Oleh: Yasraf Amir Piliang
Setelah larut dalam kontemplasi peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang retrospektif, ada baiknya komponen bangsa ini hening dalam refleksi meneropong tantangan masa depan bangsa yang prospektif. Melalui renungan visioner, diharapkan dapat ditemukan sebuah landasan untuk meletakkan visi dan makna baru negara dan bangsa ke depan. Masa depan harus direbut secara proaktif, bukan dinantikan secara reaktif.
Negara dan bangsa ini lemah dalam ”mendesain” skenario masa depan: ketakmampuan antisipasi aneka bencana rutin (banjir, kekeringan, kebakaran hutan), kepanikan atas aneka kelangkaan sumber daya (bahan bakar, bahan pokok, bahan industri), ketakmampuan antisipasi pertumbuhan tekno-sosial (akumulasi kendaraan bermotor, pemadatan lalu lintas, polusi), kegamangan menghadapi ekses abad informasi (cyberporn, cybercrime).
Tantangan virtualitas
Tantangan 100 tahun ke depan tentu tak sama dengan tantangan 100 tahun lalu. Peralihan dari keterpusatan menuju ketakberpusatan (decentering), dari kesatuan menuju kesaling-bergantungan, dari kekuatan institusi menuju kekuatan jejaring, dari batasan realitas menuju virtualitas, adalah di antara tanda-tanda masa depan yang tak dapat diabaikan. Peralihan itu menuntut pemikiran-pemikiran baru kebangsaan dan kenegaraan.
Perkembangan ”abad virtual” telah memengaruhi wacana sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan anak bangsa, yang kini berlangsung di dalam ruang-ruang ”virtual”, dengan definisi, sifat, dan logika yang baru.
Melalui migrasi aneka aktivitas sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan ke dalam ”ruang-ruang virtual”, beralih pula ruang publik konvensional menjadi ”ruang publik virtual” (virtual public sphere), yang di dalamnya realitas politik dibingkai, pandangan moral dibangun, ukuran nilai (value) diciptakan, bakuan kebajikan (virtue) disusun, aneka pertukaran dan transaksi dimediasi, aneka komunikasi dimediasi, dan aneka kebebasan dimanifestasikan.
Multiplisitas jejaring
Di dalam abad virtual itu, ”mesin negara” (state machine) ditantang oleh mesin-mesin lain, yang mampu menghimpun, menghubungkan, dan menggerakkan elemen-elemen organik, fisikal, teritorial, institusional, struktural, dan simbolik, dengan organisasi lebih dinamis, struktur lebih kompleks, dan pengaturan lebih lentur. Inilah aneka ”mesin jejaring”, yang bekerja melampaui kedaulatan negara-bangsa: jaringan internet, teroris, narkoba, hiburan, dan subkultur.
Negara-bangsa kini digerogoti oleh aneka ”sistem dinamik”, dengan perilaku ”turbulen”, yang tak kuasa dikendalikan oleh negara-bangsa: perkembangan sosial yang tidak dapat diperkirakan, pergerakan arus modal yang tidak dapat diprediksi, pergerakan informasi yang tak diketahui arahnya, dinamika kriminalitas jejaring yang tak terdeteksi, dan pergerakan ideologi yang tak terbaca.
Demokrasi di masa depan digerogoti oleh aneka mesin jejaring, yang tak lagi bertumpu pada ”kekuasaan orang”—baik kekuasaan seorang (otokrasi), beberapa orang (aristokrasi), maupun ”rakyat” (demokrasi)—melainkan pada ”daulat jaringan” itu sendiri. Ada peralihan dari model pengaturan ”totalitas” ke arah ”multiplisitas jejaring” (multiplicity), yang di dalamnya peran negara- bangsa lebih bersifat ”simbolik” karena kedaulatan nyata dipegang oleh aneka jejaring (Hardt dan Negri, Multitude, 2005).
Kedaulatan netokrasi
Pada tingkat sosial, terjadi peralihan dari masyarakat inti (core society) ke arah ”masyarakat jejaring” (network society), yang multiplisitas relasinya melampaui kekuatan negara-bangsa dan menciptakan aneka ”kekuatan jaringan” (netocracy). Perkembangan ”masyarakat jejaring” ini mengubah secara fundamental pandangan konvensional tentang masyarakat, rakyat, dan warga di dalam sistem demokrasi.
Dengan melemahnya kedaulatan negara-bangsa, melemah pula ”kedaulatan rakyat” itu sendiri di dalam sistem demokrasi karena di dalam aneka jejaring virtual kekuatan ”rakyat” (people) diubah menjadi kekuatan ”warga” (citizen) dalam definisi baru, yaitu individu-individu bebas yang ”menavigasi dirinya sendiri” di dalam jaringan, tanpa perlu mengikatkan diri pada kekuatan ”rakyat” sebagai kesatuan. Kekuatan rakyat nanti bersaing dengan kekuatan ”warga jejaring” (network citizen).
Ada kegamangan bangsa ini masuk ke wilayah masa depan yang tampak tak ramah itu. Akan tetapi, tanda-tanda masa depan itu sudah ada di dalam tubuh bangsa ini. Mungkin, aneka bisikan masa lalu, panggilan primitif, suara purba, ruh adat, nyanyian mitos, atau ikatan kepercayaan yang menjadikan bangsa ini gamang menghadapi masa depan penuh enigma, ketakpastian, dan turbulensi itu. Akan tetapi, tak ada jalan menghindar dari genderang masa depan itu.
Bangsa ini harus ikut di dalam ”kafilah masa depan” itu dengan menerima tantangannya. Jangan hanya disibukkan oleh ruang masa lalu, dengan memolesnya seperti sebuah porselen antik, sambil membiarkan kafilah masa depan itu berlalu. Tanpa perlu kehilangan ruh masa lalu, bangsa ini harus ambil bagian dalam kafilah kebangkitan masa depan itu karena kuku jejaringnya sebagian telah menancap di dalam diri, masyarakat, dan tubuh bangsa ini.
Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD, Institut Teknologi Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar