Kamis, 15 Mei 2008

Kenaikan Harga BBM: Rencana dan Fakta


Oleh: Ninasapti Triaswati

Sejak 10 tahun terakhir, kenaikan harga BBM menjadi ritual dilema politik-ekonomi setiap pemerintahan yang berkuasa di Indonesia di Indonesia. Ketika Pemerintahan Soeharto menaikkan harga BBM di tahun 1998, maka demonstrasi masyarakat secara luas di Indonesia mencapai puncaknya dan menjatuhkan pemerintahan tersebut.

Pemerintahan setelah era Soeharto berupaya berbagai cara untuk melunakkan hati masyarakat ketika akan mengumumkan harga BBM naik. Pemerintahan Megawati bahkan tidak ingin melukai hati rakyat miskin dengan mempertahankan agar harga BBM tidak dinaikkan dan subsidi BBM meningkat. Namun secara politik rakyat tidak lagi memilih Megawati pada Pemilu 2004 karena berharap adanya pemimpin baru akan membawa perubahan kebijakan yang secara signifikan berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pada tahun pertama SBY-JK memerintah, harga dinaikkan dua kali pada tahun 2005, sekitar 30 persen pada sekitar bulan Maret dan lebih dari 120 persen pada bulan Oktober 2005 dengan janji "tidak akan lagi menaikkan harga BBM selama masa pemerintahannya".

Daya Beli Rakyat
Secara ekonomi minyak bumi di Indonesia maupun di dunia sudah semakin langka sehingga kenaikan harga merupakan suatu keniscayaan, yaitu pasti terjadi cepat maupun lambat. Naiknya harga BBM di Indonesia hanya masalah penentuan waktu, karena gejolak kenaikan harga dunia secara terus menerus akan menekan kenaikan harga BBM domestik dalam negeri setiap saat.

Persoalan politik-ekonomi menjadi sangat penting. Apa untungnya kenaikan harga BBM tahun ini bagi rakyat dibandingkan dengan kenaikan pada tahun-tahun berikutnya? Pemerintah sudah mengumumkan bahwa BBM akan dinaikkan segera dan rakyat miskin akan menerima kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) serta paket bantuan pangan murah. Dengan kenaikan harga BBM, APBN akan dihemat sekitar Rp25 triliun. Dari jumlah tersebut akan dialokasikan sekitar Rp14 triliun untuk BLT dan bantuan pangan murah untuk rakyat miskin, serta sekitar Rp11 triliun sisanya untuk berbagai program pemerintah lainnya.

Persoalannya adalah BLT hanya diberikan maksimum satu tahun setelah kenaikan harga BBM, dan tidak sama besarnya dengan kenaikan harga barang maupun transportasi, sehingga dapat dipastikan tidak akan membantu daya beli rakyat miskin dalam jangka panjang karena hanya bersifat sementara. Di samping itu, data penduduk miskin yang digunakan hanyalah data Sensus Kemiskinan 2005 yang akan dicoba diperbarui secepatnya, sehingga ketidaktepatan pembagian BLT akan cukup besar.

Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak memiliki data akurat tentang penduduk miskin tahun 2008 atau paling tidak tahun 2007? Jelas pula bahwa berbagai program subsidi atas nama penduduk miskin saat ini lebih dinikmati penduduk tidak miskin karena kelemahan implementasi dari berbagai program tersebut yang tidak menyeluruh. Subsidi pupuk yang tujuannya untuk petani miskin, justru diberikan kepada produsen pupuk, sehingga pupuk murah bersubsidi justru tidak tersedia bagi petani miskin pada saat diperlukan. Subsidi BBM diberikan kepada PLN dan Pertamina yang dampaknya adalah justru bagian terbesar subsidi tersebut dinikmati konsumen kaya. Subsidi pangan berupa raskin maupun minyak goreng murah operasi pasar, keduanya sangat rawan penyimpangan karena tidak dapat lagi membedakan apakah yang menerima orang miskin atau bukan miskin. Ekspor ilegal pupuk dan BBM marak terjadi secara sistematis dan meluas di seluruh daerah. Suatu ironi bagi program subsidi untuk penduduk miskin.

Jalan Keluar
Ada dua kiat utama yang harus menjadi perhatian pemerintah dan perlu didukung masyarakat luas secara sungguh-sungguh: Pertama, mempercepat program pengalihan subsidi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin dari subsidi barang (berupa pupuk, BBM, raskin, dsb) menjadi bentuk subsidi bagi penduduk miskin.

Alasan subsidi BBM sebagai subisidi barang "salah sasaran" selalu menjadi alasan utama untuk menaikkan harga BBM sejak 2005 yang lalu. Namun faktanya selama tiga tahun terakhir ini tetap saja pemerintah mempertahankan skema subsidi barang melalui program pupuk bersubsidi murah untuk petani, beras untuk rakyat miskin, operasi pasar minyak goreng, dan sebagainya.

Pemerintah Indonesia sekarang maupun yang akan datang perlu segera dengan tegas mencanangkan subsidi langsung bagi rakyat miskin secara menyeluruh dengan mengidentifikasi rakyat miskin melalui sensus dan survei BPS di seluruh daerah secara tahunan, dan memberikan kartu identitas tunggal secara nasional bagi mereka yang tergolong miskin untuk dapat memperoleh jaminan nasional dari pemerintah. Walaupun penduduk miskin tersebut bukan penduduk setempat karena alasan pekerjaan sementara, misalnya, mereka harus tetap dapat memperoleh hak Jaminan Nasional. Sebaliknya tidak boleh seorang penduduk memperoleh lebih dari satu kali jaminan nasional untuk penduduk miskin.

Kedua, agar rakyat segera dapat mengonsumsi energi murah di dalam negeri, pemerintah Indonesia di pusat maupun daerah perlu segera menyukseskan program diversifikasi energi dalam waktu sesingkat-singkatnya, yaitu pengalihan dari konsumsi energi BBM ke energi alternatif. Jadi walaupun harga BBM naik, rakyat tidak perlu khawatir harga listrik, transportasi, dan pengolahan makanan juga akan naik karena pemerintah telah mengalihkan ke sumber energi lain.

Program diversifikasi memang telah disebutkan dalam rencana pemerintah sejak sekitar 1990-an, namun dalam pelaksanaannya ternyata "sangat tidak memadai" karena sebagian besar anggaran yang mendanai berbagai program pemerintah justru mendorong penggunaan BBM yang mahal dan justru mengekspor sumber energi kita yang murah (misal gas bumi).

Pemerintah Indonesia sejak saat ini perlu memfokuskan untuk menghemat energi BBM di dalam negeri, yaitu secara tegas dan segera menghentikan rencana pembangunan berbagai pembangkit listrik bertenaga BBM yang biayanya sekitar Rp2.250 per kWwh. Sebaliknya, pemerintah perlu secara bertahap segera memperluas rencana pembangkit listrik bertenaga panas bumi yang biayanya hanya sekitar sepertiganya, yaitu Rp750 per kWh atau bahkan ke pembangkit listrik tenaga gas yang hanya sekitar seperempatnya, yaitu sekitar Rp550 per kWh.

Sungguh sangat tidak logis keadaan Indonesia saat ini yang justru mengonsumsi energi mahal di dalam negeri dan mengekspor energi murah ke luar negeri. Tidak masuk akal pula di mana Indonesia yang memiliki cadangan panas bumi terbesar dunia justru masih memakai listrik bertenaga BBM, padahal Indonesia sudah menjadi net-importir BBM. Juga sangat tidak logis ketika rakyat Indonesia memerlukan sumber energi murah di dalam negeri seperti gas yang seharusnya dapat dipakai untuk mendukung konsumsi transportasi dan pengolahan makanan rakyat maupun industri di dalam negeri agar biaya produksi murah justru diekspor ke luar negeri dan kita kekurangan bahan bakar gas di dalam negeri.

Saatnya kita menyambut 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun Era Reformasi dengan niat menjadi tuan di negeri sendiri dan bertekad " Propeningkatan kesejahteraan rakyat: Hemat energi mahal, Pakai energi murah!"

Tidak ada komentar: