Rabu, 21 Mei 2008

Menyoroti Iri Dengki Manusia


Tidak saja membongkar dan mempersoalkan masalah moral keseharian melalui berbagai karakter ciptaannya, ia juga antikolonialisme dan menolak pengekangan seksual.

Ia lahir dengan nama Francois Charles Mauriac di Bordeaux, Gironde, pada 11 Oktober 1885. Mauriac lahir sebagai anak bungsu dari Jean-Paul Mauriac, seorang pengusaha sukses. Ketika Mauriac belum berusia dua tahun, ayahnya meninggal, dan keluarganya kemudian pindah ke rumah kakek mereka. Ibunya seorang Katolik taat yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Jansen (Jansenisme). Dari usia tujuh tahun, Mauriac mengikuti pendidikan dan tingal di asrama.

Ia belajar sastra di Universitas Bordeaux, lulus tahun 1905, setelah itu ia pindah ke Paris dan mempersiapkan diri untuk pendidikan pascasarjana di Ecole des Chartes. Namun ia ternyata hanya bertahan beberapa bulan, karena selanjutnya ia memutuskan memilih karier sebagai penulis.

Kumpulan puisi pertamanya, Les Mains joints (Clasped hands), dipublikasikan tahun 1909 dan mendapat sedikit perhatian dari komunitas sastra di Prancis. Itu adalah sepuluh tahun sebelum ia kemudian terkenal sebagai seorang penulis terkemuka di Prancis. Ia menulis novel, puisi, esai, dan naskah teater. Karier kepengarangannya sempat terhambat oleh Perang Dunia I, ketika ia ditugaskan ke Balkan sebagai petugas rumah sakit yang dikelola Palang Merah Internasional.

Beberapa tahun setelah perang usai, tahun 1922, ia menerbitkan novelnya Le Baiser aux lepreux (A Kiss for the Leper) yang mendapat sambutan luas. Novel ini berkisah tentang seorang muda berperangai buruk yang perkawinannya bersama seorang gadis petani cantik hancur berantakan.

Le Deser de L‘amour (1925) melanjutkan tema Mauriac: kegagalan cinta. Di novel ini seorang janda muda yang frigid terprovokasi nafsu dokter dan anaknya secara bersamaan.

Therese Desqueyroux (1927) pernah diklaim sebagai salah satu novel terbaik Prancis. Buku ini mengangkat kisah pengadilan pembunuhan yang sedang hangat. Dikisahkan, seorang istri berusia muda, Therese, dituduh membunuh suaminya, seorang tuan tanah yang kaya. Perhatian kemudian memusat pada keluasan tema ikutan yang selalu hadir dalam karya-karya Mauriac: penindasan yang berlangsung dalam kehidupan pedesaan, tekanan seksual, misteri dosa dan pengampunan, dan kebiadaban tersembunyi dari masyarakat pinggiran di selatan Bordeaux.

Le Noeud de Viperes (1932, Viper‘s Tangle) adalah sebuah novel keluarga, dan merupakan sebuah novel terbesar Mauriac. Tokoh utamanya seorang pria tua, Louis, yang begitu berkeras mempertahankan kekayaannya dari istri dan anak-anaknya yang bekerja sama melawannya.

Tahun 1933, ia terpilih menjadi anggota Akademi Prancis. Dan selama Perang Dunia ia tetap menulis, menerbitkan karyanya Le Cahier noir (The Black Notebook) dengan nama samaran “Forez”. Mauriac menulis protes tentang pendudukan Jerman atas Prancis. Karena hal itu ia harus bersembunyi selama beberapa lama. Ia juga menjadi pendukung setia de Gaulle.

Di antara lebih dari 30 novelnya, Mauriac juga menerbitkan beberapa naskah teater yang diproduksi oleh Comedie Francais. Ia juga pernah menjadi jurnalis, bekerja sebagai seorang editor untuk koran besar Prancis, Le Figaro. Pada 1950-an ia mendukung kemerdekaan Aljazair, juga menuntut segera diakhirinya kolonialisme Prancis di Vietnam, dan mengangkat persoalan penyiksaan yang dilakukan tentara Prancis di Aljazair. Dan ia juga menerbitkan catatan pribadi dan sebuah biografi tentang Charles de Gaulle.

Pada 1952 ia memenangkan hadiah Nobel Sastra. Karyanya kemudian secara utuh diterbitkan dalam dua belas jilid antara tahun 1950-1956. Ia juga mendorong Elie Wiesel untuk menuliskan pengalaman-pengalamannya sebagai seorang Jahudi selama masa holocaust, ditahan di kamp konsentrasi Jerman. Sampai kini ia masih menempati posisi utama sebagai novelis terbesar beragama Katolik abad 20, yang menjadikan persoalan kebaikan dan iri-dengki manusia sebagai tema-tema novelnya.

Francois Mauriac meninggal di Paris, 1 September 1970. Ia adalah kakek dari Anne Wiazamsky, seorang pembuat film yang kemudian bersuamikan sutradara besar Prancis, Jean-Luc Godard.

“Karakter-karakter ceritanya tidak memiliki imbangan dalam pengalaman keseharian di dunia. Di sini ia memecahkannya dengan tradisi naturalistik yang memiliki banyak jalan keluar yang sudah dikenalnya. Ia terutama bukanlah seorang pencatat kehidupan nyata dengan aksi-aksi manusianya, melainkan membiarkan dirinya hidup sebagai sebagai tokoh dalam kehidupan imajinatif,” kata Michael F Moloney, pengamat karya-karya Mauriac.

Karya-karya Mauriac kelihatan dipengaruhi beberapa pengarang. Ia mempublikasikan studinya tentang Racine dan Marcel Proust. Namun Pascal adalah pemikir terpenting baginya. Gaya bahasa Mauriac cenderung puitik dan sugestif. Katanya, “Saya percaya bahwa hanya melalui kekuatan puisi dan aspek putiklah berbagai elemen kesenian saling direkatkan. Hingga sebuah novel yang baik pada mulanya adalah puisi yang hebat,” kata Mauriac.

Pekerjaan awal Mauriac sering kali mengangkat persoalan nafsu dan kata hati, tapi setelah sebuah krisis spiritual ia menyelesaikan konflik yang terjadi dengan semangat “Kristianitas yang dapat menghasilkan pelepasan melegakan”.

Mauriac berada pada posisi utama sebagai seorang pengarang di generasinya yang sejauh ini menjadikan persoalan kehilangan kepercayaan jadi masalah penting. Ketika banyak pengarang mengabaikan kebijaksanaan dan kemuliaan ajaran agama, ia justru berkutat dan menegakkannya. Ia tidak saja mengangkatnya sebagai persoalan kompromistis para karakternya, tapi juga menjadi tawaran visioner ke tengah kehidupan dunia modern yang bergolak.

Ia selalu memiliki keyakinan pandangan, dengan kekuatan dan konsistensi nilai yang mampu diamalkannya. Ia melakukannya melalui novel-novel realisme, yang dengan mudah menyuguhkan garis-garis nilai para moralis seperti Pascal, La Broyere, dan Bossuet. Ia hanya menambahkan aspriasinya di antara pandangan mereka, agar sesuai dengan konteks cerita dan masa kisah yang disorotinya di lingkungan masyarakat Prancis.

Ia selalu mengedepankan informasi moral, secara ekstrem, sebagai formasi nilai terpenting dalam kehidupan. Sekaligus pula dalam kesehariannya, sebagai pribadi nyata, ia menunjukkannya melalui komentar-komentarnya yang tegas tentang “kesalahan” kehidupan publik yang diketahuinya.

Mauriac pernah mengatakan, bahwa setiap orang merdeka selalu mencari kebahagiaan dari dalam keindahan karya sastra, serta mengharapkan pelarian dari kenyataan yang pahit. Tapi, bagi pengarang yang baik, tujuan untuk memuaskan hasrat pelarian semacam itu adalah sesuatu yang tak harus dilakukan. Sebab, pengarang tak pernah berkarya karena membenci kehidupan, lalu menawarkan angan-angan pelarian.

Pengarang adalah seseorang yang mencintai kehidupan, dan berani hidup sendirian di dalamnya. Ia dapat memperoleh pencerahan darinya, atau menyalahkannya. Kecintaan yang sesungguhnya terhadap kehidupan, akan menyala-nyala dari karyanya.

Oleh Arie MP Tamba. jurnalnasional.com. Minggu, 04 Mei 2008

Tidak ada komentar: