nama baik, fitnah.
Tanggung jawab wartawan
Elemen utama dalam persoalan keseharian wartawan/redaksi, tidak hanya dalam sumber berita. Atau, apakah sumber beritanya kredibel atau tidak. Tetapi yang terutama, apakah ia mempunyai dedikasi pada profesi atau apakah wartawan itu berangkat dengan kejujuran hati nuraninya. Profesi wartawan, bukanlah tempat bagi orang yang selalu punya prasangka buruk, terbawa dendam dan kebencian. Atau mereka yang bermain-main dengan kekuasaan (karena ia menentukan), menorehkan kesalahan dan keburukan orang kendatipun ia berniat menyatakan kebenaran. Karena, hal itu akan membuat pribadinya rancu dengan profesi yang diembannya.
Bahwa komitmen pertama wartawan tetap pada kebenaran adalah suatu keniscayaan. Esensi disiplin dalam kewartawanan melakukan verifikasi fakta. Bahwa berita itu harus selalu komprehensif dan proporsional. Tulislah apa yang sebetulnya terjadi, sudahkah berita itu berdasarkan fakta, jangan melebih-lebihkan.
Masih banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan wartawan dalam menulis berita atau laporan, tetapi luput dari perhatian masyarakat yang awam.
Kegemaran bermain-main dengan sumber yang tidak jelas menjadi salah satu contohnya. Masyarakat pun hanya mengeluh dan mencibir, hanya sedikit yang punya kesadaran kritis dan bersuara menempuh jalur hukum jika saja nama baik mereka diserang.
Wajarlah, wartawan seharusnya selalu diingatkan untuk tidak 'bermain-main' dengan narasumber yang tidak jelas, karena hal itu hanya akan mencemarkan profesinya sendiri, profesi beribu-ribu rekannya yang masih punya dedikasi tinggi memegang prinsip dan kode etik wartawan.
Sumber: Republika, Sabtu, 01 Mei 2010
Lomba Menulis Cerpen Remaja 2010 LMCR 2010
Syarat-syarat Lomba:
1. Lomba ini terbuka untuk pelajar tingkat SLTP (Kategori A), SLTA (Kategori B) dan Mahasiswa/Guru/Umum (Kategori C) dari seluruh Indonesia maupun yang studi/bekerja di luar negeri. Kecuali keluarga besar PT ROHTO Laboratories Indonesia dan Panitia/Dewan Juri LMCR 2010
2. Lomba dibuka 21 April 2010 dan ditutup 15 September 2010 (Stempel Pos)
3. Tema Cerita: Dunia remaja dan segala aspek kehidupannya (cinta, kebahagiaan, kepedihan, harapan, kegagalan, cita-cita, derita dan kekecewaan)
4. Judul bebas tetapi harus mengacu tema Butir 3
5. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu judul
6. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia literer (indah, menarik, mengalir) dan komunikatif. Bahasa gaul dan bahasa daerah/asing boleh digunakan untuk segmen dialog para tokohnya – jika itu diperlukan dan sesuai dengan tema
7. Naskah yang dilombakan harus asli (bukan jiplakan) dan belum pernah dipublikasi
Ketentuan Khusus:
1. Naskah ditulis di kertas ukuran kuarto, ditik berjarak 1,5 spasi, font 12, huruf Times New Roman, margin justified 5 Cm, panjang naskah antara 6-10 halaman, dikirim ke panitia dalam bentuk printout 3 (tiga) rangkap/copy disertai file dalam bentuk CD.
2. b. Cantumkan sinopsis maksimal 1 (satu) halaman, mini-biodata pengarang, foto 4R, fotocopy KTP atau SIM/Paspor/Student Card
3. Setiap judul cerpen yang dilombakan wajib dilampiri kemasan LIP ICE (bagian kartonnya) atau segel SELSUN Shampo jenis apa saja
4. Naskah cerpen yang dilombakan beserta persyaratannya dimasukkan ke dalam satu amplop (boleh berisi beberapa judul), cantumkan tulisan PESERTA LMCR-2010 dan Kategori-nya di atas amplop kanan atas dan dikirim ke:
Panitia LMCR-2010 LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD – Jalan Gunung Pancar No.25 Bukit Golf Hijau,
Sentul City, Bogor 16810
5. Hasil lomba diumumkan tanggal 15 Oktober 2010 melalui www.rayakulturanet dan www.rohto.co.id
6. Keputusan Dewan Juri bersifat final dan mengikat
7. Hasil Lomba:
Masing-masing kategori: Pemenang I, II, II dan 5 (lima) Pemenang Harapan Utama, 10 (sepuluh) Pemenang Harapan dan Pemenang Karya Favorit untuk Kategori A: 20 Pemenang, Kategori B: 60 Pemenang dan Kategori C: 100 Pemenang.
Hadiah Untuk Pemenang:
Kategori A (Pelajar SLTP)
* Pemenang I – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 2.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari PT ROHTO + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 20 (dua puluh) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
* Sekolah Pemenang I, II dan II berhak mendapat 1 (satu) unit TV
Kategori B (Pelajar SLTA)
* Pemenang I – Uang Tunai Rp 5.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari PT ROHTO + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 60 (enam puluh) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
* Sekolah Pemenang I, II dan III berhak mendapat 1 (satu) unit TV
Kategori C (Mahasiswa/Guru/Umum)
* Pemenang I – Uang Tunai Rp 7.500.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 6.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.500.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 100 (seratus) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
1. Naskah cerpen yang dilombakan jadi milik PT ROHTO, hak cipta milik pengarangnya. Informasi lebih lanjut e-mail ke rayakultura@gmail.com
Ketua Panitia LMCR-2010
Dra. Naning Pranoto, MA
Sumber: http://www.rayakultura.net
1. Lomba ini terbuka untuk pelajar tingkat SLTP (Kategori A), SLTA (Kategori B) dan Mahasiswa/Guru/Umum (Kategori C) dari seluruh Indonesia maupun yang studi/bekerja di luar negeri. Kecuali keluarga besar PT ROHTO Laboratories Indonesia dan Panitia/Dewan Juri LMCR 2010
2. Lomba dibuka 21 April 2010 dan ditutup 15 September 2010 (Stempel Pos)
3. Tema Cerita: Dunia remaja dan segala aspek kehidupannya (cinta, kebahagiaan, kepedihan, harapan, kegagalan, cita-cita, derita dan kekecewaan)
4. Judul bebas tetapi harus mengacu tema Butir 3
5. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu judul
6. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia literer (indah, menarik, mengalir) dan komunikatif. Bahasa gaul dan bahasa daerah/asing boleh digunakan untuk segmen dialog para tokohnya – jika itu diperlukan dan sesuai dengan tema
7. Naskah yang dilombakan harus asli (bukan jiplakan) dan belum pernah dipublikasi
Ketentuan Khusus:
1. Naskah ditulis di kertas ukuran kuarto, ditik berjarak 1,5 spasi, font 12, huruf Times New Roman, margin justified 5 Cm, panjang naskah antara 6-10 halaman, dikirim ke panitia dalam bentuk printout 3 (tiga) rangkap/copy disertai file dalam bentuk CD.
2. b. Cantumkan sinopsis maksimal 1 (satu) halaman, mini-biodata pengarang, foto 4R, fotocopy KTP atau SIM/Paspor/Student Card
3. Setiap judul cerpen yang dilombakan wajib dilampiri kemasan LIP ICE (bagian kartonnya) atau segel SELSUN Shampo jenis apa saja
4. Naskah cerpen yang dilombakan beserta persyaratannya dimasukkan ke dalam satu amplop (boleh berisi beberapa judul), cantumkan tulisan PESERTA LMCR-2010 dan Kategori-nya di atas amplop kanan atas dan dikirim ke:
Panitia LMCR-2010 LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD – Jalan Gunung Pancar No.25 Bukit Golf Hijau,
Sentul City, Bogor 16810
5. Hasil lomba diumumkan tanggal 15 Oktober 2010 melalui www.rayakulturanet dan www.rohto.co.id
6. Keputusan Dewan Juri bersifat final dan mengikat
7. Hasil Lomba:
Masing-masing kategori: Pemenang I, II, II dan 5 (lima) Pemenang Harapan Utama, 10 (sepuluh) Pemenang Harapan dan Pemenang Karya Favorit untuk Kategori A: 20 Pemenang, Kategori B: 60 Pemenang dan Kategori C: 100 Pemenang.
Hadiah Untuk Pemenang:
Kategori A (Pelajar SLTP)
* Pemenang I – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 2.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari PT ROHTO + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 20 (dua puluh) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
* Sekolah Pemenang I, II dan II berhak mendapat 1 (satu) unit TV
Kategori B (Pelajar SLTA)
* Pemenang I – Uang Tunai Rp 5.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari PT ROHTO + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 60 (enam puluh) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
* Sekolah Pemenang I, II dan III berhak mendapat 1 (satu) unit TV
Kategori C (Mahasiswa/Guru/Umum)
* Pemenang I – Uang Tunai Rp 7.500.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
* Pemenang II – Uang Tunai Rp 6.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* Pemenang III – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.500.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari + Piagam LIP ICE-SELSUN
* 100 (seratus) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN
* Seluruh pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang Utama LMCR-2010
1. Naskah cerpen yang dilombakan jadi milik PT ROHTO, hak cipta milik pengarangnya. Informasi lebih lanjut e-mail ke rayakultura@gmail.com
Ketua Panitia LMCR-2010
Dra. Naning Pranoto, MA
Sumber: http://www.rayakultura.net
LOMBA MENGULAS KARYA SASTRA (LMKS) 2010
MOTTO
Menyelami Sastra, meningkatkan tradisi membaca-menulis dan memperluas cakrawala bangsa.
PERSYARATAN PESERTA
1. Peserta adalah guru SMA/SMK/MA
2. Belum pernah menjadi pemenang LMKS sebelumnya.
PERSYARATAN TULISAN
1. Tulisan adalah karya asli dan belum pernah dipublikasikan di media manapun.
2. Bentuk ulasan dapat berupa esai dengan penyajian yang jelas, enak dibaca dan ditunjang kepustakaan yang memadai.
3. Panjang tulisan 5-20 halaman kuarto, 1,5 spasi (1500-6000 kata).
4. Tulisan merupakan ulasan terhadap salah satu buku sastra yang telah ditetapkan (lihat daftar).
5. Peserta diharuskan mengulas sebuah buku sastra secara utuh, tidak hanya satu puisi/cerpen. Membandingkan dengan karya lain diizinkan.
6. Peserta boleh mengirim lebih dari 1 (satu) naskah, dengan catatan hanya 1 (satu) naskah terbaik yang akan dipertimbangkan menjadi pemenang.
7. Di halaman akhir tulisan (halaman terpisah), ditulis identitas dan alamat lengkap penulis serta no. telepon/HP yang dapat dihubungi.
PENGIRIMAN TULISAN
1. Tulisan sebanyak 3 rangkap dimasukan amplop, pada bagian luar ditulis LMKS PROGRAM REGULER 2010 diantar langsung atau dikirim paling lambat tanggal 22 Juni 2010 (stempel pos).
2. Tulisan dikirim ke alamat:
Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kegiatan Pembinaan Pendidikan Estetika pada Subag RT, Bagian Umum, Set Ditjen Mandikdasmen, Kompleks Kemendiknas Senayan Gedung E Lantai 5, Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270.
PENGUMUMAN PEMENANG
1. Panitia akan memilih 15 peserta terbaik untuk mengikuti seleksi final di Jakarta.
2. Selama mengikuti seleksi final di Jakarta, panitia menyediakan biaya transportasi dan akomodasi.
3. Pemenang LMKS 2010 akan diumumkan pada tanggal 10 Oktober 2010.
HADIAH
1. Panitia menyediakan hadiah berupa uang tunai sebagai berikut:
- Pemenang 1 Rp6.500.000,-
- Pemenang 2 Rp6.000.000,-
- Pemenang 3 Rp5.500.000,-
- Pemenang 4 Rp5.000.000,-
- Pemenang 5 Rp4.500.000,-
- Pemenang 6 s.d. 10 Rp4.000.000,-
- Pemenang 11 s.d. 15 Rp3.500.000,-
2. Pajak hadiah sebesar 15% (PPH psl 21) ditanggung pemenang.
3. Kepada semua peserta akan diberikan piagam penghargaan.
KETENTUAN PANITIA
1. Kementerian Pendidikan Nasional berhak menerbitkan dan menggandakan naskah yang terpilih.
2. Keputusan panitia bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
LAIN-LAIN
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi panitia penyelenggara:
Kegiatan Pembinaan Pendidikan Estetika Jakarta Subag RT,
Bagian Umum Set Ditjen Mandikdasmen.
Telp. (021) 5725616, atau 57851730
Email : estetika.mandikdasmen@yahoo.co.id
Website: http://depdiknas.go.id
BERIKUT INI DAFTAR PILIHAN BUKU UNTUK DIULAS OLEH PESERTA LMKS 2010:
PUISI:
99 untuk Tuhanku, Emha Ainun Nadjib
Aku Ini Binatang Jalang, Chairil Anwar
Asmaradana, Goenawan Muhammad
Ayat-ayat Api, Sapardi Djoko Damono
Derai-derai Cemara, Chairil Anwar
Diterbangkan Kata-Kata, Agus R. Sarjono
Dunia Semata Wayang, Iman Budhi Santoso
Efrosina, Cecep Syamsul Hari
Empat Kumpulam Sajak, WS Rendra
Garam-Garam Hujan, Jamal D. Rahman
Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono
Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku, Husni Djamaluddin
Indonesiaku, Hamid Jabbar
Kalung Dari Teman, Afrizal Maina
Kepada Cium, Joko Pinurbo
Kolam, Sapardi Djoko Damono
Kota Cahaya, Isbedy Stiawan ZS
Lautan Jilbab, Emha Ainun Nadjib
Luang Prahang, Adul Hadi WM
Madura Akulah Darahmu, D. Zawawi Imron
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Taufiq Ismail
Menjadi Penyair Lagi, Acep Zam-zam Noor
Mimpi Gugur Zaitun, Dorothea Rosa Herliany
Tirani dan Benteng, Taufik Ismail
Nyanyian dalam Kelam, Sutikno WS
Nyanyian Tanah Air, Saini KM
O Amuk Kapak, Sutardji Calzoum Bachri
Padamu Jua, Amir Hamzah
Potret Pembangunan dalam Sajak, WS Rendra
Puisi-puisi dari Penjara, S. Anantaguna
Reruntuhan Cahaya, Jamal D. Rahman
Secangkir Teh, Sono Farid Maulana
Sembahyang Rumputan, Ahmadun Yosi Herfanda
Sebelum Senja Selesai, Moh. Wan Anwar
Patiwangi, Oka Rusmini
Suatu Cerita dari Negeri Angin, Agus R. Sardjono
CERPEN:
Adam Marifat, Danarto
Antara Wilis dan Gunung Kelud, Toha Mohtar
Bali, Putu Wijaya
Berhala, Danarto
Bibir dalam Pispot, Hamsad Rangkuti
Bidadari Meniti Pelangi, S. Prasetyo Utamo
Blok, Putu Wijaya
Bromocorah, Mochtar Lubis
Bunga Jepun, Putu Fajar Arcana
Godlob, Danarto
Hampir Sebuah Subversi, Kuntowijoyo
Hikayat Batu-Batu, Taufik Ikram Jamil
Hujan Menulis Ayam, Sutardji Chalzoum Bachri
Kali Mati, Joni Ariadinata
Kayu Naga, Korrie Layun Rampan
Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, Gus tf Sakai
Kritikus Adinan, Budi Darma
Kuda Terbang Mario Pinto, Lina Christanty
Lebaran di Karet, Umar Kayam
Malaikat Tak Datang Malam Hari, Joni Ariadinata
Mandi Api, Gde Soethama
Membaca Hang Jebat, Tufik Ikram Jamil
Membunuh Orang Gila, Sapardi Djoko Damono
Menuju Kamar Durhaka, Utuy Tatang Sontani
Orang Sakit, Hudan Hidayat
Orang-orang Bloomington, Budi Darma
Parang Tak Berulu, Raudal Tanjung Banua
Rumah Kawin, Zen Hae
Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarma
Sampah Bulan Desember, Hamsad Rangkuti
Sang Artis, Rosihan Anwar
Sebatang Ceri Di Halaman, Fakhrunnas MA. Jabbar
Senapan Cinta, Kurnia Effendi
Senyum Karyamin, Ahmad Tohari
Sepasang MAut, Wan Anwar
Si PAdang, Harris Effendi TAhar
Tegak Lurus dengan Langit, Iwan SImatupang
NOVEL:
Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer
Ayat-ayat Cinta, Habiburahman Al Syirazy
Bulan Susut, Ismet Fanany
Bulang Cahaya, Rida K. Liamsi
Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer
Burung-burung Manyar, YB Mangunwijaya
Ca-bau-kan, Remy Silado
Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan
Di Batas Angin, Yanusa Nugroho
Gadis Tangsi, Suparto Brata
Geni Jora, Abidah El Khailiegy
Gerhana, AA Navis
Harimau! Harimau!, Mochtar Lubis
Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, YB Mangunwijaya
Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer
Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma
Ketika Lampu Berwarna Merah, Hamsad Rangkuti
Kitab Omong Kosong, Seno Gumira Ajidarma
Laskar Pelangi, Andrea Hirata
Maut dan Cinta, Mochtar Lubis
Manyora, Yanusa Nugroho
Naga Bumi, Seno Gumira Ajidarma
Namaku Tiweraut, Ari Sekarningsih
Olenka, Budi Darma
Orang-Orang Proyek, Ahmad Tohari
Pada Sebuah Kapal, Nh Dini
Pasar, Kuntowijoyo
Perang, Putu Wijaya
Perempuan Berkalung Sorban, Abidah El Khalieqy
Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer
Sedimen Senja, SN RAtmana
Tabularasa, Ratih Kumala
Tamu, Wisran HAdi
TAngan-tangan Kehidupan, Titis Basino PI
Wasripin dan Satinah, Kuntowijoyo
Ziarah, Iwan Simatupang
DRAMA:
Aduh, Putu Wijaya
Alia Luka Serembi Mekah, Ratna Sarumpaet
Atas Nama Cinta, Agus R. Sarjono
Awal dan Mira, Utuy Tatang Santony
Dag Dig Dug, Putu Wijaya
Empat Sandiwara Orang Melayu, Wisran Hadi
Iblis, Mohammad Diponegoro
Kapai-Kapai, Arifin C. Noer
Ken Arok, Saini KM
Mahkamah, Asrul Sani
Malam Jahanam, Montinggo Busye
Opera Kecoa, Nano Riantiarno
Orkes Madun, Arifin C. Noer
Panembahan Reso, Rendra
Sekelumit Nyanyian Sunda, Nasjah Djamin
Serikat KAcamata Hitam, Saini KM
Suksesi, N Riantiarno
5 Naskah Drama Pemenang Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2003
Menyelami Sastra, meningkatkan tradisi membaca-menulis dan memperluas cakrawala bangsa.
PERSYARATAN PESERTA
1. Peserta adalah guru SMA/SMK/MA
2. Belum pernah menjadi pemenang LMKS sebelumnya.
PERSYARATAN TULISAN
1. Tulisan adalah karya asli dan belum pernah dipublikasikan di media manapun.
2. Bentuk ulasan dapat berupa esai dengan penyajian yang jelas, enak dibaca dan ditunjang kepustakaan yang memadai.
3. Panjang tulisan 5-20 halaman kuarto, 1,5 spasi (1500-6000 kata).
4. Tulisan merupakan ulasan terhadap salah satu buku sastra yang telah ditetapkan (lihat daftar).
5. Peserta diharuskan mengulas sebuah buku sastra secara utuh, tidak hanya satu puisi/cerpen. Membandingkan dengan karya lain diizinkan.
6. Peserta boleh mengirim lebih dari 1 (satu) naskah, dengan catatan hanya 1 (satu) naskah terbaik yang akan dipertimbangkan menjadi pemenang.
7. Di halaman akhir tulisan (halaman terpisah), ditulis identitas dan alamat lengkap penulis serta no. telepon/HP yang dapat dihubungi.
PENGIRIMAN TULISAN
1. Tulisan sebanyak 3 rangkap dimasukan amplop, pada bagian luar ditulis LMKS PROGRAM REGULER 2010 diantar langsung atau dikirim paling lambat tanggal 22 Juni 2010 (stempel pos).
2. Tulisan dikirim ke alamat:
Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kegiatan Pembinaan Pendidikan Estetika pada Subag RT, Bagian Umum, Set Ditjen Mandikdasmen, Kompleks Kemendiknas Senayan Gedung E Lantai 5, Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270.
PENGUMUMAN PEMENANG
1. Panitia akan memilih 15 peserta terbaik untuk mengikuti seleksi final di Jakarta.
2. Selama mengikuti seleksi final di Jakarta, panitia menyediakan biaya transportasi dan akomodasi.
3. Pemenang LMKS 2010 akan diumumkan pada tanggal 10 Oktober 2010.
HADIAH
1. Panitia menyediakan hadiah berupa uang tunai sebagai berikut:
- Pemenang 1 Rp6.500.000,-
- Pemenang 2 Rp6.000.000,-
- Pemenang 3 Rp5.500.000,-
- Pemenang 4 Rp5.000.000,-
- Pemenang 5 Rp4.500.000,-
- Pemenang 6 s.d. 10 Rp4.000.000,-
- Pemenang 11 s.d. 15 Rp3.500.000,-
2. Pajak hadiah sebesar 15% (PPH psl 21) ditanggung pemenang.
3. Kepada semua peserta akan diberikan piagam penghargaan.
KETENTUAN PANITIA
1. Kementerian Pendidikan Nasional berhak menerbitkan dan menggandakan naskah yang terpilih.
2. Keputusan panitia bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
LAIN-LAIN
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi panitia penyelenggara:
Kegiatan Pembinaan Pendidikan Estetika Jakarta Subag RT,
Bagian Umum Set Ditjen Mandikdasmen.
Telp. (021) 5725616, atau 57851730
Email : estetika.mandikdasmen@yahoo.co.id
Website: http://depdiknas.go.id
BERIKUT INI DAFTAR PILIHAN BUKU UNTUK DIULAS OLEH PESERTA LMKS 2010:
PUISI:
99 untuk Tuhanku, Emha Ainun Nadjib
Aku Ini Binatang Jalang, Chairil Anwar
Asmaradana, Goenawan Muhammad
Ayat-ayat Api, Sapardi Djoko Damono
Derai-derai Cemara, Chairil Anwar
Diterbangkan Kata-Kata, Agus R. Sarjono
Dunia Semata Wayang, Iman Budhi Santoso
Efrosina, Cecep Syamsul Hari
Empat Kumpulam Sajak, WS Rendra
Garam-Garam Hujan, Jamal D. Rahman
Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono
Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku, Husni Djamaluddin
Indonesiaku, Hamid Jabbar
Kalung Dari Teman, Afrizal Maina
Kepada Cium, Joko Pinurbo
Kolam, Sapardi Djoko Damono
Kota Cahaya, Isbedy Stiawan ZS
Lautan Jilbab, Emha Ainun Nadjib
Luang Prahang, Adul Hadi WM
Madura Akulah Darahmu, D. Zawawi Imron
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Taufiq Ismail
Menjadi Penyair Lagi, Acep Zam-zam Noor
Mimpi Gugur Zaitun, Dorothea Rosa Herliany
Tirani dan Benteng, Taufik Ismail
Nyanyian dalam Kelam, Sutikno WS
Nyanyian Tanah Air, Saini KM
O Amuk Kapak, Sutardji Calzoum Bachri
Padamu Jua, Amir Hamzah
Potret Pembangunan dalam Sajak, WS Rendra
Puisi-puisi dari Penjara, S. Anantaguna
Reruntuhan Cahaya, Jamal D. Rahman
Secangkir Teh, Sono Farid Maulana
Sembahyang Rumputan, Ahmadun Yosi Herfanda
Sebelum Senja Selesai, Moh. Wan Anwar
Patiwangi, Oka Rusmini
Suatu Cerita dari Negeri Angin, Agus R. Sardjono
CERPEN:
Adam Marifat, Danarto
Antara Wilis dan Gunung Kelud, Toha Mohtar
Bali, Putu Wijaya
Berhala, Danarto
Bibir dalam Pispot, Hamsad Rangkuti
Bidadari Meniti Pelangi, S. Prasetyo Utamo
Blok, Putu Wijaya
Bromocorah, Mochtar Lubis
Bunga Jepun, Putu Fajar Arcana
Godlob, Danarto
Hampir Sebuah Subversi, Kuntowijoyo
Hikayat Batu-Batu, Taufik Ikram Jamil
Hujan Menulis Ayam, Sutardji Chalzoum Bachri
Kali Mati, Joni Ariadinata
Kayu Naga, Korrie Layun Rampan
Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, Gus tf Sakai
Kritikus Adinan, Budi Darma
Kuda Terbang Mario Pinto, Lina Christanty
Lebaran di Karet, Umar Kayam
Malaikat Tak Datang Malam Hari, Joni Ariadinata
Mandi Api, Gde Soethama
Membaca Hang Jebat, Tufik Ikram Jamil
Membunuh Orang Gila, Sapardi Djoko Damono
Menuju Kamar Durhaka, Utuy Tatang Sontani
Orang Sakit, Hudan Hidayat
Orang-orang Bloomington, Budi Darma
Parang Tak Berulu, Raudal Tanjung Banua
Rumah Kawin, Zen Hae
Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarma
Sampah Bulan Desember, Hamsad Rangkuti
Sang Artis, Rosihan Anwar
Sebatang Ceri Di Halaman, Fakhrunnas MA. Jabbar
Senapan Cinta, Kurnia Effendi
Senyum Karyamin, Ahmad Tohari
Sepasang MAut, Wan Anwar
Si PAdang, Harris Effendi TAhar
Tegak Lurus dengan Langit, Iwan SImatupang
NOVEL:
Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer
Ayat-ayat Cinta, Habiburahman Al Syirazy
Bulan Susut, Ismet Fanany
Bulang Cahaya, Rida K. Liamsi
Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer
Burung-burung Manyar, YB Mangunwijaya
Ca-bau-kan, Remy Silado
Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan
Di Batas Angin, Yanusa Nugroho
Gadis Tangsi, Suparto Brata
Geni Jora, Abidah El Khailiegy
Gerhana, AA Navis
Harimau! Harimau!, Mochtar Lubis
Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, YB Mangunwijaya
Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer
Kalatidha, Seno Gumira Ajidarma
Ketika Lampu Berwarna Merah, Hamsad Rangkuti
Kitab Omong Kosong, Seno Gumira Ajidarma
Laskar Pelangi, Andrea Hirata
Maut dan Cinta, Mochtar Lubis
Manyora, Yanusa Nugroho
Naga Bumi, Seno Gumira Ajidarma
Namaku Tiweraut, Ari Sekarningsih
Olenka, Budi Darma
Orang-Orang Proyek, Ahmad Tohari
Pada Sebuah Kapal, Nh Dini
Pasar, Kuntowijoyo
Perang, Putu Wijaya
Perempuan Berkalung Sorban, Abidah El Khalieqy
Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer
Sedimen Senja, SN RAtmana
Tabularasa, Ratih Kumala
Tamu, Wisran HAdi
TAngan-tangan Kehidupan, Titis Basino PI
Wasripin dan Satinah, Kuntowijoyo
Ziarah, Iwan Simatupang
DRAMA:
Aduh, Putu Wijaya
Alia Luka Serembi Mekah, Ratna Sarumpaet
Atas Nama Cinta, Agus R. Sarjono
Awal dan Mira, Utuy Tatang Santony
Dag Dig Dug, Putu Wijaya
Empat Sandiwara Orang Melayu, Wisran Hadi
Iblis, Mohammad Diponegoro
Kapai-Kapai, Arifin C. Noer
Ken Arok, Saini KM
Mahkamah, Asrul Sani
Malam Jahanam, Montinggo Busye
Opera Kecoa, Nano Riantiarno
Orkes Madun, Arifin C. Noer
Panembahan Reso, Rendra
Sekelumit Nyanyian Sunda, Nasjah Djamin
Serikat KAcamata Hitam, Saini KM
Suksesi, N Riantiarno
5 Naskah Drama Pemenang Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2003
Rabu, 14 April 2010
Minat untuk Belajar Bahasa Indonesia Menurun
Oleh Yurnaldi
Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Melbourne, Australia, terus berupaya memasyarakatkan dan meningkatkan pembelajar bahasa Indonesia. Itu karena sejak beberapa tahun terakhir minat pelajar untuk mempelajari bahasa Indonesia cenderung menurun.
"Lewat budaya, KJRI Melbourne menawarkan program school excursion workshop gamelan. Guru-guru melatih anak didiknya belajar gamelan sekaligus belajar bahasa Indonesia," kata Konsul Jenderal RI Budiarman Bahar, Minggu (11/4/2010) di Melbourne, Australia.
Berdasarkan data, pengajaran bahasa Indonesia mengalami penurunan cukup drastis, terhitung dari tahun 2002 sampai 2008. Di Victoria, pelajar yang mempelajari bahasa Indonesia pernah mencapai 106.000 orang. Kemudian dari tahun ke tahun terus berkurang dan saat ini terdapat sekitar 75.000 pelajar yang belajar bahasa Indonesia dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Budiarman menjelaskan, untuk mempertahankan pengajaran bahasa Indonesia, KJRI tahun 2009 mengundang Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, untuk melakukan lawatan seni dan budaya di Melbourne, Victoria. Lawatan budaya dilakukan terutama ke sekolah-sekolah di Victoria yang mengajarkan bahasa Indonesia sekaligus tampil di acara Festival Indonesia 2009 di Melbourne.
"Dari data Department of Education and Early Childhood-LOTE programs, tercatat penurunan peminat sekitar 33 persen pelajar yang belajar bahasa Indonesia. Dari sebelumnya sekitar 106.284 orang tahun 2002 menjadi sekitar 71.528 orang tahun 2007," ujarnya.
Penurunan itu disebabkan travel advisory Pemerintah Australia yang memberi peringatan khusus, antara lain, kepada sekolah yang ingin berkunjung ke Indonesia.
Selain itu, lanjut Budiarman, juga karena kasus terorisme di Indonesia yang memengaruhi pandangan orangtua untuk mengizinkan anaknya melakukan study tour atau kunjungan sister school ke Indonesia. Termasuk pemotongan anggaran federal untuk pengajaran bahasa di sekolah-sekolah pada era pemerintahan John Howard.
Guru bahasa Indonesia di Cathedral College, Williams, mengatakan, selain karena travel advisory, berkurangnya minat pelajar Victoria mempelajari bahasa Indonesia juga karena faktor latar belakang akar budaya sehingga pelajar cenderung memilih bahasa Jerman, selain bahasa Inggris.
Menurut Budiarman, selain pelatihan gamelan, untuk menekan penurunan minat belajar bahasa Indonesia, KJRI melakukan berbagai upaya, antara lain kunjungan ke sekolah, lomba bahasa Indonesia, penghargaan murid berprestasi dalam bahasa Indonesia, dan partisipasi pada upacara HUT RI di Melbourne ataupun Canberra.
Sumber: Kompas, 13 April 2010
Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Melbourne, Australia, terus berupaya memasyarakatkan dan meningkatkan pembelajar bahasa Indonesia. Itu karena sejak beberapa tahun terakhir minat pelajar untuk mempelajari bahasa Indonesia cenderung menurun.
"Lewat budaya, KJRI Melbourne menawarkan program school excursion workshop gamelan. Guru-guru melatih anak didiknya belajar gamelan sekaligus belajar bahasa Indonesia," kata Konsul Jenderal RI Budiarman Bahar, Minggu (11/4/2010) di Melbourne, Australia.
Berdasarkan data, pengajaran bahasa Indonesia mengalami penurunan cukup drastis, terhitung dari tahun 2002 sampai 2008. Di Victoria, pelajar yang mempelajari bahasa Indonesia pernah mencapai 106.000 orang. Kemudian dari tahun ke tahun terus berkurang dan saat ini terdapat sekitar 75.000 pelajar yang belajar bahasa Indonesia dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Budiarman menjelaskan, untuk mempertahankan pengajaran bahasa Indonesia, KJRI tahun 2009 mengundang Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, untuk melakukan lawatan seni dan budaya di Melbourne, Victoria. Lawatan budaya dilakukan terutama ke sekolah-sekolah di Victoria yang mengajarkan bahasa Indonesia sekaligus tampil di acara Festival Indonesia 2009 di Melbourne.
"Dari data Department of Education and Early Childhood-LOTE programs, tercatat penurunan peminat sekitar 33 persen pelajar yang belajar bahasa Indonesia. Dari sebelumnya sekitar 106.284 orang tahun 2002 menjadi sekitar 71.528 orang tahun 2007," ujarnya.
Penurunan itu disebabkan travel advisory Pemerintah Australia yang memberi peringatan khusus, antara lain, kepada sekolah yang ingin berkunjung ke Indonesia.
Selain itu, lanjut Budiarman, juga karena kasus terorisme di Indonesia yang memengaruhi pandangan orangtua untuk mengizinkan anaknya melakukan study tour atau kunjungan sister school ke Indonesia. Termasuk pemotongan anggaran federal untuk pengajaran bahasa di sekolah-sekolah pada era pemerintahan John Howard.
Guru bahasa Indonesia di Cathedral College, Williams, mengatakan, selain karena travel advisory, berkurangnya minat pelajar Victoria mempelajari bahasa Indonesia juga karena faktor latar belakang akar budaya sehingga pelajar cenderung memilih bahasa Jerman, selain bahasa Inggris.
Menurut Budiarman, selain pelatihan gamelan, untuk menekan penurunan minat belajar bahasa Indonesia, KJRI melakukan berbagai upaya, antara lain kunjungan ke sekolah, lomba bahasa Indonesia, penghargaan murid berprestasi dalam bahasa Indonesia, dan partisipasi pada upacara HUT RI di Melbourne ataupun Canberra.
Sumber: Kompas, 13 April 2010
Kamis, 08 April 2010
Semoga Menulis
beberapa hari ini aku memang sedang berbahagia. sebab perangkat untuk menulis sudah lumayan tercukupi. namun, anehnya belum satu pun karya yang lahir. huh! sekarang aku tengah memanas-manaskan diri untuk kembali menulis. doakan! doakan!
Kamis, 28 Januari 2010
Biografi Singkat Walt Disney
Walt Disney adalah sebuah legenda di bidang hiburan abad ke-20. Popularitasnya dilengkapi dengan imajinasi, optimisme, serta kreativitas. Walt Disney telah menyentuh hati, pikiran, dan emosi jutaan orang. melalui karya2nya, ia turut mendatangkan kegembiraan dan kesenangan pada semua orang di seluruh dunia. Ia membawa kita dekat kepada masa depan, dengan menceritakan masa lalu.
Bernama lengkap Walter Elias Disney, dan dilahirkan pada 5 Desember 1901 di Chicago, Illinois.
Sejak kecil, Walt sangat tertarik pada menggambar dan seni. Saat berumur 7 tahun Walt sering menjual sketsa dan gambar2nya ke tetangga terdekat.
Walt suka menggambar binatang dan alam daripada mengerjakan tugas2 yang diberikan dari sekolah. Pernah juga ia membuat miniatur kereta api lengkap dengan rel dan jalurnya.
Walt bersekolah di Mckinley High School, di Chicago. Selain menggambar ia juga belajar fotografi. tiap malam hari, Walt bersekolah di Academy of Fine Arts untuk menyempurnakan tekhnik menggambarnya.
Kemudian keluarga Walt berpindah ke Kansas, disana ia juga belajar akting. Walt adalah penggemar berat Charlie Chaplin.
Pada tahun 1925, Walt menikahi Lilian Bounds. Tiga tahun setelah menikah Walt menciptakan tokoh animasi Mickey Mouse yang sekarang menjadi maskot dari dunia hiburan Walt Disney. Terobosan2 Walt untuk menyempurnakan dunia animasi terus dilakukan. Banyak film2 kartun yang sudah dihasilkan oleh Walt, dan masyarakat Amerika tersentuh oleh karya2 Walt.
Pemikiran Walt brilian dan perhatiannya yang besar pada dunia pendidikan, membuatnya dia mendapatkan anugerah penghargaan True-Life Adventure Series. Lewat film2 yang dihasilkan oleh Walt. Selain melalui film, Disney juga mempesona kita dengan mimpi dan idenya untuk membangun suatu taman hiburan.
Pada tahun 1955 Dibangun Disneyland Park yang menelan biaya sebesar 17 juta dollar. Disney juga menjadi pionir di bidang pertelevisian tahun 1954 dengan presentasi " full-collor programming ". Hal ini membuat The Mickey Mouse Club menjadi favorit dan populer.
Sebagai Pioner dan juga inovator, Walt Disney telah mendapatkan lebih dari 950 penghargaan di dunia, termasuk 48 penghargaan dari Academy Awards dan 7 penghargaan dari Emmys Award. Secara Pribadi Waldt Disney telah mendapatkan gelar honoris kausa dari Universitas Harvard, Universitas Yale, Universitas Southern California, dan UCLA. Mendapatkan medali penghargaan dari: France's Legion of Honor and Officer d'Academie decorations; Thailand's Order of the Crown; Brazil's Order of the Southern Cross; Mexico's Order of the Aztec Eagle; and the Showman of the World Award from the National Association of Theatre Owners.
Langganan:
Postingan (Atom)