Jumat, 23 Mei 2008

Kekuatan Kata

Mark Twain mengungkapkannya dengan sangat indah ketika mengatakan, “Udara sangat dingin, sehingga jika termometer ini lebih panjang satu inci saja, kita pasti akan mati membeku.”

Kita memang akan mati beku dalam kata-kata. Yang menjadi persoalan bukanlah suhu dingin yang ada di luar, melainkan termometer. Yang menjadi persoalan bukanlah realitas, melainkan kata-kata yang anda ucapkan pada diri anda mengenai realitas itu.

Saya pernah mendengar cerita yang menarik mengenai seorang petani di Finlandia. Ketika garis batas antara Finlandia dan Rusia sedang ditentukan, petani itu harus memutuskan apakah dia ingin berada di Finlandia atau di Rusia. Setelah memikirkan cukup lama, dia memutuskan untuk berada di Finlandia, tetapi dia tidak ingin melukai perasaan pejabat Rusia.

Pejabat Rusia itu datang kepadanya dan bertanya mengapa dia ingin berada di Finlandia. Petani itu menjawab, ”Sudah merupakan kerinduanku sejak dulu untuk tinggal di tanah tumpah darahku Rusia, tetapi pada usiaku yang sudah lanjut seperti ini, aku tidak dapat bertahan menghadapi musim dingin di Rusia.”

Rusia dan Finlandia hanyalah kata-kata, konsep, tetapi tidak demikian halnya bagi manusia, tidak bagi manusia yang gila, yang menganggap kata-kata dan konsep itu sama dengan realitas. Kita hampir tidak pernah melihat realitas.

Suatu saat seorang guru berusaha untuk menjelaskan kepada sekelompok orang bagaimana orang-orang bereaksi terhadap kata-kata, menelan kata-kata, hidup dalam kata-kata, ketimbang dalam realitas.

Salah seorang dari kelompok itu berdiri dan mengajukan protes. Dia berkata, “Saya tidak setuju dengan pendapat anda bahwa kata-kata mempunyai efek yang begitu besar terhadap diri kita.” Guru itu menukas, ”Duduklah, anak haram.”

Muka orang itu menjadi pucat karena marah, lalu berkata, ”Anda menyebut diri anda sebagai orang yang sudah mengalami pencerahan, seorang guru, seorang yang bijaksana, tetapi seharusnya anda malu dengan diri anda sendiri.”

Kemudian guru itu berkata, “Maafkan saya, saya terbawa perasaan. Saya benar-benar mohon maaf, itu benar-benar di luar kesadaran saya, saya mohon maaf.” Orang itu akhirnya menjadi tenang.

Kemudian guru berkata lagi, ”Hanya diperlukan beberapa kata untuk membangkitkan kemarahan dalam diri anda; dan hanya diperlukan beberapa katauntuk menenangkan diri anda. Benar, bukan?”

Sumber: Disadur dari dari buku Awareness karya Anthony de Mello.

Kebangsaan: Imajinasi Masa Lalu


Refleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional

Oleh: Bre Redana


Apakah sebuah gagasan -katakanlah gagasan mengenai nasionalisme- bisa berfungsi seperti sebuah ayat, yang dengan itu lalu terjadi semacam proses nubuatan, sebuah bangsa kemudian bangkit, mengepalkan tangan, satu padu bulat tekad menuju merdeka? Banyak hal membuktikan, kesadaran bangkit disebabkan hal-hal kecil, dari perubahan-perubahan yang sering tak teramati karena sifat kesehariannya, yang betapapun di baliknya sebenarnya tersimpan gerak modernisasi.

Pada mulanya, pembangunan Grote Postweg—sebuah jalan raya yang menyisir Pulau Jawa di bagian utara, dari Anyer sampai Panarukan, oleh Herman Willem Daendels, ketika yang bersangkutan menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tahun 1808-1811. Pembangunan jalan itu adalah untuk menahan kemungkinan invasi Inggris dari laut (utara). Dengan pembangunan jalur itu—yang dirancang sebagai jalur militer—bisa disusun strategi untuk memobilisasi manusia, dari satu wilayah permukiman ke permukiman lain.

Lalu, semua berlangsung tak terduga. Bukan saja tumbuhnya jalan berarti juga tumbuhnya jalur perdagangan, tetapi peta kekuasaan bahkan sakralitas kekuasaan diacak-acaknya. Dalam konsep kekuasaan sebelumnya, infrastruktur semacam alun-alun yang dikelilingi oleh keraton, masjid, adalah simbol sebuah domain politik. Hanya saja, apa peduli ”Tuan Guntur” (begitu Daendels dijuluki karena ketegasannya dan barangkali perintahnya yang keras meledak seperti guntur di langit)?

Alun-alun, seperti di Pati dan Demak, dia terjang dengan proyek jalan rayanya. Dalam catatan Peter JM Nas dan Pratiwo (Java and De Groote Postweg, La Grande Route, The High Military Road, Leiden/Jakarta, 2001), di alun-alun yang terbelah itu lalu muncul kegiatan perdagangan, katakanlah lahirnya domain ekonomi baru, merongrong domain politik lama keraton. Kalau menurut budayawan Sardono W Kusumo, pembangunan jalan raya oleh Daendels juga mengalienasi keraton-keraton di Jawa, yang kemudian memilih jalur ke selatan saja, berhubungan dengan Laut Selatan, dengan Ratu Kidul. Bisa ditebak, apa implikasinya, kalau di belahan utara dunia bergerak dalam kegairahan perdagangan, sementara di jalur selatan raja asyik-masyuk bermasturbasi dengan Ratu Kidul, maka kekuasaan lama harus segera tutup buku. Tancep kayon.

Pada periode sejak awal 1800-an itulah disebabkan berbagai sebab benih-benih antikolonialisme menemukan bentuknya dalam perlawanan yang baru—bukan sekadar kisruh berebut kekuasaan seperti di zaman-zaman keraton lama sebelumnya. Menurut Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, Gramedia Pustaka Utama, 1996), perang yang dilancarkan oleh Pangeran Diponegoro, yang sering juga disebut sebagai ”Perang Jawa” dari 1825-1830, adalah ”batas historis antara periode ’konflik-konflik feodal’ dan ’periode modern’”. Lombard mengaksaentuasi pendapat Peter Carey, bagaimana perang tadi meletus bukan pada waktu krisis, tetapi justru pada waktu pembangunan ekonomi berjalan pesat.

”Yang terjadi bukanlah pemberontakan petani yang tercetus karena kelaparan dan kesengsaraan, tetapi pemberontakan terencana, yang dikobarkan oleh beberapa orang bangsawan dan secara sadar didukung oleh sebagian elite pedesaan,” demikian Lombard menulis.

Ihwal mengenai Diponegoro ini juga menarik perhatian pelukis tersohor, Raden Saleh Sjarif Boestaman (1807-1880), yang banyak bergaul dengan elite bangsawan maupun para intelektual Eropa. Politik representasi sudah beroperasi pada zaman itu. Pelukis Belanda, JW Pieneman, melukis peristiwa penangkapan Diponegoro, dengan menggambarkan sang pangeran berdiri dengan dua tangan terbentang seolah kehilangan akal, sementara di belakangnya, Jenderal de Kock berkacak pinggang menunjuk kereta tahanan, seolah memerintahkan penahanan Diponegoro.

Statemen berbeda diberikan oleh Raden Saleh. Dalam lukisan karyanya berjudul ”Penangkapan Diponegoro”, Sang Pangeran berdiri tegak dengan kerut wajah tegas berwibawa, tangannya memegang tasbih dengan kencang. Jenderal de Kock dilukiskan tetap menaruh hormat, selain penggambaran kepalanya yang gede (seluruh orang Belanda dalam lukisan itu kepalanya terlihat besar melebihi proporsi. Mungkin ini semacam ”penghinaan”, menggambarkan Belanda seperti para buto seberang dalam pewayangan).

Politik representasi ini bukankah merupakan gejala amat modern? Sebagaimana pelukis-pelukis dan seniman-seniman pada zaman berikutnya menyampaikan pesan politisnya di balik karya?

Awal tahun 1900-an, Hindia Belanda menyaksikan perubahan tata cara berpakaian sejumlah kalangan pribumi. Yang disebut ”new breed” atau bibit-bibit baru dari Indonesia modern nantinya mulai mengenakan pantalon dan juga topi seperti kalangan Belanda. Nantinya, peci menjadi semacam simbol identitas kebangsaan. Melalui mode, sebuah bangsa mulai mendefinisikan dirinya sendiri—bukan didefinisikan pihak lain. Seperti kata Baudelaire, modernitas jangan-jangan berasal dari mode.

Nasionalisme, diteorikan Ernest Gellner seperti dikutip oleh Benedict Anderson dalam bukunya yang terkenal, Imagined Communities (Verso, London-New York, 1983), bukanlah hal kebangkitan bangsa-bangsa pada suatu kesadaran diri, (tapi) ia menemukan (invent) bangsa-bangsa yang sebenarnya tidak eksis. Atau selanjutnya dalam tesis Anderson, sebuah bangsa, sebuah komunitas, sekecil apa pun, sebenarnya adalah soal ”terbayangkan” (imagined) karena toh pada dasarnya kita tidak pernah kenal, bertemu, atau tahu-menahu sebagian besar anggota komunitas itu, terlebih kalau diluaskan sebagai bangsa.

Jadi, memang harus ada proses imajiner yang mampu membentuk affinity sekaligus perasaan percaya—trust dalam istilah Fukuyama—bahwa kita terikat menyongsong masa depan bersama. Nyatanya, proses itu sekarang disabot para penguasa, dirongrong dari para pengutil sampai para tikus garong yang meng-korup kekayaan bangsa secara besar-besaran. Sebagian besar dari kami telah kalian miskinkan.

Grote Postweg sudah terkubur sejarahnya (dari sepanjang jalur ini di seluruh Jawa, adakah sepenggal saja yang dinamai Jalan Raya Daendels?). Bersama terkuburnya sejarah, tinggallah kebangsaan—sebagai suatu konsep imajiner—juga menjadi imajinasi: imajinasi masa lalu.

Bre Redana, penulis dan wartawan Kompas.

Kamis, 22 Mei 2008

Tirani Tafsir Mayoritas


Oleh: Iyan Sofyan Hamid

Agama tidak pernah bisa terlepas dari persoalan tafsir manusia atasnya. Berbagai bentuk keberagamaan dalam pemahaman dan praktik agama di dunia mencerminkan bahwa tafsir merupakan sesuatu yang melekat dalam agama, karena tafsir tidak pernah bisa diseragamkan. Keberagaman tafsir tersebut bukanlah sesuatu yang nisbi, melainkan hal yang substantif dalam diri manusia sebagai sang makhluk penafsir. Islam sendiri sering kali menegaskan bahwa keberagaman tersebut adalah rahmat.

Secara antropologis manusia itu sendiri adalah sang makhluk penafsir.

Sikap-sikap manusia dalam bertindak di segala bidang, entah itu politik, ekonomi dan juga agama merupakan derivasi dari kemampuan manusia dalam menafsir. Penafsiran terhadap segala sesuatu dapat dikatakan sebagai status primordial manusia di dunia. Tanpa tafsir, manusia tidak akan pernah dapat bertindak. Tafsir itu sendiri tak pernah bisa tunggal karena sangat tergantung konteks budaya, ekonomi, dan juga politik seseorang dalam menafsir. Sebab itu, penafsiran tidak pernah bisa seragam.

Dalam agama, perbedaan tafsir itu sering kali tidaklah dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Acap kali, perbedaan tafsir tersebut mendatangkan teror dan kekerasan. Biasanya, kekerasan dikenai pada mereka yang minoritas. Tafsir yang dianut oleh mayoritas sering kali mendatangkan ketidakhormatan, pemaksaan, dan juga kekerasan terhadap tafsir yang dianut oleh minoritas. Di sini terjadi hegemoni tafsir mayoritas atas mayoritas dan kebenaran bukanlah menjadi perkara kebenaran itu sendiri, melainkan berkenaan dengan mayoritas dan kekuasaan.

Belajar dari sejarah
Minoritas memang selalu menjadi 'korban' yang selalu terpinggirkan, terdiskriminasikan, dan mengalami kekerasan. Banyak sudah kasus yang menunjukkan bahwa minoritas penafsir agama tertentu menjadi korban. Diskriminasi terhadap minoritas agama tersebut, dalam pengertian tertentu, kerap kali diselubungi oleh kepentingan di luar kepentingan agama itu sendiri.

Konflik yang seakan tanpa batas di Irak, misalnya, memiliki korelasi dengan perbedaan teologi dan politik antara Sunni dan Syiah. Fenomena itu mencerminkan bagaimana sebenarnya sebuah kelompok agama yang berbeda penafsiran menghasilkan sebuah hubungan yang tidak harmonis, diskriminatif, dan melakukan teror satu sama lain. Siapa yang berkuasa dialah yang mendapat kesempatan untuk meneror yang lain.

Dalam soal pembagian kekuasaan, misalnya, di Arab Saudi tidak ada satu pun menteri Syiah dalam kabinet. Syiah selalu berada di luar posisi penting dalam bidang keamanan atau angkatan bersenjata. Hanya dalam beberapa tahun lalu, monarki Saudi membuat suatu gerakan besar dengan menerbitkan keputusan untuk menambah dua anggota Syiah (untuk pertama kalinya) dalam 120 anggota majelis terpilih, yang berfungsi sebagai dewan tinggi kerajaan atau semacam parlemen. Sehingga totalnya empat anggota ketika dewan diperluas menjadi 150 anggota pada 2005.

Di Indonesia, diskriminasi terhadap minoritas itu terjadi di masa Orde Baru kepada etnik Tionghoa. Kini, yang menjadi sasaran diskriminasi tersebut adalah Ahmadiyah, yang merupakan paham keberagamaan yang dianut oleh minoritas muslim Indonesia. Lebih parah lagi, diskriminasi tersebut mengarah kepada pengusiran dan pelarangan aktivitas jemaahnya, dan juga tentu kekerasan dan pengusiran.

Persoalan yang sebenarnya terjadi dengan Ahmadiyah sekarang ini bukanlah hanya persoalan klaim kesesatan ajaran, tapi juga berkaitan dengan kekuasaan, tirani mayoritas, dan juga kepentingan tertentu. Logikanya sederhana, klaim sesat dan pelarangan Ahmadiyah tidak akan muncul bila mayoritas muslim di Indonesia adalah Ahmadiyah. Dengan ringkas, klaim kesesatan dan pelarangan terhadap sebuah kelompok yang berbeda penafsiran keagamaan tidak bisa terlepas dari mayoritas dan kekuasaan.

Hubungan antara tafsir dan kekuasaan dapat kita pahami lebih lanjut dalam bukunya Power/Knowledge Michel Foucault. Buku itu membuat kita paham bahwa tidak ada sebuah pengetahuan yang objektif, yang lepas dari kekuasaan dan kepentingan. Pengetahuan dapat dikatakan objektivikasi dari pengetahuan demi kepentingan tertentu. Pengetahuan dan kekuasaan seperti dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.

Tafsir nonhegemonik
Apa yang terjadi dalam diskriminasi terhadap agama tertentu merupakan efek dari hegemoni tafsir mayoritas atas tafsir minoritas. Mayoritas merasa bahwa tafsirnya yang benar, sebab itu mereka menekan dan memaksa minoritas untuk mengikuti tafsirnya. Apalagi bila yang mayoritas tersebut dekat dengan kekuasaan politik, pemaksaannya tersebut semakin ekstrem, dengan melakukan kekerasan, pelarangan secara konstitusional dan pengusiran.

Apa yang diklaim sebagai kebenaran dalam ruang publik juga tak bisa terlepas dari mayoritas dan kekuasaan ini. Demokrasi itu sendiri sering dikritik sebagai sistem yang bertirani mayoritas. Bukan hanya demokrasi, tetapi tafsir agama yang mayoritas juga kerap kali mendatangkan intoleransi terhadap yang minoritas. Kebenaran selalu berpihak kepada mayoritas dan kekuasaan. Apa yang terjadi dengan pelarangan Ahmadiyah, misalnya, tak bisa terlepas dari hegemoni tafsir mayoritas yang dekat dengan kekuasaan atas minoritas.

Sikap-sikap hegemoni tafsir tersebut harus diretas. Tiada maksud lain kecuali untuk menghargai terhadap yang lain yang berbeda, yang minoritas. Peretasan tersebut dapat didasarkan pada penghargaan terhadap hak-hak atas keyakinan dan kepercayaan keberagamaan orang lain walaupun ia minoritas. Dalam hal ini, mayoritas semestinya malah harus melindungi dan menaungi minoritas. Bahwa mereka, minoritas, berhak untuk menganut dan menjalankan perbedaan tafsirnya.

Bahwa manusia, dengan berbagai konteks budaya yang berbeda, adalah makhluk sang penafsir yang kerap kali tak pernah bisa diubah dan diseragamkan penafsirannya, entah itu melalui pemaksaan. Memahami bahwa perbedaan itu adalah rahmat, dan perbedaan penafsiran adalah sunnatullah, maka seyogianya kita perlu mengembangkan tafsir yang nonhegemonik. Sebuah tafsir yang dapat menerima dan menghargai perbedaan, entah yang beda tersebut adalah minoritas.

Iyan Sofyan Hamid, Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina

Rabu, 21 Mei 2008

Pembaca Kita Kurang Latihan Berpikir


Sastra populer selalu lahir setiap zaman. Ia menyajikan informasi dan cerita, tanpa mengandung substansi dan mengangkat persoalan. Bahkan kini para pengarang sastra populer makin eksklusif: hanya bercerita dunia mereka sendiri. "Hanya itu yang mereka tahu," kata Jakob Sumardjo, kritikus sastra Indonesia dari Bandung.

Kritikus yang sehari-hari mengajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Universitas Parahyangan Bandung, dan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung ini berpendapat sastra populer tidak menyumbangkan pemikiran terhadap kemanusiaan, sosial, politik, atau agama. "Sastra populer hanya menyenangkan pembacanya. Sekali baca ya sudah," ujarnya.

Selain itu, kemunculan banyak novel berdasarkan sejarah juga tidak banyak menyumbangkan perkembangan sastra Indonesia. Sebab, katanya, para pengarang itu hanya menjadikan sejarah sebagai sensasi dan kenangan. Tanpa disertai riset yang kuat dan menggali fakta-fakta sejarah, pengarang hanya menyajikan data-data. "Padahal, dalam sastra yang penting bukan data itu, tapi substansi apa yang ada dibalik data itu. Nilai-nilai apa yang ada di balik cerita," katanya. Lalu bagaimana pandangan Jakob Sumardjo tentang perkembangan sastra di Indonesia kontemporer?

Bagaimana Anda mengamati sastra Indonesia setelah periode generasi Ayu Utami?
Sekarang ini saya nggak banyak mengikuti. Tapi kelihatanya kecenderungan lebih pada sastra populer. Sekarang pengarangnya banyak, produksinya luar biasa. Sejak dulu sastra populer produksinya tiada henti. Ia berkembang terus. Sejak tahun 1900 sampai sekarang sastra populer hidup terus.

Kapan sastra populer di Indonesia mulai berkembang?
Sastra populer dimulai dari orang-orang China mulai 1900 sampai tahun 1942. Pada tahun 1930-an, lahir sastra populer orang-orang Indonesia sendiri seperti sastra Medan. Pada tahun 1950-an, lahir sastra yang bukan novel. Bentuknya cerita pendek di majalah-majalah umum. Baru pada tahun 1970-an mulai lahir sastra populer yang ditulis perempuan. Tahun 2000-an muncul sastra generasi setelah Ayu Utami. Kecenderungannya sekarang ada yang Islami dan dunia eksklusif anak-anak muda. Gejalanya begitu. Sastra populer sekarang ini membicarakan dunia pengarangnya sendiri, yakni anak muda sendiri. Jarang mereka mengangkat cerita di luar dunianya.

Mengapa seolah-olah terjadi personalisasi cerita?
Mereka hanya mengenal dunia mereka sendiri, yakni kaum muda. Kelihatannya ada gap antara orangtua dan orang muda, sehingga dunia orangtua tidak dimasuki orang muda. Ini lebih jauh bisa dilihat lebih jauh bagaimana mereka menyikapi orangtua. Ini bisa dilihat dalam film. Sekarang kan novel banyak yang difilmkan. Novel-novel mereka kan dunia terbatas. Ini tidak terjadi di masa lampau. Pada tahun 1970-an sampai 1980-an novel berkisah dunia orang dewasa walau hanya dunia perempuan dan umum. Itu cermin masyarakat keseluruhan. Sekarang ini cermin golongan muda.

Gap itu terjadi pada tingkat usia pengarangnya atau sekadar pada ide?
Ide atau karyanya sendiri merupakan alam pikiran penulisnya. Dari karyanya kita bisa melihat penulisnya.

Apa yang menyebabkan gap?
Di masa lalu tidak terjadi gap karena zaman-zaman itu para penulis sastra populer bertolak pada sastra modern Indonesia seperti novel Siti Nurbaya. Mereka menulis sempalannya yang tidak melahirkan suatu problema, tapi meneguhkan norma-norma sosial yang ada di sekitar penulis dan pembacanya. Dalam jalur sastra utama (baca: sastra serius), semua yang dikatakan sastra itu masalah. Sastra populer itu meneguhkan norma-norma yang umum. Bagi sastra populer, norma itu bukan masalah lagi. Sastra populer memperkuat norma sosial yang ada. Pada tahun 1970-an dalam sastra populer perempuan, orang ketiga dalam kisah cinta itu salah. Dalam sastra utama itu dipermasalahkan, apakah benar itu salah? Mengapa?

Sekarang banyak pengarang menulis novel berdasarkan fakta sejarah, lalu pengarang meramunya menjadi cerita yang berbeda dengan sejarahnya. Bagaimana pandangan Anda?
Itu juga masuk populer. Yang terjadi mereka hanya mengambil fakta-faktasejarah yang relevan, lalu ditulis berdasarkan visi orang sekarang. Sistem pengetahuan sekarang dipakai untuk melihat masa lalu itu. Di dalam sastra sejarah yang benar, tidak tejadi seperti itu. Sejarah itu hanya sebagai bahan yang dipakai untuk mengemukan suatu problem. Entah masalah sosial, politik, filsafat, atau masalah lainnya yang ada kepentingan dan relevannya dengan sekarang. Misalnya, problem kekuasaan, seperti konflik interest dan feodalisme, yang sekarang ada akar-akarnya di masa Mataram. Ini mungkin dilakukan karena penulis lebih berani mengkritik kekuasaan sekarang melalui sejarah masa lalu. Jadi, bukan semata-mata sejarah untuk kesenangan. Sekarang ini kan mengangkat sejarah hanya untuk sensasi dan kenangan. Senang mendengarkan cerita saja.

Pramoedya Ananta Toer cukup lihai meramu fakta sejarah menjadi cerita menarik. Bagaimana Anda melihat pengarang sekarang yang juga banyak meramu sejarah?
Misalnya yang sudah saya baca. Ada pengarang yang menulis novel Diah Pitaloka (karya Hermawan Aksan, red). Diah Pitaloka digambarkan seperti film-film dalam Hong Kong dan China. Dia digambarkan sebagai ahli silat. Saya seolah melihat Ziang Zi Yi dalam Pitaloka. Ini gambaran pesilat China ramping itu. Saya belajar sejarah Sunda, saya tahu betul kesalahannya. Dalam kenyataan sejarah kan nggak seperti itu. Boro-boro jago silat, pakai kain harus menutup mata kaki dan berjalan saja susah. Berjalan kan harus pelan-pelan dan berirama. Bagaimana mau silat? Itu artinya dia tidak mendalami ilmu sejarah. Untuk menulis novel sejarah memang diperlukan seperti Pram, mendalami dan menggali bahan-bahan sejarah. Yang penting berpikir berdasarkan fakta-fakta itu.

Bagaimana cara berpikir berdasarkan fakta-fakta itu?
Itu harus kita diteliti. Misalnya, bagaimana sikap orangtua terhadap anak digambarkan seperti itu. Alam pikiran seperti apa yang ada di belakangnya. Atau dalam cerita lama mengapa raja ketemu raja kok begitu? Kita akan tahu di belakang ada pikiran dasar seperti ini dan bisa mengkonstruksi. Filosofinya seperti itu. Membaca sejarah itu bukan membaca fakta-fakta. Kita harus membaca di balik fakta itu. Pentingnya sejarah itu pada intangible-nya, bukan pada tangible-nya.

Anda ingin mengatakan banyak novel sejarah itu dibuat asal-asalan?
Ya itu asal-asalan, demi klangenan, demi hiburan. Tujuannya memang menyenangkan untuk dibaca. Pelipur lara, eskapisme. Daripada ribut-ribut memikirkan bensin dan harga kebutuhan mahal, inilah yang menghibur.

Tapi kan sambutan pasar cukup antusias. Itu pertanda apa?
Menunjukkan mental baca masyarakat kita atau sistem pengetahuan masyarakat kita. Mereka memang tidak pernah tertarik pada hal-hal intangible itu. Ini artinya kurang latihan berpikir. Pendidikan kita kurang melatih berpikir. Mereka biasa menelan bentuk-bentuk saja. Mereka hanya menghapalkan bentuk. Tidak pernah dilatih untuk melihat di belakang bentuk-bentuk itu, bahwa di belakangnya ada struktur dan hubungan. Sekarang ini tingkat bacaan masyarakat terbius pengetahuan baru, kurang menukik pada hakikat. Dalam sastra yang penting bukan cerita itu sendiri, tapi nilai di belakangnya. Ada hakikat pikiran dasarnya.

Novel sejarah populer itu tidak menawarkan nila-nilai tertentu?
Ya itu hanya cerita. Hanya berita. Berita yang aneh-aneh dan menyenangkan, tapi tidak sampai pada hakikat. Dalam ilmu dan sastra yang penting kan abstraksi itu dari fakta. Itulah wacana. Itu sumbangan pengarang kepada kesusastraan.

Terjadi pendangkalan fakta sejarah?
Itu sudah terjadi sejak dulu, kecuali pada zaman Balai Pustaka. Karena karya Balai Pustaka diproduksi untuk konsumi para terpelajar Indonesia di sekolah. Itu diteruskan zaman Jepang dan kemerdekaan sebagai wadah intelektual. Jalur sastra yang sesungguhnya adalah kerja intelektual. Sastra populer hanya keterpelajaran saja.

Adakah sumbangsih sastra populer bagi pemikiran sosial, politik, dan agama?
Paling menyebarkan minat baca dan pasar. Tapi sumbangan pemikirannyaterhadap pemikiran kemanusiaan, sosial, politik, atau agama tidak ada. Karena dia tidak menukik para persoalan yang ada sekarang ini. Cerita pendek Kipanjikusmin berjudul Langit Makin Mendung (LMM), itu kan menohok satu persoalan keagamaan yang serius. Itu ada kadar intelektualnya. Sekarang sastra populer yang memiliki substansi seperti itu nggak ada. Kalaupun ada itu kebetulan. Seperti Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi dan buku lainnya. Karya Hirata bukan novel, itu otobiografi yang dinarasikan. Sebab, cerita dia otentik, dia menceritakan pengalaman yang ada. Itu bukan fiksi. Gurunya yang diceritakan ada dan bisa didatangkan. Ia juga beropini tentang gurunya. Pengalaman pembaca akan melihat fakta otentik yang dialami benar oleh pengarangnya. Kan ada struktur di dalamnya. Imajinasi itu kan dasarnya fakta otentik yang dialaminya. Ini sebenarnya bekal setiap pengarang yang serius. Setiap sastra yang baik itu sebenarnya otobiografi. Artinya, otobiografi permasalahan pengarangnya. Dasarnya adalah persoalan yang akan ditulis itu benar-benar ia kuasai. Seperti pengalaman Andrea Hirata, ia mengalami fakta dan pengalaman yang otentik. Hirata sebenarnya sudah punya bekal.Dalam karyanya, dia tidak mengangkat satu persoalan. Tapi, pengalaman yang informatif. Kalau saya jadi Andrea Hirata saya bisa menulis banyak novel. Bisa mengangkat berbagai potongan fakta itu menjadi novel. Bisa lebih tebal. Kalau dia mau mencari masalah dalam tulisannya. Kalau Hirata menulis fiksi betulan, belum tentu selaris ini. Kala mau menulis novel, ya cara menuliskannya imajinatif. Dia bisa menulis soal pendidikan dan kemiskinan. Berdasarkan fakta itu ia bisa membuat cerita imajinasi. Perkara wujudnya bisa menggali dari mana-mana. Satu tokoh, hidung bisa dari Madura, mulutnya dari Yogyakarta dan lain sebagainya. Seperti Seratus Tahun Kesunyian itu pasti ada dasarnya. Pram dalam Cerita dari Blora, itu kan pengalaman dia. Ia jelas sekali mengalaminya saat kangen kepada ayahnya. Meski yang ia ceritakan bukan aku sendiri tapi nama orang lain. Sastra nggak bisa bohong itu di situ. Sastrawan itu sebenarnya menyampaikan pendapat terhadap sesuatu yangdipersoalan. Karena dia mengalami sendiri. Pendapat tentang itu diungkapkan dalam bentuk cerita. Cerita yang bagus itu otobiografis.

Anda punya kritik terhadap novel model Diah Pitaloka?
Diah Pitaloka sangat fiktif. Inginnya menulis cerita silat. Padahal, cerita silat itu dasarnya dari sejarah China. Penulisnya membaca sejarah, senjatanya apa, aliran silat apa saja. Diah Pitaloka rupanya tidak dikerjakan seperti itu. Dia nggak membaca kebudayaan Sunda di masa itu. Dia tidak membandingkan budaya Sunda dan Jawa di masa itu. Dalam cerita sejarah, dasarnya pengetahuan bukan pengalaman. Dan pengarang mestinya memunculkan intangible dulu, baru tangible.

Sekarang banyak buku difilmkan atau film dibikin novel. Bagaimana pandangan Anda?
Itu budaya anak sekarnag. Itu memang kebudayaan pop. Kalau dulu film-film yang serius itu biasanya selalu kecewa. Novel itu tidak bisa difilmkan dengan baik. Film yang bagus biasanya dasar bukan karya sastra, tapi novel populer. Misalnya novel populer Cintaku di Kampus Biru. Itu bisa difilmkan dengan bagus. Karena hanya memuat informasi-informasi atau kisah percintaan, tapi tidak menyangkut persoalan yang substansial. Kalau sastra serius itu menyangkut substansial itu susah difilmkan. Tidak hanya dalam bentuk kata-kata tapi bahasa film. Ini kan ada peralihan medium. Ini yang biasanya menyulitkan sutradara. Kalau ganti media mestinya ganti cara. Memindahkan nilai dari karya sastra ke dalam film itu satu kesulitan sendiri. Karena itu banyak penonton film kecewa karena film itu tidak mampu memindahkan nilai-nilai yang di karya sastra. Apalagi hanya dua jam harus menampilan seluruh cerita. Kalau novel populer kan hanya informatif. Gambaran demi gambaran itu sendiri. Bahkan dalam film bisa lebih kaya. Bahkan film yang dasarnya novel populer bisa menjadi film seni. Novel Da Vinci Code sebagai karya kan banyak menerima kritikan. Da Vanci Code itu masuk sastra populer. Sastra serius itu Umberto Eco, yang berbicara tentang pastor abad pertengahan. Data-datanya dari abad pertengahan, sebenarnya ia berbicara tentang manusia yang sampai sekarang masih menjadi persoalan. Ia mengambil data dan merenungkannya. Dan Brown nggak seperti itu. Ia hanya membeberkan cerita. Lemahnya Dan Brown ia mempopulerkan persoalan-persoalan serius yang digampangkan. Orang-orang yang mempelajari arkeologi dan teologi tertawa saja membaca Dan Brown. Ngawur dia. Pembaca yang hanya menerima sebagai kenyataan karena tidak banyak membaca pengetahuan yang lebih ilmiah, menganggap itu sebagai kebenaran. Orang yang punya bekal pengetahuan tahu bahwa yang diangkat Dan Brawn itu palsu. Banyak hal yang tidak betul di sana. Itu tuduhan dia sendiri.

Sambutan pasar kan bagus?
Ya sastra populer kan karena pembacanya tidak kritis. Pembaca Da Vinci Code bisa ditipu dengan informasi palsu. Karena pembaca tidak belajar fakta otentiknya. Novel ini lebih dekat pada sejenis propaganda. Proganda untuk melawan kaum agama, kok masih percaya pada hal-hal seperti. Dia mungkin juga punya pengalaman buruk terkait dengan agama. Dia tahu sedikit-sedikit lalu menulis. Dia tidak menukik ke persoalan. Umberto Eco banyak sekali membacanya, ditulisnya sedikit saja. Kalau Brown membacanya sedikit, dipakai semua dalam tulisannya. Kalau intelektual bicaranya intelektual, itu belum intelektual betul. Seorang intelektual yang bicaranya secara bodoh, justru intelektual sejati. Sederhana sekali ngomongnya, tapi sangat mendasar karena dia sudah menguasai yang rumit-rumit. Bagaimana itu kemudian dirumuskan secara esensial.

Bagaimana Anda mengamati sikap pembaca novel populer?
Pembaca hanya terhibur. Hanya peduli pada bentuk cerita, bukan pada makna cerita yang mengandung persoalan kehidupan. Kalau mereka membaca novel agama, ya membaca novel saja. Kalau dia perlu belajar agama ya baca pelajaran agama. Kalau dalam novel serius tidak begitu. Dalam novel itu bisa belajar agama. Saya bisa belajar agama dari novel itu. Novel itu hanya simbol mempersoalkan agama. Semua karya sastra itu opini atau pendapat pengarangnya tentang suatu masalah. Sastra menjadi populer karena tidak mengutamakan pendapat pribadi. Menjadi populer karena melayani pendapat pembacanya. Sastra populer itu populer pada suatu saat, setelah itu jenuh. Kayak industri entertain.

Bagaimana menjadi pembaca sastra yang kritis?
Kita harus membedakan subtansi dan wadahnya. Wadahnya boleh porno, substansi tidak. Kebanyakan pembaca tidak mengerti stuktur di belakang cerita. Novel Saman karya Ayu Utami itu bukan porno, meski wadahnya mungkin porno. Sastra populer itu hanya peduli pada wadah, nggak ada persoalan yang disampaikan karena tidak ada pertanyaan. Kalau novel yang substansial orang bisa berbeda-beda membacanya. Sastra populer monotafsir. Sekali membaca ya sudah. Kalau sastra serius selalu ada pertanyaan. Kalau sastra, problematis. Kalau sastra populer, hanya informatif.

Oleh Ahmad Nurhasim. jurnalnasional.com. Minggu, 04 Mei 2008.

Menyoroti Iri Dengki Manusia


Tidak saja membongkar dan mempersoalkan masalah moral keseharian melalui berbagai karakter ciptaannya, ia juga antikolonialisme dan menolak pengekangan seksual.

Ia lahir dengan nama Francois Charles Mauriac di Bordeaux, Gironde, pada 11 Oktober 1885. Mauriac lahir sebagai anak bungsu dari Jean-Paul Mauriac, seorang pengusaha sukses. Ketika Mauriac belum berusia dua tahun, ayahnya meninggal, dan keluarganya kemudian pindah ke rumah kakek mereka. Ibunya seorang Katolik taat yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Jansen (Jansenisme). Dari usia tujuh tahun, Mauriac mengikuti pendidikan dan tingal di asrama.

Ia belajar sastra di Universitas Bordeaux, lulus tahun 1905, setelah itu ia pindah ke Paris dan mempersiapkan diri untuk pendidikan pascasarjana di Ecole des Chartes. Namun ia ternyata hanya bertahan beberapa bulan, karena selanjutnya ia memutuskan memilih karier sebagai penulis.

Kumpulan puisi pertamanya, Les Mains joints (Clasped hands), dipublikasikan tahun 1909 dan mendapat sedikit perhatian dari komunitas sastra di Prancis. Itu adalah sepuluh tahun sebelum ia kemudian terkenal sebagai seorang penulis terkemuka di Prancis. Ia menulis novel, puisi, esai, dan naskah teater. Karier kepengarangannya sempat terhambat oleh Perang Dunia I, ketika ia ditugaskan ke Balkan sebagai petugas rumah sakit yang dikelola Palang Merah Internasional.

Beberapa tahun setelah perang usai, tahun 1922, ia menerbitkan novelnya Le Baiser aux lepreux (A Kiss for the Leper) yang mendapat sambutan luas. Novel ini berkisah tentang seorang muda berperangai buruk yang perkawinannya bersama seorang gadis petani cantik hancur berantakan.

Le Deser de L‘amour (1925) melanjutkan tema Mauriac: kegagalan cinta. Di novel ini seorang janda muda yang frigid terprovokasi nafsu dokter dan anaknya secara bersamaan.

Therese Desqueyroux (1927) pernah diklaim sebagai salah satu novel terbaik Prancis. Buku ini mengangkat kisah pengadilan pembunuhan yang sedang hangat. Dikisahkan, seorang istri berusia muda, Therese, dituduh membunuh suaminya, seorang tuan tanah yang kaya. Perhatian kemudian memusat pada keluasan tema ikutan yang selalu hadir dalam karya-karya Mauriac: penindasan yang berlangsung dalam kehidupan pedesaan, tekanan seksual, misteri dosa dan pengampunan, dan kebiadaban tersembunyi dari masyarakat pinggiran di selatan Bordeaux.

Le Noeud de Viperes (1932, Viper‘s Tangle) adalah sebuah novel keluarga, dan merupakan sebuah novel terbesar Mauriac. Tokoh utamanya seorang pria tua, Louis, yang begitu berkeras mempertahankan kekayaannya dari istri dan anak-anaknya yang bekerja sama melawannya.

Tahun 1933, ia terpilih menjadi anggota Akademi Prancis. Dan selama Perang Dunia ia tetap menulis, menerbitkan karyanya Le Cahier noir (The Black Notebook) dengan nama samaran “Forez”. Mauriac menulis protes tentang pendudukan Jerman atas Prancis. Karena hal itu ia harus bersembunyi selama beberapa lama. Ia juga menjadi pendukung setia de Gaulle.

Di antara lebih dari 30 novelnya, Mauriac juga menerbitkan beberapa naskah teater yang diproduksi oleh Comedie Francais. Ia juga pernah menjadi jurnalis, bekerja sebagai seorang editor untuk koran besar Prancis, Le Figaro. Pada 1950-an ia mendukung kemerdekaan Aljazair, juga menuntut segera diakhirinya kolonialisme Prancis di Vietnam, dan mengangkat persoalan penyiksaan yang dilakukan tentara Prancis di Aljazair. Dan ia juga menerbitkan catatan pribadi dan sebuah biografi tentang Charles de Gaulle.

Pada 1952 ia memenangkan hadiah Nobel Sastra. Karyanya kemudian secara utuh diterbitkan dalam dua belas jilid antara tahun 1950-1956. Ia juga mendorong Elie Wiesel untuk menuliskan pengalaman-pengalamannya sebagai seorang Jahudi selama masa holocaust, ditahan di kamp konsentrasi Jerman. Sampai kini ia masih menempati posisi utama sebagai novelis terbesar beragama Katolik abad 20, yang menjadikan persoalan kebaikan dan iri-dengki manusia sebagai tema-tema novelnya.

Francois Mauriac meninggal di Paris, 1 September 1970. Ia adalah kakek dari Anne Wiazamsky, seorang pembuat film yang kemudian bersuamikan sutradara besar Prancis, Jean-Luc Godard.

“Karakter-karakter ceritanya tidak memiliki imbangan dalam pengalaman keseharian di dunia. Di sini ia memecahkannya dengan tradisi naturalistik yang memiliki banyak jalan keluar yang sudah dikenalnya. Ia terutama bukanlah seorang pencatat kehidupan nyata dengan aksi-aksi manusianya, melainkan membiarkan dirinya hidup sebagai sebagai tokoh dalam kehidupan imajinatif,” kata Michael F Moloney, pengamat karya-karya Mauriac.

Karya-karya Mauriac kelihatan dipengaruhi beberapa pengarang. Ia mempublikasikan studinya tentang Racine dan Marcel Proust. Namun Pascal adalah pemikir terpenting baginya. Gaya bahasa Mauriac cenderung puitik dan sugestif. Katanya, “Saya percaya bahwa hanya melalui kekuatan puisi dan aspek putiklah berbagai elemen kesenian saling direkatkan. Hingga sebuah novel yang baik pada mulanya adalah puisi yang hebat,” kata Mauriac.

Pekerjaan awal Mauriac sering kali mengangkat persoalan nafsu dan kata hati, tapi setelah sebuah krisis spiritual ia menyelesaikan konflik yang terjadi dengan semangat “Kristianitas yang dapat menghasilkan pelepasan melegakan”.

Mauriac berada pada posisi utama sebagai seorang pengarang di generasinya yang sejauh ini menjadikan persoalan kehilangan kepercayaan jadi masalah penting. Ketika banyak pengarang mengabaikan kebijaksanaan dan kemuliaan ajaran agama, ia justru berkutat dan menegakkannya. Ia tidak saja mengangkatnya sebagai persoalan kompromistis para karakternya, tapi juga menjadi tawaran visioner ke tengah kehidupan dunia modern yang bergolak.

Ia selalu memiliki keyakinan pandangan, dengan kekuatan dan konsistensi nilai yang mampu diamalkannya. Ia melakukannya melalui novel-novel realisme, yang dengan mudah menyuguhkan garis-garis nilai para moralis seperti Pascal, La Broyere, dan Bossuet. Ia hanya menambahkan aspriasinya di antara pandangan mereka, agar sesuai dengan konteks cerita dan masa kisah yang disorotinya di lingkungan masyarakat Prancis.

Ia selalu mengedepankan informasi moral, secara ekstrem, sebagai formasi nilai terpenting dalam kehidupan. Sekaligus pula dalam kesehariannya, sebagai pribadi nyata, ia menunjukkannya melalui komentar-komentarnya yang tegas tentang “kesalahan” kehidupan publik yang diketahuinya.

Mauriac pernah mengatakan, bahwa setiap orang merdeka selalu mencari kebahagiaan dari dalam keindahan karya sastra, serta mengharapkan pelarian dari kenyataan yang pahit. Tapi, bagi pengarang yang baik, tujuan untuk memuaskan hasrat pelarian semacam itu adalah sesuatu yang tak harus dilakukan. Sebab, pengarang tak pernah berkarya karena membenci kehidupan, lalu menawarkan angan-angan pelarian.

Pengarang adalah seseorang yang mencintai kehidupan, dan berani hidup sendirian di dalamnya. Ia dapat memperoleh pencerahan darinya, atau menyalahkannya. Kecintaan yang sesungguhnya terhadap kehidupan, akan menyala-nyala dari karyanya.

Oleh Arie MP Tamba. jurnalnasional.com. Minggu, 04 Mei 2008

Menjadi Beradab dalam Kebebasan


Oleh: Chris Panggabean


Sebuah kemewahan ketika mahasiswa di Indonesia menemukan video kuliah umum Richard Dawkins, Slavoj Zizek, Alain Badiou, Noam Chomsky melalui situs Youtube, termasuk beberapa buku yang bisa diunduh dari situs Rapidshare. Para mahasiswa lokal ini menghemat ribuan dollar untuk mendapatkan pengetahuan yang sama dengan yang dicecap oleh para mahasiswa universitas ternama di Amerika dan Eropa.

Maka, betapa kaget dan mengecewakan ketika pemerintah melalui tangan Menteri Komunikasi dan Informatika memblokir sejumlah situs agar masyarakat tak melongok sebuah film yang kontroversial. Sungguh sangat disayangkan, menjelang peringatan seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional dan satu dekade Gerakan Reformasi, justru aneka pelarangan dan pemasungan kebebasan yang dipraktikkan oleh pejabat di republik ini.

Penyanyi Dewi Persik dicekal oleh Pemerintah Kota Tangerang karena performanya di panggung dinilai merusak moral. Sekelompok massa memaksa agar melalui tangan pemerintah kaum sebuah sekte keagamaan dihentikan peribadahannya karena dianggap sesat. Puncak kualitas se- mua larangan ini adalah penggembokan celana dalam perempuan pemijat. Para pejabat publik ini mengkhianati kebebasan yang direguk dari perjuangan reformasi dan menikam emansipasi Kartini.

Perjuangan kebebasan
Pada mulanya adalah kebebasan. Prinsip ini mengawali sejarah manusia, mulai dari pandangan teologis hingga humanis. Dikisahkan bahwa Tuhan memberikan kebebasan bagi manusia pertama untuk taat kepada perintah-Nya atau menuruti kehendak hatinya sendiri. Simbolisasinya: jangan memakan buah tentang pengetahuan yang baik-buruk yang ada di tengah Firdaus. Ontologi kebebasan ini berlanjut hingga manusia terdepak ke Bumi.

Manusia tetap memiliki kebebasan untuk percaya kepada Tuhan atau tidak. Ia menyediakan air dan udara bagi kebaikan setiap manusia, yang percaya ataupun ti- dak. Membingungkan jika kemudian ada ciptaan yang merampas kebebasan ciptaan lainnya karena dianggap tidak beriman.

Para humanis yang mengasah rasio kita sejak masa pencerahan memberi pemahaman yang luar biasa mengenai kebebasan. Kebebasan bersifat hakiki dan awali bagi setiap orang. Prinsip kebebasan merupakan jalan bagi kemajuan peradaban kemanusiaan. Tidak ada emansipasi tanpa kedaulatan dan tidak ada kedaulatan tanpa kebebasan. Deklarasi kemerdekaan adalah manifestasi penolakan terhadap pengekangan diri. Sebab, penjajahan bukanlah penguasaan wilayah geografis semata, tetapi belenggu terhadap kehendak. Ia memasung otonomi diri, padahal tubuh dengan seluruh kesadarannya butuh kebebasan untuk berkembang.

Kesadaran inilah yang mendorong kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena Orde Baru dengan praktik totaliternya mengikat erat kebebasan, rasio serupa memunculkan Gerakan Reformasi. Kebangkitan Nasional termasuk kisah tentang butuhnya ruang kebebasan bagi setiap insan untuk menjadi lebih baik. Hampir semua komponen bangsa meraih peluang untuk mengaktualisasikan potensinya melalui pintu-pintu kebebasan yang terbuka dari kedua peristiwa politik tersebut. Pada zaman Budi Utomo, tidak terbayangkan bahwa setiap orang akan mendapat pendidikan yang layak. Jika pada masa itu pendidikan dasar adalah sebuah kemewahan, sekarang jadi kewajiban. Sebelum Reformasi, tidak terbayangkan bahwa setiap individu atau kelompok mendapat peluang untuk mengorganisasikan diri dan mencapai tujuannya melalui partai politik baru.

Makna kebebasan
Ada dua jenis prinsip kebebasan: kebebasan negatif dan kebebasan positif. Jika Anda bisa melakukan apa saja tanpa ada hambatan dari luar diri, ini yang dimaksudkan sebagai kebebasan negatif. Restriksi terhadap kebebasan diperlukan demi menjamin bahwa pelaksanaan kebebasan seseorang tidak bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Negara adalah institusi yang mendapatkan hak secara alami untuk membatasi (bukan merampas) kebebasan individu. Kebebasan positif berbicara mengenai kebebasan untuk mencapai tujuan tertentu dan sifatnya intrapersonal, termasuk di dalamnya pemberdayaan diri yang memungkinkan individu merealisasikan potensi dirinya, mencapai otonomi dan penguasaan diri.

Individu yang bebas adalah individu yang otonom secara moral dan rasio. Artinya, ia menentukan sendiri nilai bagi dirinya, tujuan-tujuan hidup yang baik bagi dirinya. Bagaimana jika negara yang menentukan apa yang seharusnya dituju oleh individu? Inilah yang disebut penyelewengan kebebasan. Isaiah Berlin sudah mewanti-wanti hal ini. Negara teokrasi dan pemerintahan totaliter adalah contoh manipulasi kebebasan positif. Negara mengatakan hendak membawa masyarakat kepada masyarakat tanpa kelas yang berkeadilan bagi semua orang atau memastikan surga bagi semua penduduknya.

Pada pelaksanaannya, negara menentukan apa yang harus diterima dan dilakukan oleh warganya. Cara lain di luar cara pemerintah berarti pembangkangan. Apakah dengan menonton goyangan dangdut dan pergi pijat serta-merta moral menjadi runtuh; atau jika tidak menontonnya dan menggembok celana dalam, kualitas moral meningkat? Mengapa cara meningkatkan kualitas moral individu diatur oleh pejabat publik dan dosa kemesuman selalu ditimpakan kepada perempuan? Bukankah kebijakan semacam itu turut melecehkan kaum pria?

Banyak lelaki kini yang tidak lagi seperti Adam mula-mula, yang menimpakan kelemahan dirinya kepada Hawa, si sumber dosa. Peradaban manusia sesungguhnya diperbaiki dengan kesadaran dan pengetahuan, bukan dengan berbagai larangan. Menentukan bagaimana caranya individu mendapatkan kebaikan dalam hidupnya, tujuan mana yang seharusnya dicapai sama saja dengan menyangkal esensi kemanusiaan. Individu diperlakukan layaknya obyek yang tak memiliki kehendak dan ini mendegradasi harkat manusia.

Manusia mencapai kematangan dirinya melalui proses belajar dalam sejarah hidupnya. Perangkat utamanya adalah kebebasan dan rasio yang dimilikinya. Dengan rasio manusia memaknai pengalaman hidupnya, menyimpannya di dalam diri menjadi struktur pengetahuan, menghayatinya sehingga menjadi sistem nilai. Semakin banyak pengalaman hidup semakin kaya individu mengisi dirinya.

Pada proses atau fase inilah kebebasan menjadi ruang pembelajaran. Pembelajaran bagi setiap individu untuk menjadi warga yang beradab (civilized society). Sebab, ia akan belajar memahami apa itu perbedaan, toleransi, hak mewujudkan kesejahteraan, dan keberlangsungan ruang hidup bersama.

Pemerintah seharusnya fokus saja dengan penambahan dan peningkatan kualitas layanan publik. Daripada menjadi penjaga moral, lebih baik membangun mekanisme self-censorship dalam diri individu dan masyarakat agar memiliki kematangan nilai dan pengetahuan.

Sesungguhnya dalam kebebasanlah manusia menemukan ruang untuk belajar menjadi manusia seutuhnya (emansipasi) karena di dalamnya potensi diri dapat diaktualisasikan.

Chris Panggabean Aktif di Lingkar Muda Indonesia; Peneliti di UI

Menatap Masa Depan Bangsa


Oleh: Yasraf Amir Piliang


Setelah larut dalam kontemplasi peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang retrospektif, ada baiknya komponen bangsa ini hening dalam refleksi meneropong tantangan masa depan bangsa yang prospektif. Melalui renungan visioner, diharapkan dapat ditemukan sebuah landasan untuk meletakkan visi dan makna baru negara dan bangsa ke depan. Masa depan harus direbut secara proaktif, bukan dinantikan secara reaktif.

Negara dan bangsa ini lemah dalam ”mendesain” skenario masa depan: ketakmampuan antisipasi aneka bencana rutin (banjir, kekeringan, kebakaran hutan), kepanikan atas aneka kelangkaan sumber daya (bahan bakar, bahan pokok, bahan industri), ketakmampuan antisipasi pertumbuhan tekno-sosial (akumulasi kendaraan bermotor, pemadatan lalu lintas, polusi), kegamangan menghadapi ekses abad informasi (cyberporn, cybercrime).

Tantangan virtualitas
Tantangan 100 tahun ke depan tentu tak sama dengan tantangan 100 tahun lalu. Peralihan dari keterpusatan menuju ketakberpusatan (decentering), dari kesatuan menuju kesaling-bergantungan, dari kekuatan institusi menuju kekuatan jejaring, dari batasan realitas menuju virtualitas, adalah di antara tanda-tanda masa depan yang tak dapat diabaikan. Peralihan itu menuntut pemikiran-pemikiran baru kebangsaan dan kenegaraan.

Perkembangan ”abad virtual” telah memengaruhi wacana sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan anak bangsa, yang kini berlangsung di dalam ruang-ruang ”virtual”, dengan definisi, sifat, dan logika yang baru.

Melalui migrasi aneka aktivitas sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan ke dalam ”ruang-ruang virtual”, beralih pula ruang publik konvensional menjadi ”ruang publik virtual” (virtual public sphere), yang di dalamnya realitas politik dibingkai, pandangan moral dibangun, ukuran nilai (value) diciptakan, bakuan kebajikan (virtue) disusun, aneka pertukaran dan transaksi dimediasi, aneka komunikasi dimediasi, dan aneka kebebasan dimanifestasikan.

Multiplisitas jejaring
Di dalam abad virtual itu, ”mesin negara” (state machine) ditantang oleh mesin-mesin lain, yang mampu menghimpun, menghubungkan, dan menggerakkan elemen-elemen organik, fisikal, teritorial, institusional, struktural, dan simbolik, dengan organisasi lebih dinamis, struktur lebih kompleks, dan pengaturan lebih lentur. Inilah aneka ”mesin jejaring”, yang bekerja melampaui kedaulatan negara-bangsa: jaringan internet, teroris, narkoba, hiburan, dan subkultur.

Negara-bangsa kini digerogoti oleh aneka ”sistem dinamik”, dengan perilaku ”turbulen”, yang tak kuasa dikendalikan oleh negara-bangsa: perkembangan sosial yang tidak dapat diperkirakan, pergerakan arus modal yang tidak dapat diprediksi, pergerakan informasi yang tak diketahui arahnya, dinamika kriminalitas jejaring yang tak terdeteksi, dan pergerakan ideologi yang tak terbaca.

Demokrasi di masa depan digerogoti oleh aneka mesin jejaring, yang tak lagi bertumpu pada ”kekuasaan orang”—baik kekuasaan seorang (otokrasi), beberapa orang (aristokrasi), maupun ”rakyat” (demokrasi)—melainkan pada ”daulat jaringan” itu sendiri. Ada peralihan dari model pengaturan ”totalitas” ke arah ”multiplisitas jejaring” (multiplicity), yang di dalamnya peran negara- bangsa lebih bersifat ”simbolik” karena kedaulatan nyata dipegang oleh aneka jejaring (Hardt dan Negri, Multitude, 2005).

Kedaulatan netokrasi
Pada tingkat sosial, terjadi peralihan dari masyarakat inti (core society) ke arah ”masyarakat jejaring” (network society), yang multiplisitas relasinya melampaui kekuatan negara-bangsa dan menciptakan aneka ”kekuatan jaringan” (netocracy). Perkembangan ”masyarakat jejaring” ini mengubah secara fundamental pandangan konvensional tentang masyarakat, rakyat, dan warga di dalam sistem demokrasi.

Dengan melemahnya kedaulatan negara-bangsa, melemah pula ”kedaulatan rakyat” itu sendiri di dalam sistem demokrasi karena di dalam aneka jejaring virtual kekuatan ”rakyat” (people) diubah menjadi kekuatan ”warga” (citizen) dalam definisi baru, yaitu individu-individu bebas yang ”menavigasi dirinya sendiri” di dalam jaringan, tanpa perlu mengikatkan diri pada kekuatan ”rakyat” sebagai kesatuan. Kekuatan rakyat nanti bersaing dengan kekuatan ”warga jejaring” (network citizen).

Ada kegamangan bangsa ini masuk ke wilayah masa depan yang tampak tak ramah itu. Akan tetapi, tanda-tanda masa depan itu sudah ada di dalam tubuh bangsa ini. Mungkin, aneka bisikan masa lalu, panggilan primitif, suara purba, ruh adat, nyanyian mitos, atau ikatan kepercayaan yang menjadikan bangsa ini gamang menghadapi masa depan penuh enigma, ketakpastian, dan turbulensi itu. Akan tetapi, tak ada jalan menghindar dari genderang masa depan itu.

Bangsa ini harus ikut di dalam ”kafilah masa depan” itu dengan menerima tantangannya. Jangan hanya disibukkan oleh ruang masa lalu, dengan memolesnya seperti sebuah porselen antik, sambil membiarkan kafilah masa depan itu berlalu. Tanpa perlu kehilangan ruh masa lalu, bangsa ini harus ambil bagian dalam kafilah kebangkitan masa depan itu karena kuku jejaringnya sebagian telah menancap di dalam diri, masyarakat, dan tubuh bangsa ini.

Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD, Institut Teknologi Bandung

Jumat, 16 Mei 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional: Benahi Pendidikan

Saat ini saya melihat adanya perbedaan visi pemerintah dan para pelaksana pendidikan.

Oleh: Asep Saefuddin

Bila kita pelajari sejarah, kebangkitan nasional yang diawali dengan pendirian organisasi modern Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 itu disebabkan oleh kuatnya pendidikan para pendiri organisasi itu. Para pendiri Boedi Oetomo seperti R Soetomo dan kawan-kawannya adalah mereka yang sedang menjalani pendidikan kedokteran (STOVIA) di Betawi (Jakarta). Begitu juga sejarah kebangkitan negara-negara jajahan di dunia, semua dimulai oleh mereka yang telah terdidik.

Betapa pun kayanya sumber daya alam yang dimiliki, sulit akan mengangkat derajat sebuah negara, bila manusianya tertinggal. Saya menganggap bahwa manusia adalah sumber dari perkembangan negara. Untuk itu, manusia bukanlah sumber daya yang disejajarkan dengan komponen sumber daya lainnya yang biasanya dipakai dalam ekonomi produksi. Manusia adalah sumber kreativitas yang harus terus berkembang. Bilamana manusia dianggap sebagai sumber daya, maka pendidikan kita akan selalu parsial dan tidak mampu menjadi pemimpin (leader) dalam berbagai kancah kehidupan, termasuk dunia ekonomi. Untuk itu, dalam peringatan 100 tahun kebangkitan nasional ini benahilah pendidikan Indonesia. Pembenahan ini baik untuk sistem pendidikannya maupun untuk struktur pemerintahannya. Depdiknas harus dipegang seorang menteri senior yang kuat visi pendidikannya. Bilamana perlu, Menko Kesra adalah ex-officio Mendiknas.

Pendidikan adalah sebuah proses untuk menyadarkan betapa pentingnya manusia dan kemanusiaan. Melalui pendidikan juga diajarkan tentang pentingnya keberagaman (pluralisme), penghormatan terhadap perbedaan pemahaman kepercayaan (agama) dan kesamaan haknya sebagai warga negara. Intinya, melalui pendidikan yang benar, manusia Indonesia akan mempunyai fondasi yang kuat sehingga menjadikannya terhormat di hadapan bangsa-bangsa lain.

Pemerintah dan para guru harus mempunyai visi yang sama dalam pendidikan, bukan sekadar mematok kriteria-kriteria idealistis yang cenderung too good to be implemented. Saat ini saya melihat adanya perbedaan visi pemerintah dan para pelaksana pendidikan. Akhirnya, tidak jarang para guru keluar dari kaidah-kaidah pendidikan itu sendiri, hanya untuk mencapai target minimum, tekanan-tekanan pemerintah. Kita harus jujur mengakui bahwa kesalahan jangan terlalu dilimpahkan kepada guru. Pemerintah harus berani mengakui bahwa hal ini adalah bagian dari kesalahan sistemik.

Contoh riil bisa kita lihat betapa Ujian Nasional (UN) saat ini, seolah-olah ada dua kubu: kubu sekolah dan kubu pemerintah. Lalu polisi menjaga dengan pendekatan ekstraketat, seakan-akan para guru adalah kelompok kiriminal.

Di tingkat dasar, pendidikan sebaiknya jangan menjadi beban utama masyarakat. Mereka harus dengan tenang mengirimkan anaknya ke sekolah tanpa banyak dibebani uang sekolah yang tidak terjangkau ditambah lagi uang sumbangan wajib lainnya. Bahkan sebaiknya mereka dibebaskan dari jenis pungutan apa pun, termasuk SPP (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan). Prinsipnya pendidikan dasar harus gratis tetapi berkualitas, karena hal itu menjadi awal pengembangan watak manusia Indonesia.

Pada tingkat dasar anak didik mulai dikenalkan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan (humanity), kebenaran (truth), dan keteraturan (order) dalam kehidupan sehari-hari persekolahan secara tenang dan realistis. Unsur-unsur soft skill dan hard skill sudah mulai berbenih sedini mungkin.

Pada tahap berikutnya, Perguruan Tinggi dapat meneruskan pendidikan dengan lebih menekankan kepada hard skill, yakni ilmu pengetahuan, teknologi, dan profesionalisme. Untuk itu, Perguruan Tinggi harus mempunyai aktivitas riset yang kuat diisi oleh orang-orang yang memang terpilih dari segi kekuatan hard skill. Adapun soft skill-nya sudah merata dimilikinya melalui pendidikan sejak tingkat dasar. Walaupun demikian, pelaksana kampus harus mengemas kegiatan kemahasiswaan yang dapat menyuburkan soft skill, daya imajinasi dan inovasi sivitas (dosen dan mahasiswa). Artinya ekosistem pendidikan ditata sedemikian rupa sehingga kondusif terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan, kebenaran, dan keteraturan. Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan adalah pengejawantahan pluralisme kemanusiaan, seni-budaya, profesional-isme, dan entrepreneurial berbasis pada teknologi (techno- preneurship).

Perguruan tinggi jangan terjebak pada birokrasi yang berlebih-lebihan dengan aturan-aturan kaku pemerintahan yang mengebiri para dosen. Para eksekutif kampus sebaiknya dengan leluasa dapat menggalang kerja sama dengan industri untuk kepentingan riset, pemagangan mahasiswa, aplikasi teknologi, dan pembangkitan pendapatan.

Bilamana kampus sudah terbiasa membawakan prinsip-prinsip kemanusiaan, kebenaran dan keteraturan disertai aspek-aspek sains, teknologi, seni-budaya, dan penghormatan terhadap pluralisme, maka pemerintah tidak usah khawatir dengan kebebasan akademik. Mereka pasti akan menjadi sumber inspirasi pembaharuan dan pembangunan, tidak akan destruktif. Akan tetapi bila pendekatan birokratis, supresif dan pola-pola kekuasaan masih sangat dominan yang secara tidak sadar masuk ke dalam kurikulum dan jargon-jargon pembinaan, maka keindahan kampus dan kebebasan akademik tidak berkembang. Sebagai akibatnya, situasi kampus menjadi selalu kering, kaku, tidak bergairah dan temperatur tinggi. Pada saat itu, kampus bagaikan pabrik pencetakan ‘sumber daya manusia', dan mahasiswa menjadi tempramental bahkan cenderung brutal. Bila sudah demikian, sulit sekali diperoleh manusia Indonesia yang kreatif, inovatif, dan berpikiran terobosan (breakthrough). Lalu, apa yang diperoleh? Cita-cita kebangkitan nasional akan semakin jauh. Selamat 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional.

Dosen pada Departemen Statistika IPB

Daya Kata, Darah Kebangkitan


Oleh: Yudi Latif


Perjuangan kebangkitan itu bermula dari tanda. Tanda baru yang menarik garis batas antara masa lalu dan masa depan, tanda baru yang memberi tenaga pada hidup, tanda baru yang memberi orientasi ke arah mana sumber daya harus dikerahkan.Kata dan bahasa adalah rumah tanda. Karena tidak ada kemungkinan mengada di luar bahasa, kata/bahasa pun menjadi rumah kehidupan. Meminjam Martin Heidegger, ”Language is the house of being.”

Sebagai rumah kehidupan, upaya perjuangan dan kebangkitan apa pun harus bermula dari revitalisasi bahasa dengan jalan merebut dan menghidupkan kembali darah kata.

Tak salah jika Partha Chatterjee (pemikir India) dan Reynaldo Ileto (pemikir Filipina) mengakarkan nasionalisme bukan (hanya) pada mesiu, perundingan, kognisi Barat, dan kapitalisme percetakan, melainkan pada emosi Dionysian (passion) yang dipancarkan puisi dan daya kata.

Sekadar monumen
Taruhlah, gerakan kebangkitan dan kebangsaan Indonesia. Budi Utomo (BU) bukanlah yang pertama dan satu-satunya aktor kebangkitan. Ia sekadar monumen dari arus sejarah kebangkitan yang melewati fase persiapan (gestation), fase pembentukan (formative), dan fase pematangan (consolidation). Di sepanjang lintasan fase pergerakan ini, perjuangan kata/bahasa sebagai penanda baru memainkan peran penting.

Fase persiapan gerakan kebangkitan bermula pada akhir abad ke-19, distimulasi kehadiran secara embrionik ruang publik modern di Hindia, berkat kemunculan pers vernakular serta klub-klub sosial bergaya Eropa. Wacana dominan pada ruang publik baru ini berkisar pada isu ”kemadjoean”.

Pada fase ini, peran guru sangatlah menonjol. Profesi guru hingga akhir abad ke-19 menghimpun porsi terbesar orang- orang berpendidikan modern. Sebagai pendidik, mereka terpanggil untuk mencerahkan saudara sebangsa. Bahwa profesi guru kurang dihargai dibandingkan dengan profesi administratif menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator dari konsep ”kemadjoean” dan menjadikannya tolok ukur baru kehormatan sosial.

Lewat majalah pendidikan, seperti Soeloeh Pengadjar dan Taman Pengadjar, serta perkumpulan guru, seperti Mufakat Guru, kaum guru melancarkan gugatan. Tuntutan utama proyek emansipasi mereka berkisar pada upaya perjuangan kata/bahasa, yakni peluasan akses terhadap kepustakaan serta peningkatan pengajaran bahasa Belanda bagi anak pribumi.

Melanjutkan kepeloporan kaum guru, pada awal dekade pertama abad ke-20, terjadilah fase formatif ruang publik modern. Ditandai oleh kemunculan asosiasi-asosiasi kaum intelegensia serta kemunculan pers yang dimiliki dan dikelola oleh kalangan pribumi sendiri. Pada fase ini, tampak menonjol peran intelegensia berlatar sekolah Dokter Djawa/ STOVIA.

Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar ”kemajuan”, Bintang Hindia, Abdul Rivai (lulusan Dokter Djawa) memperkenalkan istilah ”bangsawan pikiran”. Dikatakan, ”Tak ada gunanya lagi membicarakan ’bangsawan usul’ sebab kehadirannya merupakan takdir. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan ’bangsawan pikiran’.”

Tulisan ini mewakili kegetiran anak- anak terdidik dari kalangan priayi rendahan dan nonbangsawan karena berbagai diskriminasi di dalam dan luar sekolah. Sebagai penyandang pendidikan tertinggi, anak-anak STOVIA bermotivasi tinggi untuk memperjuangkan gerakan-gerakan kebangkitan. Salah satu yang terpenting adalah pendirian perkumpulan BU pada 1908. Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan priayi tua dalam melindungi kepentingan rakyat, pada awalnya BU bermaksud memperjuangkan kepemimpinan kaum muda meskipun kemudian terbukti, pengaruh priayi tua masih terlalu kuat.

Betapapun, BU menjadi tonggak penting bagi gerakan kebangkitan berbasis ”bangsawan pikiran”. Sejak itu, ”pikiran” menjadi peta jalan bagi ideal-ideal generasi selanjutnya. Memasuki dekade kedua abad ke-20, segera diciptakan tanda baru yang sepenuhnya bebas dari imaji kebangsawanan dan bekhidmat sepenuhnya kepada pikiran. Tanda itu bernama ”kaum terpelajar” atau ”pemuda-pelajar” atau sering kali diungkapkan dalam bahasa Belanda, jong.

Dalam tanda dan peta jalan seperti inilah generasi Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Natsir dibesarkan. Semua tokoh ini lahir pada dekade pertama abad ke-20 dan semuanya tak bisa dikatakan sebagai anak-anak priayi tinggi. Mereka bisa memasuki pendidikan sistem Eropa berkat kegigihan generasi sebelumnya dalam menciptakan tanda, tanda yang membuat Belanda terpaksa mengendurkan persyaratan keturunan.

Perjuangan generasi ini pun bermula dari praksis wacana lewat kelompok studi, kerja jurnalistik, dan kesastraan. Sejak 1924, Hatta terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia berikut jurnalnya, Indonesia Merdeka, seraya tak lupa menulis puisi- puisi patriotik. Pada 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studieclub berikut jurnalnya, Indonesia Moeda. Saat yang sama ia juga aktif sebagai editor majalah SI, Bandera Islam (1924-1927). Bahkan, selama pembuangan, ia tak luput menulis naskah drama. Seperti Hatta, Sjahrir aktif di Perhimpunan Indonesia dan kelak berperan penting dalam jurnal Daulat Rakyat. Ia pun dikenal sebagai pemain sandiwara dengan erudisinya yang luas di bidang kesusastraan. Natsir mengikuti beberapa kelompok diskusi dan terlibat intens di Persatuan Islam. Sejak 1929 ia mulai menekuni kerja jurnalistik sebagai ko-editor dari jurnal Pembela Islam.

Berkat pertautan antara praktik diskursif dan perjumpaan lintas kultural dalam pergerakan politik yang dipimpin oleh generasi ini, fase konsolidasi kebangkitan Indonesia dimulai dengan pemancangan tanda baru. Tanda pengenal diri yang memberi kesadaran eksistensial sebagai komunitas impian tersendiri, melampaui ikatan-ikatan primordial dan terbebas dari konstruksi kolonial. Tanda itu bernama ”Indonesia”.

Kemampuan refleksi
Demikianlah, bermula dari tanda, terciptalah bangsa merdeka. Lantas tanda apakah gerangan yang kita ciptakan masa kini, seabad setelah BU berdiri? Inilah pertanyaan genting yang harus dicermati.

Terdapat tanda-tanda bahwa ”pikiran” dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Intelegensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta. Penaklukan daya pikir dan daya literasi oleh pragmatisme dan banalisme membuat mindset kebangsaan kehilangan daya refleksivitasnya? Tanpa kemampuan refleksi diri, suatu bangsa kehilangan wahana pembelajaran untuk menakar, memperbaiki, dan memperbarui dirinya sendiri.

Orang-orang harus disadarkan. Merayakan kebangkitan harus menghidupkan kembali darah kata, memuliakan pikiran.


Yudi Latif, Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

Kamis, 15 Mei 2008

Kenaikan Harga BBM: Rencana dan Fakta


Oleh: Ninasapti Triaswati

Sejak 10 tahun terakhir, kenaikan harga BBM menjadi ritual dilema politik-ekonomi setiap pemerintahan yang berkuasa di Indonesia di Indonesia. Ketika Pemerintahan Soeharto menaikkan harga BBM di tahun 1998, maka demonstrasi masyarakat secara luas di Indonesia mencapai puncaknya dan menjatuhkan pemerintahan tersebut.

Pemerintahan setelah era Soeharto berupaya berbagai cara untuk melunakkan hati masyarakat ketika akan mengumumkan harga BBM naik. Pemerintahan Megawati bahkan tidak ingin melukai hati rakyat miskin dengan mempertahankan agar harga BBM tidak dinaikkan dan subsidi BBM meningkat. Namun secara politik rakyat tidak lagi memilih Megawati pada Pemilu 2004 karena berharap adanya pemimpin baru akan membawa perubahan kebijakan yang secara signifikan berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pada tahun pertama SBY-JK memerintah, harga dinaikkan dua kali pada tahun 2005, sekitar 30 persen pada sekitar bulan Maret dan lebih dari 120 persen pada bulan Oktober 2005 dengan janji "tidak akan lagi menaikkan harga BBM selama masa pemerintahannya".

Daya Beli Rakyat
Secara ekonomi minyak bumi di Indonesia maupun di dunia sudah semakin langka sehingga kenaikan harga merupakan suatu keniscayaan, yaitu pasti terjadi cepat maupun lambat. Naiknya harga BBM di Indonesia hanya masalah penentuan waktu, karena gejolak kenaikan harga dunia secara terus menerus akan menekan kenaikan harga BBM domestik dalam negeri setiap saat.

Persoalan politik-ekonomi menjadi sangat penting. Apa untungnya kenaikan harga BBM tahun ini bagi rakyat dibandingkan dengan kenaikan pada tahun-tahun berikutnya? Pemerintah sudah mengumumkan bahwa BBM akan dinaikkan segera dan rakyat miskin akan menerima kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) serta paket bantuan pangan murah. Dengan kenaikan harga BBM, APBN akan dihemat sekitar Rp25 triliun. Dari jumlah tersebut akan dialokasikan sekitar Rp14 triliun untuk BLT dan bantuan pangan murah untuk rakyat miskin, serta sekitar Rp11 triliun sisanya untuk berbagai program pemerintah lainnya.

Persoalannya adalah BLT hanya diberikan maksimum satu tahun setelah kenaikan harga BBM, dan tidak sama besarnya dengan kenaikan harga barang maupun transportasi, sehingga dapat dipastikan tidak akan membantu daya beli rakyat miskin dalam jangka panjang karena hanya bersifat sementara. Di samping itu, data penduduk miskin yang digunakan hanyalah data Sensus Kemiskinan 2005 yang akan dicoba diperbarui secepatnya, sehingga ketidaktepatan pembagian BLT akan cukup besar.

Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak memiliki data akurat tentang penduduk miskin tahun 2008 atau paling tidak tahun 2007? Jelas pula bahwa berbagai program subsidi atas nama penduduk miskin saat ini lebih dinikmati penduduk tidak miskin karena kelemahan implementasi dari berbagai program tersebut yang tidak menyeluruh. Subsidi pupuk yang tujuannya untuk petani miskin, justru diberikan kepada produsen pupuk, sehingga pupuk murah bersubsidi justru tidak tersedia bagi petani miskin pada saat diperlukan. Subsidi BBM diberikan kepada PLN dan Pertamina yang dampaknya adalah justru bagian terbesar subsidi tersebut dinikmati konsumen kaya. Subsidi pangan berupa raskin maupun minyak goreng murah operasi pasar, keduanya sangat rawan penyimpangan karena tidak dapat lagi membedakan apakah yang menerima orang miskin atau bukan miskin. Ekspor ilegal pupuk dan BBM marak terjadi secara sistematis dan meluas di seluruh daerah. Suatu ironi bagi program subsidi untuk penduduk miskin.

Jalan Keluar
Ada dua kiat utama yang harus menjadi perhatian pemerintah dan perlu didukung masyarakat luas secara sungguh-sungguh: Pertama, mempercepat program pengalihan subsidi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin dari subsidi barang (berupa pupuk, BBM, raskin, dsb) menjadi bentuk subsidi bagi penduduk miskin.

Alasan subsidi BBM sebagai subisidi barang "salah sasaran" selalu menjadi alasan utama untuk menaikkan harga BBM sejak 2005 yang lalu. Namun faktanya selama tiga tahun terakhir ini tetap saja pemerintah mempertahankan skema subsidi barang melalui program pupuk bersubsidi murah untuk petani, beras untuk rakyat miskin, operasi pasar minyak goreng, dan sebagainya.

Pemerintah Indonesia sekarang maupun yang akan datang perlu segera dengan tegas mencanangkan subsidi langsung bagi rakyat miskin secara menyeluruh dengan mengidentifikasi rakyat miskin melalui sensus dan survei BPS di seluruh daerah secara tahunan, dan memberikan kartu identitas tunggal secara nasional bagi mereka yang tergolong miskin untuk dapat memperoleh jaminan nasional dari pemerintah. Walaupun penduduk miskin tersebut bukan penduduk setempat karena alasan pekerjaan sementara, misalnya, mereka harus tetap dapat memperoleh hak Jaminan Nasional. Sebaliknya tidak boleh seorang penduduk memperoleh lebih dari satu kali jaminan nasional untuk penduduk miskin.

Kedua, agar rakyat segera dapat mengonsumsi energi murah di dalam negeri, pemerintah Indonesia di pusat maupun daerah perlu segera menyukseskan program diversifikasi energi dalam waktu sesingkat-singkatnya, yaitu pengalihan dari konsumsi energi BBM ke energi alternatif. Jadi walaupun harga BBM naik, rakyat tidak perlu khawatir harga listrik, transportasi, dan pengolahan makanan juga akan naik karena pemerintah telah mengalihkan ke sumber energi lain.

Program diversifikasi memang telah disebutkan dalam rencana pemerintah sejak sekitar 1990-an, namun dalam pelaksanaannya ternyata "sangat tidak memadai" karena sebagian besar anggaran yang mendanai berbagai program pemerintah justru mendorong penggunaan BBM yang mahal dan justru mengekspor sumber energi kita yang murah (misal gas bumi).

Pemerintah Indonesia sejak saat ini perlu memfokuskan untuk menghemat energi BBM di dalam negeri, yaitu secara tegas dan segera menghentikan rencana pembangunan berbagai pembangkit listrik bertenaga BBM yang biayanya sekitar Rp2.250 per kWwh. Sebaliknya, pemerintah perlu secara bertahap segera memperluas rencana pembangkit listrik bertenaga panas bumi yang biayanya hanya sekitar sepertiganya, yaitu Rp750 per kWh atau bahkan ke pembangkit listrik tenaga gas yang hanya sekitar seperempatnya, yaitu sekitar Rp550 per kWh.

Sungguh sangat tidak logis keadaan Indonesia saat ini yang justru mengonsumsi energi mahal di dalam negeri dan mengekspor energi murah ke luar negeri. Tidak masuk akal pula di mana Indonesia yang memiliki cadangan panas bumi terbesar dunia justru masih memakai listrik bertenaga BBM, padahal Indonesia sudah menjadi net-importir BBM. Juga sangat tidak logis ketika rakyat Indonesia memerlukan sumber energi murah di dalam negeri seperti gas yang seharusnya dapat dipakai untuk mendukung konsumsi transportasi dan pengolahan makanan rakyat maupun industri di dalam negeri agar biaya produksi murah justru diekspor ke luar negeri dan kita kekurangan bahan bakar gas di dalam negeri.

Saatnya kita menyambut 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun Era Reformasi dengan niat menjadi tuan di negeri sendiri dan bertekad " Propeningkatan kesejahteraan rakyat: Hemat energi mahal, Pakai energi murah!"

Rabu, 14 Mei 2008

Sebab Kode adalah Puisi


Oleh: Eka Kurniawan

Sekiranya Borges masih hidup, barangkali ia akan menjadi penulis paling getol online. Bagaimana tidak, banyak orang yang percaya, sebelum internet ditemukan, Borges telah ”memimpikan” dunia internet dalam cerita-cerita pendeknya. Ingat perihal ensiklopedia yang disusun secara diam-diam oleh sekelompok orang sehingga menghasilkan dunia yang baru? Bukankah hal ini sekarang menjadi mungkin dengan perangkat lunak wiki sebagaimana dipergunakan di wikipedia.org? Atau perihal teks yang bisa merujuk ke teks lain tanpa batas? Sejak ditemukan internet, kita sudah mengenal ”link”.

Terlepas dari impian Borges tersebut, tak terelakkan internet telah menjadi rujukan penting bagi kebanyakan orang, termasuk para penulis. Saya mempergunakan Google Book untuk membaca beberapa catatan perjalanan orang-orang Eropa yang datang ke Indonesia di masa kolonial, untuk satu riset tulisan fiksi saya, misalnya. Demikian pula Google Map, dengan teknologi citra satelit yang konon paling telat umurnya dua tahun ke belakang, kita bisa memastikan detail geografis satu tempat. Dalam hal ini, Anda bisa jauh lebih akurat dari Karl May sekiranya mengisahkan kehidupan suku Indian tanpa pergi ke Amerika.

Tak disangsikan, internet telah membentuk kultur baru produksi dan reproduksi. Dalam dunia sastra di Indonesia, sederhananya, kultur itu telah berawal ketika penulis tak lagi pernah pergi ke kantor pos untuk mengirimkan naskah. Tentu saja kultur ini semestinya bisa jauh dari itu. Internet dipercaya tak sekadar sebagai narasumber yang mencengangkan untuk berbagai hal, dari bumbu yang tepat untuk satu resep masakan hingga racikan kimia yang tepat untuk meledakkan jembatan; yang lebih penting lagi, internet juga merupakan suatu media baru. Sebagaimana media baru umumnya, tentu saja ia memberi tantangan-tantangan baru bagi proses kreatif baru.

Sebagai misal, melalui internet dan dunia digital, kita sekarang mengenal berbagai jenis lisensi untuk karya kreatif. Jika sebelumnya barangkali kita hanya memiliki dua dikotomi hak cipta: copyright dan domain publik, kini kita memiliki lebih banyak alternatif. Sebagai pemilik karya cipta, barangkali seorang pengarang tak menginginkan lisensi seketat copyright. Sebuah lembaga nirlaba bernama Creative Common (cerativecommon.org) menawarkan berbagai jenis lisensi yang fleksibel.

Software semacam Linux atau esai-esai di beberapa blog, juga banyak foto di flickr.com didistribusikan dengan lisensi semacam ini sehingga Anda bisa mengambil dan mempergunakannya tanpa harus takut dikira membajak atau menjiplak. Kultur ini memungkinkan berkembang, saya pikir, hanya karena penetrasi internet yang luar biasa.

”Blog”
Saya tertarik mengamati ini, terutama setelah akhir-akhir ini banyak penulis semakin memaksimalkan fungsi-fungsi internet dengan membuat blog dan saya beranggapan ini perkembangan yang penting untuk dicatat. Jika sebelumnya para penulis lebih banyak berkerumun di komunitas-komunitas milis tertentu, akhir-akhir ini semakin banyak yang hadir secara individu, menuliskan pikiran-pikirannya melalui media bernama blog. Saya sendiri sebenarnya telah lama menjadi pengunjung tetap blog-blog penulis yang saya anggap bermutu untuk menunjukkan ini bukan hal baru, misalnya blog milik jurnalis Andreas Harsono (andreasharsono.blogspot.com) atau milik kritikus film Totot Indrarto (pekde.com).

Tengok, misalnya, beberapa penulis yang baru-baru ini memutuskan untuk menulis di blog: ada Djenar Maesa Ayu (djenar.com) dan kritikus seni rupa Adi Wicaksono (adiwicaksono.com), serta penyair Binhad Nurrohmat (binhadnurrohmat.com). Mereka menyusul penulis-penulis lain yang telah lebih dulu. Beberapa yang saya ingat: penyair Hasan Aspahani (sejuta-puisi.blogspot.com), Joko Pinurbo (jokpin.blogspot.com), Wayan Sunarta (jengki.com), cerpenis Agus Noor (agusnoorfiles.wordpress.com), Ratih Kumala (ratihkumala.com), Ook Nugroho (ooknurgoho.blogspot.com) juga Linda Christanty yang menulis baik di blog sendiri maupun blog milik situs pantau.org.

Mungkin Anda masih sering kecele untuk memastikan, apa beda blog dengan website? Sebenarnya ini juga pertanyaan umum yang diajukan kepada saya oleh para penulis yang ingin memulai membuat blog. Secara sederhana, semua blog adalah website, tetapi tidak sebaliknya. Situs seperti yahoo.com merupakan website, tetapi jelas bukan blog. Ciri utama blog adalah website dengan konten yang terus di-update, dan pengaturan kontennya secara umum diurutkan berdasarkan waktu (mirip jurnal atau buku harian).

Ketika situs cybersastra.net diluncurkan sekitar akhir 90-an, pada dasarnya ia telah mempergunakan prinsip-prinsip blog. Demikian pula ketika tahun 2000 saya bersama dua penulis, Linda Christanty dan Nuruddin Asyhadie (nuruddinasyhadie.com), mendirikan situs bumimanusia.or.id, kami mempergunakan software open source yang pada dasarnya juga blog. Software semacam itu telah dibuat komunitas internet di masa-masa tersebut meski dengan standar keamanan dan fleksibilitas yang barangkali masih rendah. Baru ketika software semacam Movable Type dan Wordpress muncul, blog menjadi istilah yang populer. Ditambah pula layanan Blogger.com (blogspot.com) dari Google yang memungkinkan orang untuk membuat blog secara lebih gampang tanpa harus mengerti hal teknis instalasi software ke server. Hal ini semakin menjadi-jadi sekarang setelah munculnya fenomena Web 2.0 yang mengisyaratkan akan internet yang menunjang kreativitas sekaligus interaktivitas.

Kenapa saya beranggapan penulis yang membuat blog sebagai sesuatu yang penting? Masih ingat belum lama ini ketika jaringan kabel bawah laut di Pasifik terputus dan terputus pula hubungan internet? Sebenarnya yang terputus adalah hubungan internet ke Amerika, sementara situs seperti kompas.co.id atau detik.com yang menyimpan server di dalam negeri masih bisa diakses. Ini semestinya segera menyadarkan betapa kita membutuhkan konten lokal dan, secara pribadi, saya berharap kepada para penulis dari berbagai disiplin: sastrawan, sejarawan, jurnalis, dosen, dan lainnya. Hal ini akan semakin dimungkinkan jika mereka langsung bersentuhan secara personal di blog masing-masing.

Tentu saja konten lokal tersebut akan semakin berarti jika disimpan di server lokal. Itulah kenapa saya lebih suka menganjurkan untuk mempergunakan layanan blog lokal semacam dagdigdug.com atau blogdetik.com (dengan catatan harus dicek apakah benar mereka menempatkan server di dalam negeri) atau melakukan instalasi domain sendiri sehingga bisa memutuskan untuk memilih layangan hosting ketimbang mempergunakan wordpress.com atau blogger.com.

Dengan semakin banyak penulis menulis di blog, bisalah secara sederhana kita mengharapkan suatu ketika tercapainya swasembada konten lokal; tentu saja terutama jika konten ini ditulis dalam bahasa Indonesia pula. Maka, jika sesuatu terjadi pada jaringan internasional (kabel bawah laut putus atau traffic mengalami kemacetan, misalnya), kita tak hanya masih bisa mempergunakan jaringan internet dalam negeri, tetapi juga bisa mengakses konten-konten yang diperlukan.

Media baru
Sebagaimana berbagai teknologi baru, blog sebenarnya telah dipergunakan di Indonesia nyaris bersamaan dengan di belahan dunia lainnya. Selain masih membutuhkan konten yang lebih kaya, harus diakui bahwa kita masih ”hanya sekadar” pengguna. Kita bukan pencipta wiki ataupun berbagai perangkat lunak blog: hanya mempergunakan apa yang tersedia.

Meskipun begitu, ini bukan alasan untuk patah semangat. Menulis blog merupakan langkah kecil dari sesuatu yang kelak menanti. Ada banyak hal di depan media baru yang terus berkembang ini; ada berbagai peluang mengkreasi bentuk-bentuk seni yang khas, sebagaimana mungkin kesusastraan yang hanya bisa dinikmati melalui media ini dan tidak di media yang lain sehingga mau tidak mau kita mesti memberinya sebuah nama baru. Kita bisa merealisasikan gagasan Borges tentang ensiklopedia fiktif kalau mau.

Sekali lagi, menulis blog bisa menjadi awal yang baik. Sebagaimana penyair Joko Pinurbo akhirnya dipaksa mengenali kode-kode HTML ketika harus memasukkan puisi-puisinya ke blog. Siapa tahu kelak ia mau mempelajari bahasa pemrograman, seperti PHP dan Javascript, sehingga kelak dari tangannya bisa ditulis puisi saiber yang sejati (dalam arti tak mungkin dinikmati di media non-saiber). Sebab, ”Code is poetry,” begitu kata para programer Wordpress. Ya, siapa tahu?

Eka Kurniawan, Penulis

Jangan Biarkan Indonesia Jadi Negara Gagal

Oleh: MT Zen

Majalah The Economist terbitan London edisi 6 Mei 2008 menerbitkan makalah khusus sepanjang 14 halaman mengenai kebangkitan Vietnam sebagai negara di Asia Tenggara yang menakjubkan. Negara yang satu ini sudah hancur luluh oleh peperangan. Yang dilawan bukan tentara KNIL, melainkan negara adidaya Amerika Serikat.


Negara itu dihujani dengan bom biasa dan bom napalm dari pesawat B-52 dalam puluhan serangan mendadak dalam satu minggu, sedangkan mereka sendiri memanggul meriam yang sudah dilepas menjadi bagian-bagian lebih kecil lewat bukan jalan setapak, melainkan jalan binatang yang disebut Ho Chi Minh Trail. Kini mereka sudah bangkit secara spektakuler, memang belum setaraf dengan Malaysia atau Thailand.


Apa saja yang digariskan oleh Bank Dunia dan badan internasional mereka ikuti sebanyak dan sebaik mungkin. Rumah-rumah tinggal yang mendapatkan aliran listrik sudah berlipat dua sejak awal 1990 menjadi 94 persen. Menurut ”The World in 2008” terbitan The Economist juga, GDP per kepala masih 953 dollar AS (PPP: 3.990 dollar AS) pada Januari 2008. Yang menakjubkan adalah kesungguhan mereka membangun kembali negaranya. Dalam hal ini Indonesia perlu belajar dari Vietnam.


Negara gagalApa yang disebut dengan negara gagal?

Definisi dapat bermacam-macam dan orang dapat berdebat mengenai hal itu tanpa henti. Jadi, lebih baik disebutkan beberapa kriteria atau ciri khas yang banyak disepakati di dunia ini mengenai apa yang disebut sebagai negara gagal. Yang terpenting adalah hal-hal berikut ini.


Terasa tidak ada lagi jaminan keamanan: orang merasa tidak aman dan tidak nyaman dan ingin mengungsi ke negeri orang. Kasus perusakan tempat-tempat ibadah merupakan salah satu hal yang khas bagi negara gagal.


Pemerintah seakan-akan tidak lagi dapat menyediakan kebutuhan pokok, seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, penyediaan bahan kebutuhan pokok (Indonesia: gas dan minyak tanah seperti yang terjadi belakangan ini). Infrastruktur menjadi semakin tak keruan dan tidak efektif lagi.


Korupsi merajalela dan justru dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya mempunyai tugas pokok melindungi rakyat, masyarakat, dan negara terhadap gangguan korupsi itu, seperti DPR, DPRD, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, kepolisian, dan anggota kabinet. Di negara-negara gagal sebenarnya justru negara itu bersekongkol dengan para preman, mafia, dan teroris.


Bentrokan-bentrokan horizontal di antara kelompok etnisitas yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Hal itu menunjukkan ketidakberdayaan aparat negara.


Kehilangan kepercayaan masyarakat yang merata dan menyeluruh.Apakah Indonesia sudah menjadi negara gagal? Tidak! Atau belum setidak-tidaknya, tetapi Indonesia menuju dengan cepat ke arah itu.


Di dunia ini sudah didaftar beberapa negara gagal. Indonesia belum termasuk. Namun, jika dibiarkan terus tanpa ada tindakan drastis untuk mencegahnya, hal itu akan menjadi kenyataan. Beberapa orang ahli atau beberapa lembaga internasional sudah mulai menyebut-nyebut bahwa Indonesia sudah harus sangat waspada dan berhati-hati. Berusahalah sekuat tenaga agar Indonesia tak jatuh menjadi negara gagal.


Resep untuk Indonesia: Pertama, Indonesia sudah harus mempunyai pemimpin baru: seorang pemimpin yang tegas, jelas, dan keras, di mana perlu kejam, tetapi adil. Sosok pemimpin seperti ini berani bertindak dan berani mempertanggungjawabkan tindakannya tanpa banyak cingcong. Kedua, melihat keadaan yang semrawut dan kaotis di sekeliling kita, sebenarnya pada saat ini sudah harus ada sense of emergency and sense of urgency. Bahkan, negara Indonesia ini sudah harus berada dalam keadaan darurat. Jadi, pemerintah yang mencoba menegakkan benang yang sudah basah ini sudah harus memerintah dengan dekret.


Ketiga, mulai membenahi perekonomian nasional. Ini berarti, langkah perekonomian nasional yang tidak dihalangi oleh kesenjangan aturan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Masalah otonomi Indonesia kini merupakan struktur federal yang sangat kacau, suatu bom waktu yang ditinggalkan Orde Baru.


Keempat, hentikan korupsi besar-besaran dari pusat hingga daerah, dari yang tertinggi hingga ke yang terendah. Bila perlu, terapkan hukuman mati. Di Indonesia, orang berkorupsi karena yakin bahwa dia akan lolos asal saja cukup duit untuk menyogok para hakim dan lain-lain. Jadi, persyaratannya korupsi itu harus besar.


Kelima, hentikan pertikaian horizontal antarkelompok, antarkampung; pertikaian sewaktu menonton pertandingan sepak bola: antarpenonton, antara penonton dan pemain, mengejar dan memukuli wasit, melempar batu; pertikaian antarsuku, antarmahasiswa yang saling lempar batu; melempar batu ke gedung- gedung yang dibangun dengan uang rakyat; dan hentikan main hakim sendiri.


Kita ini manusia biasa. Hidup rakyat sudah sedemikian berat dan keadaan Indonesia ini sudah sedemikian terpuruk, janganlah kita perburuk keadaan dengan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tugas para pejabat Indonesia sudah sedemikian berat dan sukar. Jangan ditambah lagi dengan tindakan yang tidak perlu. Bangsa dan negara sudah demikian miskin, janganlah merusak kantor, pagar-pagar kantor atau sekolah, gedung sekolah atau gedung yang dibangun dengan darah rakyat.


Keenam, embuskan kembali semangat juang yang pernah kita miliki dan bangkitkan kembali patriotisme dengan definisi dan nilai-nilai baru sesuai dengan panggilan zaman atau Zeitgeist. Inilah saat bagi kita semua di ma- na-mana untuk memetakan 100 tahun berikutnya bagi Kebangkitan Nasional yang kedua.


Kita butuh apa yang disebut Umwertung aller Werten (perombakan semua tata nilai) dan suatu Umwertung von Grund aus (perombakan menyeluruh dari akar- akarnya). Mari kita bangun masyarakat berbasiskan pengetahuan karena abad ke-21 ini sarat dengan pengetahuan dan teknologi. Kita harus berubah secara menyeluruh: sikap hidup, cara hidup, gaya hidup, pola pikir, dan mindset kita.


Secara keseluruhan bangsa Indonesia sangat membutuhkan suatu perubahan budaya ke budaya teknologi dengan masyarakat berbasiskan pengetahuan. Cara lain tidak ada!

MT ZEN Pensiunan Guru Besar ITB