Sastra populer selalu lahir setiap zaman. Ia menyajikan informasi dan cerita, tanpa mengandung substansi dan mengangkat persoalan. Bahkan kini para pengarang sastra populer makin eksklusif: hanya bercerita dunia mereka sendiri. "Hanya itu yang mereka tahu," kata Jakob Sumardjo, kritikus sastra Indonesia dari Bandung.
Kritikus yang sehari-hari mengajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Universitas Parahyangan Bandung, dan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung ini berpendapat sastra populer tidak menyumbangkan pemikiran terhadap kemanusiaan, sosial, politik, atau agama. "Sastra populer hanya menyenangkan pembacanya. Sekali baca ya sudah," ujarnya.
Selain itu, kemunculan banyak novel berdasarkan sejarah juga tidak banyak menyumbangkan perkembangan sastra Indonesia. Sebab, katanya, para pengarang itu hanya menjadikan sejarah sebagai sensasi dan kenangan. Tanpa disertai riset yang kuat dan menggali fakta-fakta sejarah, pengarang hanya menyajikan data-data. "Padahal, dalam sastra yang penting bukan data itu, tapi substansi apa yang ada dibalik data itu. Nilai-nilai apa yang ada di balik cerita," katanya. Lalu bagaimana pandangan Jakob Sumardjo tentang perkembangan sastra di Indonesia kontemporer?
Bagaimana Anda mengamati sastra Indonesia setelah periode generasi Ayu Utami?
Sekarang ini saya nggak banyak mengikuti. Tapi kelihatanya kecenderungan lebih pada sastra populer. Sekarang pengarangnya banyak, produksinya luar biasa. Sejak dulu sastra populer produksinya tiada henti. Ia berkembang terus. Sejak tahun 1900 sampai sekarang sastra populer hidup terus.
Kapan sastra populer di Indonesia mulai berkembang?
Sastra populer dimulai dari orang-orang China mulai 1900 sampai tahun 1942. Pada tahun 1930-an, lahir sastra populer orang-orang Indonesia sendiri seperti sastra Medan. Pada tahun 1950-an, lahir sastra yang bukan novel. Bentuknya cerita pendek di majalah-majalah umum. Baru pada tahun 1970-an mulai lahir sastra populer yang ditulis perempuan. Tahun 2000-an muncul sastra generasi setelah Ayu Utami. Kecenderungannya sekarang ada yang Islami dan dunia eksklusif anak-anak muda. Gejalanya begitu. Sastra populer sekarang ini membicarakan dunia pengarangnya sendiri, yakni anak muda sendiri. Jarang mereka mengangkat cerita di luar dunianya.
Mengapa seolah-olah terjadi personalisasi cerita?
Mereka hanya mengenal dunia mereka sendiri, yakni kaum muda. Kelihatannya ada gap antara orangtua dan orang muda, sehingga dunia orangtua tidak dimasuki orang muda. Ini lebih jauh bisa dilihat lebih jauh bagaimana mereka menyikapi orangtua. Ini bisa dilihat dalam film. Sekarang kan novel banyak yang difilmkan. Novel-novel mereka kan dunia terbatas. Ini tidak terjadi di masa lampau. Pada tahun 1970-an sampai 1980-an novel berkisah dunia orang dewasa walau hanya dunia perempuan dan umum. Itu cermin masyarakat keseluruhan. Sekarang ini cermin golongan muda.
Gap itu terjadi pada tingkat usia pengarangnya atau sekadar pada ide?
Ide atau karyanya sendiri merupakan alam pikiran penulisnya. Dari karyanya kita bisa melihat penulisnya.
Apa yang menyebabkan gap?
Di masa lalu tidak terjadi gap karena zaman-zaman itu para penulis sastra populer bertolak pada sastra modern Indonesia seperti novel Siti Nurbaya. Mereka menulis sempalannya yang tidak melahirkan suatu problema, tapi meneguhkan norma-norma sosial yang ada di sekitar penulis dan pembacanya. Dalam jalur sastra utama (baca: sastra serius), semua yang dikatakan sastra itu masalah. Sastra populer itu meneguhkan norma-norma yang umum. Bagi sastra populer, norma itu bukan masalah lagi. Sastra populer memperkuat norma sosial yang ada. Pada tahun 1970-an dalam sastra populer perempuan, orang ketiga dalam kisah cinta itu salah. Dalam sastra utama itu dipermasalahkan, apakah benar itu salah? Mengapa?
Sekarang banyak pengarang menulis novel berdasarkan fakta sejarah, lalu pengarang meramunya menjadi cerita yang berbeda dengan sejarahnya. Bagaimana pandangan Anda?
Itu juga masuk populer. Yang terjadi mereka hanya mengambil fakta-faktasejarah yang relevan, lalu ditulis berdasarkan visi orang sekarang. Sistem pengetahuan sekarang dipakai untuk melihat masa lalu itu. Di dalam sastra sejarah yang benar, tidak tejadi seperti itu. Sejarah itu hanya sebagai bahan yang dipakai untuk mengemukan suatu problem. Entah masalah sosial, politik, filsafat, atau masalah lainnya yang ada kepentingan dan relevannya dengan sekarang. Misalnya, problem kekuasaan, seperti konflik interest dan feodalisme, yang sekarang ada akar-akarnya di masa Mataram. Ini mungkin dilakukan karena penulis lebih berani mengkritik kekuasaan sekarang melalui sejarah masa lalu. Jadi, bukan semata-mata sejarah untuk kesenangan. Sekarang ini kan mengangkat sejarah hanya untuk sensasi dan kenangan. Senang mendengarkan cerita saja.
Pramoedya Ananta Toer cukup lihai meramu fakta sejarah menjadi cerita menarik. Bagaimana Anda melihat pengarang sekarang yang juga banyak meramu sejarah?
Misalnya yang sudah saya baca. Ada pengarang yang menulis novel Diah Pitaloka (karya Hermawan Aksan, red). Diah Pitaloka digambarkan seperti film-film dalam Hong Kong dan China. Dia digambarkan sebagai ahli silat. Saya seolah melihat Ziang Zi Yi dalam Pitaloka. Ini gambaran pesilat China ramping itu. Saya belajar sejarah Sunda, saya tahu betul kesalahannya. Dalam kenyataan sejarah kan nggak seperti itu. Boro-boro jago silat, pakai kain harus menutup mata kaki dan berjalan saja susah. Berjalan kan harus pelan-pelan dan berirama. Bagaimana mau silat? Itu artinya dia tidak mendalami ilmu sejarah. Untuk menulis novel sejarah memang diperlukan seperti Pram, mendalami dan menggali bahan-bahan sejarah. Yang penting berpikir berdasarkan fakta-fakta itu.
Bagaimana cara berpikir berdasarkan fakta-fakta itu?
Itu harus kita diteliti. Misalnya, bagaimana sikap orangtua terhadap anak digambarkan seperti itu. Alam pikiran seperti apa yang ada di belakangnya. Atau dalam cerita lama mengapa raja ketemu raja kok begitu? Kita akan tahu di belakang ada pikiran dasar seperti ini dan bisa mengkonstruksi. Filosofinya seperti itu. Membaca sejarah itu bukan membaca fakta-fakta. Kita harus membaca di balik fakta itu. Pentingnya sejarah itu pada intangible-nya, bukan pada tangible-nya.
Anda ingin mengatakan banyak novel sejarah itu dibuat asal-asalan?
Ya itu asal-asalan, demi klangenan, demi hiburan. Tujuannya memang menyenangkan untuk dibaca. Pelipur lara, eskapisme. Daripada ribut-ribut memikirkan bensin dan harga kebutuhan mahal, inilah yang menghibur.
Tapi kan sambutan pasar cukup antusias. Itu pertanda apa?
Menunjukkan mental baca masyarakat kita atau sistem pengetahuan masyarakat kita. Mereka memang tidak pernah tertarik pada hal-hal intangible itu. Ini artinya kurang latihan berpikir. Pendidikan kita kurang melatih berpikir. Mereka biasa menelan bentuk-bentuk saja. Mereka hanya menghapalkan bentuk. Tidak pernah dilatih untuk melihat di belakang bentuk-bentuk itu, bahwa di belakangnya ada struktur dan hubungan. Sekarang ini tingkat bacaan masyarakat terbius pengetahuan baru, kurang menukik pada hakikat. Dalam sastra yang penting bukan cerita itu sendiri, tapi nilai di belakangnya. Ada hakikat pikiran dasarnya.
Novel sejarah populer itu tidak menawarkan nila-nilai tertentu?
Ya itu hanya cerita. Hanya berita. Berita yang aneh-aneh dan menyenangkan, tapi tidak sampai pada hakikat. Dalam ilmu dan sastra yang penting kan abstraksi itu dari fakta. Itulah wacana. Itu sumbangan pengarang kepada kesusastraan.
Terjadi pendangkalan fakta sejarah?
Itu sudah terjadi sejak dulu, kecuali pada zaman Balai Pustaka. Karena karya Balai Pustaka diproduksi untuk konsumi para terpelajar Indonesia di sekolah. Itu diteruskan zaman Jepang dan kemerdekaan sebagai wadah intelektual. Jalur sastra yang sesungguhnya adalah kerja intelektual. Sastra populer hanya keterpelajaran saja.
Adakah sumbangsih sastra populer bagi pemikiran sosial, politik, dan agama?
Paling menyebarkan minat baca dan pasar. Tapi sumbangan pemikirannyaterhadap pemikiran kemanusiaan, sosial, politik, atau agama tidak ada. Karena dia tidak menukik para persoalan yang ada sekarang ini. Cerita pendek Kipanjikusmin berjudul Langit Makin Mendung (LMM), itu kan menohok satu persoalan keagamaan yang serius. Itu ada kadar intelektualnya. Sekarang sastra populer yang memiliki substansi seperti itu nggak ada. Kalaupun ada itu kebetulan. Seperti Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi dan buku lainnya. Karya Hirata bukan novel, itu otobiografi yang dinarasikan. Sebab, cerita dia otentik, dia menceritakan pengalaman yang ada. Itu bukan fiksi. Gurunya yang diceritakan ada dan bisa didatangkan. Ia juga beropini tentang gurunya. Pengalaman pembaca akan melihat fakta otentik yang dialami benar oleh pengarangnya. Kan ada struktur di dalamnya. Imajinasi itu kan dasarnya fakta otentik yang dialaminya. Ini sebenarnya bekal setiap pengarang yang serius. Setiap sastra yang baik itu sebenarnya otobiografi. Artinya, otobiografi permasalahan pengarangnya. Dasarnya adalah persoalan yang akan ditulis itu benar-benar ia kuasai. Seperti pengalaman Andrea Hirata, ia mengalami fakta dan pengalaman yang otentik. Hirata sebenarnya sudah punya bekal.Dalam karyanya, dia tidak mengangkat satu persoalan. Tapi, pengalaman yang informatif. Kalau saya jadi Andrea Hirata saya bisa menulis banyak novel. Bisa mengangkat berbagai potongan fakta itu menjadi novel. Bisa lebih tebal. Kalau dia mau mencari masalah dalam tulisannya. Kalau Hirata menulis fiksi betulan, belum tentu selaris ini. Kala mau menulis novel, ya cara menuliskannya imajinatif. Dia bisa menulis soal pendidikan dan kemiskinan. Berdasarkan fakta itu ia bisa membuat cerita imajinasi. Perkara wujudnya bisa menggali dari mana-mana. Satu tokoh, hidung bisa dari Madura, mulutnya dari Yogyakarta dan lain sebagainya. Seperti Seratus Tahun Kesunyian itu pasti ada dasarnya. Pram dalam Cerita dari Blora, itu kan pengalaman dia. Ia jelas sekali mengalaminya saat kangen kepada ayahnya. Meski yang ia ceritakan bukan aku sendiri tapi nama orang lain. Sastra nggak bisa bohong itu di situ. Sastrawan itu sebenarnya menyampaikan pendapat terhadap sesuatu yangdipersoalan. Karena dia mengalami sendiri. Pendapat tentang itu diungkapkan dalam bentuk cerita. Cerita yang bagus itu otobiografis.
Anda punya kritik terhadap novel model Diah Pitaloka?
Diah Pitaloka sangat fiktif. Inginnya menulis cerita silat. Padahal, cerita silat itu dasarnya dari sejarah China. Penulisnya membaca sejarah, senjatanya apa, aliran silat apa saja. Diah Pitaloka rupanya tidak dikerjakan seperti itu. Dia nggak membaca kebudayaan Sunda di masa itu. Dia tidak membandingkan budaya Sunda dan Jawa di masa itu. Dalam cerita sejarah, dasarnya pengetahuan bukan pengalaman. Dan pengarang mestinya memunculkan intangible dulu, baru tangible.
Sekarang banyak buku difilmkan atau film dibikin novel. Bagaimana pandangan Anda?
Itu budaya anak sekarnag. Itu memang kebudayaan pop. Kalau dulu film-film yang serius itu biasanya selalu kecewa. Novel itu tidak bisa difilmkan dengan baik. Film yang bagus biasanya dasar bukan karya sastra, tapi novel populer. Misalnya novel populer Cintaku di Kampus Biru. Itu bisa difilmkan dengan bagus. Karena hanya memuat informasi-informasi atau kisah percintaan, tapi tidak menyangkut persoalan yang substansial. Kalau sastra serius itu menyangkut substansial itu susah difilmkan. Tidak hanya dalam bentuk kata-kata tapi bahasa film. Ini kan ada peralihan medium. Ini yang biasanya menyulitkan sutradara. Kalau ganti media mestinya ganti cara. Memindahkan nilai dari karya sastra ke dalam film itu satu kesulitan sendiri. Karena itu banyak penonton film kecewa karena film itu tidak mampu memindahkan nilai-nilai yang di karya sastra. Apalagi hanya dua jam harus menampilan seluruh cerita. Kalau novel populer kan hanya informatif. Gambaran demi gambaran itu sendiri. Bahkan dalam film bisa lebih kaya. Bahkan film yang dasarnya novel populer bisa menjadi film seni. Novel Da Vinci Code sebagai karya kan banyak menerima kritikan. Da Vanci Code itu masuk sastra populer. Sastra serius itu Umberto Eco, yang berbicara tentang pastor abad pertengahan. Data-datanya dari abad pertengahan, sebenarnya ia berbicara tentang manusia yang sampai sekarang masih menjadi persoalan. Ia mengambil data dan merenungkannya. Dan Brown nggak seperti itu. Ia hanya membeberkan cerita. Lemahnya Dan Brown ia mempopulerkan persoalan-persoalan serius yang digampangkan. Orang-orang yang mempelajari arkeologi dan teologi tertawa saja membaca Dan Brown. Ngawur dia. Pembaca yang hanya menerima sebagai kenyataan karena tidak banyak membaca pengetahuan yang lebih ilmiah, menganggap itu sebagai kebenaran. Orang yang punya bekal pengetahuan tahu bahwa yang diangkat Dan Brawn itu palsu. Banyak hal yang tidak betul di sana. Itu tuduhan dia sendiri.
Sambutan pasar kan bagus?
Ya sastra populer kan karena pembacanya tidak kritis. Pembaca Da Vinci Code bisa ditipu dengan informasi palsu. Karena pembaca tidak belajar fakta otentiknya. Novel ini lebih dekat pada sejenis propaganda. Proganda untuk melawan kaum agama, kok masih percaya pada hal-hal seperti. Dia mungkin juga punya pengalaman buruk terkait dengan agama. Dia tahu sedikit-sedikit lalu menulis. Dia tidak menukik ke persoalan. Umberto Eco banyak sekali membacanya, ditulisnya sedikit saja. Kalau Brown membacanya sedikit, dipakai semua dalam tulisannya. Kalau intelektual bicaranya intelektual, itu belum intelektual betul. Seorang intelektual yang bicaranya secara bodoh, justru intelektual sejati. Sederhana sekali ngomongnya, tapi sangat mendasar karena dia sudah menguasai yang rumit-rumit. Bagaimana itu kemudian dirumuskan secara esensial.
Bagaimana Anda mengamati sikap pembaca novel populer?
Pembaca hanya terhibur. Hanya peduli pada bentuk cerita, bukan pada makna cerita yang mengandung persoalan kehidupan. Kalau mereka membaca novel agama, ya membaca novel saja. Kalau dia perlu belajar agama ya baca pelajaran agama. Kalau dalam novel serius tidak begitu. Dalam novel itu bisa belajar agama. Saya bisa belajar agama dari novel itu. Novel itu hanya simbol mempersoalkan agama. Semua karya sastra itu opini atau pendapat pengarangnya tentang suatu masalah. Sastra menjadi populer karena tidak mengutamakan pendapat pribadi. Menjadi populer karena melayani pendapat pembacanya. Sastra populer itu populer pada suatu saat, setelah itu jenuh. Kayak industri entertain.
Bagaimana menjadi pembaca sastra yang kritis?
Kita harus membedakan subtansi dan wadahnya. Wadahnya boleh porno, substansi tidak. Kebanyakan pembaca tidak mengerti stuktur di belakang cerita. Novel Saman karya Ayu Utami itu bukan porno, meski wadahnya mungkin porno. Sastra populer itu hanya peduli pada wadah, nggak ada persoalan yang disampaikan karena tidak ada pertanyaan. Kalau novel yang substansial orang bisa berbeda-beda membacanya. Sastra populer monotafsir. Sekali membaca ya sudah. Kalau sastra serius selalu ada pertanyaan. Kalau sastra, problematis. Kalau sastra populer, hanya informatif.
Oleh Ahmad Nurhasim. jurnalnasional.com. Minggu, 04 Mei 2008.