Rabu, 14 Mei 2008

Jangan Biarkan Indonesia Jadi Negara Gagal

Oleh: MT Zen

Majalah The Economist terbitan London edisi 6 Mei 2008 menerbitkan makalah khusus sepanjang 14 halaman mengenai kebangkitan Vietnam sebagai negara di Asia Tenggara yang menakjubkan. Negara yang satu ini sudah hancur luluh oleh peperangan. Yang dilawan bukan tentara KNIL, melainkan negara adidaya Amerika Serikat.


Negara itu dihujani dengan bom biasa dan bom napalm dari pesawat B-52 dalam puluhan serangan mendadak dalam satu minggu, sedangkan mereka sendiri memanggul meriam yang sudah dilepas menjadi bagian-bagian lebih kecil lewat bukan jalan setapak, melainkan jalan binatang yang disebut Ho Chi Minh Trail. Kini mereka sudah bangkit secara spektakuler, memang belum setaraf dengan Malaysia atau Thailand.


Apa saja yang digariskan oleh Bank Dunia dan badan internasional mereka ikuti sebanyak dan sebaik mungkin. Rumah-rumah tinggal yang mendapatkan aliran listrik sudah berlipat dua sejak awal 1990 menjadi 94 persen. Menurut ”The World in 2008” terbitan The Economist juga, GDP per kepala masih 953 dollar AS (PPP: 3.990 dollar AS) pada Januari 2008. Yang menakjubkan adalah kesungguhan mereka membangun kembali negaranya. Dalam hal ini Indonesia perlu belajar dari Vietnam.


Negara gagalApa yang disebut dengan negara gagal?

Definisi dapat bermacam-macam dan orang dapat berdebat mengenai hal itu tanpa henti. Jadi, lebih baik disebutkan beberapa kriteria atau ciri khas yang banyak disepakati di dunia ini mengenai apa yang disebut sebagai negara gagal. Yang terpenting adalah hal-hal berikut ini.


Terasa tidak ada lagi jaminan keamanan: orang merasa tidak aman dan tidak nyaman dan ingin mengungsi ke negeri orang. Kasus perusakan tempat-tempat ibadah merupakan salah satu hal yang khas bagi negara gagal.


Pemerintah seakan-akan tidak lagi dapat menyediakan kebutuhan pokok, seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, penyediaan bahan kebutuhan pokok (Indonesia: gas dan minyak tanah seperti yang terjadi belakangan ini). Infrastruktur menjadi semakin tak keruan dan tidak efektif lagi.


Korupsi merajalela dan justru dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya mempunyai tugas pokok melindungi rakyat, masyarakat, dan negara terhadap gangguan korupsi itu, seperti DPR, DPRD, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, kepolisian, dan anggota kabinet. Di negara-negara gagal sebenarnya justru negara itu bersekongkol dengan para preman, mafia, dan teroris.


Bentrokan-bentrokan horizontal di antara kelompok etnisitas yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Hal itu menunjukkan ketidakberdayaan aparat negara.


Kehilangan kepercayaan masyarakat yang merata dan menyeluruh.Apakah Indonesia sudah menjadi negara gagal? Tidak! Atau belum setidak-tidaknya, tetapi Indonesia menuju dengan cepat ke arah itu.


Di dunia ini sudah didaftar beberapa negara gagal. Indonesia belum termasuk. Namun, jika dibiarkan terus tanpa ada tindakan drastis untuk mencegahnya, hal itu akan menjadi kenyataan. Beberapa orang ahli atau beberapa lembaga internasional sudah mulai menyebut-nyebut bahwa Indonesia sudah harus sangat waspada dan berhati-hati. Berusahalah sekuat tenaga agar Indonesia tak jatuh menjadi negara gagal.


Resep untuk Indonesia: Pertama, Indonesia sudah harus mempunyai pemimpin baru: seorang pemimpin yang tegas, jelas, dan keras, di mana perlu kejam, tetapi adil. Sosok pemimpin seperti ini berani bertindak dan berani mempertanggungjawabkan tindakannya tanpa banyak cingcong. Kedua, melihat keadaan yang semrawut dan kaotis di sekeliling kita, sebenarnya pada saat ini sudah harus ada sense of emergency and sense of urgency. Bahkan, negara Indonesia ini sudah harus berada dalam keadaan darurat. Jadi, pemerintah yang mencoba menegakkan benang yang sudah basah ini sudah harus memerintah dengan dekret.


Ketiga, mulai membenahi perekonomian nasional. Ini berarti, langkah perekonomian nasional yang tidak dihalangi oleh kesenjangan aturan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Masalah otonomi Indonesia kini merupakan struktur federal yang sangat kacau, suatu bom waktu yang ditinggalkan Orde Baru.


Keempat, hentikan korupsi besar-besaran dari pusat hingga daerah, dari yang tertinggi hingga ke yang terendah. Bila perlu, terapkan hukuman mati. Di Indonesia, orang berkorupsi karena yakin bahwa dia akan lolos asal saja cukup duit untuk menyogok para hakim dan lain-lain. Jadi, persyaratannya korupsi itu harus besar.


Kelima, hentikan pertikaian horizontal antarkelompok, antarkampung; pertikaian sewaktu menonton pertandingan sepak bola: antarpenonton, antara penonton dan pemain, mengejar dan memukuli wasit, melempar batu; pertikaian antarsuku, antarmahasiswa yang saling lempar batu; melempar batu ke gedung- gedung yang dibangun dengan uang rakyat; dan hentikan main hakim sendiri.


Kita ini manusia biasa. Hidup rakyat sudah sedemikian berat dan keadaan Indonesia ini sudah sedemikian terpuruk, janganlah kita perburuk keadaan dengan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tugas para pejabat Indonesia sudah sedemikian berat dan sukar. Jangan ditambah lagi dengan tindakan yang tidak perlu. Bangsa dan negara sudah demikian miskin, janganlah merusak kantor, pagar-pagar kantor atau sekolah, gedung sekolah atau gedung yang dibangun dengan darah rakyat.


Keenam, embuskan kembali semangat juang yang pernah kita miliki dan bangkitkan kembali patriotisme dengan definisi dan nilai-nilai baru sesuai dengan panggilan zaman atau Zeitgeist. Inilah saat bagi kita semua di ma- na-mana untuk memetakan 100 tahun berikutnya bagi Kebangkitan Nasional yang kedua.


Kita butuh apa yang disebut Umwertung aller Werten (perombakan semua tata nilai) dan suatu Umwertung von Grund aus (perombakan menyeluruh dari akar- akarnya). Mari kita bangun masyarakat berbasiskan pengetahuan karena abad ke-21 ini sarat dengan pengetahuan dan teknologi. Kita harus berubah secara menyeluruh: sikap hidup, cara hidup, gaya hidup, pola pikir, dan mindset kita.


Secara keseluruhan bangsa Indonesia sangat membutuhkan suatu perubahan budaya ke budaya teknologi dengan masyarakat berbasiskan pengetahuan. Cara lain tidak ada!

MT ZEN Pensiunan Guru Besar ITB

Tidak ada komentar: