Jumat, 16 Mei 2008

Daya Kata, Darah Kebangkitan


Oleh: Yudi Latif


Perjuangan kebangkitan itu bermula dari tanda. Tanda baru yang menarik garis batas antara masa lalu dan masa depan, tanda baru yang memberi tenaga pada hidup, tanda baru yang memberi orientasi ke arah mana sumber daya harus dikerahkan.Kata dan bahasa adalah rumah tanda. Karena tidak ada kemungkinan mengada di luar bahasa, kata/bahasa pun menjadi rumah kehidupan. Meminjam Martin Heidegger, ”Language is the house of being.”

Sebagai rumah kehidupan, upaya perjuangan dan kebangkitan apa pun harus bermula dari revitalisasi bahasa dengan jalan merebut dan menghidupkan kembali darah kata.

Tak salah jika Partha Chatterjee (pemikir India) dan Reynaldo Ileto (pemikir Filipina) mengakarkan nasionalisme bukan (hanya) pada mesiu, perundingan, kognisi Barat, dan kapitalisme percetakan, melainkan pada emosi Dionysian (passion) yang dipancarkan puisi dan daya kata.

Sekadar monumen
Taruhlah, gerakan kebangkitan dan kebangsaan Indonesia. Budi Utomo (BU) bukanlah yang pertama dan satu-satunya aktor kebangkitan. Ia sekadar monumen dari arus sejarah kebangkitan yang melewati fase persiapan (gestation), fase pembentukan (formative), dan fase pematangan (consolidation). Di sepanjang lintasan fase pergerakan ini, perjuangan kata/bahasa sebagai penanda baru memainkan peran penting.

Fase persiapan gerakan kebangkitan bermula pada akhir abad ke-19, distimulasi kehadiran secara embrionik ruang publik modern di Hindia, berkat kemunculan pers vernakular serta klub-klub sosial bergaya Eropa. Wacana dominan pada ruang publik baru ini berkisar pada isu ”kemadjoean”.

Pada fase ini, peran guru sangatlah menonjol. Profesi guru hingga akhir abad ke-19 menghimpun porsi terbesar orang- orang berpendidikan modern. Sebagai pendidik, mereka terpanggil untuk mencerahkan saudara sebangsa. Bahwa profesi guru kurang dihargai dibandingkan dengan profesi administratif menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator dari konsep ”kemadjoean” dan menjadikannya tolok ukur baru kehormatan sosial.

Lewat majalah pendidikan, seperti Soeloeh Pengadjar dan Taman Pengadjar, serta perkumpulan guru, seperti Mufakat Guru, kaum guru melancarkan gugatan. Tuntutan utama proyek emansipasi mereka berkisar pada upaya perjuangan kata/bahasa, yakni peluasan akses terhadap kepustakaan serta peningkatan pengajaran bahasa Belanda bagi anak pribumi.

Melanjutkan kepeloporan kaum guru, pada awal dekade pertama abad ke-20, terjadilah fase formatif ruang publik modern. Ditandai oleh kemunculan asosiasi-asosiasi kaum intelegensia serta kemunculan pers yang dimiliki dan dikelola oleh kalangan pribumi sendiri. Pada fase ini, tampak menonjol peran intelegensia berlatar sekolah Dokter Djawa/ STOVIA.

Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar ”kemajuan”, Bintang Hindia, Abdul Rivai (lulusan Dokter Djawa) memperkenalkan istilah ”bangsawan pikiran”. Dikatakan, ”Tak ada gunanya lagi membicarakan ’bangsawan usul’ sebab kehadirannya merupakan takdir. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan ’bangsawan pikiran’.”

Tulisan ini mewakili kegetiran anak- anak terdidik dari kalangan priayi rendahan dan nonbangsawan karena berbagai diskriminasi di dalam dan luar sekolah. Sebagai penyandang pendidikan tertinggi, anak-anak STOVIA bermotivasi tinggi untuk memperjuangkan gerakan-gerakan kebangkitan. Salah satu yang terpenting adalah pendirian perkumpulan BU pada 1908. Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan priayi tua dalam melindungi kepentingan rakyat, pada awalnya BU bermaksud memperjuangkan kepemimpinan kaum muda meskipun kemudian terbukti, pengaruh priayi tua masih terlalu kuat.

Betapapun, BU menjadi tonggak penting bagi gerakan kebangkitan berbasis ”bangsawan pikiran”. Sejak itu, ”pikiran” menjadi peta jalan bagi ideal-ideal generasi selanjutnya. Memasuki dekade kedua abad ke-20, segera diciptakan tanda baru yang sepenuhnya bebas dari imaji kebangsawanan dan bekhidmat sepenuhnya kepada pikiran. Tanda itu bernama ”kaum terpelajar” atau ”pemuda-pelajar” atau sering kali diungkapkan dalam bahasa Belanda, jong.

Dalam tanda dan peta jalan seperti inilah generasi Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Natsir dibesarkan. Semua tokoh ini lahir pada dekade pertama abad ke-20 dan semuanya tak bisa dikatakan sebagai anak-anak priayi tinggi. Mereka bisa memasuki pendidikan sistem Eropa berkat kegigihan generasi sebelumnya dalam menciptakan tanda, tanda yang membuat Belanda terpaksa mengendurkan persyaratan keturunan.

Perjuangan generasi ini pun bermula dari praksis wacana lewat kelompok studi, kerja jurnalistik, dan kesastraan. Sejak 1924, Hatta terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia berikut jurnalnya, Indonesia Merdeka, seraya tak lupa menulis puisi- puisi patriotik. Pada 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studieclub berikut jurnalnya, Indonesia Moeda. Saat yang sama ia juga aktif sebagai editor majalah SI, Bandera Islam (1924-1927). Bahkan, selama pembuangan, ia tak luput menulis naskah drama. Seperti Hatta, Sjahrir aktif di Perhimpunan Indonesia dan kelak berperan penting dalam jurnal Daulat Rakyat. Ia pun dikenal sebagai pemain sandiwara dengan erudisinya yang luas di bidang kesusastraan. Natsir mengikuti beberapa kelompok diskusi dan terlibat intens di Persatuan Islam. Sejak 1929 ia mulai menekuni kerja jurnalistik sebagai ko-editor dari jurnal Pembela Islam.

Berkat pertautan antara praktik diskursif dan perjumpaan lintas kultural dalam pergerakan politik yang dipimpin oleh generasi ini, fase konsolidasi kebangkitan Indonesia dimulai dengan pemancangan tanda baru. Tanda pengenal diri yang memberi kesadaran eksistensial sebagai komunitas impian tersendiri, melampaui ikatan-ikatan primordial dan terbebas dari konstruksi kolonial. Tanda itu bernama ”Indonesia”.

Kemampuan refleksi
Demikianlah, bermula dari tanda, terciptalah bangsa merdeka. Lantas tanda apakah gerangan yang kita ciptakan masa kini, seabad setelah BU berdiri? Inilah pertanyaan genting yang harus dicermati.

Terdapat tanda-tanda bahwa ”pikiran” dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Intelegensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta. Penaklukan daya pikir dan daya literasi oleh pragmatisme dan banalisme membuat mindset kebangsaan kehilangan daya refleksivitasnya? Tanpa kemampuan refleksi diri, suatu bangsa kehilangan wahana pembelajaran untuk menakar, memperbaiki, dan memperbarui dirinya sendiri.

Orang-orang harus disadarkan. Merayakan kebangkitan harus menghidupkan kembali darah kata, memuliakan pikiran.


Yudi Latif, Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

Tidak ada komentar: