Kamis, 22 Mei 2008

Tirani Tafsir Mayoritas


Oleh: Iyan Sofyan Hamid

Agama tidak pernah bisa terlepas dari persoalan tafsir manusia atasnya. Berbagai bentuk keberagamaan dalam pemahaman dan praktik agama di dunia mencerminkan bahwa tafsir merupakan sesuatu yang melekat dalam agama, karena tafsir tidak pernah bisa diseragamkan. Keberagaman tafsir tersebut bukanlah sesuatu yang nisbi, melainkan hal yang substantif dalam diri manusia sebagai sang makhluk penafsir. Islam sendiri sering kali menegaskan bahwa keberagaman tersebut adalah rahmat.

Secara antropologis manusia itu sendiri adalah sang makhluk penafsir.

Sikap-sikap manusia dalam bertindak di segala bidang, entah itu politik, ekonomi dan juga agama merupakan derivasi dari kemampuan manusia dalam menafsir. Penafsiran terhadap segala sesuatu dapat dikatakan sebagai status primordial manusia di dunia. Tanpa tafsir, manusia tidak akan pernah dapat bertindak. Tafsir itu sendiri tak pernah bisa tunggal karena sangat tergantung konteks budaya, ekonomi, dan juga politik seseorang dalam menafsir. Sebab itu, penafsiran tidak pernah bisa seragam.

Dalam agama, perbedaan tafsir itu sering kali tidaklah dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Acap kali, perbedaan tafsir tersebut mendatangkan teror dan kekerasan. Biasanya, kekerasan dikenai pada mereka yang minoritas. Tafsir yang dianut oleh mayoritas sering kali mendatangkan ketidakhormatan, pemaksaan, dan juga kekerasan terhadap tafsir yang dianut oleh minoritas. Di sini terjadi hegemoni tafsir mayoritas atas mayoritas dan kebenaran bukanlah menjadi perkara kebenaran itu sendiri, melainkan berkenaan dengan mayoritas dan kekuasaan.

Belajar dari sejarah
Minoritas memang selalu menjadi 'korban' yang selalu terpinggirkan, terdiskriminasikan, dan mengalami kekerasan. Banyak sudah kasus yang menunjukkan bahwa minoritas penafsir agama tertentu menjadi korban. Diskriminasi terhadap minoritas agama tersebut, dalam pengertian tertentu, kerap kali diselubungi oleh kepentingan di luar kepentingan agama itu sendiri.

Konflik yang seakan tanpa batas di Irak, misalnya, memiliki korelasi dengan perbedaan teologi dan politik antara Sunni dan Syiah. Fenomena itu mencerminkan bagaimana sebenarnya sebuah kelompok agama yang berbeda penafsiran menghasilkan sebuah hubungan yang tidak harmonis, diskriminatif, dan melakukan teror satu sama lain. Siapa yang berkuasa dialah yang mendapat kesempatan untuk meneror yang lain.

Dalam soal pembagian kekuasaan, misalnya, di Arab Saudi tidak ada satu pun menteri Syiah dalam kabinet. Syiah selalu berada di luar posisi penting dalam bidang keamanan atau angkatan bersenjata. Hanya dalam beberapa tahun lalu, monarki Saudi membuat suatu gerakan besar dengan menerbitkan keputusan untuk menambah dua anggota Syiah (untuk pertama kalinya) dalam 120 anggota majelis terpilih, yang berfungsi sebagai dewan tinggi kerajaan atau semacam parlemen. Sehingga totalnya empat anggota ketika dewan diperluas menjadi 150 anggota pada 2005.

Di Indonesia, diskriminasi terhadap minoritas itu terjadi di masa Orde Baru kepada etnik Tionghoa. Kini, yang menjadi sasaran diskriminasi tersebut adalah Ahmadiyah, yang merupakan paham keberagamaan yang dianut oleh minoritas muslim Indonesia. Lebih parah lagi, diskriminasi tersebut mengarah kepada pengusiran dan pelarangan aktivitas jemaahnya, dan juga tentu kekerasan dan pengusiran.

Persoalan yang sebenarnya terjadi dengan Ahmadiyah sekarang ini bukanlah hanya persoalan klaim kesesatan ajaran, tapi juga berkaitan dengan kekuasaan, tirani mayoritas, dan juga kepentingan tertentu. Logikanya sederhana, klaim sesat dan pelarangan Ahmadiyah tidak akan muncul bila mayoritas muslim di Indonesia adalah Ahmadiyah. Dengan ringkas, klaim kesesatan dan pelarangan terhadap sebuah kelompok yang berbeda penafsiran keagamaan tidak bisa terlepas dari mayoritas dan kekuasaan.

Hubungan antara tafsir dan kekuasaan dapat kita pahami lebih lanjut dalam bukunya Power/Knowledge Michel Foucault. Buku itu membuat kita paham bahwa tidak ada sebuah pengetahuan yang objektif, yang lepas dari kekuasaan dan kepentingan. Pengetahuan dapat dikatakan objektivikasi dari pengetahuan demi kepentingan tertentu. Pengetahuan dan kekuasaan seperti dua sisi dari satu keping mata uang yang sama.

Tafsir nonhegemonik
Apa yang terjadi dalam diskriminasi terhadap agama tertentu merupakan efek dari hegemoni tafsir mayoritas atas tafsir minoritas. Mayoritas merasa bahwa tafsirnya yang benar, sebab itu mereka menekan dan memaksa minoritas untuk mengikuti tafsirnya. Apalagi bila yang mayoritas tersebut dekat dengan kekuasaan politik, pemaksaannya tersebut semakin ekstrem, dengan melakukan kekerasan, pelarangan secara konstitusional dan pengusiran.

Apa yang diklaim sebagai kebenaran dalam ruang publik juga tak bisa terlepas dari mayoritas dan kekuasaan ini. Demokrasi itu sendiri sering dikritik sebagai sistem yang bertirani mayoritas. Bukan hanya demokrasi, tetapi tafsir agama yang mayoritas juga kerap kali mendatangkan intoleransi terhadap yang minoritas. Kebenaran selalu berpihak kepada mayoritas dan kekuasaan. Apa yang terjadi dengan pelarangan Ahmadiyah, misalnya, tak bisa terlepas dari hegemoni tafsir mayoritas yang dekat dengan kekuasaan atas minoritas.

Sikap-sikap hegemoni tafsir tersebut harus diretas. Tiada maksud lain kecuali untuk menghargai terhadap yang lain yang berbeda, yang minoritas. Peretasan tersebut dapat didasarkan pada penghargaan terhadap hak-hak atas keyakinan dan kepercayaan keberagamaan orang lain walaupun ia minoritas. Dalam hal ini, mayoritas semestinya malah harus melindungi dan menaungi minoritas. Bahwa mereka, minoritas, berhak untuk menganut dan menjalankan perbedaan tafsirnya.

Bahwa manusia, dengan berbagai konteks budaya yang berbeda, adalah makhluk sang penafsir yang kerap kali tak pernah bisa diubah dan diseragamkan penafsirannya, entah itu melalui pemaksaan. Memahami bahwa perbedaan itu adalah rahmat, dan perbedaan penafsiran adalah sunnatullah, maka seyogianya kita perlu mengembangkan tafsir yang nonhegemonik. Sebuah tafsir yang dapat menerima dan menghargai perbedaan, entah yang beda tersebut adalah minoritas.

Iyan Sofyan Hamid, Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina

Tidak ada komentar: