Rabu, 21 Mei 2008

Menjadi Beradab dalam Kebebasan


Oleh: Chris Panggabean


Sebuah kemewahan ketika mahasiswa di Indonesia menemukan video kuliah umum Richard Dawkins, Slavoj Zizek, Alain Badiou, Noam Chomsky melalui situs Youtube, termasuk beberapa buku yang bisa diunduh dari situs Rapidshare. Para mahasiswa lokal ini menghemat ribuan dollar untuk mendapatkan pengetahuan yang sama dengan yang dicecap oleh para mahasiswa universitas ternama di Amerika dan Eropa.

Maka, betapa kaget dan mengecewakan ketika pemerintah melalui tangan Menteri Komunikasi dan Informatika memblokir sejumlah situs agar masyarakat tak melongok sebuah film yang kontroversial. Sungguh sangat disayangkan, menjelang peringatan seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional dan satu dekade Gerakan Reformasi, justru aneka pelarangan dan pemasungan kebebasan yang dipraktikkan oleh pejabat di republik ini.

Penyanyi Dewi Persik dicekal oleh Pemerintah Kota Tangerang karena performanya di panggung dinilai merusak moral. Sekelompok massa memaksa agar melalui tangan pemerintah kaum sebuah sekte keagamaan dihentikan peribadahannya karena dianggap sesat. Puncak kualitas se- mua larangan ini adalah penggembokan celana dalam perempuan pemijat. Para pejabat publik ini mengkhianati kebebasan yang direguk dari perjuangan reformasi dan menikam emansipasi Kartini.

Perjuangan kebebasan
Pada mulanya adalah kebebasan. Prinsip ini mengawali sejarah manusia, mulai dari pandangan teologis hingga humanis. Dikisahkan bahwa Tuhan memberikan kebebasan bagi manusia pertama untuk taat kepada perintah-Nya atau menuruti kehendak hatinya sendiri. Simbolisasinya: jangan memakan buah tentang pengetahuan yang baik-buruk yang ada di tengah Firdaus. Ontologi kebebasan ini berlanjut hingga manusia terdepak ke Bumi.

Manusia tetap memiliki kebebasan untuk percaya kepada Tuhan atau tidak. Ia menyediakan air dan udara bagi kebaikan setiap manusia, yang percaya ataupun ti- dak. Membingungkan jika kemudian ada ciptaan yang merampas kebebasan ciptaan lainnya karena dianggap tidak beriman.

Para humanis yang mengasah rasio kita sejak masa pencerahan memberi pemahaman yang luar biasa mengenai kebebasan. Kebebasan bersifat hakiki dan awali bagi setiap orang. Prinsip kebebasan merupakan jalan bagi kemajuan peradaban kemanusiaan. Tidak ada emansipasi tanpa kedaulatan dan tidak ada kedaulatan tanpa kebebasan. Deklarasi kemerdekaan adalah manifestasi penolakan terhadap pengekangan diri. Sebab, penjajahan bukanlah penguasaan wilayah geografis semata, tetapi belenggu terhadap kehendak. Ia memasung otonomi diri, padahal tubuh dengan seluruh kesadarannya butuh kebebasan untuk berkembang.

Kesadaran inilah yang mendorong kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena Orde Baru dengan praktik totaliternya mengikat erat kebebasan, rasio serupa memunculkan Gerakan Reformasi. Kebangkitan Nasional termasuk kisah tentang butuhnya ruang kebebasan bagi setiap insan untuk menjadi lebih baik. Hampir semua komponen bangsa meraih peluang untuk mengaktualisasikan potensinya melalui pintu-pintu kebebasan yang terbuka dari kedua peristiwa politik tersebut. Pada zaman Budi Utomo, tidak terbayangkan bahwa setiap orang akan mendapat pendidikan yang layak. Jika pada masa itu pendidikan dasar adalah sebuah kemewahan, sekarang jadi kewajiban. Sebelum Reformasi, tidak terbayangkan bahwa setiap individu atau kelompok mendapat peluang untuk mengorganisasikan diri dan mencapai tujuannya melalui partai politik baru.

Makna kebebasan
Ada dua jenis prinsip kebebasan: kebebasan negatif dan kebebasan positif. Jika Anda bisa melakukan apa saja tanpa ada hambatan dari luar diri, ini yang dimaksudkan sebagai kebebasan negatif. Restriksi terhadap kebebasan diperlukan demi menjamin bahwa pelaksanaan kebebasan seseorang tidak bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Negara adalah institusi yang mendapatkan hak secara alami untuk membatasi (bukan merampas) kebebasan individu. Kebebasan positif berbicara mengenai kebebasan untuk mencapai tujuan tertentu dan sifatnya intrapersonal, termasuk di dalamnya pemberdayaan diri yang memungkinkan individu merealisasikan potensi dirinya, mencapai otonomi dan penguasaan diri.

Individu yang bebas adalah individu yang otonom secara moral dan rasio. Artinya, ia menentukan sendiri nilai bagi dirinya, tujuan-tujuan hidup yang baik bagi dirinya. Bagaimana jika negara yang menentukan apa yang seharusnya dituju oleh individu? Inilah yang disebut penyelewengan kebebasan. Isaiah Berlin sudah mewanti-wanti hal ini. Negara teokrasi dan pemerintahan totaliter adalah contoh manipulasi kebebasan positif. Negara mengatakan hendak membawa masyarakat kepada masyarakat tanpa kelas yang berkeadilan bagi semua orang atau memastikan surga bagi semua penduduknya.

Pada pelaksanaannya, negara menentukan apa yang harus diterima dan dilakukan oleh warganya. Cara lain di luar cara pemerintah berarti pembangkangan. Apakah dengan menonton goyangan dangdut dan pergi pijat serta-merta moral menjadi runtuh; atau jika tidak menontonnya dan menggembok celana dalam, kualitas moral meningkat? Mengapa cara meningkatkan kualitas moral individu diatur oleh pejabat publik dan dosa kemesuman selalu ditimpakan kepada perempuan? Bukankah kebijakan semacam itu turut melecehkan kaum pria?

Banyak lelaki kini yang tidak lagi seperti Adam mula-mula, yang menimpakan kelemahan dirinya kepada Hawa, si sumber dosa. Peradaban manusia sesungguhnya diperbaiki dengan kesadaran dan pengetahuan, bukan dengan berbagai larangan. Menentukan bagaimana caranya individu mendapatkan kebaikan dalam hidupnya, tujuan mana yang seharusnya dicapai sama saja dengan menyangkal esensi kemanusiaan. Individu diperlakukan layaknya obyek yang tak memiliki kehendak dan ini mendegradasi harkat manusia.

Manusia mencapai kematangan dirinya melalui proses belajar dalam sejarah hidupnya. Perangkat utamanya adalah kebebasan dan rasio yang dimilikinya. Dengan rasio manusia memaknai pengalaman hidupnya, menyimpannya di dalam diri menjadi struktur pengetahuan, menghayatinya sehingga menjadi sistem nilai. Semakin banyak pengalaman hidup semakin kaya individu mengisi dirinya.

Pada proses atau fase inilah kebebasan menjadi ruang pembelajaran. Pembelajaran bagi setiap individu untuk menjadi warga yang beradab (civilized society). Sebab, ia akan belajar memahami apa itu perbedaan, toleransi, hak mewujudkan kesejahteraan, dan keberlangsungan ruang hidup bersama.

Pemerintah seharusnya fokus saja dengan penambahan dan peningkatan kualitas layanan publik. Daripada menjadi penjaga moral, lebih baik membangun mekanisme self-censorship dalam diri individu dan masyarakat agar memiliki kematangan nilai dan pengetahuan.

Sesungguhnya dalam kebebasanlah manusia menemukan ruang untuk belajar menjadi manusia seutuhnya (emansipasi) karena di dalamnya potensi diri dapat diaktualisasikan.

Chris Panggabean Aktif di Lingkar Muda Indonesia; Peneliti di UI

Tidak ada komentar: