Jumat, 16 Mei 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional: Benahi Pendidikan

Saat ini saya melihat adanya perbedaan visi pemerintah dan para pelaksana pendidikan.

Oleh: Asep Saefuddin

Bila kita pelajari sejarah, kebangkitan nasional yang diawali dengan pendirian organisasi modern Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 itu disebabkan oleh kuatnya pendidikan para pendiri organisasi itu. Para pendiri Boedi Oetomo seperti R Soetomo dan kawan-kawannya adalah mereka yang sedang menjalani pendidikan kedokteran (STOVIA) di Betawi (Jakarta). Begitu juga sejarah kebangkitan negara-negara jajahan di dunia, semua dimulai oleh mereka yang telah terdidik.

Betapa pun kayanya sumber daya alam yang dimiliki, sulit akan mengangkat derajat sebuah negara, bila manusianya tertinggal. Saya menganggap bahwa manusia adalah sumber dari perkembangan negara. Untuk itu, manusia bukanlah sumber daya yang disejajarkan dengan komponen sumber daya lainnya yang biasanya dipakai dalam ekonomi produksi. Manusia adalah sumber kreativitas yang harus terus berkembang. Bilamana manusia dianggap sebagai sumber daya, maka pendidikan kita akan selalu parsial dan tidak mampu menjadi pemimpin (leader) dalam berbagai kancah kehidupan, termasuk dunia ekonomi. Untuk itu, dalam peringatan 100 tahun kebangkitan nasional ini benahilah pendidikan Indonesia. Pembenahan ini baik untuk sistem pendidikannya maupun untuk struktur pemerintahannya. Depdiknas harus dipegang seorang menteri senior yang kuat visi pendidikannya. Bilamana perlu, Menko Kesra adalah ex-officio Mendiknas.

Pendidikan adalah sebuah proses untuk menyadarkan betapa pentingnya manusia dan kemanusiaan. Melalui pendidikan juga diajarkan tentang pentingnya keberagaman (pluralisme), penghormatan terhadap perbedaan pemahaman kepercayaan (agama) dan kesamaan haknya sebagai warga negara. Intinya, melalui pendidikan yang benar, manusia Indonesia akan mempunyai fondasi yang kuat sehingga menjadikannya terhormat di hadapan bangsa-bangsa lain.

Pemerintah dan para guru harus mempunyai visi yang sama dalam pendidikan, bukan sekadar mematok kriteria-kriteria idealistis yang cenderung too good to be implemented. Saat ini saya melihat adanya perbedaan visi pemerintah dan para pelaksana pendidikan. Akhirnya, tidak jarang para guru keluar dari kaidah-kaidah pendidikan itu sendiri, hanya untuk mencapai target minimum, tekanan-tekanan pemerintah. Kita harus jujur mengakui bahwa kesalahan jangan terlalu dilimpahkan kepada guru. Pemerintah harus berani mengakui bahwa hal ini adalah bagian dari kesalahan sistemik.

Contoh riil bisa kita lihat betapa Ujian Nasional (UN) saat ini, seolah-olah ada dua kubu: kubu sekolah dan kubu pemerintah. Lalu polisi menjaga dengan pendekatan ekstraketat, seakan-akan para guru adalah kelompok kiriminal.

Di tingkat dasar, pendidikan sebaiknya jangan menjadi beban utama masyarakat. Mereka harus dengan tenang mengirimkan anaknya ke sekolah tanpa banyak dibebani uang sekolah yang tidak terjangkau ditambah lagi uang sumbangan wajib lainnya. Bahkan sebaiknya mereka dibebaskan dari jenis pungutan apa pun, termasuk SPP (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan). Prinsipnya pendidikan dasar harus gratis tetapi berkualitas, karena hal itu menjadi awal pengembangan watak manusia Indonesia.

Pada tingkat dasar anak didik mulai dikenalkan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan (humanity), kebenaran (truth), dan keteraturan (order) dalam kehidupan sehari-hari persekolahan secara tenang dan realistis. Unsur-unsur soft skill dan hard skill sudah mulai berbenih sedini mungkin.

Pada tahap berikutnya, Perguruan Tinggi dapat meneruskan pendidikan dengan lebih menekankan kepada hard skill, yakni ilmu pengetahuan, teknologi, dan profesionalisme. Untuk itu, Perguruan Tinggi harus mempunyai aktivitas riset yang kuat diisi oleh orang-orang yang memang terpilih dari segi kekuatan hard skill. Adapun soft skill-nya sudah merata dimilikinya melalui pendidikan sejak tingkat dasar. Walaupun demikian, pelaksana kampus harus mengemas kegiatan kemahasiswaan yang dapat menyuburkan soft skill, daya imajinasi dan inovasi sivitas (dosen dan mahasiswa). Artinya ekosistem pendidikan ditata sedemikian rupa sehingga kondusif terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan, kebenaran, dan keteraturan. Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan adalah pengejawantahan pluralisme kemanusiaan, seni-budaya, profesional-isme, dan entrepreneurial berbasis pada teknologi (techno- preneurship).

Perguruan tinggi jangan terjebak pada birokrasi yang berlebih-lebihan dengan aturan-aturan kaku pemerintahan yang mengebiri para dosen. Para eksekutif kampus sebaiknya dengan leluasa dapat menggalang kerja sama dengan industri untuk kepentingan riset, pemagangan mahasiswa, aplikasi teknologi, dan pembangkitan pendapatan.

Bilamana kampus sudah terbiasa membawakan prinsip-prinsip kemanusiaan, kebenaran dan keteraturan disertai aspek-aspek sains, teknologi, seni-budaya, dan penghormatan terhadap pluralisme, maka pemerintah tidak usah khawatir dengan kebebasan akademik. Mereka pasti akan menjadi sumber inspirasi pembaharuan dan pembangunan, tidak akan destruktif. Akan tetapi bila pendekatan birokratis, supresif dan pola-pola kekuasaan masih sangat dominan yang secara tidak sadar masuk ke dalam kurikulum dan jargon-jargon pembinaan, maka keindahan kampus dan kebebasan akademik tidak berkembang. Sebagai akibatnya, situasi kampus menjadi selalu kering, kaku, tidak bergairah dan temperatur tinggi. Pada saat itu, kampus bagaikan pabrik pencetakan ‘sumber daya manusia', dan mahasiswa menjadi tempramental bahkan cenderung brutal. Bila sudah demikian, sulit sekali diperoleh manusia Indonesia yang kreatif, inovatif, dan berpikiran terobosan (breakthrough). Lalu, apa yang diperoleh? Cita-cita kebangkitan nasional akan semakin jauh. Selamat 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional.

Dosen pada Departemen Statistika IPB

Tidak ada komentar: